Waktu-Waktu Shalat*
A. Shalat Pada Waktunya
Shalat fardhu hanya sah dan boleh dikerjakan pada waktu-waktu yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT. Bila shalat itu dikerjakan di luar waktu yang telah ditetapkan dengan sengaja, tanpa udzur syar'i, maka hukumnya tidak sah.
Semua itu dengan pengecualian, yaitu bila ada uzur tertentu yang memang secara syariah bisa diterima. Seperti mengerjakan shalat dengan dijama' pada waktu shalat lainnya. Atau shalat buat orang yang terlupa atau tertidur, maka pada saat sadar dan mengetahui ada shalat yang luput, dia wajib mengerjakannya meski sudah keluar dari waktunya.
Adapun bila mengerjakan shalat di luar waktunya dengan sengaja dan di luar ketentuan yang dibenarkan syariat, maka shalat itu menjadi tidak sah.
Dalam hal keharusan melakukan shalat pada waktunya, Allah SWT telah berfirman dalam Al-Quran :
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa : 103)
1. Dalil Waktu Shalat
Di dalam Al-Quran sesungguhnya sudah ada sekilas tentang penjelasan waktu-waktu shalat fardhu, meski tidak terlalu jelas diskripsinya. Namun paling tidak ada tiga ayat di dalam Al-Quran yang membicarakan waktu-waktu shalat secara global.
وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ
Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang dan pada bahagian permulaan malam. (QS. Huud : 114)
Menurut para mufassirin, di ayat ini disebutkan waktu shalat, yaitu kedua tepi siang, yaitu shalat shubuh dan ashar. Dan pada bahagian permulaan malam, yaitu Maghrib dan Isya'.
أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan Qur'anal fajri. Sesungguhnya Qur'anal fajri itu disaksikan (QS. Al-Isra' : 78)
Menurut para mufassrin, di dalam ayat ini disebutkan waktu shalat yaitu sesudah matahari tergelincir, yaitu waktu untuk shalat Zhuhur dan Ashar. Sedangkan gelap malam adalah shalat Maghrib dan Isya' dan qur'anal fajri yaitu shalat shubuh.
Namun yang lebih spesifik menegaskan waktu-waktu shalat yang lima waktu adalah hadits-hadits Rasululah SAW yang shahih dan qath'i. Tidak kalah qath'inya dengan dalil-dalil dari Al-Quran Al-Kariem. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini :
عَن جَابِرِ ْبنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ النَّبِيَّ rجَاءَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمِ فَقَالَ لَهُ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ الظُّهْرَ حَتىَّ زَالَتِ الشَّمْسُ ثُمَّ جَاءَهُ العَصْرُ فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ العَصرِ حِيْنَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ ثُمَّ جَاءَهُ المَغْرِبُ فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ المَغْرِبَ حِيْنَ وَجَبَتِ الشَّمْسُ ثُمَّ جَاءَهُ العِشَاءُ فَقَالَ : قُمْ فَصَلهِِّ فَصَلىَّ العِشَاءُ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ ثُمَّ جَاءَهُ الفَجْرُ حِيْنَ بَرِقَ الفَجْرُ –أَوْ قَالَ حِيْنَ طَلَعَ الفَجْرُ - فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ الصُّبْحَ حِيْنَ بَرِقَ الفَجْرُ.
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi SAW didatangi oleh Jibril ‘alaihissalam dan berkata kepadanya,
"Bangunlah dan lakukan shalat". Maka beliau melakukan shalat Zhuhur ketika matahari tergelincir.
Kemudian waktu Ashar menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan shalat". Maka beliau SAW melakukan shalat Ashar ketika panjang bayangan segala benda sama dengan panjang benda itu.
Kemudian waktu Maghrib menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan shalat". Maka beliau SAW melakukan shalat Maghrib ketika mayahari terbenam.
Kemudian waktu Isya' menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan shalat". Maka beliau SAW melakukan shalat Isya' ketika syafaq (mega merah) menghilang.
Kemudian waktu Shubuh menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan shalat". Maka beliau SAW melakukan shalat Shubuh ketika waktu fajar menjelang. (HR. Ahmad, Nasai dan Tirmizy)
Di dalam kitab Nailul Authar karya Al-Imam Asy-Syaukani disebutkan bahwa Al-Bukhari mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang waktu-waktu shalat. Hadits ini berbicara tentang Jibril yang shalat menjadi imam bagi Nabi SAW.
Selain itu ada hadits lainnya yang juga menjelaskan tentang waktu-waktu shalat. Salah satunya adalah hadits berikut ini :
لاَ تَزَالُ أُمَّتِي عَلَى الفِطْرَةِ مَا صَلُّوا المَغْرِبَ قَبْلَ طُلُوْعِ النُّجُوْمِ
Dari As-Saib bin Amir radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW bersabda,"Ummatku selalu berada dalam kebaikan atau dalam fithrah selama tidak terlambat melakukan shalat Maghrib, yaitu sampai muncul bintang".(HR. Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak)
2. Waktu Shalat Dalam Fiqih
Dari isyarat dalam Al-Quran serta keterangan yang lebih jelas dari hadits-hadits nabawi, para ulama kemudian menyusun tulisan dan karya ilmiah untuk lebih jauh mendiskripsikan apa yang mereka pahami dari nash-nash itu.
B. Waktu Shalat Wajib
Lima waktu shalat fardhu biasanya disebutkan dengan urutan : Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Shubuh.
Yang menjadi pertanyaan adalah : kenapa urutannya dimulai dengan waktu Zhuhur? Kenapa bukan dimulai dari waktu Shubuh? Bukankah kita memulai hari dari kita bangun tidur dan shalat yang pertama kali kita lakukan adalah shalat Shubuh?
Ada juga yang bertanya, kenapa juga bukan dimulai dari waktu Isya’? Karena ada sebagian kalangan yang membuat singkatan urutan waktu shalat Isya, Subuh, Lohor, Asar, Maghrib menjadi I-S-L-A-M. Padahal yang benar adalah Zhuhur, bukan Lohor.
Dasar yang digunakan para ulama dalam membuat urutan itu adalah berdasarkan urutan pensyariatannya. Ketika Rasulullah SAW menerima perintah shalat 5 waktu di malam mi’raj beliau, Allah SWT belum mendiskripsikan shalat apa saja yang harus dikerjakan. Juga belum ada penjelasan tentang nama-nama shalat serta kapan waktu yang ditetapkan untuk shalat-shalat itu. Seusai mi’raj, beliau SAW pulang ke rumah tanpa membawa detail rincian shalat.
Barulah keesokan harinya, ketika matahari berada di atas kepala, datanglah malaikat Jibril ‘alaihissam kepada beliau dan mulai menjelaskan shalat apa saja yang harus dikerjakan, beserta waktu yang ditentukan. Dan shalat yang pertama kali dijelaskan dan dikerjakan adalah mulai dari Shalat Zhuhur, sebagaimana hadits di atas.
1. Waktu Shalat Zhuhur
a. Batas Awal Waktu
Dimulai sejak matahari tepat berada di atas kepala namun sudah mulai agak condong ke arah barat. Istilah yang sering digunakan dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah 'tergelincirnya' matahari, sebagai terjemahan bebas dari kata zawalus syamsi (زوال الشمس). Namun istilah ini seringkali membingungkan, karena kalau dikatakan bahwa 'matahari tergelincir', sebagian orang akan berkerut keningnya, "Apa yang dimaksud dengan tergelincirnya matahari?".
Zawalusy-syamsi adalah waktu dimana posisi matahari ada di atas kepala kita, namun sedikit sudah mulai bergerak ke arah barat. Jadi tidak tepat di atas kepala.
b. Batas Akhir Waktu
Dan waktu untuk shalat zhuhur ini berakhir ketika panjang bayangan suatu benda menjadi sama dengan panjang benda itu sendiri. Misalnya kita menancapkan tongkat yang tingginya 1 meter di bawah sinar matahari pada permukaan tanah yang rata.
Bayangan tongkat itu semakin lama akan semakin panjang seiring dengan semakin bergeraknya matahari ke arah barat. Begitu panjang bayangannya mencapai 1 meter, maka pada saat itulah waktu Zhuhur berakhir dan masuklah waktu shalat Ashar.
Ketika tongkat itu tidak punya bayangan baik di sebelah barat maupun sebelah timurnya, maka itu menunjukkan bahwa matahari tepat berada di tengah langit. Waktu ini disebut dengan waktu istiwa'. Pada saat itu, belum lagi masuk waktu zhuhur.
Begitu muncul bayangan tongkat di sebelah timur karena posisi matahari bergerak ke arah barat, maka saat itu dikatakan zawalus-syamsi atau 'matahari tergelincir'. Dan saat itulah masuk waktu zhuhur.
c. Ibrad
Namun shalat Zhuhur hukumnya mustahab saat siang sedang panas-panasnya untuk diundurkan beberapa waktu. Tujuannya agar meringankan dan bisa menambah khusyu’[1]. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :
إِذَا اشْتَدَّ البَرْدُ بَكَّرَ بِالصَّلاَةِ وَإِذَا اشْتَدَّ الحَرُّ أَبْرَدَ بِالصَّلاَةِ
Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila dingin sedang menyengat, menyegerakan shalat. Tapi bila panas sedang menyengat, beliau mengundurkan shalat. (HR. Bukhari)
2. Waktu Shalat Ashar
a. Masuknya Waktu Ashar
Seluruh ulama sepakat bahwa waktu shalat Ashar dimulai tepat ketika waktu shalat Zhuhur sudah habis, yaitu semenjak panjang bayangan suatu benda menjadi sama panjangnya dengan panjang benda itu sendiri.
b. Selesainya Waktu Ashar
Sedangkan untuk selesainya waktu Ashar, kita menemukan beberapa pendapat yang berbeda di tengah para ulama.
Jumhur ulama mengatakan bahwa selesainya waktu shalat Ashar ketika matahari tenggelam di ufuk barat. Dalil yang menujukkan hal itu antara lain hadits berikut ini :
وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ العَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ العَصْرَ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Dan orang yang mendapatkan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia termasuk mendapatkan shalat Ashar". (HR. Muttafaq ‘alaihi).
Namun dalam satu pendapat lemah yang dikemukakan oleh Istikhari (w. 346 H) sebagaimana dikutipkan oleh A-Nanawi, bahwa waktu Ashar habis bila panjang bayangan benda telah mencapai dua kali panjang benda tersebut. [2]
An-Nawawi menyebutkan bahwa ada empat waktu Ashar, yaitu :
Waktu fadhilah (فضيلة) : yaitu shalat di awal waktu Ashar.
Waktu ikhtiyar (إختيار) : ketika panjang bayangan benda dua kali dari panjangnya.
Waktu jawaz bila karahah (جواز بلا كراهة) : ketika langit mulai nampak menguning (ishfirar)
Waktu karahah (كراهة) : ketika hampir terbenam matahari. [3]
Jumhur ulama mengatakan bahwa dimakruhkan melakukan shalat Ashar tatkala sinar matahari sudah mulai menguning yang menandakan sebentar lagi akan terbenam. Sebab ada hadits Nabi yang menyebutkan bahwa shalat di waktu itu adalah shalatnya orang munafiq.
تِلْكَ صَلاَةُ المُنَافِقِ يجَلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَي الشَّيْطَانَ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لاَ يَذْكُرُ اللهَ إِلاَّ قَلِيْلاً
Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu berkata,”Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,"...Itu adalah shalatnya orang munafik yang duduk menghadap matahari hingga saat matahari berada di antara dua tanduk syetan, dia berdiri dan membungkuk 4 kali, tidak menyebut nama Allah kecuali sedikit". (HR. Muslim).
Bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwa waktu Ashar sudah berakhir sebelum matahari terbenam, yaitu pada saat sinar matahari mulai menguning di ufuk barat sebelum terbenam.
وَقْتُ العَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Dan waktu shalat Ashar sebelum matahari menguning".(HR. Muslim)
c. Apakah Ashar Merupakan Shalat Wustha?
Shalat Ashar adalah shalat wustha menurut sebagian besar ulama. Dasarnya adalah hadits Aisyah radhiyallahu 'anha.
حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى - والصَّلاَةُ الْوُسْطَى صَلاَةُ الْعصرِ
Dari Aisyah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW membaca ayat :"Peliharalah shalat-shalatmu dan shalat Wustha". Dan shalat Wustha adalah shalat Ashar. (HR. Abu Daud dan Tirmiz)
Dari Ibnu Mas'ud dan Samurah radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Shalat Wustha adalah shalat Ashar". (HR. Tirmizy)
Namun masalah ini memang termasuk dalam masalah yang diperselisihkan para ulama. Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar menyebutkan ada 16 pendapat yang berbeda tentang makna shalat Wustha.
Salah satunya adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa shalat Wustha adalah shalat Ashar. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa shalat itu adalah shalat Shubuh.[4]
3. Waktu Shalat Maghrib
Para ulama menetapkan untuk waktu maghrib dua hal, yaitu awal masuk waktu Maghrib dan berakhirnya waktu Maghrib.
a. Mulainya Waktu Maghrib
Sudah menjadi ijma' (kesepakatan) para ulama bahwa waktu shalat Maghrib dimulai sejak terbenamnya matahari. Terbenamnya matahari adalah sejak hilangnya semua bulatan matahari di telan bumi dan berakhir hingga hilangnya syafaq (mega merah). Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
وَقْتُ صَلاةِ المَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ الشَّفَقُ
Dari Abdullah bin Amar radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Waktu Maghrib sampai hilangnya shafaq (mega)". (HR. Muslim).
Istilah 'syafaq' menurut para ulama seperti Al-Hanabilah dan As-Syafi'iyah adalah mega yang berwarna kemerahan setelah terbenamnya matahari di ufuk barat.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa 'syafaq' adalah warna keputihan yang berada di ufuk barat dan masih ada meski mega yang berwarna merah telah hilang. Dalil beliau adalah :
Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Dan akhir waktu Maghrib adalah hingga langit menjadi hitam". (HR. Tirmizy)
Menurut kitab Nashbur-rayah bahwa hadits ini sanadnya tidak shahih.
b. Berakhirnya Waktu Maghrib
Adapun kapan habisnya waktu Maghrib, dalam mazhab Asy-Syafi'iyah ada dua pendapat, yaitu pendapat yang lama (qaul qadim) dan pendapat yang baru (qaul jadid).
Dalam pendapat yang lama disebutkan bahwa waktu Maghrib baru berakhir ketika mega merah menghilang. Sedangkan dalam qaul jadid, waktu Maghrib berakhir lebih singkat, yaitu sekira selesai mengerjakan wudhu', menutup aurat, kumandang adzan, iqamah dan shalat lima rakaat. Selesai semua itu maka waktu Maghrib dianggap sudah habis.
An-Nawawi (w. 676 H) menuliskan hal ini di dalam kitabnya Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin sebagai berikut :
وفي آخر وقتها قولان القديم: أنه يمتد إلى مغيب الشفق. والجديد: أنه إذا مضى قدر وضوء وستر عورة وأذان وإقامة وخمس ركعات انقضى الوقت
Dan dalam hal akhir waktu Maghbrib ada dua pendapat. Pendapat lama hingga hilangnya mega merah. Pendapat baru habisnya hingga selesai mengerjakan wudhu', menutup aurat, adzan, iqamah, dan mengerjakan shalat lima waktu dan habislah waktunya. [5]
Namun nampaknya An-Nawawi sendiri sebagai muhaqqiq besar dalam mazhab Asy-syafi'i juga toleran dengan para ulama yang lebih memilih qaul qadim, sebagaimana beliau jelaskan di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab berikut ini :
وصحح جماعة القديم وهو أن لها وقتين ممن صححه من أصحابنا أبو بكر ابن خزيمة وأبو سليمان الخطابي وأبو بكر البيهقي والغزالي في إحياء علوم الدين وفي درسه والبغوي في التهذيب ونقله الروياني في الحلية عن أبي ثور والمزني وابن المنذر وأبي عبد الله الزبيري قال وهو المختار وصححه أيضًا العجلي والشيخ أبو عمرو بن الصلاح قلت هذا القول هو الصحيح لأحاديث صحيحة
Pendukung qaul qadim menshahihkan bahwa Maghrib itu punya dua waktu. Di antara yang mendukungnya adalah Ibnu Khuzaimah, Abu Sulaiman Al-Khattabi, Al-Baihaqi, Al-Ghazali di dalam Ihya Ulumiddin dan dalam pelajarannya, Al-Baghawi dalam kitab At-Tahdzib, dan dinaqal oleh Ar-Royani dalam Al-Hilah dari Abu Tsaur, Al-Muzani, Ibnul Mundzir, Abu Abdullah Az-Zubairi. Inilah pendapat yang dipilih dan dishahihkan pula oleh Al-Ajali dan Ibnu Shalah.[6]
4. Waktu Shalat Isya'
Waktu shalat Isya’ dimulai sejak berakhirnya waktu maghrib, dan terus berlangsung sepanjang malam hingga dini hari tatkala fajar shadiq terbit.
Dasarnya adalah ketetapan dari nash yang menyebutkan bahwa setiap waktu shalat itu memanjang dari berakhirnya waktu shalat sebelumnya hingga masuknya waktu shalat berikutnya, kecuali shalat shubuh.
إِنَّمَا التَّفْرِيطُ أَنْ يُؤَخِّرَ الصَّلاةَ حَتَّى يَدْخُلَ وَقْتُ الأُخْرَى
Dari Abi Qatadah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tidaklah tidur itu menjadi tafrith, namun tafrith itu bagi orang yang belum shalat hingga datang waktu shalat berikutnya". (HR. Muslim)
Sedangkan waktu mukhtar (pilihan) untuk shalat 'Isya' adalah sejak masuk waktu hingga 1/3 malam atau tengah malam, atas dasar hadits berikut ini.
أَعْتَمَ رَسُولُ اللَّهِ r ذَاتَ لَيْلَةٍ بِالْعَشَاءِ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اللَّيْلِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى وَقَالَ: إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَولاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah SAW menunda shalat Isya' hingga lewat tengah malam, kemudian beliau keluar dan melakukan shalat. Lantas beliau bersabda,"Sesungguhnya itu adalah waktunya, seandainya aku tidak memberatkan umatku.". (HR. Muslim)
وَكَانَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ مِنْ العِشَاءِ وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا
Dari Abi Bazrah Al-Aslami berkata,”Dan Rasulullah suka menunda shalat Isya’, tidak suka tidur sebelumnya dan tidak suka mengobrol sesudahnya. (HR. Bukhari Muslim)
وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا إِذَا رَآهُمْ اِجْتَمَعُوا عَجَّلَ وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ وَالصُّبْحَ: كَانَ النَّبِيَّ r يُصَلِّيهَا بِغَلَسٍ
Dan waktu Isya’ kadang-kadang, bila beliau SAW melihat mereka (para shahabat) telah berkumpul, maka dipercepat. Namun bila beliau melihat mereka berlambat-lambat, maka beliau undurkan. (HR. Bukhari Muslim)
5. Waktu Shalat Shubuh
Seringkali orang terkecoh dengan dua istilah, yaitu shalat Fajr dan shalat shubuh. Padahal sesunguhnya keduanya adalah satu. Shalat Fajr itu adalah shalat shubuh dan shalat shubuh adalah shalat Fajr.
Orang-orang di Hijaz (Jazirah Arabia) terbiasa menyebut shalat shubuh dengan istilah shalat Fajr. Sedangkan bangsa Indonesia terbiasa menggunakan istilah shalat shubuh. Namun keduanya satu juga, itu itu juga.
Waktu shalat Fajr atau shalat shubuh dimulai sejak terbitnya fajar shadiq hingga terbitnya matahari. Fajr atau dalam bahasa Indonesianya menjadi fajar bukanlah matahari. Sehingga ketika disebutkan terbit fajar, bukanlah terbitnya matahari. Fajar adalah cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit.
Waktu shubuh (dan juga waktu Isya') amat berhubungan dengan adanya pembiasan sinar matahari oleh atmosfer bumi. Seandainya tidak ada atmosfer di bumi, maka begitu matahari terbenam langit akan gelap sama sekali, atau sebelum matahari terbit langit juga masih gelap sama sekali. Seperti terbenamnya matahari bila kita berada di bulan yang tidak punya atmosfir.
Karena adanya atmosfer itulah, sinar matahari yang berada di bawah ufuk masih mampu dibiaskan oleh atmosfer bumi sehingga langit masih agak terang, belum gelap sama sekali.
Dan sebaliknya, meski matahari belum muncul di ufuk Timur, namun oleh atmosfir bumi, sinarnya sudah dibiaskan terlebih dahulu, sehingga langit (sebenarnya atmosfir bumi) sudah mengalami terang terlebih dahulu, sebelum daratannya.
Kalau kedalaman matahari di bawah ufuk belum melebihi batas astronomical twilight, maka belum ada intensitas cahaya matahari yang ada di langit. Langit masih gelap, dan saat itu belum masih waktu shubuh.
Di dalam syariah, kita mengenal ada dua macam fajar, yaitu fajar kazib dan fajar shadiq.
a. Fajar Kadzib
Fajar kazib adalah fajar yang 'bohong' sesuai dengan namanya. Maksudnya, pada saat dini hari menjelang pagi, ada cahaya agak terang yang memanjang dan mengarah ke atas di tengah di langit. Bentuknya seperti ekor sirhan (srigala), kemudian langit menjadi gelap kembali.
Fajar kadzib berupa cahaya putih yang muncul secara vertikal (dari bawah ke atas atau timur ke barat). Cahaya ini tidak muncul secara merata di ufuk timur, artinya ada sisi ufuk yang gelap dan ada yang terkena cahaya. Setelah itu, alam kembali menjadi gelap karena fajar telah menghilang. Fenomena ini dikenal dengan fajar kadzib.
b. Fajar Shadiq
Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar shadiq, yaitu fajar yang benar-benar fajar. Bentuknya berupa cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur. Munculnya beberapa saat sebelum matahari terbit. Fajar ini menandakan masuknya waktu shalat Shubuh.
Bedanya dengan fajar yang kadzib, fajar shadiq ini diikuti dengan cahaya yang semakin terang, dan semakin terang hingga terbitlah matahari.
Menurut Ibn Jarir Ath-Thabari, sifat sinar Subuh yang terang itu menyebar dan meluas di langit, sinarnya atau terang cahayanya memenuhi dunia, hingga memperlihatkan jalan-jalan menjadi jelas.
Jadi ada dua kali fajar sebelum matahari terbit. Fajar yang pertama disebut dengan fajar kazib dan fajar yang kedua disebut dengan fajar shadiq. Selang beberapa saat setelah fajar shadiq, barulah terbit matahari yang menandakan habisnya waktu shubuh. Di antara fajar shadiq dan terbitnya matahari itulah waktu untuk melaksanakan shalat Shubuh.
Di dalam hadits disebutkan tentang kedua fajar ini :
الفَجْرُ فَجْرَانِ: فَجْرٌ يُحَرِّمُ الطَّعَامَ وَتَحِلُّ فِيهِ الصَّلاةُ وَفَجْرٌ تَحْرُمُ فِيهِ الصَّلاةُ - أَيْ: صَلاةُ الصُّبْحِ - وَيَحِلَّ فِيهِ الطَّعَامُ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,"Fajar itu ada dua macam. Pertama, fajar yang mengharamkan makan dan menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang mengharamkan shalat (shalat Shubuh) dan menghalalkan makan". (HR. Ibnu Khuzaemah dan Al-Hakim)
Batas akhir waktu shubuh adalah terbitnya matahari sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.
وَقْتُ صَلاةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ الشَّمْسُ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Dan waktu shalat shubuh dari terbitnya fajar (shadiq) sampai sebelum terbitnya matahari". (HR. Muslim)
c. Fajar dalam tinjauan Astronomi
Beberapa jam sebelum matahari terbit, di ufuk timur tampak cahaya kuning kemerah-merahan yang menjadi waktu berakhirnya gelap malam menuju siang yang terang benderang.
Cahaya tersebut merupakan pembiasan cahaya matahari oleh partikel-partikel yang ada di angkasa. Semakin dekat posisi matahari terhadap ufuk, semakin terang pula cahaya tersebut. Dalam astronomi, cahaya tersebut dikenal dengan istilah twilight atau cahaya fajar.
Astronomical Twilight
Kondisi ini terjadi saat posisi matahari masih berada antara - 18˚ sampai - 12˚ di bawah ufuk. Dalam keadaan ini, benda-benda di lapangan terbuka belum tampak batas-batas bentuknya. Semua bintang baik yang terang maupun yang samar masih tampak.
Nautical Twilight
Kondisi ini terjadi saat posisi matahari berada antara - 12˚sampai - 6˚ di bawah ufuk. Dalam keadaan ini, benda-benda di lapangan terbuka masih samar batas-batas bentuknya. Sedangkan bintang yang bisa dilihat adalah semua bintang terang.
Civil Twilight
Kondisi ini terjadi saat posisi matahari berada antara- 6˚ sampai 0˚ di bawah ufuk. Dalam keadaan ini, benda-benda di lapangan terbuka sudah tampak batas-batas bentuknya. Sedangkan bintang yang bisa dilihat hanyalah sebagian bintang terang saja.
Yang menjadi pertanyaan menarik adalah, yang manakah dari ketiga posisi matahari di atas yang merupakan waktu shubuh?
Dalam hal ini ternyata kita menemukan fakta bahwa tiap sistem penanggalan di berbagai negara Islam berbeda-beda dalam menetapkannya. Berikut adalah tabel yang menjabarkan bagaimana perbedaan itu di masing-masing negara Islam :
Perbedaan ini harus diakui sebagai realitas perbedaan dalam masalah ijtihad. Dan memang dimungkinkan terjadinya perbedaan pendapat di atas, karena banyak faktor. Di antaranya faktor geografis, karena perbedaan lintang, faktor intensitas cahaya di langit ketika ada bulan purnama atau bulan mati, faktor awan, cahaya dari permukaan bumi (lampu) dan lainnya.
Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama RI konon merujuk kepada hasil perhitungan Sa'adudin Jambek, ahli hisab Indonesia masa lalu yang menggunakan angka - 20 °.
Sedangkan Al-Biruni, seorang cendekiawan Islam yang terbesar pada masanya, mengusulkan agar astronomical twilight alias kedudukan matahari 18 derajat di bawah horison, sebagai awal fajar, seperti termaktub dalam al-Qanun al-Mas'udi.
Sebagai perbandingan, keputusan terbaru PP Muhammadiyah tentang kriteria awal waktu shubuh tidak lagi menggunakan -20 tetapi dirubah menjadi -18 (jadi mundur sekitar 8 menit). Lihat disini
C. Menunda atau Mengakhirkan Shalat
Selama waktu shalat masih ada, mengakhirkan shalat hingga ke bagian akhir dari waktunya oleh para ulama disepakati kebolehannya. Dan bahwa shalat masih dibenarkan untuk dikerjakan.
Karena prinsipnya agama Islam diturunkan sebagai bentuk keringanan, dan bukan sebagai agama yang menghukum manusia. Sehingga Allah SWT memberikan kelonggaran buat manusia untuk mengerjakan shalat, bukan pada waktu yang sempit dan terbatas, namun diberikan keluasan untuk mengerjakan shalat fardhu di dalam rentang waktu yang lebar.
Rasulullah SAW bersabda :
أَوَّلُ الوَقْتِ رِضْوَانُ اللهِ وَوَسَطُهُ رَحْمَةُ اللَّهِ وَآخِرُهُ عَفْوُ اللهِ
Shalat di awal waktu akan mendapat keridhaan dari Allah. Shalat di tengah waktu mendapat rahmat dari Allah. Dan shalat di akhir waktu akan mendapatkan maaf dari Allah. (HR. Ad-Daruquthuni)
Namun bila seseorang dengan lalai dan sengaja menunda-nunda pengerjaan shalat, hingga terlewat waktunya, para ulama sepakat dia telah berdosa.
Terkadang mengakhirkan shalat justru malah lebih dianjurkan, apabila ada alasan yang syar'i dan dibenarkan secara hukum. Antara lain :
1. Tidak Ada Air
Dalam keadaan kelangkaan air untuk berwudhu, namun masih ada keyakinan dan harapan untuk mendapatkannya di akhir waktu, para ulama sepakat memfatwakan bahwa shalat lebih baik ditunda pelaksanaannya, bahkan meski sampai di bagian akhir dari waktunya.[7]
Mazhab Asy-Syafi'iyah menegaskan lebih utama menunda shalat tetapi dengan tetap berwudhu' menggunakan air, dari pada melakukan shalat di awal waktu, tetapi hanya dengan bertayammum dengan tanah.[8]
2. Menunggu Jamaah
Meski shalat di awal waktu itu lebih utama, kenyataaanya hal itu tidak bersifat mutlak. Sebab ternyata Rasulullah SAW sendiri tidak selamanya shalat di awal waktu. Ada kalanya beliau menunda shalat hingga beberapa waktu, namun tetap masih di dalam waktunya.
Salah satunya adalah shalat Isya' yang kadang beliau mengakhirkannya, bahkan dikomentari sebagai waktu shalat yang lebih utama.
وَكَانَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ مِنْ العِشَاءِ وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا
Dari Abi Bazrah Al-Aslami berkata,”Dan Rasulullah suka menunda shalat Isya’, tidak suka tidur sebelumnya dan tidak suka mengobrol sesudahnya. (HR. Bukhari Muslim)
Bahkan beliau seringkali memperlambat dimulainya shalat bila melihat jamaah belum berkumpul semuanya. Misalnya dalam shalat Isya', beliau seringkali menunda dimulainya shalat manakala dilihatnya para shahabat belum semua tiba di masjid.
وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا إِذَا رَآهُمْ اِجْتَمَعُوا عَجَّلَ وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ
Dan waktu Isya’ kadang-kadang, bila beliau SAW melihat mereka (para shahabat) telah berkumpul, maka dipercepat. Namun bila beliau melihat mereka berlambat-lambat, maka beliau undurkan. (HR. Bukhari Muslim)
3. Tabrid
Terkadang bila siang hari sedang panas-panasnya, Rasulullah SAW menunda pelaksanaan shalat Dzhuhur. Sehingga para ulama pun mengatakan bahwa hukumnya mustahab bila sedikit diundurkan, khususnya bila siang sedang panas-panasnya, dengan tujuan agar meringankan dan bisa menambah khusyu’[9].
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :
إِذَا اشْتَدَّ البَرْدُ بَكَّرَ بِالصَّلاَةِ وَإِذَا اشْتَدَّ الحَرُّ أَبْرَدَ بِالصَّلاَةِ
Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila dingin sedang menyengat, menyegerakan shalat. Tapi bila panas sedang menyengat, beliau mengundurkan shalat. (HR. Bukhari)
4. Buka Puasa
Terkadang Rasulullah SAW juga menunda pelaksaan shalat Maghrib, khususnya bila beliau sedang berbuka puasa. Padahal waktu Maghrib adalah waktu yang sangat pendek.
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Senantiasa manusia dalam kebaikan selama ia menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
5. Makanan Terhidang
Shalat juga lebih utama untuk ditunda atau diakhirkan manakala makanan telah terhidang. Beliau SAW juga menganjurkan untuk menunda shalat manakala seseorang sedang menahan buang hajat. Itulah petunjuk langsung dari Rasulullah SAW dalam hadits shahih :
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ
Tidak ada shalat ketika makanan telah terhidang (HR. Muslim)
Maka mengakhirkan atau menunda pelaksanaan shalat tidak selamanya buruk, ada kalanya justru lebih baik, karena memang ada 'illat yang mendasarinya.
Dalam format shalat berjamaah di masjid, wewenang untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat berada sepenuhnya di tangan imam masjid.
6. Menahan Buang Air
وَلاَ هُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ
(tidak ada shalat) ketika menahan kencing atau buang hajat. (HR. Muslim)
D. Lima Waktu Shalat Yang Diharamkan
Ada lima waktu dalam sehari semalam yang diharamkan atau dimakruhkan bagi kita untuk melakukan shalat di dalamnya.
1. Dalil Nash
Tiga di antaranya terdapat dalam satu hadits yang sama, sedangkan sisanya yang dua lagi berada di dalam hadits lainnya.
ثَلاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ r يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّي فِيهِنَّ وَأَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا : حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَزُولَ الشَّمْسُ وَحِينَ تَتَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ
Dari 'Uqbah bin 'Amir Al-Juhani radhiyallahuanhu berkata,"Ada tiga waktu shalat yang Rasulullah SAW melarang kami untuk melakukan shalat dan menguburkan orang yang meninggal di antara kami. [1] Ketika matahari terbit hingga meninggi, [2] ketika matahari tepat berada di tengah-tengah cakrawala hingga bergeser sedikit ke barat dan [3] berwarna matahari berwarna kekuningan saat menjelang terbenam. (HR. Muslim)
Sedangkan dua waktu lainnya terdapat di dalam satu hadits berikut ini :
لاَ صَلاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَلا صَلاةَ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ
Dari Abi Said Al-Khudri radhiyallahuanhu berkata,"Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,"Tidak ada shalat setelah shalat shubuh hingga matahari terbit. Dan tidak ada shalat sesudah shalat Ashar hingga matahari terbenam.(HR. Bukhari dan Muslim).
2. Shalat Yang Dilarang
Jumhur ulama sepakat bahwa meski hadits-hadits di atas tidak menyebutkan nama atau jenis shalat tertentu yang dilarang, namun bukan berarti semua shalat hukumnya terlarang untuk dikerjakan pada waktu-waktu tersebut.
Para ulama umumnya menyimpulkan bahwa sebenarnya larangan untuk shalat pada kelima waktu ini hanya bagi orang yang ingin melakukan shalat sunnah mutlak saja, sedangkan bila shalat yang dikerjakan punya alasan atau kepentingan tertentu, seperti menshalati jenazah yang wafat, tidak termasuk larangan.
Jadi boleh saja umat Islam menguburkan jenazah saudaranya setelah shalat shubuh sebelum matahari terbit, juga boleh menguburkan setelah shalat Ashar di sore hari.
3. Lima Waktu
Maka kalau kedua hadits di atas kita simpulkan dan diurutkan, kita akan mendapatkan 5 waktu yang di dalamnya tidak diperkenankan untuk melakukan shalat, yaitu :
a. Setelah Shalat Shubuh
Setelah shalat shubuh hingga matahari agak meninggi. Tingginya matahari sebagaimana di sebutkan di dalam hadits Amru bin Abasah adalah qaida-rumhin aw rumhaini. Maknanya adalah matahari terbit tapi baru saja muncul dari balik horison setinggi satu tombak atau dua tombak.
Dan panjang tombak itu kira-kira 2,5 meter 7 dzira' (hasta) atau 12 jengkal, sebagaimana disebutkan oleh mazhab Al-Malikiyah.
b. Saat Matahari Terbit
Saat mahatari sedang dalam proses terbit dari balik bumi hingga menyembul seluruh bulatannya di ufuk adalah waktu yang terlarang bagi kita untuk melakukan shalat sunnah mutlak.
Namun buat mereka yang mengejar shalat shubuh yang tertinggal, tentu waktu itu bukan merupakan larangan.
c. Waktu Istiwa'
Waktu istiwa' adalah ketika matahari tepat berada di atas langit atau di tengah-tengah cakrawala. Maksudnya tepat di atas kepala kita.
Tapi begitu posisi matahari sedikit bergeser ke arah barat, maka sudah masuk waktu shalat Zhuhur dan boleh untuk melakukan shalat sunnah atau wajib.
d. Setelah Melakukan Shalat Ashar
Setelah melakukan shalat Ashar hingga matahari terbenam juga termasuk waktu yang dilarang untuk shalat. Maksudnya, bila seseorang sudah melakukan shalat Ahsar, maka haram baginya untuk melakukan shalat lainnya hingga terbenam matahari, kecuali ada penyebab yang mengharuskan.
Namun bila dia belum shalat Ashar, wajib baginya untuk shalat Ashar meski sudah hampir Maghrib.
e. Saat Terbenam Matahari
Yang dikatakan saat terbenamnya matahari adalah saat-saat langit di ufuk barat mulai berwarna kekuningan yang menandakan sang surya akan segera menghilang ditelan bumi. Begitu terbenam, maka masuklah waktu Maghrib dan wajib untuk melakukan shalat Maghrib atau pun shalat sunnah lainnya.
E. Antisipasi Waktu Shalat Yang Tidak Normal
Ada beberapa kondisi dimana waktu shalat tidak terjadi secara normal, seperti ketika kita berada di atas pesawat terbang, atau ketika berada di daerah utara bumi atau selatan, dan juga ketika seorang astronot mengorbit bumi.
1. Waktu Shalat di Atas Pesawat
Ketika kita berada di atas pesawat jet komersial, boleh jadi kita terpaksa harus mengerjakan shalat di dalamnya. Setidaknya ketika shalat Shubuh yang memang tidak bisa dijama’ dengan shalat lain untuk dikerjakan di darat.
Dan tidak jarang pula penerbangan itu melewati dua waktu shalat tanpa lepas landas. Misalnya terbang sebelum Dzhuhur dan baru mendarat selewat Maghrib. Otomatis salat Dzhuhur dengan Ashar harus dikerjakan di atas pesawat. Demikian pula ketika terbang sebelum Maghrib dan mendarat selewat Shubuh, maka terpaksa Maghrib dan Isya dikerjakan di atas pesawat.
Pesawat jet komersial biasanya bergerak dengan kecepatan tinggi, bisa mencapai 900 km/jam. Sehingga dalam menggunakan jadwal waktu-waktu shalat, kita sudah tidak bisa lagi berpatokan dengan jadwal shalat berdasarkan kota tertentu. Yang jadi masalah, bagaimana kita menetapkan waktu shalatnya?
Prinsipnya kita tetap harus berpatokan dengan menggunakan gejala alam, yaitu terbit dan terbenamnya matahari, serta muncul fajar atau hilangnya mega merah. Adapun jadwal shalat yang selama ini kita gunakan, nampaknya sudah tidak lagi akurat, kalau kita ada di dalam pesawat.
a. Waktu Untuk Mengerjakan Dzhuhur dan Ashar
Bila kita terbang sebelum Dzhuhur dan baru mendarat selewat Maghrib, maka kita bisa melakukan keduanya di atas pesawat dengan cara dijamak sekaligus diqashar, baik dengan jamak taqdmin ataupun ta’khir.
Hanya saja untuk jamak taqdim kita agak kesulitan untuk menetapkan kapan masuknya waktu Dzhuhur. Hal itu karena masuknya waktu Dzhuhur ditandai dengan mulai bergesernya matahari ke arah Barat dari yang awalnya tepat di atas kepala. Masalahnya, di dalam kabit pesawat kita tidak bisa melihat tegak lurus ke atas karena terhalang atap pesawat.
Maka untuk kepastiannya, kedua shalat itu kita lakukan dengan jamak ta’khir, yaitu kedua shalat itu kita kerjakan di waktu Ashar. Alasannya karena lebih mudah untuk mengetahui waktu Ashar daripada waktu Dzhuhur. Waktu Ashar ditandai dengan panjang bayangan suatu benda telah melebihi panjang benda itu sendiri. Dan ini bisa dengan mudah dilakukan di dalam pesawat. Asalkan kita bisa melihat matahari sudah condong ke arah Barat dan belum sampai terbenam, kita bisa mengerjakan shalat Dzhuhur dan Ashar secara ta’kir.
b. Waktu Untuk Mengerjakan Shalat Maghrib dan Isya
Sedangkan untuk mengerjakan shalat Maghrib dan Isya’, juga ada baiknya kalau dilakukan dengan cara ta’khir. Karena waktu Maghrib sedemikian pendek, apalagi bila pesawat bergerak ke arah Timur yang semakin menjauhi matahari, maka batas masuk waktu Isya’ hanya tersisa beberapa menit saja.
Oleh karena itulah akan lebih leluasa bila dijamak ta’khir. Lalukanlah setelah kira dua atau tiga jam setelah matahari terbenam. Terbenamnya matahari jauh lebih mudah dilihat dari atas pesawat ketimbang dari atas tanah.
c. Waktu Untuk Mengerjakan Shalat Shubuh
Di atas langit lebih mudah kita mengenali fajar ketimbang di atas daratan. Fajar adalah bias cahaya matahari di atmosfir kita pada ufuk timur dimana mataharinya sendiri masih belum terbit.
Di atas pesawat cukup kita membuka tabir jendela di saat-saat menjelang fajar. Kalau langit malam masih gulita di sisi kanan dan kiri pesawat, itu berarti belum masuk waktu Shubuh. Kita tunggu barang beberapa waktu, dan ketika kita tengok jendela nampak langit di ufuk Timur mulai bercahaya terang, itulah fajar.
Lalu shalat shubuh dua rakaat di waktu itu dan jangan sampai terlewat dengan terbitnya matahari di langit.
2. Waktu Shalat di Kutub Utara atau Selatan
Buat orang yang tinggal di Kutub Utara atau Kutub Selatan, secara geografis mereka akan mengalami beberapa 'keajaiban' alam. Terutama terkait dengan waktu terbit dan terbenam matahari. Padahal, waktu-waktu shalat sangat ditentukan dengan terbit dan terbenamnya matahari.
a. Kondisi Pertama
Ada wilayah yang pada bulan-bulan tertentu mengalami siang selama 24 jam dalam sehari. Dan sebaliknya, pada bulan-bulan tertentu akan mengalami sebaliknya, yaitu mengalami malam selama 24 jam dalam sehari.
Haiah Kibaril Ulama dan Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia dalam fatwa nomor 5842 menuliskan hal ini :
من كان يقيم في بلاد لا تغيب عنها الشمس صيفاً ولا تطلع فيها الشمس شتاء ، أو في بلاد يستمر نهارها إلى ستة أشهر ، ويستمر ليلها ستة أشهر مثلاً وجب عليهم أن يصلوا الصلوات الخمس في كل أربع وعشرين ساعة ، وأن يقدروا لها أوقاتها ويحددوها معتمدين في ذلك على أقرب بلاد إليهم تتمايز فيها أوقات الصلوات المفروضة بعضها من بعض
Orang-orang yang bermukim di negeri dimana matahari tidak pernah terbenam selama musim panas, dan tidak pernah terbit selama musim dingin, atau negeri yang siangnya berlangsung terus selama 6 bulan, dan malamnya berlangsung terus selama 6 bulan, maka mereka tetap diwajibkan shalat lima waktu dalam hitungan tiap 24 jam. Namun waktu shalatnya diperhitungkan berdasarkan jadwal shalat di negeri yang terdekat yang masih ada siang dan malamnya secara normal. [10]
b. Kondisi Kedua
Ada wilayah yang pada bulan tertentu tidak mengalami hilangnya mega merah (syafaqul ahmar) sampai datangnya waktu shubuh. Sehingga tidak bisa dibedakan antara mega merah saat maghrib dengan mega merah saat shubuh. Dalam kondisi ini, maka yang dilakukan adalah menyesuaikan waktu shalat `isya`nya saja dengan waktu di wilayah lain yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega merah maghrib.
c. Kondisi Ketiga
Ada wilayah yang masih mengalami pergantian malam dan siang dalam satu hari, meski panjangnya siang sangat singkat sekali atau sebaliknya. Dalam kondisi ini, jadwal shalat tetap mengikuti ketentuan yang berlaku.
*Sangat disarankan melihat sumber asli tulisan ini yaitu disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.