Shalat dapat batal karena ada beberapa perbuatan yang dilakukan sebagai berikut:
1. Berbicara dengan sengaja
Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِى الصَّلاَةِ يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِى حَاجَتِهِ حَتَّى نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ ( حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ ) فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ
“Kami dahulu berbicara di dalam shalat, di antara kami ada yang membicarakan saudaranya mengenai hajatnya sampai turun firman Allah Ta’ala, “Jagalah shalat yang lima waktu dan shalat wustha (shalat ‘Ashar). Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS. Al-Baqarah: 238). Maka ketika itu kami diperintahkan untuk diam.” (HR. Bukhari no. 4534 dan Muslim no. 539)
Dari Mu’awiyah bin Hakam As-Sulamiy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya ketika ia menjawab ucapan orang yang bersin dengan menyebut “yarhamukallah” lalu orang-orang pada memandanginya,
إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَىْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
“Ingatlah shalat itu tidak pantas di dalamnya terdapat perkataan manusia. Shalat itu hanya tasbih, takbir dan bacaan Al-Qur’an.” (HR. Muslim no. 537)
2. Mendapati najis pada pakaian atau badan ketika shalat dan tidak segera dihilangkan
Yang dimaksud di sini adalah mendapati najis pada pakaian atau badan ketika shalat dan tidak segera dihilangkan. Ketika itu shalatnya batal. Karena ia tidak memenuhi syarat shalat yaitu bersihnya badan dan pakaian dari najis. (Al-Fiqhu Al-Manhaji, 1: 169)
Di antara dalil bahwa bersih dari najis merupakan syarat shalat adalah hadits berikut.
فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِى الصَّلاَةَ ، فَإِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّ
“Jika datang haidh, maka tinggalkanlah shalat. Jika darah haidh tersebut sudah berhenti, maka mandilah dari darah tersebut, lalu shalatlah.” (HR. Bukhari no. 306 dan Muslim no. 333). Kita sepakat bahwa darah haidh itu najis.
Dalil lain adalah,
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اِسْتَنْزِهُوا مِنْ اَلْبَوْلِ, فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ اَلْقَبْرِ مِنْهُ رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيّ وَلِلْحَاكِمِ: أَكْثَرُ عَذَابِ اَلْقَبْرِ مِنْ اَلْبَوْلِ وَهُوَ صَحِيحُ اَلْإِسْنَاد ِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersihkanlah diri dari kencing. Karena kebanyakan siksa kubur berasal dari bekas kencing tersebut.” Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, menghilangkan najis adalah di antara syarat sah shalat. Jika najis diketahui, maka tidak sah shalatnya. Jika dalam keadaan lupa atau tidak tahu kalau ada najis (mengenai badan atau pakaiannya, pen.), menurut madzhab Syafi’i tetap shalatnya tidak sah dan mesti diulang.
Namun menurut Imam Malik dalam salah satu pendapatnya, jika shalat dalam keadaan tahu ada najis (di badan atau pakaiannya, pen), shalatnya tidak sah. Jika dalam keadaan tidak tahu atau lupa, shalatnya sah. Pendapat ini juga menjadi pilihan Imam Syafi’i dalam pendapat beliau yang qadim. (Lihat Al-Majmu’, 3: 97)
Dalil dari pendapat terakhir di atas adalah hadits berikut.
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلاَتَهُ قَالَ « مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَائِكُمْ نِعَالَكُمْ ». قَالُوا رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ جِبْرِيلَ -صلى الله عليه وسلم- أَتَانِى فَأَخْبَرَنِى أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا ». وَقَالَ « إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِى نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا »
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan para sahabatnya, ketika itu beliau melepas sendalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya. Ketika jama’ah di belakang beliau melihat beliau melakukan seperti itu, mereka pun ikut melepas sendal mereka. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai dari shalatnya, beliau bersabda, “Apa yang membuat kalian melepaskan sendal kalian pula?” Mereka menjawab, “Kami melihat engkau melepas sendalmu, maka kami juga ikut melepasnya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Sesungguhnya Jibril tadi mendatangiku dan memberitahukanku bahwa di sendalku terdapat kotoran (najis).” Beliau juga bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka lihatlah sendalnya. Jika ia melihat ada najis atau kotoran di sendalnya tersebut, maka usaplah, lalu bolehlah shalat dengan sepasang sandal tersebut.” (HR. Abu Daud no. 650 dan Ahmad 3: 20. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
3. Terbuka aurat
Jika sebagian aurat terbuka ketika shalat dengan sengaja, batal shalatnya. Namun kalau tidak sengaja dan segera ditutup, shalatnya tidaklah batal. Sedangkan jika sudah mengetahui lantas tidak ditutup, shalatnya batal karena tidak terpenuhi syarat sah shalat. (Al-Fiqh Al-Manhaji, 1: 169)
Aurat dalam shalat bagi pria adalah antara pusar dan lutut. Tidak boleh nampak sama sekali bagian tersebut ketika shalat. Sedangkan batasan aurat dalam shalat bagi wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. (Al-Fiqh Al-Manhaji, 1: 125)
4. Makan dan minum
Ini termasuk pembatal karena bertentangan dengan maksud shalat.
Jika makan dan minum itu sengaja, walau itu sedikit, shalatnya batal. Jika tidak sengaja, bisa membatalkan jika dianggap banyak menurut ‘urf (anggapan kebiasaan, pen.). Dikatakan banyak jika ukurannya sebesar himmashah (jenis kacang). Karenanya jika ada makanan tersisa di sela-sela gigi kurang dari ukuran himmashah tersebut, lalu tertelan bersama dengan air liur, shalatnya tidak batal. (Al-Fiqh Al-Manhaji, 1: 170)
5. Berhadats sebelum salam yang pertama
Jika seseorang berhadats (misal: kentut, pen.) sebelum salam pertama dalam shalat, baik sengaja atau tidak, shalatnya batal karena gugurnya salah satu syarat shalat yaitu suci dari hadats. Dan ini terjadi sebelum rukun sempurna. Salam pertama adalah bagian dari rukun shalat, sedangkan salam kedua adalah bagian dari sunnah hay’ah dalam shalat. Adapun jika berhadats setelah salam pertama, namun sebelum salam kedua, shalat tersebut tetap sah. Perkara ini disepakati oleh para ulama kaum muslimin. (Al-Fiqh Al-Manhaji, 1: 170)
6. Berubah niat.
Patokannya, jika seseorang bertekad atau berniat keluar dari shalat atau keinginannya ingin bertemu dengan seseorang yang datang. Hanya sekedar keinginan seperti itu membatalkan shalat.
Hal ini bisa dihukumi membatalkan shalat, karena shalat mesti dengan niat yang jazim (pasti, tak ragu-ragu).
7. Berdiri sendirian di belakang jamaah shalat
وَعَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ )اَلْجُهَنِيِّ) رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي خَلْفَ اَلصَّفِّ وَحْدَهُ, فَأَمَرَهُ أَنْ يُعِيدَ اَلصَّلَاةَ. )
Dari Wabishoh Ibnu Ma'bad Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seseorang shalat di belakang shaf sendirian. Maka beliau menyuruhnya agar mengulangi shalatnya. (HR Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi).
8. Membelakangi kiblat.
Menghadap kiblat adalah di antara syarat sah shalat. Sehingga membelakanginya dihukumi membatalkan shalat.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 144)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada orang jelek shalat (musi’ shalatahu),
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ
“Jika engkau hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu lalu menghadaplah ke kiblat, kemudian bertakbirlah.” (HR. Bukhari no. 6251 dan Muslim no. 912)
9. Banyak Bergerak
Bergerak-gerak termasuk hal yang membatalkan shalat, karena perbuatan ini bertentangan dengan hakikat shalat. Syarat bergerak yang membatalkan shalat adalah banyak, berturut-turut, tidak dalam keadaan butuh. Syarat banyak menurut ulama Syafi’iyah adalah minimal tiga kali.
Namun pada intinya gerakan dalam shalat dibagi menjadi lima yaitu gerakan yang diwajibkan, gerakan yang diharamkan, gerakan yang dimakruhkan, gerakan yang disunnahkan, dan gerakan yang hukumnya mubah (boleh saja).
Gerakan yang diwajibkan, misalnya adalah ketika seorang yang sedang shalat memperhatikan di penutup kepalanya ada najis, maka ia bergerak untuk memindahkannya dan ia melepas penutup kepalanya tersebut.
Hal ini sebagaimana pernah terjadi pada Nabi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu datang malaikat Jibril sedangkan Nabi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang melaksanakan shalat berjama’ah dengan yang lainnya. Lalu Jibril memberitahukan bahwa di sendal beliau ada najis. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencopotnya sedangkan beliau sedang shalat dan beliau terus melanjutkan shalatnya. (HR. Abu Daud no. 650)
Contoh lainnya adalah ketika seseorang salah menghadap kiblat lalu ada yang mengingatkan, maka ia harus berpaling atau memutar badannya ke arah kiblat. Gerakan ini adalah wajib.
Gerakan yang diharamkan adalah gerakan yang memenuhi tiga syarat yaitu gerakannya banyak, berturut-turut, dan dilakukan bukan dalam keadaan darurat. Gerakan semacam ini adalah gerakan yang membatalkan shalat karena tidak boleh dilakukan saat itu. Perbuatan semacam ini termasuk mempermainkan ayat-ayat Allah.
Gerakan yang disunnahkan adalah gerakan untuk melakukan perbuatan yang hukumnya sunnah dalam shalat. Seperti misalnya seseorang ketika shalat bergerak untuk meluruskan shaf. Atau ia melihat ada tempat yang kosong di depannya, lalu ia bergerak maju ke depan untuk mengisi kekosongan. Perbuatan ini termasuk sunnah dalam shalat karena dalam rangka menyempurnakan shalat.
Dalil dari hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadits bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah shalat bersama Nabi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat itu, ia berdiri di sebelah kiri Nabi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik kepala Ibnu ‘Abbas dari belakangnya dan menjadikannya di sebelah kanan beliau. (Hadits Muttafaqun ‘alaih)
Gerakan yang dikatakan mubah (boleh) adalah gerakan yang sedikit karena ada hajat (butuh) atau gerakan yang banyak karena darurat. Contoh gerakan yang sedikit karena ada hajat adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat sambil menggending Umamah binti Abil ‘Ash, cucu Rasulullah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Zainab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kakeknya dari ibunya. Ketika itu beliau berdiri sambil menggendongnya dan ketika sujud beliau meletakknya. (HR. Bukhari no. 5996 dan Muslim no. 543)
Adapun gerakan yang mubah, banyak dan dalam kondisi darurat, contohnya adalah shalat dalam keadaan perang. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ* فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَاناً فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 238-239)
Shalat ketika perang itu bisa sambil berjalan. Orang yang shalat seperti ini tentu gerakannya banyak, namun seperti itu dibolehkan karena darurat.
Gerakan yang dimakruhkan adalah gerakan selain yang disebutkan di atas, yaitu hukum asal gerakan (di luar gerakan shalat), adalah dimakruhkan. Oleh karena itu, kita katakan pada orang yang bergerak sana-sini dalam shalat, gerakannya itu makruh, mengurangi kesempurnaan shalat.
Jadi jika ada yang melihat-lihat jam, menggaruk-garuk kepalanya, memegang hidungnya, menyentuh-nyentuh jenggotnya, atau semisal itu, ini asalnya hukumnya makruh. Kecuali jika gerakan tersebut terlampau banyak dan berturut-turut, maka itu bisa jadi membatalkan shalat.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa gerakan yang membatalkan shalat tidak bisa kita katakan bahwa jika melakukan sekian gerakan (dengan jumlah bilangan tertentu), maka shalatnya batal. Yang benar, tidak ada batasan jumlah gerakannya.
Pokoknya banyak gerakan adalah kuantitas banyak yang menafikan (membatalkan) shalat dan itu secara ‘urf (kebiasaan) dinilai sudah terlampau banyak. Jadi jika seseorang dalam shalat bergerak sana-sini, lalu orang-orang melihatnya, ini seakan-akan bukan orang yang sedang shalat karena saking banyaknya gerakan yang ia lakukan, maka shalatnya batal.
Sebagian ulama menyatakan gerakan yang membatalkan adalah jika minimal tiga kali gerakan. Menyatakan seperti ini tentu butuh dalil. Karena siapa saja yang membatasinya dengan bilangan tertentu atau cara tertentu, harus mendatangkan dalil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.