Karakteristik Sunnah Nabawiyyah


Menurut Yusuf al-Qaradhawi sunnah memiliki karakteristik-karakteristik tertentu dimana mengenalinya menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pemahaman terhadap sunnah. 

1.   Syumuliyah

Syumul berarti komprehensif dan mencakup segala aspek kehidupan, karakteristik ini kembali kepada salah satu fungsi sunnah yakni sebagai penjelas bagi Al-Quran. Al-Quran adalah kitab yang berisi segala aspek kehidupan, Allah SWT berfirman ;

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu.”[QS,  An-Nahl (16) : 89]

Oleh karena itu sebagai penjelas bagi Al-Quran, sunnah juga mencakup seluruh segi kehidupan manusia. 


5. Tawazun

Tawazun berarti seimbang atau moderat, karakteristik ini masih berkaitan erat dengan karakteristik sebelumnya. Sebagaimana diuraikan di atas, tuntunan sunnah mencakup semua aspek kehidupan manusia, keseluruhan aspek tersebut diatur dengan tidak berlebihan pada satu sisi dan kekurangan pada sisi yang lain. Sunnah mengatur segalanya dengan mengikuti prinsip wasaṭan, pertengahan atau moderat, karena umat ini memang disifati sebagai umat yang moderat. Allah SWT berfirman ;

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang pertengahan (wasaṭan).”[Qs. Al-Baqarah (2) : 143]

أنتم الذين قُلتم كذا وكذا ؟ أمَا والله ، إنِّي لأخْشاكم لله ، وأتقاكم له ، ولكني أصُومُ وأفْطِرُ ، وأصَلِّي وأرْقُدُ ، وأتَزَوَّجُ النِّساءَ ، فَمَن رغِبَ عَنْ سُنَّتِي فليس منِّي

“Kaliankah  orang-orang yang telah berkata begini dan begini ?. Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan bertakwa kepada Allah di antara kalian, tetapi aku berpuasa dan tetap berbuka, aku salat dan juga beristirahat, dan aku pun menikahi wanita. Maka barang siapa yang membenci sunnahku, dia bukanlah bagian dari umatku.”[HR Bukhari]

Rasulullah juga pernah menegur Ibnu ‘Umar ketika beliau sudah keterlaluan dalam melaksanakan puasa, salat malam, dan membaca Al-Quran. Rasulullah mengingatkan Ibnu ‘Umar bahwa tubuh, mata, keluarga dan istrinya memiliki hak yang harus ia tunaikan. Rasulullah saw bersabda,

فَلاَ تَفْعَلْ صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِأهلك عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

“Janganlah kau lakukan hal itu. Puasalah dan berbukalah, dirikanlah salat malam namun tidurlah. Karena sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu, begitu juga matamu memiliki hak atasmu, dan sesungguhnya keluarga dan istrimu memiliki hak atasmu.”[HR Bukhari]


6. Takamul

Sunnah adalah tuntunan yang mencakup semua aspek kehidupan (syumul), kesemua aspek tersebut diatur dengan seimbang, moderat dan tidak berlebihan pada salah satu sisi saja (tawazun), selain itu, sunnah menjadikan aspek-aspek dalam kehidupan mausia itu beriringan dan saling melengkapi (takāmul).

Sunnah menjadikan iman dan ilmu atau wahyu dan akal menjadi dua hal yang saling melengkapi. Dalam membangun masyarakat, sunnah harus dipahami dengan memperhatikan sifatnya ini. Sunnah mengatur agar legislasi (tasyri’) dan pembinaan moral masyarakat saling melengkapi.

Ketika ummat telah terbina, sunnah juga menunjukan bahwa harus tetap ada sinergitas antara dakwah dan kekusaan (daulah). Sunnah juga menuntunkan agar antara rakyat dan pemimpin mereka tetap terjalin saling melengkapi serta sinergitas dan komunikasi yang lancar. Rasulullah membaur dengan umatnya untuk membangun parit pada perang Khandak dan banyak contoh lainnya. Di bawah naungan sunnah yang berkarakteristik takamuli, orang-orang beriman juga saling melengkapi kekurangan mereka. 

Allah SWT berfirman,

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ  يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ  أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ  إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[At-Taubah (9): 71]


7. Waqi’ī (realistis)

Tuntunan yang diberikan sunnah adalah tuntunan yang waqi’ī, tuntunan yang relaistis. Syaikh Qardhawi berulang kali menejelaskan hal ini di dalam beberapa karyanya. Di dalam Madkhal li Dirasah asy-Syari’ah al-Islamiyah beliau menyatakan bahwa sesungguhnya syariat ini (dimana sunnah adalah salah satu pondasinya) tidak berenang di lautan imajnasi, atau mengawang-awang di tataran idealitas sehingga ia tidak menetapkan kepada manusia sesuatu yang tidak ada di dunia manusia, sebagaimana yang dilakukan Plato dengan konsep republik-nya, al-Farabi di dalam Madinah al-Fadhilah-nya atau utopia orang-orang sosialis yang mengangankan suatu masyarakat tanda perbedaan, tiada hak milik individu, tidak butuh polisi dan penjara. Syariat ini mengatur manusia dengan kemanusiaannya, sebagaimana ia diciptakan oleh Allah, dengan tubuhnya yang membumi dan jiwanya yang membumbung ke langit, dengnan perasaan-perasaannya, dorongan-dorogan untuk berbuat buruk dan potensi-potensi dalam dirinya untuk bertakwa.


Karakterisrik realistis yang ada pada sunnah terlihat jelas dari aturan-aturannya yang sangat manusiawi. Rasulullah saw sebagai sumber sunnah adalah juga manusia biasa, Allah SWT berfirman ;

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa."[Qs. Al-Kahfi (18) : 110]


Oleh karena itu sunnah sangat mengakomodasi sifat-sifat dasar manusia. Sunnah memaklumi sifat manusia yang semangat beragamanya fluktuatif.  Ketika beberapa sahabat Nabi menyangka mereka telah menjadi munafik karena ketika bersama beliau mereka benar-benar merasakan ketakutan terhadap siksa neraka namun ketika mereka telah kembali kepada keluarga masing-masing ketakutan itu pun pudar karena kebersamaan itu, Rasulullah saw bersabda kepada mereka ;

يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً. وَلَوْ كَانَتْ تَكُونُ قُلُوبُكُمْ كَمَا تَكُونُ عِنْدَ الذِّكْرِ، لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ، حَتَّىٰ تُسَلِّمَ عَلَيْكُمْ فِي الطُّرُقِ

“Wahai Hanzalah sedikit demi sedikit. Sekiranya kalian tetap dalam keadaan berzikir sebagaimana jika kalian di sisiku, maka kalian akan disalami oleh malaikat, hingga mereka mengucakan salam kepada kalian di jalan-jalan.”[HR Muslim]

Sunnah juga mengakomodir sikap manusia yang lemah, sehingga perkara-perkara yang di haramkan jauh lebih sedikit dari pada yang dibolehkan. Bahkan asal dari segala sesuatu adalah halal atau mubah kecuali jika ada dalil sahih dan tegas dari pembuat syariat yang menunjukan keharamnnya. Di samping itu, jika dalam keadaan darurat yang memaksa, maka perkara-perkara yang haram pun dihalalkan sekedar untuk menanggulangi kerterpaksaan itu dan menghindarkannya dari kebinasaan.


8. Taisir (kemudahan)

Kemudahan adalah salah satu karakteristik utama sunnah Rasulullah saw dan syariat Islam sebagai sistem yang dibangun di atasnya. Kemudahan ini adalah buah dari karakteistiknya yang realistis dan manusiawi. Di dalam sunnah ada banyak sekali contoh dan anjuran dari Rasulullah untuk mempermudah agama tentu saja dengan juga tidak memudah-mudahkannya. Ketika mengutus  Abu Musa dan Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda ;

يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا وَتَطَاوَعَا وَلَا تَخْتَلِفَا

“Mudahkanlah dan jangan persulit, gembirakanlah dan jangan buat orang-orang menjauh, saling tolong menolonglah dan jangan berselisih.”[HR Bukhari]

Kemudahan juga ditunjukan oleh adanya rukhsah atau keringanan yang ada pada amal-amal ibadah seperti bersuci, salat, puasa dan haji.  Semangat kemudahan yang ada pada sunnah ini lah –disamping dalil-dalil Al-Quran—yang diformulasikan oleh Al-Imām  asy-Syāfi’i menjadi salah satu dari  lima kaidah induk. Kaidah tersebut berbunyi ;

الْمَشَقَّةُ تَجْلُبُ التَّيْسِيرَ

“Kesukaran akan mendatangkan kemudahan .”


Karakteristik kemudahan yang ada pada sunnah terkadang diabaikan oleh orang-orang yang memahami sunnah dengan kecendrungan literalis. Mereka lebih memilih “kesulitan-kesulitan Ibn ‘Umar” dari pada “kemudahan-kemudahan Ibn ‘Abbas”. Jika dihadapkan kepada dua pilihan hukum mereka senantiasa memilih yang sulit.  

Padahal ‘Aisyah ra menjelaskan bahwa Rasulullah senantiasa memilih yang termudah dari dua pilihan, asalkan pilihan tersebut buka merupakan dosa, ‘Aisyah berkata ;

مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللّهِ بَيْنَ أَمْرَيْنِ، أَحَدُهُمَا أَيْسَرُ مِنَ الآخَرِ، إِلاَّ اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا. مَا لَمْ يَكُنْ إِثْماً فَإِنْ كَانَ إِثْماً، كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ.

“Rasulullah saw selalu memilih perkara yang paling mudah dari dua perkara. Dan jika hal itu memang dosa, maka beliaulah orang yang paling jauh dari dosa”[HR Muslim]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.