Jika ada manhaj tafsir yang berfokus pada riwayat dan atsar, dan ada pula yang berfokus pada dirayah dan perenungan pemikiran. Maka manhaj yang paling tepat adalah mensintesiskan antara riwayat dan dirayah, menyatukan antara manqul (dalil naql) yang sahih dan hasil pemikiran yang jelas, dan meracik antara warisan salaf dan pengetahuan kaum khalaf.
Inilah yang dijalankan oleh banyak imam tafsir, terutama adalah syekh mufasirin Ibnu Jarir ath-Thabari dalam mausuah (ensiklopedinya) tafsirnya Jamiul-Bayan fit-Tafsirul-Qur'an. Tidak tepat jika memasukkan ath-Thabari dalam kelompok penafsir riwayat atau tafsir matsur, karena jika dibaca tafsirnya akan didapatkan ia mengemukakan riwayat dan pendapat-pendapat kemudian mendiskusikannya, dan menjelaskan mana yang paling tepat, atau ia mengemukakan pendapat lain dalam memahami ayat Al-Qur'an.
Demikian yang dijelaskan Yusuf Qardhawi dalam bukunya Kaifa nata'amal maal quran, bahwa Ibnu Katsir, Qurthubi dan termasuk ulama mutaakhirin yaitu Imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani dalam Fathul-Qadir al-Jatni baina Fannai ar-Riwayak wad-Dirayah fit-Tafsir.
Dalam mukadimah tafsirnya, ia menjelaskan tentang manhaj yang ia pilih, dan menjelaskan karakteristiknya. Ia berkata bahwa mayoritas mufasir terbagi menjadi dua kelompok, dan mengikuti dua jalan: kelompok pertama, dalam tafsir mereka hanya memfokuskan diri pada riwayat, dan merasa cukup dengan mengangkat riwayat ini.
Kelompok kedua, memusatkan perhatiannya dalam menafsirkan Al-Qur'an pada pengertian yang diberikan oleh bahasa Arab, dan ilmu-ilmu teknis lainnya, dan tidak memberikan tempat bagi riwayat dengan baik, meskipun mereka mengutipnya, namun mereka tidak mengunggulkan-nya sama sekali.
Dua kelompok itu telah berjalan dengan benar, dan berusaha dengan baik, meskipun mereka mendirikan dang rumah karangan mereka di atas, serta meninggalkan hal-hal yang membuat tidak sempurnanya bangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.