Menghadap kiblat

 


Saat berdiri badan menghadap kiblat (Ka’bah). Hal ini berdasar ayat dan hadits berikut.

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاء فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

”Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Al Baqarah 2:144)


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  فِيْ حَدِيْثٍ يَأْتِيْ ذِكْرُهُ – قَالَ : النَّبِيُّ . فَإِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوْئَ ثٌّمَ اسْتَقْبَلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّر. رواه البخاري و مسلم

Dari Abu Hurairah RA, telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ”Apabila kamu berdiri hendak shalat, maka sempurnakanlah wudhu’, lalu menghadaplah ke kiblat lalu takbirlah”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Terdapat keringanan untuk shalat sunnah yaitu boleh dilakukan walau tanpa menghadap kiblat. Shalat tetap sah dengan menghadap ke arah dimana kendaaraan tersebut melaju. Hal ini karena memang Rasulullah SAW sendiri pernah melaksanakan shalat sunnah diatas kendaraan dan menghadap kearah dimana untanya berjalanan.

Imam Muslim meriwayatkan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ

“Bahwa Rasulullah SAW pernah shalat diatas untanya sesuai dengan arah untanya menghadap” (HR. Ahmad)


Dalam riwayat lainnya, sahabat Jabir menceritakan:

عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَنِي فِي حَاجَةٍ، فَرَجَعْتُ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ، وَوَجْهُهُ عَلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: «إِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي أَنْ أَرُدَّ عَلَيْكَ إِلَّا أَنِّي كُنْتُ أُصَلِّي

“Kami pernah bersama Rasulullah SAW, lalu beliau mengutus saya untuk sebuah keperluan. Ketika saya kembali, Rasulullah SAW sedang shalat di atas kendaraan, dan wajahnya tidak menghadap kiblat, maka saya memberikan salam kepadanya, namun beliau tidak membalas salam saya, dan ketika telah selesai barulah Rasulullah SAW berkata: “Sebenarnya tidak ada yang menghalangi saya untuk menjawab salammu, namun tadi saya sedang shalat” (HR. Muslim)

Kebolehan untuk tidak menghadap kiblat juga beraku untuk shalat khauf, yaitu shalat yang dikerjakan dalam keadaan takut karena peperangan. Dalam kitab-kitab fiqih dijelaskan bagaimana caranya shalat dalam peperangan, shalat ini punya caranya tersendiri, namun yang jelas megerjakan shalat dalam keadaan terseut tidak mengharuskan menghadap kiblat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.