Berikut adalah tulisan yang sangat berbobor dari Rumahfiqih.com tentang "Tubuh Manusia dan Najis"*
Dalam bab ini kita akan membahas semua najis yang terkait dengan tubuh manusia, baik terkait dengan hukum tubuh manusia itu sendiri, ataupun juga benda-benda yang keluar dari dalam tubuh manusia.
A. Tubuh Manusia Tidak Najis
Tubuh manusia pada dasarnya adalah benda yang suci dan bukan merupakan benda najis. Dasarnya adalah firman Allah SWT :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. (QS. Al-Isra' : 70)
Para ulama ahli fiqih umumnya mengartikan maksud bahwa Allah SWT memuliakan anak-anak Adam bahwa tubuh manusia itu mulia, artinya hukum tubuh-tubuh manusia bukan termasuk benda najis. Maka hukum tubuh manusia itu adalah suci.
Ayat ini juga tidak membedakan agama yang dianut seorang anak Adam, apakah muslim ataukah kafir, apakah dia laki-laki atau wanita, apakah dia masih hidup atau sudah wafat.
1. Tubuh Orang Kafir
Yang menarik untuk dipertanyakan adalah bagaimana dengan hukum tubuh manusia yang agamanya bukan Islam, alias hukum tubuh orang kafir?
Apakah tubuh mereka juga suci dan tidak najis, ataukah mereka itu termasuk benda najis, sehingga kalau kita menyentuh kulit mereka, harus dicuci 7 kali salah satunya dengan tanah?
Pertanyaan ini semakin menarik untuk ditelaah lebih jauh, mengingat di dalam Al-Quran Al-Karim Allah SWT telah berfirman tentang hal yang menyangkut orang musyrik yang dikatakan najis.
إِنَّمَا المشْرِكونَ نَجَسٌ
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (QS. At-Taubah : 28)
a. Bukan Najis Fisik Tapi Aqidah
Dalam hal ini jumhur ulama berpendapat meski ada ayat di atas menyebutkan bahwa orang-orang musyrik itu najis, tetapi bukan berarti tubuh mereka najis. Ada dua alasan mengapa kita tidak mengambil ayat ini secara lahiriyah.
Pertama, para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud najis dalam ayat ini bukan secara najis secara fisik, melainkan najis secara kiasan, yaitu yang merupakan najis adalah aqidah mereka yang mereka yakini. Aqidah orang kafir yang menyekutukan Allah itulah yang hukumnya najis.[1]
Kedua, bahwa ayat di atas tidak terkait dengan najis secara hakiki atau ‘ain, melainkan secara hukmi. Najis hukmi maksudnya bukan najis, melainkan berhadats, baik hadats kecil maupun hadats besar.
Maksudnya tubuh orang tidak suci dari hadats kecil dan besar, karena mereka tidak berwudhu atau mandi janabah. Dan mereka memang tidak pernah melakukannya. Namun tubuh mereka bukan benda najis, yang apabila terkena pada badan kita harus dicuci.
b. Nabi SAW Menerima Bani Tsaqif di Dalam Masjid
Hujjah lainnya bahwa tubuh orang kafir itu tidak merupakan najis adalah ketika Nabi SAW menerima utusan dari Tsaqif yang nota-bene adalah orang kafir di dalam masjid.
عَنْ عُثْمَانَ ابْنِ أَبيِ العَاصِ t أَنْزَلَ النَّبِيُّ r وَفْدَ ثَقِيفٍ فيِ المَسْجِدِ
Dari Utsman bin Abil Ash radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW menerima utusan dari Tsaqif di dalam masjid (HR. Abu Daud)
c. Air Liur Orang Kafir Tidak Najis
Dalil yang ketiga bahwa tubuh orang kafir bukan termasuk benda najis adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap orang-orang kafir yang datang kepada beliau SAW dan Abu Bakar minum susu bersama-sama dengan orang kafir dari wadah yang sama.
أُتِيَ عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ بَعْضَهُ وَنَاوَل الْبَاقِيَ أَعْرَابِيًّا كَانَ عَلَى يَمِينِهِ فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَهُ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَشَرِبَ وَقَال : الأْيْمَنَ فَالأْيْمَنَ
Rasulullah SAW diberikan susu lalu beliau meminumnya sebagian lalu disodorkan sisanya itu kepada a’rabi (kafir) yang ada di sebelah kanannya dan dia meminumnya lalu disodorkan kepada Abu Bakar dan beliau pun meminumnya (dari wadah yang sama) lalu beliau berkata,’Ke kanan dan ke kanan’. (HR. Bukhari)
Kalau tubuh orang kafir itu najis, maka seharusnya beliau SAW tidak mau minum dari bekas mulut orang kafir.
d. Pandangan Keliru Aliran Sempalan
Ada aliran yang menyempal dari agama Islam semacam LDII dan yang lainnya. Mereka punya sikap aneh terhadap masalah kenajisan tubuh orang kafir.
Pertama : Mereka memandang bahwa orang-orang yang tidak ikut berbai'at kepada imam mereka, dipandang sebagai orang yang bukan muslim. Kedua : Mereka memandang bahwa karena bukan muslim, maka tubuh kita yang tidak ikut aliran mereka dianggap benda najis.
Sehingga apabila ada orang di luar jamaah mereka ikut numpang shalat di masjid yang mereka kuasai, sehabis shalat tempat itu langsung dicuci dan dipel dengan air. Alasannya karena tempat itu bekas orang kafir.
Dengan pandangan para fuqaha ini, maka apa sikap aliran sesat itu telah menyalahi dua hal sekaligus :
Pertama, mengkafirkan sesama muslim.
Bahwa semua orang yang tidak bersyahahadat ulang di depan imam mereka dianggap belum muslim, tentu sebuah aqidah yang keliru. Karena pada dasarnya setiap orang dilahirkan dalam keadaan muslim dan akan tetap menjadi muslim tanpa harus bersyahadat lagi.
Adapun syahadat hanya dibutuhkan ketika orang yang kafir mau masuk Islam. Sementara orang yang lahir dari ayah dan ibu yang muslim lalu tumbuh besar dan dewasa sebagai muslim tentu saja hukumnya muslim.
Kedua, menganggap orang kafir itu najis
Ini kesalahan mereka yang kedua. Padahal tidak ada satu pun pandangan ulama yang menyebutkan bahwa tubuh orang kafir itu najis. Dan semua hadits Nabi SAW di atas, seperti menerima utusan dari Tsagif yang notabene kafir, justru di dalam masjid, atau minum susunya Nabi SAW bersama-sama orang kafir, jelas sekali menjadi dasar tidak najisnya tubuh orang kafir.
2. Tubuh Orang Meninggal
Sedangkan tentang status tubuh manusia yang telah meninggal dunia, umumnya para ulama mengatakan hukumnya suci. Namun ada juga yang mengatakan sebaliknya, bahwa tubuh manusia yang telah meninggal dunia itu hukumnya najis.
a. Suci
Jumhur ulama seperti mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa jasad orang yang telah wafat itu suci dan bukan merupakan benda najis. Sehingga bila seseorang menyentuh jenazah, baik muslim atau kafir, hukumnya tidak mengapa, dalam arti tidak membatalkan wudhu’ dan juga tidak harus dicuci.
Dasar hujjahnya adalah pernyataan Rasululah SAW yang dengan tegas menyebutkan bahwa seorang muslim itu tidak najis.
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan kalau dikatakan tidak najis, maksudnya bukan hanya ketika masih hidup, melainkan juga ketika sudah meninggal. Hal itu terbukti bahwa Rasulullah SAW mencium jasad shahabatnya, Utsman bin Ma’dhzun radhiyallahuanhu, setelah meninggal dunia.
قَبَّلَ النَّبِيُّ r عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُون بَعْدَ المَوْتِ
Nabi SAW mencium Utsman bin Madhz’un radhiyallahuanhu setelah meninggal dunia. (HR. Tirmizy)
Dan kenyataannya Rasulullah SAW menshalatkan jenazah para shahabat di dalam masjid. Misalnya jasad Suhail bin Baidha’ radhiyallahuanhu.
Bila jasad manusia muslim dianggap najis, maka tentu tidak boleh kita bawa ke dalam masjid untuk dishalatkan. Sebab seharusnya masjid itu harus bebas dari benda-benda najis. Dengan dishalatkannya jenazah beliau di dalam masjid, hal itu menunjukkan bahwa jenazah seorang muslim hukumnya suci dan bukan najis.
b. Najis
Sedangkan dalam pandangan Al-Hanafiyah, Ibnu Sya'ban, Ibnu Abil Hakam, dan Iyadh, jenazah manusia muslim itu najis, sehingga disyariatkan pemandian jenazah untuk mensucikannya.
Demikian juga dengan jenazah orang kafir, dalam pandangan mereka hukumnya tetap najis dan tidak bisa disucikan dengan memandikannya.[2]
Namun bila telah dimandikan, maka hukumnya berubah kembali menjadi suci. Sehingga dalam hal ini, jasad seorang muslim akan menjadi suci, lantaran dimandikan. Sedangkan jasad orang kafir, karena tidak perlu dimandikan, maka hukumnya tetap najis.
3. Tubuh Wanita Yang Sedang Haidh
Yang najis dari tubuh wanita yang sedang haidh atau nifas semata-mata hanya darah yang keluar dari kemaluannya saja. Sedangkan bagian tubuh lainnya yang tidak terkena darah, tentu tidak termasuk benda najis. Sehingga bila seorang menyentuh tubuh wanita yang dalam keadaan haidh atau nifas, maka tidak membatalkan wudhu', dan juga tidak menularkan najis.
Bukti bahwa tubuh wanita yang sedang haidh tidak najis adalah ketika Rasulullah SAW minum dari bekas minum istri beliau yang sedang haidh. Kalau tubuh wanita yang sedang haidh dianggap nasjis, maka bekas mulutnya pun najis juga.
Wanita yang sedang haidh atau nifas bukan benda najis, namun secara hukum mereka tidak suci dari hadats besar. Sehingga mereka dilarang untuk mengerjakan ibadah tertentu yang mensyaratkan diri suci dari hadats besar.
4. Potongan Tubuh Manusia
Jumhur ulama umumnya mengatakan bahwa bagian tubuh manusia yang terlepas dari tubuhnya hukumnya bukan najis. Seperti orang yang mengalami amputasi, maka potongan tubuhnya bukan benda najis. Baik potongan tubuh itu terpisah pada saat masih hidup ataupun pada saat sudah meninggal dunia.[3]
Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa plasenta manusia itu najis, sesungguhnya bisa dikritisi. Mengingat bahwa plasenta itu bagian dari tubuh bayi sejak masih baru terbentuk menjadi janin. Dan ketika bayi itu lahir ke dunia, plasentanya pun ikut keluar juga.
Maka hukum plasenta bukan benda najis, sehingga kalau ada obat-obatan tertentu yang terbuat dari bahan plasenta manusia, hukumnya tidak najis.
Alasan tidak najisnya potongan tubuh manusia itu tidak najis karena dalam pandangan jumhur ulama, potongan tubuh manusia itu tetap dishalatkan. Dan kalau hukumnya harus dishalatkan, berarti dianggap bukan benda najis.
Namun pendapat yang berbeda kita temukan dalam pandangan Al-Qadhi dari Al-Hanabilah yang mengatakan bahwa potongan tubuh manusia itu tidak perlu dishalatkan. Karena potongan tubuh itu dianggap najis dalam pandangannya. [4]
Kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa plasenta itu najis, barangkali dasar tinjauan fiqih berangkat dari mazhab Al-Hanabilah ini.
B. Najis Yang Keluar Dari Tubuh Manusia
Tubuh manusia memang suci, baik manusia muslim atau kafir. Namun tidak demikian halnya dengan benda-benda yang keluar dari tubuh manusia, sebagiannya dan bukan semuanya, adalah benda-benda yang hukumnya najis.
Di antara sebagian benda yang keluar dari tubuh manusia dan hukumnya najis adalah darah, nanah, muntah, kotoran, air kecing, mani, mazi, wadi dan lai-lainnya.
1. Darah
Darah manusia itu najis hukumnya, yaitu darah yang mengalir keluar dalam jumlah yang besar dari dalam tubuh. Dan dasarnya adalah firman Allah SWT :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai dan darah (QS. An-Nahl : 115).
Selain itu juga ada hadits Nabi yang menyebutkan bahwa pakaian yang terkena darah dan benda-benda najis lainnya harus dicuci.
إِنَّمَا يُغْسَل الثَّوْبُ مِنَ الْمَنِيِّ وَالْبَوْل وَالدَّمِ
Dari Ammar bin Yasir radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya pakaian itu harus dicuci bila terkena mani, air kencing dan darah”. (HR. Ad-Daruquthny)
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ r فَقَالَتْ : أَرَأَيْتَ إِحْدَانَا تَحِيضُ فِي الثَّوْبِ كَيْفَ تَصْنَعُ ؟ قَال : " تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ وَتَنْضَحُهُ وَتُصَلِّي فِيهِ
Dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahuanha berkata bahwa ada seorang wanita mendatangi Nabi SAW dan bertanya,”Aku mendapati pakaian salah seorang kami terkena darah haidh, apa yang harus dia lakukan?”. Rasulullah SAW menjawab,” ia kupas dan lepaskan darah itu lalu ia kerok dengan ujung jari dan kuku sambil dibilas air kemudian ia cuci kemudian ia shalat dengannya”. (HR. Bukhari)
a. Bukan Najis : Darah Dalam Tubuh
Darah yang mengalir di dalam tubuh hukumnya tidak najis, yang najis adalah darah yang mengalir keluar dari tubuh, sebagaimana firman Allah SWT :
أَوْ دَماً مَسْفُوحًا
… atau darah yang mengalir. (QS. Al-An'am : 145)
Termasuk yang menjadi pengecualian adalah organ-organ yang terbentuk atau menjadi pusat berkumpulnya darah seperti hati, jantung dan limpa dan lainnya. Semua organ itu tidak termasuk najis, karena bukan berbentuk darah yang mengalir.
Maka orang yang menerima sumbangan donor darah dari luar, ketika darah itu masih berada di dalam kantung, hukumnya najis dan tidak boleh shalat sambil membawa kantung berisi darah. Tetapi bila darah itu sudah disuntikkan ke dalam tubuh seseorang, maka darah yang sudah masuk ke dalam tubuh itu tidak terhitung sebagai benda najis.
Kalau masih tetap dianggap najis, maka seluruh manusia pun pasti mengandung darah juga. Apakah tubuh manusia itu najis karena di dalamnya ada darahnya?
Jawabannya tentu saja tidak najis, karena darah yang najis hanyalah darah yang keluar dari tubuh seseorang.
b. Bukan Najis : Darah Syuhada’
Darah yang juga hukumnya bukan darah najis adalah darah yang mengalir keluar dari tubuh muslim yang mati syahid (syuhada’). Umumnya para ulama sepakat mengatakan bahwa darah orang yang mati syahid itu hukumnya tidak termasuk najis.
Dasar dari kesucian darah para syuhada adalah sabda Rasulullah SAW :
زَمِّلُوهُمْ بِدِمَائِهِمْ فَإِنَّهُ لَيْسَ كَلْمٌ يُكْلَمُ فِي اللَّهِ إِلاَّ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَدْمَى لَوْنُهُ لَوْنُ الدَّمِ وَرِيحُهُ رِيحُ الْمِسْكِ
Bungkuslah jasad mereka (syuhada’) sekalian dengan darah-darahnya juga. Sesungguhnya mereka akan datang di hari kiamat dengan berdarah-darah, warnanya warna darah namun aromanya seharum kesturi. (HR. An-Nasai dan Ahmad)
Namun para ulama mengatakan darah syuhada yang suci itu hanya bila darah itu masih menempel di tubuh mereka. Sedangkan bila darah itu terlepas atau tercecer dari tubuh, hukumnya tetap hukum darah seperti umumnya, yaitu najis.
c. Bukan Najis : Darah Yang Dimaafkan
Para ulama juga mengenal istilah kenajisan darah yang dimaafkan. Artinya meskipun wujudnya memang darah, namun karena jumlahnya sedikit sekali, kenajisannya dianggap tidak berlaku.
Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan dari sedikitnya darah yang dimaafkan kenajisannya itu.
Al-Hanafiyah
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa batasannya adalah darah itu tidak terlalu besar mengalir ke luar tubuh melebihi lebarnya lubang tempat keluarnya darah itu.
Mazhab ini juga memaafkan najis darah dari kecoak dan kutu busuk, karena dianggap sulit seseorang untuk bisa terhindar dari keduanya.[5]
Terkait dengan darah, hewan air atau hewan yang hidup di laut yang keluar darah dari tubuhnya secara banyak tidak najis. Hal itu disebabkan karena ikan itu hukumnya tidak najis meski sudah mati.
Al-Malikiyah
Dalam pandangan mazhab Al-Malikiyah, darah yang kenajisannya dimaafkan adalah darah yang keluar dari tubuh, tapi ukurannya tidak melebihi ukuran uang dirham, bila terlepas dari tubuh. [6]
Asy-Syafi’iyah
Mazhab Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa darah yang kenajisannya dimaafkan adalah darah yang jumlahnya sangat sedikit. Namun mazhab ini tidak menyebutkan ukurannya secara tepat. Ukurannya menurut ‘urf masing-masing saja.
Selain itu yang juga termasuk dimaafkan adalah darah yang keluar dari tubuh seseorang karena lecet atau sisa pengeluaran darah dalam donor darah. Demikian juga darah kecoak dan kutu busuk, termasuk yang dimaafkan. Juga darah yang tidak nampak oleh mata kita, bila terjadi pendarahan pada bagian tubuh tertentu, termasuk yang dimaafkan.[7]
2. Muntah
a. Dalil
Hadits yang menyebutkan bahwa muntah itu najis adalah hadits berikut ini :
يَا عَمَّارُ إِنَّمَا يُغْسَلُ الثَّوْبُ مِنْ خَمْسٍ مِنَ الْغَائِطِ وَالْبَوْلِ وَالْقَىْءِ وَالدَّمِ وَالْمَنِىِّ
Wahai Ammar sesungguhnya pakaian itu dicuci oleh sebab salah satu dari 5 hal : kotoran air kencing muntah darah dan mani. (HR. Ad-Daruquthny)
b. Pandangan Ulama
Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanbilah mengatakan bahwa muntah, air kencing dan kotoran manusia adalah benda-benda yang najis. Dasarnya karena muntah adalah makanan yang telah berubah di dalam perut menjadi sesuatu yang kotor dan rusak. [8]
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa muntah itu najis manakala memenuhi mulut dalam jumlah yang besar. Sedangkan bila tidak seperti itu hukumnya tetap tidak najis. Ini adalah pendapat yang dipilih dari Abu Yusuf.[9]
Al-Malikiyah mengatakan bahwa muntah itu najis bila telah berubah dari makanan menjadi sesuatu yang lain. [10]
3. Kotoran dan Kencing
Kotoran manusia dan air kencing (urine) adalah benda yang najis menurut jumhur ulama. Abu Hanifah mengatakan kotoran manusia termasuk najis ghalizhah (najis berat). Sementara Abu Yusuf dan Muhammad mengatakan najis ringan (khafifah).
Dasarnya kenajisan kotoran (tinja) adalah sabda Rasulullah saw. :
عن ابْنِ مَسْعُودٍ t إِنَّ النَّبِيَّ r طَلَبَ مِنْهُ أَحْجَارَ الاِسْتِنْجَاءِ فَأَتَى بِحَجَرَيْنِ وَرَوْثَةٍ فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَرَمَى بِالرَّوْثَةِ وَقَال : هَذَا رِكْسٌ
Nabi SAW meminta kepada Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu sebuah batu untuk istinja’, namun diberikan dua batu dan sebuah lagi yang terbuat dari kotoran (tahi). Maka beliau mengambil kedua batu itu dan membuang tahi dan berkata,"Yang ini najis". (HR. Bukhari)
Selain itu juga ada dalil dari hadits yang lain dimana disebutkan bahwa kotoran manusia harus dicuci dari baju.
إِنَّمَا يُغْسَل الثَّوْبُ مِنْ خَمْسٍ : مِنَ الْغَائِطِ وَالْبَوْل وَالْقَيْءِ وَالدَّمِ وَالْمَنِيِّ
Baju itu dicuci dari kotoran, kencing, muntah, darah, dan mani. (HR. Al-Baihaqi dan Ad-Daruquthny) [11]
4. Nanah
Nanah adalah najis dan bila seseorang terkena nanah, baik pada badan, pakaian atau tempat shalat, maka harus dicuci bekas nanahnya itu, sebelum dibolehkan untuk melakukan ibadah yang mensyaratkan kesucian (wudhu’ atau mandi).
Nanah adalah najis karena terbentuk dari darah yang mengalami kerusakan.
5. Mazi dan Wadi
Mazi adalah cairan bening yang keluar keluar dari kemaluan laki-laki, akibat percumbuan atau hayalan. Mazi itu bening dan biasa keluar sesaat sebelum mani keluar. Dan keluarnya tidak deras atau tidak memancar.
Mazi berbeda dengan mani yaitu bahwa keluarnya mani diiringi dengan lazzah atau kenikmatan (ejakulasi) sedangkan mazi tidak.
Wadi adalah cairan yang kental berwarna putih yang keluar akibat efek dari air kencing.
C. Bukan Najis Yang Keluar Dari Tubuh Manusia
Pada bagian ini kita akan membahas tentang benda-benda yang sumbernya berasal dari dalam tubuh manusia, namun hukumnya bukan termasuk benda najis.
Di antara benda-benda itu adalah air liur, dahak, air mata dan seterusnya.
1. Air Liur
Air liur manusia pada dasarnya bukan benda najis. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa tubuh manusia itu tidak najis, baik laki-laki ataupun wanita, meski pun wanita itu sedang mendapatkan haidh, nifas atau istihadhah. Demikian juga dengan orang yang sedang dalam keadaan junub, tubuhnya tidak termasuk najis, walau pun hukumnya berhadats besar.
Sebab pada dasarnya tubuh manusia itu suci. Dasar kesucian tubuh orang yang sedang junub atau haidh adalah hadits berikut ini :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : كُنْتُ أَشْرَبُ وَأَنَا حَائِضٌ ثُمَّ أُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ rفَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِي فَيَشْرَبُ
Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata,’Aku minum dalam keadaan haidh lalu Aku sodorkan minumku itu kepada Rasulullah SAW. Beliau meletakkan mulutnya pada bekas mulutku. (HR. Muslim)
Kalau tubuh manusia itu tidak najis, baik muslim atau kafir, maka air liur atau bekas minum manusia itu juga tetap suci dan tidak merupakan najis. Sebab tubuh orang kafir itu tetap suci meski dia tidak beriman kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Kalau pun ada ungkapan bahwa orang kafir itu najis, maka yang dimaksud dengan najis adalah secara maknawi bukan secara zahir atau jasadi. Seringkali orang salah mengerti dalam memahami ayat Al-Quran Al-Karim berikut ini :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis maka janganlah mereka mendekati masjidi al-haram sesudah tahun ini. (QS. At-Taubah : 28)
Dahulu orang-orang kafir yang datang kepada Rasulullah SAW bercampur-baur dengan umat Islam, bahkan ada yang masuk ke dalam masjid. Namun tidak pernah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan untuk membersihkan bekas sisa orang kafir.
Juga ada hadits Abu Bakar berikut ini :
أُتِيَ عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ بَعْضَهُ وَنَاوَل الْبَاقِيَ أَعْرَابِيًّا كَانَ عَلَى يَمِينِهِ فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَهُ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَشَرِبَ وَقَال : الأْيْمَنَ فَالأْيْمَنَ
Rasulullah SAW diberikan susu lalu beliau meminumnya sebagian lalu disodorkan sisanya itu kepada a’rabi (kafir) yang ada di sebelah kanannya dan dia meminumnya lalu disodorkan kepada Abu Bakar dan beliau pun meminumnya (dari wadah yang sama) lalu beliau berkata’Ke kanan dan ke kanan’. (HR. Bukhari)
Tentu dengan pengecualian bahwa bila seseorang sehabis meminum khamar, maka hukum ludah atau su’runya menjadi haram. Karena umumnya ulama menganggap bahwa khamar itu selain haram diminum juga hukumnya najis.
2. Dahak
Dahak adalah lendir yang keluar dari kerongkongan atau dari jalan pernapasan. Dahak tidak termasuk najis, meski keluar dari tubuh manusia. Ketidak-najisan dahak terbukti ketika Rasulullah SAW menyekanya dengan ujung selendangnya, dimana hal itu Beliau SAW lakukan pada saat sedang mengerjakan ibadah shalat.
أنَّ رَسُول اللَّهِ r أَخَذَ النُّخَامَةَ - وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ - بِطَرَفِ رِدَائِهِ
Rasulullah SAW menyeka dahak ketika shalat dengan ujung selendang beliau. (HR. Bukhari)
Beliau juga tidak melarang orang membuang dahaknya ke bajunya sendiri pada saat shalat.
إِذَا تَنَخَّمَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَتَنَخَّمَنَّ قِبَل وَجْهِهِ وَلاَ عَنْ يَمِينِهِ وَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ الْيُسْرَى
Jika kalian ingin meludah (membuang dahak), janganlah meludah ke depan atau ke sebelah kanan. Namun meludahlah ke sebe kiri atau ke bawah kakinya.(HR. Bukhari Muslim)
Itu berarti, dahak bukan najis. Sebab kalau dahak itu najis, maka seharusnya shalatnya batal.
Namun para ulama sepakat meski tidak najis, dahak termasuk kategori benda-benda yang kotor dan tidak layak berada di tempat shalat, khususnya masjid. Rasulullah SAW bersabda :
الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا
Membuang dahak di dalam masjid adalah sebuah kesalahan. Dan tebusannya adalah dengan memendamnya. (HR. Bukhari Muslim)
3. Ingus
Mirip dengan dahak, yang juga bukan termasuk benda najis adalah ingus. Ingus adalah air lendir yang keluar dari lubang hidung. Biasanya orang yang sedang pilek atau sakit influenza, hidungnya akan mengeluarkan ingus, atau tersumbat dengan ingus di dalam hidungnya.
Para ulama mengatakan bahwa hukum ingus sama dengan dahak dan ludah, yaitu termasuk benda kotor tapi tidak najis.
4. Air Susu Manusia
Air susu yang keluar dari manusia, baik laki-laki ataupun perempuan, hukumnya adalah suci dan bukan termasuk benda najis.
Maka air susu bila terkena badan, pakaian atau tempat shalat, tidak menjadi halangan buat mengerjakan shalat dan ibadah-ibadah yang lainnya.
Dan karena tidak najis, maka tidak dilarang untuk memperjual-belikan air susu, baik dengan cara langsung disusukan kepada bayi, ataupun dengan cara diperas dan dikemas sedemikian rupa sehingga awet bisa diminum pada waktu lain.
Rasulullah SAW adalah salah satu pelaku dalam urusan ini, dimana ketika masih bayi, ada budaya bangsa Arab khususnya orang-orang Quraisy penduduk Mekkah terbiasa meminta jasa para wanita dari luar Mekkah untuk menyusukan anak mereka dengan memberikan imbalan harta.
Setiap tahun ada di Mekkah ada bursa jasa penyusuan bayi, dimana para wanita dari luar Mekkah berdatangan untuk bernegosiasi dengan para orang tua yang punya anak bayi dalam urusan jasa penyusuan bayi mereka. Untuk itu, ada jasa dan biaya yang disepakati.
Dan Rasulullah SAW termasuk salah satu dari bayi-bayi yang disusukan itu. Pertama kali beliau disusui oleh Tsuwaibah Al-Aslamiyah. Dan kedua beliau disusui oleh Halimah As-Sa’diyah dari Bani Saad.
5. Air Mata dan Keringat
Air yang keluar dari kedua kelopak mata manusia bukan termasuk benda najis. Demikian juga keringat yang keluar dari pori-pori tubuh, bukan termasuk benda najis.
Meski pun air mata dan keringat itu keluar dari tubuh seorang yang beragama non-Islam. Sebab pada dasarnya tubuh manusia, baik muslim atau kafir, adalah benda yang suci.
6. Kuku dan Rambut
Kuku dan rambut manusia bukan termasuk benda najis. Maka bila kuku dan rambut manusia terkena pada badan, pakaian atau tempat shalat, tidak menjadi halangan dalam mengerjakan ibadah.
Namun disunnahkan bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan untuk memotong kukunya. Alasannya bukan karena najis, namun karena kuku yang panjang akan mudah dijadikan tempat bersarangnya kuman-kuman. Meski pun dalam hal ini, seseorang selalu membersihkan kukunya.
خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ : الاِسْتِحْدَادُ وَالْخِتَانُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ
Dari Abu Hurairah Ra. ia berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: lima dari fitrah: memotong bulu kemaluan, khitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku (HR. Jama'ah)
5. Janin
Seluruh ulama sepakat bahwa janin yang ada di dalam perut seorang wanita, apabila telah lahir, bukan termasuk benda najis.
Baik janin itu keluar dalam keadaan hidup ataupun dalam keadaan mati. Asalkan sudah berbentuk manusia, maka bukan termasuk benda najis menurut kesepakatan para ulama.
6. Bayi
Tidak semua benda yang keluar dari tubuh manusia hukumnya najis. Ada beberapa benda yang keluar lewat kemaluan manusia, tetapi disepakati hukumnya tidak najis, yaitu bayi.
Normalnya bayi adalah manusia yang keluar lewat kemaluan seorang wanita. Namun berbeda dengan semua benda yang keluar dari kemaluan yang umumnya hukumnya najis, bayi adalah pengecualian.
D. Keluar Dari Tubuh Manusia & Diperselisihkan
Ada beberapa benda yang keluar dari tubuh manusia yang hukumnya diperselisihkan oleh para ulama secara tajam, apakah termasuk benda najis ataukah benda suci.
Yang dimaksud dari benda-benda itu tidak lain adalah segala yang terkait dengan proses kelahiran bayi, yaitu air mani (sperma), 'alaqah, hingga mudhghah.
Istilah-istilah itu memang disebutkan di dalam Al-Quran Al-Karim :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإْنْسَانَ مِنْ سُلاَلَةٍ مِنْ طِينٍ ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (QS. Al-Mu'minun : 12-14)
1. Air Mani
Para ulama memang berbeda pendapat tentang hukum najisnya air mani. Umumnya para ulama mengatakan bahwa air mani itu termasuk benda najis, namun sebagian lagi menetapkan bahwa air mani bukan benda najis.
a. Jumhur Ulama : Najis
Jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa air mani itu hukumnya najis. [12]
Dasar bahwa air mani itu najis adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahuanha, dimana beliau mencuci bekas sisa air mani Rasulullah SAW yang telah mengering di pakaian beliau.
كُنْتُ أَغْسِل الْجَنَابَةَ مِنْ ثَوْبِ النَّبِيِّ r فَيَخْرُجُ إِلَى الصَّلاَةِ وَإِنْ بَقَّعَ الْمَاءُ فِي ثَوْبِهِ
Aku mencuci bekas air mani pada pakaian Rasulullah SAW, lalu beliau keluar untuk shalat meski pun masih ada bekas pada bajunya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu juga ada atsar dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu, dimana beliau berfatwa :
إِنْ رَأَيْتَهُ فَاغْسِلْهُ وَإِلاَّ فَاغْسِل الثَّوْبَ كُلَّهُ
Kalau kamu melihat air mani maka cucilah bagian yang terkena saja, tetapi kalau tidak terlihat, cucilah baju itu seluruhnya.
Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu juga berpendapat bahwa air mani itu najis. Beliau mengatakan bahwa air mani itu sederajat dengan air kencing yang hukumnya najis. [13]
Al-Malikiyah mengatakan bahwa air mani itu najis karena mereka mengatakan bahwa asal muasal air mani itu adalah darah yang juga najis. Lalu darah itu mengalami istihalah (perubahan wujud) sehingga menjadi mani, namun hukumnya tetap ikut asalnya, yaitu najis.[14]
b. Mazhab Asy-Syafi’iyah : Tidak Najis
Sedangkan mazhab Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa meski semua benda yang keluar dari kemaluan depan atau belakang itu najis, tetapi air mani dan turunannya adalah pengecualian.
Apa yang dikatakan itu bukan tanpa dasar, sebab kita menemukan bahwa Rasulullah SAW sendiri yang mengatakan bahwa mani itu tidak najis.
إِنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الْبُصَاقِ أَوِ الْمُخَاطِ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَمْسَحَهُ بِخِرْقَةٍ أَوْ إِذْخِرٍ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang hukum air mani yang terkena pakaian. Beliau SAW menjawab,"Air mani itu hukumnya seperti dahak atau lendir, cukup bagi kamu untuk mengelapnya dengan kain. (HR. Al-Baihaqi)
Dahak dan lendir bukan merupakan benda najis, meski pun menjijikkan buat sebagian orang. Dan karena air mani disetarakan dengan dahak dan lendir, maka otomatis kedudukan air mani bukan benda najis.
Selain dalil di atas, mazhab Asy-Syafi'iyah juga berdalil dengan hadits shahih berikut ini :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا كَانَتْ تَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُول اللَّهِ r ثُمَّ يُصَلِّي فِيهِ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa beliau mengerik bekas air mani Rasulullah SAW yang telah kering dan beliau SAW shalat dengan mengenakan baju itu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dilakukan oleh Aisyah bukan mencuci baju tetapi mengerik bekas air mani yang telah kering. Tentu saja kalau hanya dikerik tidak akan membuat air mani itu hilang sepenuhnya.
Dan kalau sampai Nabi SAW shalat dengan mengenakan baju yang masih ada bekas maninya, hal itu menunjukkan bahwa sesungguhnya air mani itu tidak najis.[15]
2. 'Alaqah
'Alaqah (علقة) adalah darah yang berada di dalam rahim seorang wanita, belum menjadi janin apalagi bayi. Secara fisik masih berupa darah, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن مُّضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan , maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna. (QS. Al-Hajj : 55)
Selama masih dalam bentuk darah yang beku, atau disebut dengan 'alaqah (علقة), para ulama berbeda pendapat.
Mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa gumpalan darah yang merupakan bakal janin yang masih muda, apabila keluar dari rahim maka hukumnya termasuk benda najis. Alasannya karena pada hakikatnya belum bisa disebut sebagai janin apalagi bayi, tetapi masih 100% darah yang menggumpal.
Sedangkan mazhab Al-Hanabilah mengatakan bahwa 'alaqah tidak termasuk benda najis. Alasannya karena 'alaqah bukan sembarang darah, melainkan benda hidup yang masih dalam tahap awal proses pembentukan manusia.[16]
3. Mudhghah
Mudhghah (مضغة) adalah gumpalan daging yang asalnya terbuat dari gumpalan darah atau 'alaqah. Mudhghah terdapat di dalam rahim seorang wanita, sebagai bakal calon janin atau bayi.
Sama dengan 'alaqah, kenajisan mudhghah ini pun menjadi perselisihan di antara para ulama, antara mereka yang menyebutnya najis dan yang tidak.
a. Jumhur Ulama : Najis
Jumhur ulama terdiri dari Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah umumnya sepakat mengatakan bahwa mudhghah hukumnya najis. [17]
b. Mazhab Asy-Syafi'iyah : Tidak Najis
Sedangkan Mazhab Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa mudhghah itu bukan benda najis.
Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnul Humam yang sebenarnya ulama dari mazhab Al-Hanafiyah. Berbeda dengan pendapat mazhabnya, beliau malah mengatakan bahwa mudhghah bila sudah bukan lagi gumpalan darah sudah bukan benda najis lagi. Karena sudah menjadi daging atau gumpalan daging.[18]
Sedangkan Ibnu Abdin mengatakan bahwa hukumnya musykil, atau tidak jelas.
Referensi:
[1] Al-Iqna' li asy-syarbini al-khatib jilid 1 hal. 30
[2] Hasyiyah Ibnu Abdin jilid 1 hal. 141
[3] Maraqi Al-Falah hal. 49
[4] Al-Mughni libni Qudamah jilid 1 hal. 45-46
[5] Al-Ikhtiyar Syarah Al-Mukhtar, jilid 1 hal. 30-31
[6] Al-Kharasyi ala Mukhtashar Khalil, jilid 1 hal. 87
[7] Al-Iqna’ li Asy-Syarbini Al-Khatib, jilid 1 hal. 82-83
[8] Al-Muhadzdzab jilid 1 hal. 53-54, Minhajut-thalibin jilid 1 hal. 70, Al-Mughni jilid 1 hal. 175-176
[9] Fathul Qadir jilid 1 hal. 141, Maraqi Al-Falah hal. 16-18
[10] Hasyiyatu Ad-Dasuqi jilid 1 hal. 151, Jawahirul Iklil jilid 1 hal. 191
[11] Sebagian ulama mendhaifkan hadis ini, di antaranya Ibnu Hajar Al-Asqalani.
[12] Hasyiyatu Ibnu Abdin jilid 1 hal. 208
[13] Al-Binayah alal Hidayah jilid 1 hal. 722
[14] Hasyiyatu Ad-Dasuki jilid 1 hal. 51
[15] Mughni Al-Muhtaj jilid 1 hal. 79-80
[16] Hasyiyatu Ibnu Abdin, jilid 1 hal. 226
[17] Al-Bahru Ar-Raiq, jilid 1 hal. 236
[18] Mughni Al-Muhtaj, jlid 1 hal. 181
*Sumber tulisan disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.