Rukun-Rukun Shalat

 


Rukun shalat (أركان الصلاة) adalah setiap perkataan atau perbuatan yang membentuk ibadah shalat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak teranggap secara syar’i dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi. 

Meninggalkan rukun shalat ada dua bentuk. Pertama, meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi seperti ini shalatnya batal dan tidak sah dengan kesepakatan para ulama. Dan kedua, meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada tiga rincian, yaitu:

- jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib untuk melakukannya kembali. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.

- jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut ulama-ulama Hanafiyah. Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa raka’at yang ketinggalan rukun tadi menjadi hilang.

- jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus diulangi dari awal lagi karena ia tidak memasuki shalat dengan benar.

Ada tulisan sangat berbobot tentang rukun shalat ini sebagaimana bisa dilihat disini. Berikut adalah kutipannya.

A. Pengertian

1. Bahasa

Makna kata ‘rukun’ (ركن) dalam bahasa Arab adalah sudut atau tiang pada suatu bangunan. Rukun sering juga disebut dengan :

الْجَانِبُ الأْقْوَى وَالأْمْرُ الْعَظِيمُ

Bagian yang kuat dan perkara yang lebih besar.

Rukun juga sering disebut sebagai anggota dari suatu badan, atau al-jawarih (الجوارح). Hal itu seperti yang disebutkan di dalam hadits riwayat Muslim :

يُقَال لأِرْكَانِهِ : انْطِقِي أَيْ جَوَارِحِهِ

Dikatakan kepada rukun-rukunnya : Berbicaralah. Maksudnya anggota badannya. (HR. Muslim)

Rukun dari sesuatu artinya sisi-sisi dari sesuatu itu, seperti diungkapkan di dalam Kamus Al-Muhith :

وَأَرْكَانُ كُل شَيْءٍ جَوَانِبُهُ الَّتِي يَسْتَنِدُ إِلَيْهَا وَيَقُومُ بِهَا

Dan rukun dari segala sesuatu adalah sisi-sisinya, yang dijadikan tempat bersandar dan berdiri.


2. Istilah Fiqih

Dalam istilah ilmu fiqih, rukun didefinisikan sebagai :

مَا لاَ وُجُودَ لِذَلِكَ الشَّيْءِ إِلاَّ بِهِ

Segala yang membuat sesuatu tidak akan akan terwujud tanpanya.[1]

Sehingga rukun shalat adalah segala hal yang tanpa perbuatan itu membuat ibadah shalat menjadi tidak sah. Atau dengan kata lain : Segala hal yang tanpanya membuat sebuah ibadah shalat menjadi tidak sah.  

Bila seseorang yang melakukan ritual ibadah shalat meninggalkan satu dari sekian banyak rukun-rukun shalat, baik disengaja atau tidak sengaja, maka ibadah shalatnya itu tidak sah hukumnya.

Karena itu ketika kita bicara tentang rukun-rukun shalat, berarti kita bicara tentang bagian-bagian yang paling fundamental dan asasi dalam shalat. Bila salah satu dari rukun-rukun ini rusak atau tidak dikerjakan, maka seluruh rangkaian ibadah shalat itu menjadi batal dan tidak sah.


B. Perbedaan Ulama dalam Penetapan Rukun Shalat

Namun meski sangat fundamental, para ulama mazhab yang paling masyhur berbeda-beda pendapatnya ketika menetapkan mana yang menjadi bagian dari rukun shalat.

1. Al-Hanafiyah : 6 Rukun

Kalangan mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa jumlah rukun shalat hanya ada 6 perkara saja, yaitu Takbiratul Ihram, Berdiri, Membaca ayat Al-Quran, Ruku’, Sujud, Duduk tahiyat akhir.

Selebihnya dalam pandangan mazhab ini bukan termasuk rukun, meski tetap wajib dikerjakan. Karena di dalam mazhab Al-Hanafiyah, antara rukun dan wajib adalah dua hal yang berbeda. Sementara umumnya di dalam mazhab lain, rukun dan wajib dianggap sama.

Membaca surat Al-Fatihah dalam pendapat mazhab Al-Hanafiyah bukan termasuk rukun shalat, tetapi hanya menjadi kewajiban. Jadi tetap wajib dibaca namun seandainya tidak dibaca, shalatnya tetap sah.

Dan sebagai gantinya, cukuplah seseorang membaca apa yang mudah dari ayat Al-Quran, sebagaimana firman Allah SWT :

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

Maka bacalah apa yang mudah dari ayat Al-Quran. (QS.Al-Muzzammil : 20)

Kira-kira mirip dengan rukun kuhtbah Jumat di dalam mazhab Asy-syafi'iyah, yang mana salah satu rukunnya adalah membaca ayat Al-Quran, yang mana saja dan tidak harus membaca surat Al-Fatihah.

2. Al-Malikiyah : 14 Rukun

Sedangkan Al-Malikiyah menyebutkan bahwa rukun shalat ada lebih banyak dari itu, yaitu sampai 14 perkara. Masing-masing adalah niat, takbiratul-ihram, berdiri, membaca Al-Fatihah buat imam dan munfarid, ruku', bangun dari ruku', sujud, duduk di antara dua sujud, salam, duduk untuk salam, tuhmaninah pada semua rukun, i'tidal sesudah ruku' dan sujud, membaca shalawat kepada Nabi SAW, salam, tertib dan tuma'ninah.

3. Asy-Syafi’iyah : 13-17 Rukun

Lebih banyak lagi adalah mazhab As-Syafi'iyah yang menyebutkan bahwa shalat itu punya sekurang-kurangnya 13 rukun. Dan jumlah rukun ini bisa mencapai 17 perkara bila semua thuma’ninah disebutkan secara tersendiri pada tiap gerakan ruku', sujud', i'tidal, dan duduk di antara dua sujud.

4. Al-Hanabilah : 13 Rukun

Dan mazhab Al-Hanabilah menyebutkan jumlah rukun dalam shalat ada 13 rukun. Kecuali pada masalah niat yang bukan termasuk rukun, masing-masing rukun shalat pada mazhab ini sama dengan mazhab Al-Malikiyah.

Untuk lebih jelasnya silahkan perhatikan tabel berikut ini yang dibuat berdasarkan kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah Az-Zuhaily.

Tabel Perbandingan Rukun Shalat Antar Mazhab



C. Rukun Shalat Dalam Mazhab Asy-Syafi'iyah
Di dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, kalau kita tanyakan keapda para ulama, ternyata ada beberapa perbedaan dalam menetapkan jumlah rukun shalat. Ada yang menyebutkan bahwa rukun shalat itu 13 perkara, ada yang 14 perkara dan ada juga yang 17 perkara.

Namun kalau kita teliti lebih dalam, ternyata perbedaan itu hanya dalam cara menghitungnya. Sedangkan esensinya tetap sama dan tidak ada perbedaan. Titik pangkalnya ada pada rukun thuma'ninah.

Mereka sepakat bahwa thuma'ninah itu bagian dari rukun shalat, tetapi mereka tidak sepakat apakah harus dihitung satu persatu, atau semua thuma'ninah di beberapa rukun tidak dihitung.

1. Versi 13 Rukun
Versi yang 13 rukun menghitung bahwa jumlah rukun shalat itu hanya tiga belas saja, bukan 14 atau 17. Titik pangkalnya ketika menghitung thuma'ninah, dihitung langusng bersama dengan beberapa rukun. Sehingga hitungannya menjadi seperti berikut ini :
1. Niat
2. Takbiratul Ihram
3. Berdiri
4. Membaca Surat Al-Fatihah
5. Ruku' & Thuma'ninah
6. I'tidal & Thuma'ninah
7. Sujud & Thuma'ninah
8. Duduk di antara Dua Sujud & Thuma'ninah
9. Duduk Tasyahhud Akhir
10. Mambaca Lafadz Tasyahhud
11. Membaca Shalawat
12. Mengucap Salam Pertama
13. Tertib

2. Versi 14 Rukun
Versi yang 14 rukun menyebutkan thuma'ninah secara tersendiri, sehinngga dari 13 rukun ditambah satu lagi yang ke-14, yaitu thuma'ninah.
1. Niat
2. Takbiratul Ihram
3. Berdiri
4. Membaca Surat Al-Fatihah
5. Ruku'
6. I'tidal
7. Sujud
8. Duduk di antara Dua Sujud
9. Duduk Tasyahhud Akhir
10. Mambaca Lafadz Tasyahhud
11. Membaca Shalawat
12. Mengucap Salam Pertama
13. Tertib
14. Thuma'ninah pada ruku, itidal, sujud dan duduk di antar dua sujud

3. Versi 17 Rukun
Sebagian ulama ada yang memasukkan Thuma'ninah ini pada masing-masing gerakan ruku', itidal, sujud dan duduk di antara dua sujud. Sehingga jumlah rukun shalat bertambah menjadi 17 perkara, seperti pada tabel berikut ini :
1. Niat
2. Takbiratul Ihram
3. Berdiri
4. Membaca Surat Al-Fatihah
5. Ruku'
6. Thuma'ninah
7. I'tidal
8. Thuma'ninah
9. Sujud
10. Thuma'ninah
11. Duduk di antara Dua Sujud
12. Thuma'ninah
13. Duduk Tasyahhud Akhir
14. Mambaca Lafadz Tasyahhud
15. Membaca Shalawat
16. Mengucap Salam Pertama
17. Tertib

D. Niat
Rukun yang pertama dalam ibadah shalat -dan juga semua ibadah ritual lainnya- adalah niat. Sebuah ibadah tanpa niat tidak dinilai sebagai ibadah oleh Allah SWT.

1. Pengertian
Para ulama punya beberapa definisi niat, salah satunya apa yang ditetapkan oleh mazhab Al-Hanafiyah :

قَصْدُ الطَّاعَةِ وَالتَّقَرُّبِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى فِي إِيجَابِ الْفِعْل
Bermaksud untuk taat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam bentuk mengerjakan suatu perbuatan.

Mazhab Al-Malikiyah mendefinisikan niat sebagai :

قَصْدُ الإْنْسَانِ بِقَلْبِهِ مَا يُرِيدُهُ بِفِعْلِهِ
Seseorang bermaksud dengan hatinya atas apa yang diinginkan pada perbuatannya.

Dalam hal ini Al-Malikiyah menegaskan bahwa niat itu masuk dalam bab tekat dan keinginan dan bukan ilmu dan keyakinan.

Adapun mazhab Asy-Syafi’iyah menyebutkan bahwa niat itu adalah :

قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِ
Bermaksud untuk mendapatkan sesuatu yang disertai dengan perbuatan.

Dan mazhab Al-Hanabilah mendefinisikan niat sebagai :

عَزْمُ الْقَلْبِ عَلَى فِعْل الْعِبَادَةِ تَقَرُّبًا إِلَى اللَّهِ تَعَالَى
Tekat hati untuk mengerjakan suatu ibadah demi mendekatkan diri kepada Allah SWT

Ibadah itu dikerjakan dengan hanya mengharap Allah. Dan bukan dengan mengharap yang lain, seperti melakukannya demi makhluk, atau mencari harta dan pujian dari manusia, atau agar mendapatkan kecintaan dari memuji mereka.

2. Dalil Atas Keharusan Niat
Bahwa setiap bentuk ibadah membutuhkan niat, didasari oleh hadits nabawi berikut ini :

إِنَّمَا الأَعْماَلُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلٍّ امْرِءٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya amal ibadah itu harus dengan niat. Dan setiap orang mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya. (HR. Bukhari)

Selain itu juga ada hadits yang menyebutkan betapa pentingnya kedudukan niat di dalam hati.

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak melilhat pada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat pada hati dan perbuatan kalian. (HR. Muslim)

3. Niat : Rukun, Syarat atau Fardhu?
Pada ulama berbeda pendapat tentang posisi niat dalam suatu ibadah, apakah menjadi rukun, syarat atau fardhu.

a. Rukun
Mazhab Asy-Syafi’iyah selalu menempatkan niat sebagai rukun dari suatu perbuatan ibadah formal, seperti wudhu, tayammum, mandi janabah, shalat, haji dan sebagainya.

Dasarnya karena pengertian niat dalam mazhab Asy-Syafi’iyah adalah tekat untuk mengerjakan sesuatu yang beriringan dengan pengerjaannya.

Artinya, niat itu dilakukan bersamaan dengan perbuatan, bukan dikerjakan sebelumnya. Dan apa-apa yang sudah masuk di dalam perbuatan, maka posisinya bukan syarat tetapi rukun.

Umumnya kita bangsa Indonesia yang nota bene bermazhab Asy-Syafi’iyah, sejak kecil selalu diajarkan tentang rukun-rukun ibadah, dan niat selalu berposisi pada urutan pertama dalam hampir semua jenis ibadah.

b. Syarat
Sebaliknya, umumnya mazhab-mazhab lain seperti Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dalam pendapat yang zhahir dan juga Al-Hanabilah mengatakan bahwa kedudukan niat dalam ibadah adalah syarat sah, dan bukan rukun dari ibadah itu.

Hal itu disebabkan karena dalam pandangan mereka bahwa niat itu harus sudah ada di dalam hati sebelum suatu ibadah dilakukan. Dan apa-apa yang harus sudah ada sebelum ibadah dilakukan, namanya syarat dan bukan rukun.

c. Fardhu
Sementara itu, sebagian kalangan mazhab Al-Malikiyah justru berpendapat bahwa posisi niat itu bukan rukun dan juga bukan syarat, tetapi sebuah fardhu dalam ibadah.

4. Hukum Melafadzkan Niat
Seluruh ulama sepakat bahwa tempat niat ada di dalam hati. Namun mereka berselisih pendapat tentang hukum melafadzkan niat di lidah, apakah hukumnya sunnah, makruh atau sekedar boleh.

a. Sunnah
Mazhab Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah memandang bahwa melafadzkan niat itu hukumnya sunnah, agar lisan sesuai dengan hati.

Al-Khatib Asy-Syarbini (w. 977) dari ulama mazhab Asy-Syafi'iyah dalam kitab Mughni Al-Muhtaj menyebutkan :
لأن التلفظ بالنية والتسمية سنة
Sebab melafadzkan niat dan basmalah hukumnya sunnah. [2]

Al-Buhuti (w. 1051) muallif kitab mazhab Al-Hanafiyah, Kasysyaf Al-Qinna' menyebutkan :
)واستحبه) أي التلفظ بالنية (سرا مع القلب كثير من المتأخرين) ليوافق اللسان القلب
Banyak dari ulama mutaakhkhirin memandang istihbab melafadzkan niat dengan lirih dalam hati, agar lisan sejalan dengan hati. [3]

b. Makruh
Mazhab Al-Hanabilah dan Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa hukum melafadzkan niat itu makruh.

Ibnu Najim (w. 970 H) yang merupakan ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Al-Asybah wa An-Nazhair menyebutkan :
لا يشترط مع نية القلب التلفظ في جميع العبادات
Tidak disyaratkan melafadzkan niat di dalam hati dalam semua bentuk ibadah.[4]

c. Boleh
Mazhab Al-Malikiyah memandang bahwa hukum melafadzkan niat itu boleh.

Ad-Dardir (w. 1230 H) di dalam kitab Asy-Syarhul Kabir menuliskan sebagai berikut :

)ولفظه) أي تلفظ المصلي بما يفيد النية كأن يقول نويت صلاة فرض الظهر مثلا (واسع) أي جائز بمعنى خلاف الأولى . والأولى أن لا يتلفظ لأن النية محلها القلب ولا مدخل للسان فيها
Dan melafadzan niat oleh orang yang shalat seperti nawaitu shalata fardhizh-zhurhi adalah masalah yang luas, yaitu hukumnya boleh walaupun termasuk tidak sejalan dengan utama. Yang utama adalah tidak melafadzkan niat karena tempat niat itu di dalam hati dan tidak ada kaitannya dengan lisan. [5]

5. Tempat Niat Dalam Hati
Dan sebenarnya seluruh ulama dari empat mazhab sudah sepakat bahwa yang namanya niat itu terletak di dalam hati dan bukan di lidah. Setidaknya, begitulah yang mereka definisikan, sebagaimana tercantum di atas. Tidak satu pun dari ulama mazhab yang menyebutkan bahwa niat itu adalah melafadzkan suatu teks tertentu di lidah kita.

Sehingga semua sepakat, bahwa orang yang melafadzkan niat shalat, tetapi di hatinya sama sekali tidak berniat untuk shalat, maka apa yang diucapkannya itu sama sekali bukan niat.

Misalnya ada seorang guru agama pagi-pagi sekali di depan kelasa mengajarkan lafadz niat itu di depan murid-muridnya. Dengan suara nyaring di depan kelas, pak guru itu mengulang-ulang lafadz :

أُصَلِّي فَرْضَ المَغْرِبِ ثَلاَثَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ أَدَاءًا لِلَّهِ تَعَالَى
Sengaja aku shalat fardhu Maghrib tiga rakaat menghadap kiblat karena Allah ta’ala

Lalu murid-muridnya pun berteriak mengulangi apa yang diucapkan pak guru. Dan begitu berulang-ulang sampai lebih dari 10 kali hingga mereka hafal luar kepala.

Yang jadi pertanyaan, setelah melafadzkan ushalli lebih dari 10 kali dengan suara nyaring, apakah pak guru dan murid-muridnya itu memang benar-benar berniat untuk segera melakukan shalat Maghrib?

Jawabnya tentu tidak. Karena lafadz itu sekedar diajarkan atau dilatih untuk dihafal saja, bukan benar-benar ada niat mau shalat. Lagian, mereka mengucapkannya pagi-pagi di kelas, sementara shalat Maghrib itu sendiri waktunya saat matahari terbenam.

Contoh ini menunjukkan dengan mudah, bahwa melafadzkan niat itu tidak ada hubungannya dengan niat itu. Walau pun kita melafadzkannya berkali-kali, bahkan dengan suatu yang sekedar-kerasnya, selama di dalam hati kita tidak berniat, namanya bukan niat.

6. Lidah Berbeda Dengan Hati : Mana Yang Dipakai?
Bila apa yang dilafadzkan lidah karena satu dan lain hal, ternyata tidak sesuai dengan yang ada di dalam hati sebagai maksud dan tujuan, lalu manakah yang dipakai, apakah yang dilafadzkan ataukah yang diniatkan di dalam hati?

Para ulama berdasarkan definisi dan pengertian niat, sepakat menyebutkan bahwa niat itu adalah apa yang tersirat di dalam hati, dan bukan apa yang diucapkan oleh lidah.

Sehingga kalau keduanya saling berbeda, entah salah, tidak sengaja atau lupa, maka yang dipakai menjadi pegangan adalah apa yang terbersit di dalam hati. Dan bukan apa yang diucapkan lidah. Sebab niat itu adalah aktifitas hati.

E. Takbiratul Ihram
Rukun yang kedua dalam ibadah shalat adalah mengucapkan takbir permulaan, atau sering juga disebut takbiratul-ihram (تكبيرة الإحرام). Dan di dalam mazhab Al-Hanafiyah, sering juga disebut dengan takbir al-iftitah (تكبير الإفتتاح) atau takbir tahrimiyah (تكبير تحريمة).

1. Makna
Makna takbiratul ihram adalah ucapan takbir yang menandakan dimulainya pengharaman, yaitu mengharamkan segala sesuatu yang tadinya halal menjadi tidak halal atau tidak boleh dikerjakan di dalam shalat, seperti makan, minum, berbicara dan sebagainya.

2. Dalil
Dalil tentang kewajiban bertakbir adalah firman Allah SWT :

وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
Dan Tuhanmu agungkanlah (bertakbirlah untuknya). (QS. Al-Muddatstsir : 3)

Juga ada dalil dari hadits Rasulullah SAW :

مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطَّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Kunci shalat itu adalah kesucian dan yang mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir". (HR. Khamsah kecuali An-Nasai)

Dari Rufa'ah Ibnu Rafi' bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tidak sah shalat serorang hamba hingga dia berwudhu' dengan sempurna dan menghadap kiblat lalu mengucapkan Allahu Akbar. (HR. Ashabus Sunan dan Tabarany)

Bila kamu shalat maka bertakbirlah. (HR. Muttafaqun Alaihi)

3. Kedudukan Takbiratul Ihram
Lafaz takbiratul-ihram adalah mengucapkan lafadz Allahu Akbar, artinya Allah Maha Besar. Sebuah dzikir yang murni dan bermakna pengakuan atas penghambaan diri anak manusia kepada Sang Maha Pencipta. Ketika seseorang mengucapkan takbiratul-ihram, maka dia telah menjadikan Allah SWT sebagai prioritas perhatiannya dan menafikan hal-hal lain selain urusan kepada Allah dan aturan dalam shalatnya.

Lafaz ini diucapkan ketika semua syarat wajib dan syarat sah shalat terpenuhi. Jadi dilakukan ketika sudah menghadap ke kiblat dalam keadaan suci badan, pakaian dan tempat dari najis dan hadats. Begitu juga sudah menutup aurat, tahu bahwa waktu shalat sudah masuk dan lainnya.

4. Takbir Makmum Bersama Imam
Jumhur ulama mengharamkan makmum memulai takbir permulaan shalat ini kecuali bila imam sudah selesai bertakbir. Dengan dasar berikut ini :

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا
Imam itu dijadikan untuk diikuti, maka jangan berbeda dengannya. Bila dia bertakbir maka bertakbirlah (HR. Muttafaq Alaihi)

Sedangkan kalangan Al-Hanafiyah membolehkan makmum bertakbir bersama-sama dengan imam.

F. Berdiri
Berdiri tegak telah disepakati oleh para ulama sebagai bagian dari rukun shalat. Shalat fardhu wajib dilakukan dengan berdiri, bila tidak ada udzur syar’i.

1. Dalil
Dalil tentang keharusan berdiri di dalam shalat ada banyak, diantaranya dalil berdasarkan firman Allah SWT :

وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ
Berdirilah untuk Allah dengan khusyu'. (QS. Al-Baqarah : 238)

Juga ada hadits nabawi yang mengharuskan berdiri untuk shalat.

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ t أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيّ َ rعَنْ صَلاَةِ الرَّجُلِ قَاعِدًا فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
Dari 'Imran bin Hushain radhiyallahuanhu bahwa beliau bertanya kepada Nabi SAW tentang shalat seseorang sambil duduk, beliau bersabda,"Shalatlah dengan berdiri, bila tidak sanggup maka sambil duduk dan bila tidak sanggup sambil berbaring".(HR. Bukhari)

2. Hukum
Berdiri hukumnya adalah rukun dalam shalat fardhu lima waktu. Maka bila shalat fardhu dilakukan tanpa berdiri, shalat itu kehilangan rukunnya dan akibatnya shalat itu menjadi tidak sah.

Sedangkan untuk shalat nafilah (sunnah) tidak diwajibkan berdiri, meskipun mampu berdiri. Jadi seseorang diperbolehkan melakukan shalat sunnah dengan duduk saja tidak berdiri, meski badannya sehat dan mampu berdiri.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ t أَنَّ النَّبِيَّ r كَانَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ الْمَكْتُوبَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW shalat di atas kendaraannya menuju ke arah Timur. Namun ketika beliau mau shalat wajib, beliau turun dan shalat menghadap kiblat. (HR. Bukhari)

عَنْ جَابِرٍ t كَانَ رَسُول اللَّهِ r يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW shalat di atas kendaraannya, menghadap kemana pun kendaraannya itu menghadap. Namun bila shalat yang fardhu, beliau turun dan shalat menghadap kiblat. (HR. Bukhari)

Hadits ini menegaskan bahwa beliau SAW tidak melakukan shalat fardhu yang lima waktu di atas punggung unta. Shalat di atas punggung unta itu hanya manakala beliau melakukan shalat sunnah saja.

Sedangkan untuk shalat fardhu 5 waktu, bila kebetulan beliau sedang dalam perjalanan, beliau kerjakan dengan turun dari untanya, menjejak kaki ke atas tanah

إِنَّ رَسُول اللَّهِ r كَانَ يُوتِرُ عَلَى الْبَعِيرِ
Sesungguhnya Rasulullah SAW melakukan shalat witir di atas untanya. (HR. Bukhari)

3. Syarat
Para fuqaha mazhab sepakat mensyaratkan bahwa berdiri yang dimaksud adalah berdiri tegak. Tidak boleh bersandar pada sesuatu seperti tongkat atau tembok, kecuali buat orang yang tidak mampu. Terutama bila tongkat atau temboknya dipisahkan, dia akan terjatuh.

Adapun As-Syafi'iyah tidak mengharamkan melainkan hanya memakruhkan saja. Dan Al-Malikiyah hanya mewajibkan berdiri tegak tanpa bersandar kepada benda lain pada saat membaca Al-Fatihah saja. Sedangkan di luar bacaan Al-Fatihah dibolehkan bersandar.

4. Keringanan          
Hadits ini juga sekaligus menjelaskan bahwa berdiri hanya diwajibkan untuk mereka yang mampu berdiri. Sedangkan orang-orang yang tidak mampu berdiri, tentu tidak wajib berdiri. Misalnya orang yang sedang sakit yang sudah tidak mampu lagi berdiri tegak.

Orang yang sedang sakit bila tidak mampu berdiri tegak, dibolehkan berdiri dengan bersandar pada dinding atau tongkat demi untuk menopang tubuhnya. Dan apabila dirasa hal itu belum cukup, dia dibolehkan shalat sambil duduk. Namun bila kemudian dia merasa mampu untuk berdiri, maka shalatnya kembali dilakukan sambil berdiri.

Dan bila dirasa duduk pun tidak memungkinkan, maka orang yang sedang sakit itu boleh shalat sambil berbaring.

Bahkan orang sakit itu bila tidak mampu bergerak sama sekali, cukuplah baginya menganggukkan kepada saja menurut Al-Hanafiyah, atau dengan mengedipkan mata atau sekedar niat saja seperti pendapat Al-Malikiyah. As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa bisa dengan mengerakkan anggota tubuh itu di dalam hati.

G. Membaca Al-Fatihah
Dalam hal membaca surat Al-Fatihah, ada tiga masalah utama yang perlu dibahas. Pertama, adanya perbedaan pandangan dari mazhab Al-Hanafiyah yang menyebutkan bahwa surat Al-Fatihan bukan termasuk rukun shalat. Kedua, masalah hukum membaca surat Al-Fatihah bagi makmum. Ketiga, tentang membaca lafadz basmalah, apakah bagian dari surat Alfatihah atau bukan.

1. Jumhur vs Mazhab Al-Hanafiyah
Membaca surat Al-Fatihah dimasukkan sebagai rukun shalat oleh kebanyakan ulama, kecuali pendapat mazhab Al-Hanafiyah.

a. Jumhur : Rukun
Jumhur ulama seperti mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat menyebutkan bahwa membaca surat Al-Fatihah adalah rukun shalat, dimana shalat seseorang tidak sah tanpa membacanya.

Dalil yang mereka kemukakan adalah hadits nabawi yang secara tegas menyebutkan tidak sahnya shalat tanpa membaca surat Al-Fatihah :

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ القُرْآنِ
Dari Ubadah bin Shamit ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Tidak sah shalat kecuali dengan membaca ummil-quran (surat Al-Fatihah)"(HR. Bukhari Muslim)

b. Al-Hanafiyah : Bukan Rukun
Namun mazhab Al-Hanafiyah agak sedikit berbeda. Mereka menyebutkan bahwa meski surat Al-Fatihah ini tetap harus dibaca, namun kedudukan surat Al-Fatihah bukan termasuk rukun di dalam shalat. Menurut mereka, kedudukannya sebatas pada wajib saja.

Dasar pendapat Al-Hanafiyah ini merujuk kepada ayat Al-Quran tentang apa yang harus dibaca di dalam shalat :

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
Maka bacalah apa yang mudah dari ayat Al-Quran. (QS.Al-Muzzammil : 20)

2. Apakah Makmum Wajib Membaca Al-Fatihah?
Ketentuan bahwa membaca surat Al-Fatihah adalah rukun shalat adalah pendapat jumhur ulama, khususnya bagi orang yang shalat sendirian (munfarid) atau bagi imam yang memimpin shalat.

Namun para ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca surat Al-Fatihah bagi makmum yang shalat dibelakang imam, apakah tetap wajib membacanya, ataukah bacaan imam sudah cukup bagi makmum, sehingga tidak perlu lagi membacanya?

a. Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa seorang makmum dalam shalat jamaah yang jahriyah (yang bacaan imamnya keras) untuk tidak membaca apapun kecuali mendengarkan bacaan imam. Sebab bacaan imam sudah dianggap menjadi bacaan makmum.

Namun kedua mazhab ini sepakat untuk shalat yang sirriyah, dimana imam tidak mengeraskan bacaannya, para makmum lebih disukai (mustahab) untuk membacanya secara perlahan juga.

Dasar landasan pendapat mereka adalah hadits Nabi SAW berikut ini :

مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ الإْمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ
Orang yang punya imam maka bacaan imam adalah bacaan baginya.(HR. Ibnu Majah)

b. Mazhab Al-Hanafiyah
Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa makmum secara mutlak tidak perlu membaca surat Al-Fatihah, baik di dalam shalat jahriyah atau pun sirriyah. Bahkan mereka sampai ke titik mengharamkan makmum untuk membaca Al-Fatihah di belakang imam. Dasar pelarangan ini adalah ayat Al-Quran yang turun berkenaan dengan kewajiban mendengarkan bacaan imam.

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا
Dan apabila dibacakan Al-Quran, dengarkannya dan perhatikan. (QS. Al-A’raf : 204)

Dalam mazhab ini, minimal yang bisa dianggap sebagai bacaan Al-Quran adalah sekadar 6 huruf dari sepenggal ayat. Seperti mengucapkan tsumma nazhar, dimana di dalam lafaz ayat itu ada huruf tsa, mim, mim, nun, dha' dan ra'.

Namun ulama mazhab ini yaitu Abu Yusuf dan Muhammad mengatakan minimal harus membaca tiga ayat yang pendek, atau satu ayat yang panjangnya kira-kira sama dengan tiga ayat yang pendek. [6]

c. Mazhab As-Syafi'i
Mazhab As-syafi'iyah mewajibkan makmum dalam shalat jamaah untuk membaca surat Al-Fatihah, baik dalam shalat jahriyah maupun shalat sirriyah.

Dasarnya adalah hadits-hadits shahih yang sudah disebutkan :

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ القُرْآنِ
Dari Ubadah bin Shamit ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Tidak sah shalat kecuali dengan membaca ummil-quran (surat Al-Fatihah)"(HR. Bukhari Muslim)

Namun mazhab Asy-Syafi’iyah juga memperhatikan kewajiban seorang makmum untuk mendengarkan bacaan imam, khususnya ketika di dalam shalat jahriyah.

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا
Dan apabila dibacakan Al-Quran, dengarkannya dan perhatikan. (QS. Al-A’raf : 204)

Disini ada dua dalil yang secara sekilas bertentangan. Dalil pertama, kewajiban membaca surat Al-Fatihah. Dalil kedua, kewajiban mendengarkan bacaan surat Al-Fatihah yang dibaca imam.

Dalam hal ini mazhab Asy-syafi’iyah nampaknya menggunakan tariqatul-jam’i (طريقة الجمع), yaitu menggabungkan dua dalil yang sekilas bertentangan, sehingga keduanya bisa tetap diterima dan dicarikan titik-titik temu di antara keduanya.

Thariqatul-jam’i yang diambil adalah ketika imam membaca surat Al-Fatihah, makmum harus mendengarkan dan memperhatikan bacaan imam, lalu mengucapkan lafadz ‘amin’ bersama-sama dengan imam. Begitu selesai mengucapkan, masing-masing makmum membaca sendiri-sendiri surat Al-Fatihah secara sirr (tidak terdengar).

Dalam hal ini, imam yang mengerti thariqatul-jam’i yang diambil oleh mazhab Asy-Syafi’iyah ini akan memberikan jeda sejenak, sebelum memulai membaca ayat-ayat Al-Quran berikutnya. Dan jeda itu bisa digunakan untuk bernafas dan beristirahat sejenak.

Namun dalam pandangan mazhab ini, kewajiban membaca surat Al-Fatihah gugur dalam kasus seorang makmum yang tertinggal dan mendapati imam sedang ruku'. Maka saat itu yang bersangkutan ikut ruku' bersama imam dan sudah terhitung mendapat satu rakaat.[7]

3. Apakah Basmalah Termasuk Al-Fatihah?
Terkait dengan surat Al-Fatihah, sering menjadi perdebatan orang-orang awam tentang bacaan basmalah (bismillahirrahmanir-rahim) di dalam surat Al-Fatihah. Ada sebagian orang yang tidak membaca basmalah saat membaca surat Al-Fatihah, dan hal itu menjadi bahan perdebtan yang tidak ada habisnya.

Masalah ini kalau kita mau runut ke belakang, ternyata berhulu dari perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah lafadz basmalah itu bagian dari surat Al-Fatihah atau bukan. Sebagian ulama mengatakan basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah, dan sebagian yang lain mengatakan bukan.

a. Mazhab Al-Hanafiyah
Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa basmalah bukan bagian dari surat Al-Fatihah. Kalau pun kita membacanya di awal surat Al-Fatihah, kedudukannya sunnah ketika membacanya.

Namun mazhab ini tetap mengatakan bahwa bacaan basmalah pada surat Al-Fatihah sunnah untuk dibaca, dengan suara yang sirr atau lirih.

As-Sarakhsi (w. 483 H) di dalam kitabnya Al-Mabsuth menuliskan sebagai berikut :

والمسألة في الحقيقة تنبني على أن التسمية ليست بآية من أول الفاتحة ولا من أوائل السور عندنا
Dan masalahnya pada dasarnya dibangun di atas logika bahw basmalah itu bukan ayat pertama dari surat Al-Fatihah dan juga bukan ayat pertama dari surat-surat menurut kami. [8]

Al-Kasani (w. 587 H) menuliskan di dalam kitab Badai' As-Shanai' sebagai berikut : jilid 1 hal. 203

فعند أصحابنا ليست من الفاتحة ولا من رأس كل سورة
Menurut ulama kami basmalah itu bukan termasuk surat Al-Fatihah dan juga bukan termasuk awal dari surat.[9]

Al-Marghinani (w. 593 H) di dalam kitab Al-Hidayah fi Syarhi Bidayah Al-Mubtadi menuliskan sebagai berikut 1 - 49

ويقرأ بسم الله الرحمن الرحيم هكذا نقل في المشاهير ويسر بهما
Dan membaca bismillahirrahmanirrahim -demikian dinaqal dalam al-masyahhir- dengan melirihkannya.[10]

Ibnu Najim (w. 970 H) menuliskan di dalam kitabnya Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq sebagai berikut :

قوله وسمى سرا في كل ركعة أي ثم يسمي المصلي بأن يقول: بسم الله الرحمن الرحيم هذا هو المراد بالتسمية هنا
(Qauluhu : dan bertasmiyah secara sirr di setiap rakaat) Orang yang shalat membaca bismilillahirrahmanirrahim. Dan itulah yang dimaksud dengan tasmiyah disini.[11]

b. Mazhab Al-Malikiyah
Sedangkan pandangan mazhab Al-Malikiyah, basmalah bukan bagian dari surat Al-Fatihah. Sehingga tidak boleh dibaca dalam shalat baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Dan juga baik dalam shalat jahriyah maupun sirriyah.

Al-Imam Malik (w. 179 H) menuliskan pendapatnya di dalam kitabnya Al-Mudawwanah sebagai berikut :

وقال مالك: لا يقرأ في الصلاة بسم الله الرحمن الرحيم في المكتوبة لا سرا في نفسه ولا جهرا
Al-Imam Malik berkata,"Di dalam shalat tidak perlu membaca bismillahirrahmanirrahim, yaitu dalam shalat fardhu, tidak sir dalam hati dan tidak jahr. [12]

Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) di dalam kitabnya Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah menuliskan sebagai berikut : 1 - 201

ولا يقرأ فيها بسم الله الرحمن الرحيم لا سرا ولا جهرا وهو المشهور عن مالك وتحصيل مذهبه عند أصحاب
Dan tidak membaca bismillahirrahmanirrahim baik secara sir atau jahr. Dan itulah yang masyhur dari Imam Malik dan mazhabnya. [13]

Dasarnya adalah hadits berikut ini :

صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُول اللَّهِ r وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ فَكَانُوا يَفْتَتِحُونَ الْقِرَاءَةَ بِالْحَمْدِ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَلاَ يَذْكُرُونَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فِي أَوَّل قِرَاءَةٍ وَلاَ فِي آخِرِهَا
Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu berkata,”Aku shalat di belakang Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahuanhum. Mereka memulai qiraat dengan membaca Al-Hamdulillahirabbil ‘alamin, dan tidak membaca bismillahirramanirrahim di awal qiraat atau di akhirnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ada satu pendapat di kalangan ulama mazhab Al-Malikiyah yang membolehkan seseorang membaca basmalah di dalam Al-Fatihah, namun khusus untuk shalat sunnah dan bukan shalat wajib.

c. Mazhab As-Syafi'iyah
Menurut mazhab As-Syafi'iyah, lafaz basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah. Sehingga wajib dibaca dengan jahr (dikeraskan) oleh imam shalat dalam shalat jahriyah.

Asy-Syairazi (W. 476 H) menuliskan di dalam kitabnya Al-Muhadzdzab sebagai berikut 1 - 138

ويجب أن يبتدئها بسم الله الرحمن الرحيم فإن آية منها والدليل عليه ما روت أم سلمة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قرأ بسم الله الرحمن الرحيم فعدها آية منها ولأن الصحابة رضي الله عنهم أثبتوها فيما جمعوا من القرآن فيدل على أنها آية منها فإن كان في صلاة يجهر فيما جهر بها كما يجهر في سائر الفاتحة
Wajib untuk memulai Al-Fatihah dengan bismillahirrahmanirrahim, karena merupakan salah satu ayatnya. Kalau shalatnya jahr, maka basmalah dibaca jahr juga sebagaimana ayat lainnya.[14]

An-Nawawi (w. 676 H) menuliskan di dalam kitabnya Raudatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin sebagai berikut : 1 - 242

فرع: (بسم الله الرحمن الرحيم) آية كاملة من أول الفاتحة بلا خلاف، وأما باقي السور، سوى (براءة) فالمذهب أنها آية كاملة من أول كل سورة أيضا
Bismillahirrahmanirrahim adalah ayat yang sempurna yang merupakan ayat pertama dari Al-Fatihan tanpa adanya perbedaan pendapat. Sedangkan pada surat-surat lainnya kecuali Baraah menurut mazhab juga termasuk ayat sempurna dari awal tiap surat.[15]

Al-Haitami (w. 974 H) menuliskan dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj sebagai berikut :

والأصح أنها آية كاملة من أول كل سورة
Yang lebih shahih bahwa basmalah itu adalah ayat yang sempurna pada tiap awal surat. [16]

Dalilnya adalah hadits berikut ini :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r إِذَا قَرَأْتُمْ الفَاتِحَةِ فَاقْرَءُوا ( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ) فَإِنَّهَا إِحْدَى آيَاتِهَا
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Bila kamu membaca surat Al-Fatihah, maka bacalah bismillahirrahmanirrahim, karena bismillahir rahmanirrahim adalah salah satu ayatnya". (HR. Ad-Daruquthuny).

فَاتِحَةُ الْكِتَابِ سَبْعُ آيَاتٍ إِحْدَاهُنَّ : بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Fatihatul-kitab (surat Al-Fatihah) berjumlah tujuh ayat. Ayat pertama adalah bismillahirrahmanirrahim. (HR. Al-Baihaqi)

عَنْ عَلِيٍّ t كَانَ إِذَا افْتَتَحَ السُّورَةَ فِي الصَّلاَةِ يَقْرَأُ : بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu, beliau berkata,"Rasulullah SAW memulai shalat dengan membaca bismillahirrahmanirrahim.

Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dengan isnad yang shahih dari Ummi Salamah. Dan dalam kitab Al-Majmu' ada enam orang shahabat yang meriwayatkan hadits tentang basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah.[17]

d. Mazhab Al-Hanabilah
Sedangkan dalam pandangan Al-Hanabilah, basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah, namun tidak dibaca secara keras (jahr), cukup dibaca pelan saja (sirr). Bila kita perhatikan imam Al-Masjidil Al-haram di Mekkah, tidak terdengar membaca basmalah, namun mereka membacanya. Umumnya orang-orang disana bermazhab Hanbali.

Ibnu Qudamah (w. 620 H) menuliskan di dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut : jilid 1 hal. 344

مسألة: قال: (ويبتدئها ببسم الله الرحمن الرحيم) وجملة ذلك أن قراءة (بسم الله الرحمن الرحيم) مشروعة في الصلاة في أول الفاتحة، وأول كل سورة في قول أكثر أهل العلم
Masalah : Beliau berkata : Dan memulainya dengan bismillahirrahmanirrahim. Maka membacanya masyru' di dalam shalat pada awal Al-Fatihah dan awal tiap surat, menurut pendapat kebanyakan ahli ilmu.

مسألة: قال: (ولا يجهر بها) يعني (بسم الله الرحمن الرحيم) ولا تختلف الرواية عن أحمد أن الجهر بها غير مسنون
Masalah : Beliau berkata : Dan tidak menjaharkannya (bismillahirrahmanirrahim). Tidak ada perbedaan riwayat dari Al-Imam Ahmad bahwa menjaharkan tidak disunnahkan. [18]

H. Ruku'
Ruku' adalah gerakan membungkukkan badan dan kepala dengan kedua tangan diluruskan ke lulut kaki. Dengan tidak mengangkat kepala tapi juga tidak menekuknya. Juga dengan meluruskan punggungnya, sehingga bila ada air di punggungnya tidak bergerak karena kelurusan punggungnya.

1. Dalil
Dalil yang menjadi dasar perintah untuk melakukan ruku' adalah firman Allah SWT.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (QS. Al-Hajj : 77)

2. Posisi
Dan juga hadits Rasulullah SAW berikut ini.

عَنْ عَائِشَةَ t قَالَتْ رَأَيْتُهُ r إِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ
Dari Aisyah radhiyallahuanhu berkata,"Aku melihat beliau SAW ketika ruku' meletakkan tangannya pada lututnya." (HR. Muttafaqun Alaihi)

3. Wajib Thuma'ninah
Untuk sahnya gerakan ruku', posisi seperti ini harus terjadi dalam beberapa saat. Tidak boleh hanya berupa gerakan dari berdiri ke ruku' tapi langsung bangun lagi. Harus ada jeda waktu sejenak untuk berada pada posisi ruku' yang disebut dengan istilah thuma'ninah. Dalilnya adalah sabda Nabi SAW berikut ini :

عَنْ أَبيِ قَتَادَةَ t أَنّ الَّنِبيَّ r قَالَ أَسْوَءُ النَّاسِ سَرِقَةً الذِّي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ قِيْلَ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهَا وَلاَ سُجُوْدَهَا وَلاَ خُشُوْعَهَا
Dari Abi Qatadha berkata bahwa Rasululah SAW bersabda,"Pencuri yang paling buruk adalah yang mencuri dalam shalatnya". Para shahabat bertanaya,"Ya Rasulallah, bagaimana mencuri dalam shalat?". "Dengan cara tidak menyempurnakan ruku' dan sujudnya". atau beliau bersabda,"Tulang belakangnya tidak sampai lurus ketika ruku' dan sujud". (HR. Ahmad, Al-Hakim, At-Thabarany, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban)

4. Bacaan Ruku'
Disunnahkan untuk membaca tasbih pada saat ruku', dengan dasar hadits berikut ini.

لَمَّا نَزَلَتْ فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ قَال رَسُول اللَّهِ r : اجْعَلُوهَا فِي رُكُوعِكُمْ
Ketika turun ayat (Maka bertasbihlah dengan nama Tuhanmu yang agung), Rasulullah SAW bersabda,"Jadikanlah tasbih itu di dalam ruku'mu.

Namun apa lafadz tasbih dan berapa kali yang dibaca, para ulama berbeda pendapat.

a. Mazhab Al-Hanafiyah
Mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa tasbih di dalam ruku' hukumnya sunnah yang harus diulang tiga kali. Apabila ketika ruku' seseorang tidak membaca tasbih, atau kurang dari tiga kali, hukumnya makruh.

b. Mazhab Al-Malikiyah
Di dalam mazhab Al-Malikiyah, tasbih dalam ruku' hukumnya mandub, apa pun lafadznya tidak menjadi masalah. Dan tidak harus tiga kali. Lafadz tasbih yang paling utama menurut mazhab ini adalah :
سُبْحَانَ رَبِّيَ العَظِيْمِ وَ بِحَمْدِهِ
Maha suci Allah yang Maha Agung dengan segala pujian untuk-Nya.

c. Mazhab Asy-Syafi'iyah
Dalam mazhab Asy-Syafi'iyah disunnahkan tasbih minimal sekali, setidak-tidaknya ucapan subhanallah (سبحان الله), atau subhana rabbi (سبحان ربي).

Namun kalau mau lebih sempurna, adalah subhana rabbiyal adhimi wa bihamdih (سبحان ربي العظيم وبحمده), diucapkan tiga kali, dan boleh juga lebih dari tiga, yaitu lima, tujuh, sembilan atau sebelas kali.

Namun bila dalam shalat berjamaah yang lima waktu, imam tidak diperkenankan untuk membaca lebih dari tiga kali. Ini merupakan ketentuan dalam shalat fardhu berjamaah, imam lebih disunnahkan.

I. I'tidal
I'tidal adalah gerakan bangun dari ruku' dengan berdiri tegap dan merupakan rukun shalat yang harus dikerjakan menurut jumhur ulama.

Dasarnya adalah firman Allah SWT yang menyebutkan hanya ruku' dan sujud tanpa menyebutkan i'tidal.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (QS. Al-Hajj : 77)

1. I’tidal Rukun : Jumhur vs Al-Hanafiyah
Jumhur ulama dari mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Haanbilah sepakat menetapkan bahwa i'tidal adalah rukun dari shalat.

Namun pendapat Al-Hanafiyah yang agak tidak kompak sesama mereka. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa i'tidal tidak termasuk rukun shalat, melainkan hanya kewajiban saja. Sebab i'tidal hanyalah konsekuensi dari tuma'ninah.

Namun sebagian ulama mazhab ini seperti Abu Yusuf dan yang lainnya mengatakan bahwa i'tidal adalah rukun shalat yang tidak boleh ditinggalkan. Menurut mereka, bila seseorang shalat tanpa i'tidal maka shalatnya batal dan tidak sah.

2. Bacaan I’tidal
Bacaan yang diperintahkan ketika i’tidal, sekurang-kurangnya adalah tahmid rabbana wa laka al-hamdu. Dasarnya adalah beberapa hadits berikut ini :

Dari Abu Hurairah bahwasa Nabi SAW mengucapkan Sami’ allahu Liman Hamidahu (Allah Maha Mendengar terhadap orang yang memuji-Nya) ketika mengangkat punggungnya dari ruku'. Kemudian ketika berdiri, beliau membaca :

رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ
Wahai Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat yang lain ada tambahan sebagai berikut :

Barangsiapa bacaannya bersamaan dengan bacaan malaikat, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari)

Dan kalau mungkin, disunnahkan ditambah dengan bacaan-bacaan yang antara lain ditunjukkan dalam hadits berikut:

Dari Ubaid bin al-Hasan dari Abu Aufa, ia berkata bahwa Rasulullah SAW ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ mengucapkan, sami’ allahu liman hamidah :

رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمِلْءُ ماَ شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
Ya Allah ya Tuhan kami, bagi-Mu-lah segala puji, sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki sesudah itu.” (Musnad al-Mustkhraj ‘ala shahih Muslim)

Dan bisa juga bacaan lainnya yang diriwayatkan dalam hadits berikut ini :

Dari Rafi’, sesungguhnya ia berkata bahwa pada suatu hari kami shalat di belakang Rasulullah maka tatkala beliau bangkit dari ruku’, beliau mengucapkan sami'allahu li man hamidah. Kemudian ada seorang laki-laki di belakang beliau yang membaca:

رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَاركَاً فِيْهِ
Ya Allah ya Tuhan kami, bagi-Mu-lah segala pujian yang banyak, yang baik dan yang ada barakah di dalamnya.”

Maka tatkala Rasulullah SAW selesai mengerjakan shalat, beliau bertanya, “Siapa yang tadi membaca doa.” Seorang laki-laki menjawab, ‘Saya!’ Maka Rasulullah SAW berkata, ‘Saya melihat 37 Malaikat tergopoh-gopoh untuk segera menjadi penulis yang pertama’.” (HR. Khuzaimah).

Dan bisa juga bacaan lainnya yang diriwayatkan dalam hadits berikut ini :

Dari Abu Said al-Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah SAW ketika bangun dari ruku’ (i’tidal) beliau mengucapkan:

رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمِلْءُ ماَ شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ. اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الجَدِّ مِنْكَ الجَدِّ
Ya Allah, bagi Engkaulah segala puja dan puji, sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh apa saja yang engkau kehendaki. Ya Allah Tak ada yang mampu menghalangi apa yang akan Engkau berikan dan tidak ada pula yang mampu memberikan apa yang Engkau larang dan tidaklah kekayaan itu dapat menolong yang empunya kecuali seizin Engkau. (HR. Muslim)

3. Posisi Tangan
Umumnya para ulama mengatakan bahwa posisi tangan adalah lurus dan badan tegak dengan sikap sempurna. Namun ada juga yang mengatakan bahwa posisi tangan bersedekap

a. Lurus
Pendapat ini mengatakan bahwa posisi tangan lurus dan tidak bersedekap. Pendapat ini didasarkan pada pengertian dari hadits-hadits berikut ini:

Kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau berdiri dengan tegak [sehingga tiap-tiap ruas tulang belakangmu kembali pata tempatnya].” (dalam riwayat lain disebutkan: “Jika kamu berdiri i’tidal, luruskanlah punggungmu dan tegakkanlah kepalamu sampai ruas tulang punggungmu mapan ke tempatnya).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Selain itu juga ada hadits lainnnya yang senada :

Allah, Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Mahamulia tidak mau melihat shalat seseorang yang tidak meluruskan punggungnya ketika berdiri di antara ruku’ dan sujudnya (i’tidal, pent.) (HR. Ahmad dan Thabarani)

Dan juga hadits berikut ini :

Dari ‘Aisyah radhiyallahuanha berkata bahwa apabila beliau SAW mengangkat kepalanya dari ruku', maka tidak langsung sujud sebelum berdiri lurus terlebih dahulu (HR. Muslim)

Dari Ibnu Atha’, ia berkata,"Aku mendengar Abu Humaid berkata, Rasulullah SAW ketika shalat…kemudian beliau i’tidal sampai semua tulangnya kembali ke tempat semula.” (HR. Ibnu Hibban)

b. Bersedekap
Pendapat kedua adalah pendapat yang mengatakan bahwa pasa saat i'tidal, posisi tangan kanan di atas tangan kiri atau menggenggamnya dan menaruhnya di dada, ketika telah berdiri.

Hal itu berdasarkan hadits-hadits di bawah ini:

Wa-il bin Hujr berkata: “Saya melihat Rasulullah SAW apabila beliau berdiri dalam shalat, beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya.” (HR. An-Nasa’i)

Selain itu juga ada dalil yang lainnya :

Dari Sahl bin Sa’d ia berkata bahwa para sahabat diperintah agar meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam shalat. (HR. Bukhari)

J. Sujud
1. Pengertian
Secara bahasa, sujud berarti
- al-khudhu' (الخضوع)
- at-tazallul (التذلل) yaitu merendahkan diri badan.
- al-mailu (الميل) yaitu mendoncongkan badan ke depan.

Sedangkan secara syar'i, yang dimaksud dengan sujud menurut jumhur ulama adalah meletakkan 7 anggota badan ke tanah, yaitu wajah, kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung kedua tapak kaki.

2. Pensyariatan Sujud
Al-Quran Al-Kariem memerintahkan kita untuk melakukan sujud kepada Allah SWT. Dasarnya adalah hadits Nabi :

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ : عَلَى الجَبْهَةِ - وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى أَنْفِهِ - وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ القَدَمَيْنِ
Dari Ibnu Abbas ra berkata,"Aku diperintahkan untuk sujud di atas 7 anggota. (Yaitu) wajah (dan beliau menunjuk hidungnya), kedua tangan, kedua lutut dan kedua tapak kaki.(HR. Bukhari dan Muslim (

3. Mana Lebih Dulu : Lutut atau Tangan?
Dalam masalah ini ada dua dalil yang sama-sama kuat namun menunjukkan cara yang berbeda. Sehingga menimbulkan perbedaan pendapat juga di kalangan ulama.

Jumhur ulama umumnya mengatakan bahwa yang disunnahkan ketika sujud adalah meletakkan kedua lutut di atas tanah telebih dahulu, baru kemudian kedua tangan lalu wajah. Dan ketika bangun dari sujud, belaku sebaliknya, yang diangkat adalah wajah dulu, kemudian kedua tangan baru terakhir lutut. Dasar dari praktek ini adalah hadits berikut ini.

عَنْ وَائِل بن حُجْر t قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ الله إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
Dari Wail Ibnu Hujr berkata,"Aku melihat Rasulullah SAW bila sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Dan bila bangun dari sujud beliau mengangkat tangannya sebelum mengangkat kedua lututnya. (HR. Khamsah kecuali Ahmad)

Namun Al-Malikiyah berpendapat sebaliknya, justru yang disunnahkan untuk diletakkan terlebih dahulu adalah kedua tangan baru kemudian kedua lututnya. Dalil mereka adalah hadits berikut ini :

عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ t قَالَ قَالَ رَسُولُ الله r إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ البَعِيْرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ ثُمَّ رُكْبَتَيْهِ
Dari Abi Hurariah radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasululah SAW bersabda,"Bila kamu sujud janganlah seperti duduknya unta. Hendaklah kamu meletakkan kedua tangan terlebih dahulu baru kedua lutut. (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Tirmizy)

Ibnu Sayid An-Nas berkata bahwa hadits yang menyebutkan tentang meletakkan tangan terlebih dahulu lebih kuat. Namun Al-Khattabi mengatakan bahwa hadits ini lebih lemah dari hadits yang sebelumnya.

Maka demikianlah para ulama berbeda pendapat tentang mana yang sebaiknya didahulukan ketika melakukan sujud. Dan Imam An-Nawawi berkata bahwa diantara keduanya tidak ada yang lebih rajih (lebih kuat). Artinya, menurut beliau keduanya sama-sama kuat dan sama-sama bisa dilakukan.

a. Madzhab Hanafi
Dalam kitab-kitab muktamad mazhab Al-Hanafiyyah seperti Fathul Qadir karya Ibnu Al-Humam (w. 861), atau Badai’ As-Shanai’ karya Al Kasani (w. 587) memang tidak ditemukan pembahasan tentang masalah ini.

Namun Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah menyebutkan bahwa madzhab Al-Hanafiyah dalam hal ini sependapat dengan jumhur, yaitu mendahulukan lutut sebelum tangan dalam sujud. Namun tidak dijelaskan secara jelas siapa sajakah ulama dari kalangan Hanafiyah yang menyebutkanya.

b. Madzhab Maliki
Didalam madzhab malikiyah sendiri, hal ini tidak terlalu dipermasalahkan. Dan cenderung memberikan kebebasan dalam memilih keduanya. Tetapi terjadi perselisihan yang mana yang lebih utama.

Ibn Abdil Bar (w. 463) dalam kitabnya Al-Kafi Fi Fiqhi Ahli Al-Madinah cenderung memilih mendahulukan lutut dalam bersujud. Baru kemudian diikuti dengan tangan. Tetapi tidak mengapa jika dilakukan sebaliknya menurut faqih dari kalangan Malikiyah

فإن وقع منه إلى الأض ركبتاه ثم يداه ثم وجهه فحسن وإلا فلا حرج في الرتبة في ذلك ولا حرج فيه عندنا
Kemudian jika yang terlebih dahulu menyentuh tanah adalah lututnya, baru diikuti kedua tanganya maka hasan(baik). Dan ketika terjadi sebaliknya, maka tidak mengapa dengan urutan tersebut didalam madzhab kami.[1]

Al-Qarafi (w. 684) dari ulama malikiyah di dalam kitabnya Adz-Dzakhirah lebih memilih mendahulukan tangan dalam bersujud. Beliau tidak mengungkapkanya dengan pernyataanya sendiri. Tetapi menuqil perkataan Al-Qodhi Abdul wahhab sebagai pendapat yang disetujuinya.

فَإِذَا نَزَلَ لِلسُّجُودِ هَلْ يَنْزِلُ عَلَى يَدَيْهِ أَوْ رُكْبَتَيْهِ؟ قَالَ الْقَاضِي عَبْدُ الْوَهَّابِ ذَلِكَ وَاسْعٌ وَالْيَدَانِ أَحْسَنُ
Dan ketika menunduk untuk sujud, tangan terlebih dahulu ataukah lutut? Al-qodhi Abdul Wahhab mengatakan: bebas memilih keduanya. Tetapi mendahulukan tangan lebih baik.[2]

c. Madzhab Syafi’i
Berbeda dengan madzhab Maliki, Madzhab syafi’i lebih tegas dalam hal ini. Dan memilih mendahuukan kedua lutut dalam sujud sebagai pendapatnya. Serta menyatakan kemakruhan jika menyelisihya. Dan mereka berhujaah dengan hadist Wail bin Hujr.

Imam Nawawi (w. 676) mujtahid murajjih dalam madzhab Syafi’i mengatakan di dalam kitab Al Majmu’ Syarh Al muhadzab bahwa pendapat resmi madzhab adalah mendahulukan lutut ketika sujud. Dengan merdalil dengan hadist Wail bin Hujr. Dalam kitabnya Al

مَذْهَبُنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُقَدِّمَ فِي السُّجُودِ الرُّكْبَتَيْنِ ثُمَّ الْيَدَيْنِ ثُمَّ الْجَبْهَةَ وَالْأَنْفَ
Madzhab kami berpendapat bahwa disunahkan mendahulukan kedua lutut dalam sujud, kemudian kedua tangan dan diikuti kening dan hidung.[3]

Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari (w. 926h) dalam kitabnya Asna Al-Mathalib Syarh Raudh At Thalib juga dengan jelas memilih pendapat resmi madzhab Syafi’i.

فِي السُّجُودِ (أَنْ يَضَعَ رُكْبَتَيْهِ) وَقَدَمَيْهِ (ثُمَّ يَدَيْهِ) أَيْ كَفَّيْهِ
Dalam sujud, dengan meletakan dua lutut dan telapak kaki kemudian diikuti kedua tangan(telapak tangan). [4]

Dan dengan tegas menyatakan kemakruhan jika menyelisihi runtutan diatas.

فَلَوْ خَالَفَ التَّرْتِيبَ أَوْ اقْتَصَرَ عَلَى الْجَبْهَةِ كُرِهَ
Dan jika menyelisihi runtutan tersebut , atau hanya sujud diatas kening maka dimakruhkan. [5]

d. Madzhab Hanbali
Ibnu Qudamah (w. 620) dari kalangan Hanabilah kali ini sependapat dengan Syafi’iyah. Dimana beliau me-nyunnah-kan mendahulukan lutut ketika bersujud. Dan menggunakan kata mustahab dalam menyatakan kesunnahanya.
(وَيَكُونُ أَوَّلُ مَا يَقَعُ مِنْهُ عَلَى الْأَرْضِ رُكْبَتَاهُ، ثُمَّ يَدَاهُ، ثُمَّ جَبْهَتُهُ وَأَنْفُهُ) هَذَا الْمُسْتَحَبُّ فِي مَشْهُورِ الْمَذْهَبِ
Adapun yang pertama kali menyentuh tanah adalah lutut, diikuti kedua tangan serta kening dan hidung. Dan cara ini mustahab menurut madzhab yang masyhur.[6]

Ibnu Taymiyah (w. 728h) fuqaha’ yang bermadzhab Hanbali lebih longgar dalam menanggapi perbedaan ini. Dalam kitabnya Majmu’ Al Fatawa beliau membebaskan untuk memilih keduanya. Tanpa me-rajih-kan salah satu dari dua pendapat yang ada.

إنْ شَاءَ الْمُصَلِّي يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِنْ شَاءَ وَضَعَ يَدَيْهِ ثُمَّ رُكْبَتَيْهِ وَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ فِي الْحَالَتَيْنِ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ
Jika musholi menghendaki boleh baginya meletakan kedua lutut sebelum tanganya. Dan jika menghendaki boleh juga meletakan kedua tanganya sebelum lututnya. Dan sholatnya tetap sah dengan kedua cara tersebut melalui kesepakatan ulama.[7]

Al Mardawi (w. 885h) dari kalangan Hanabilah juga mendukung pendapat Ibn Qudamah. Yaitu mendahulukan kedua lutut. Dan menyatakan bahwa pendapat inilah yang menjadi pendapat resmi madzhab Hanbali.

(فَيَضَعُ رُكْبَتَيْهِ، ثُمَّ يَدَيْهِ) هَذَا الْمَذْهَبُ، وَعَلَيْهِ الْأَصْحَابُ، وَهُوَ الْمَشْهُورُ عَنْ أَحْمَدَ، وَعَنْهُ يَضَعُ يَدَيْهِ ثُمَّ رُكْبَتَيْهِ
Kemudian meletakan lututnya diikuti kedua tanganya. Ini adalah pendapat resmi madzhab (Hanbali). Dan pendapat ini juga yang dipilih ulama Hanabilah. Dan juga yang masyhur dari Imam Ahmad. Tetapi diriwayatkan juga dari Imam Ahmad meletakan tangan terlebih dahulu kemudian lutut. [8]

e. Madzhab Dzahiri
Ibn Hazm (w. 456h) terlihat sangat kontras dengan ulama’ lain dalam hal ini. Beliau dengan tegas mengatakan wajib mendahulukan tangan ketika sujud. Dan menyebutnya dengan fardhu, seperti dalam kitabnya Al Muhalla bil Atsar.

وَفَرْضٌ عَلَى كُلِّ مُصَلٍّ أَنْ يَضَعَ - إذَا سَجَدَ - يَدَيْهِ عَلَى الْأَرْضِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ وَلَا بُدَّ
Fardhu Bagi setiap musholli untuk meleakan (ketika sujud) kedua tanganya terlebih dahulu sebelum lututnya. Dan itu harus. [9]

4. Bekas Sujud Kehitaman di Dahi
'Bekas sujud' di dahi adalah sebuah istilah yang bisa kita dapat di dalam ayat Al-quran. Silahkan anda buka mushaf dan carilah surat ke-48, yaitu surat Muhammad dan perhatikan ayat yang ke-29. Di sana Allah SWT berfirman :

سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ
Tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud . (QS. Al-Fath : 29)

Kalau kita perhatikan isi informasi ayat di atas, istilah 'bekas sujud' bukan hanya populer di dalam Al-Quran, melainkan juga ada di dalam kitab sebelumnya, seperti Taurat dan Injil, yang asli tentunya. Dan 'bekas sujud' itu menjadi ciri khas para shahabat Nabi Muhammad SAW.

Namun ada hal yang perlu digaris-bawahi secara hati-hati. Sebab banyak di antara umat Islam yang kemudian memahami ayat ini secara harfiyah. Bekas sujud itu kemudian dipahami sebagai warna kulit yang kehitaman di dahi seseorang.

Apakah memang benar? Dan apakah warna kehitaman di dahi itu selalu menunjukkan keimanan dan ketaqawaan seseorang?

Nah, di sini kita harus sedikit lebih cermat. Memang bisa saja karena seseorang banyak melakukan shalat, termasuk shalat malam, maka secara tidak sengaja, dahinya jadi berwarna kehitaman. Tentu hal ini baik, bukan sekedar karena dahinya berwarna hitam, tetapi karena memang banyak shalat.

Namun kalau secara sengaja ditekan-tekannya dahinyake lantai, agar bisa membekas dan akhirnya berwarna kehitaman, tentu lain urusannya. Sebab esensi ayat itu bukan para warna hitam di dahi, melainkan karena banyaknya shalat.

Dan banyak shalat itulah yang ingin dikemukakan oleh ayat ini, yakni bahwa mereka adalah orang yang sering dan banyak melakukan shalat. Dan disebutkan dengan istilah bekas sujud, karena sujud itu identik dengan shalat, ditambah lagi sujud itu selalu dilakukan 2 kali dalam satu rakaat. Padahal semua gerakan yang lain hanya dilakukan 1 kali saja.

Namun perlu ditekankan bahwa orang yang dahinya jadi kehitaman memang karena banyak melakukan sujud itu salah. Insya Allah dia akan mendapatkan keutamaan karena banyak shalatnya.

Hanya yang perlu dipahami adalah warna kehitaman di dahi itu tidak selalu menunjukkan bahwa orang itu banyak shalat. Dan juga belum tentu ada jaminan bahwa shalatnya itu pasti diterima Allah SWT. Dan bukan juga lambang dari ketaqwaan seseorang.

Malah kita harus hati-hati dalam masalah dahi hitam ini, sebab alih-alih mendapat pahala, boleh jadi kalau diiringi dengan rasa sombong dan riya', malah akan jadi bumerang.

Bukankah Allah SWT telah berfirman tentang celakanya orang yang shalat namun lalai dan berperilakuriya'. Dan salah satu pintu riya' dari ibadah shalat ini adalah memamerkan dahi yang berwarna kehitaman itu di depan manusia. Lalu seolah berbangga bahwa dirinya adalah orang paling dekat kepada Allah serta selalu paling benar dalam semua hal.

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya. (QS. Al-Maun: 1-3)

Bekas Sujud Akan Nampak di Akhirat

Kita menemukan hadits yang shahih terkait dengan fungsi 'bekas sujud' ini. Namun manfaatnya bukan untuk dikenal orang di alam dunia ini, melainkan untuk bisa dikenali Allah SWT di akhirat nanti.

Jika Allah ingin memberikan rahmat kepada ahli neraka, maka Dia memerintahkan malaikat untuk mengeluarkan mereka yang menyembah Allah. Lalu malaikat mengeluarkan mereka. Mereka dikenali karena ada bekas sujud pada wajahnya. Dan Allah mengharamkan neraka untuk memakan tanda bekas sujud sehingga mereka keluar dari neraka. Seluruh anak Adam bisa dimakan api neraka, kecuali bekas sujud. (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa orang yang shalatnya baik di dunia ini dan punya bekas sujud, nanti di akhirat kalau sudah terlanjur masuk neraka, akan dikeluarkan dari dalamnya. Dan cara untuk mengenalinya adalah dari cahaya bekas sujud yang memancar dari dahinya.

Dan bahwa cahaya bekas sujud itu tidak akan hilang termakan oleh panasnya api neraka.

Adapun bekas sujud yang sifatnya seperti cahaya di akhirat nanti, kita dapati keterangannya dari hadits lainnya berikut ini.

Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada seorang pun dari umatku kecuali aku mengenalnya pada hari kiamat kelak." Para shahabat bertanya, "Ya Rasulallah, bagaimana anda mengenali mereka di tengah banyaknya makhluk?" Beliau menjawab, "Tidakkah kamu lihat, jika di antara sekumpulan kuda yang berwarna hitam terdapat seekor kuda yang berwarna putih di dahi dan kakinya? Bukankah kamu dapat mengenalinya?" "Ya", jawab shahabat. "Sesungguhnya pada hari itu umatku memancarkan cahaya putih dari wajahnya bekas sujud dan bekas air wudhu'. (HR Ahmad dan Tirmizy)

Semoga Allah SWT menjadikan dahi kita ini memancarkan cahaya di akhirat nanti, sehingga termasuk orang yang akan dibela oleh Rasulullah SAW.

K. Duduk Antara Dua Sujud
Duduk antara dua sujud adalah rukun menurut jumhur ulama, yaitu mazhab Al-Malikiyah, Asy-syafi’iyah dan Al-Hanabilah.

Sedangkan menurut mazhab Al-Hanafiyah, duduk antara dua sujud ini hukumnya hanya merupakan kewajiban dan bukan termasuk dalam rukun shalat.

1. Posisi Duduk
Posisi duduknya adalah duduk iftirasy (افتراش), yaitu dengan duduk melipat kaki ke belakang dan bertumpu pada kaki kiri.

Maksudnya kaki kiri yang dilipat itu diduduki, sedangkan kaki yang kanan dilipat tidak diduduki namun jari-jarinya ditekuk sehingga menghadap ke kiblat.

Posisi kedua tangan diletakkan pada kedua paha dekat dengan lutut dengan menjulurkan jari-jarinya.

2. Dalil
Dalil nash tentang duduk ini adalah hadits Rasulullah SAW berikut ini :

ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ اليُسْرَى وَقَعَدَ عَلَيْهَا
Kemudian beliau SAW melipat kaki kirinya dan duduk di atasnya.

وَكاَنَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ اليُسْرَى وَيَنْصِبُ اليُمْنَى
Dan beliau mengiftirasykan kaki kiri dan menegakkan kaki kanan.

3. Bacaan
Ketika duduk diantara dua sujud, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW membaca beberapa lafadz yang berbeda. Di antaranya adalah lafadz-lafadz berikut ini :

رَبِّ اغْفِرْليِ وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي وَاهْدِنيِ وَعَافِنِي وَاعْفُ عَنِّي
Ya Allah ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupkanlah aku, angkatlah derajatku, berilah aku petunjuk, jadikanlah aku sehat dan berilah rizki. (HR Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Ata boleh juga membaca lafadz lain yang lebih singkat, seperti berikut ini :

رَبِّ اغْفِرْليِ رَبِّ اغْفِرْليِ
Wahai Tuhan, ampunilah aku, ampunilah aku

L. Duduk Tasyahhud Akhir
Duduk tasyahhud akhir merupakan rukun shalat menurut jumhur ulama dan hanya kewajiban menurut Al-Hanafiyah.

1. Al-Hanafiyah
Menurut Al-Hanafiyah, posisi duduk tasyahhud akhir sama dengan posisi duduk antara dua sujud, yaitu duduk iftirasy.

Al-Kasani (w. 587 H) ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya Badai'u Ash-Shanai' sebagai berikut :

أَمَّا كَيْفِيَّتُهَا فَالسُّنَّةُ أَنْ يَفْتَرِشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى فِي الْقَعْدَتَيْنِ جَمِيعًا وَيَقْعُدُ عَلَيْهَا وَيَنْصِبُ الْيُمْنَى نَصْبًا
Adapun cara duduknya menurut sunnah adalah dengan mengiftirasykan kaki kiri kedua posisi duduk dan duduk di atasnya dan melempangkan kaki kanan.[10]

Ibnul Humam (w. 861 H) yang juga ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya Fathul Qadir sebagai berikut :

وَجَلَسَ فِي الْأَخِيرَةِ كَمَا جَلَسَ فِي الْأُولَى) لِمَا رَوَيْنَا مِنْ حَدِيثِ وَائِلٍ وَعَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -، وَلِأَنَّهَا أَشَقُّ عَلَى الْبَدَنِ، فَكَانَ أَوْلَى مِنْ التَّوَرُّكِ الَّذِي يَمِيلُ إلَيْهِ مَالِكٌ
Dan posisi duduk (tahiyat) akhir seperti posisi duduk pada (tahiyat) awal, sebagaimana kami riwayatkan dari hadits Wail dan Aisyah. Dan posisi itu lebih enak buat badan, lebih utama dari duduk tawaruk yang menjadi pilihan Imam Malik.[11]

Dasar atas fatwa ini adalah hadits berikut :

عَنْ وَائِل بنِ حجر t قَدِمْتُ المَدِيْنَةَ لأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاَةِ رَسُوْلِ الله r فَلَمَّا جَلَسَ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اليُسرَى وَوَضَعَ يَدَهُ اليُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ اليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اليُمْنَى
Dari Wail Ibnu Hajar,"Aku datang ke Madinah untuk melihat shalat Rasulullah SAW. Ketika beliau duduk (tasyahhud), beliau duduk iftirasy dan meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya dan menashabkan kakinya yang kanan". (HR. Tirimizy)

2. Al-Malikiyah
Adapun Al-Malikiyah sebagaimana diterangkan di dalam kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir menyunnahkan untuk duduk tawaruk baik pada tasyahhud awal maupun untuk tasyahhud akhir. Dalilnya adalah hadits Nabi :

Dari Ibnu Mas'ud berkata bahwa Rasulullah SAW duduk di tengah shalat dan akhirnya dengan duduk tawaruk.

3. Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah
Sedangkan jumhur ulama menetapkan bahwa posisi duduk untuk tasyahhud akhir adalah duduk tawaruk. Posisinya hampir sama dengan istirasy, namun posisi kaki kiri tidak diduduki melainkan dikeluarkan ke arah bawah kaki kanan. Sehingga duduknya di atas tanah tidak lagi di atas lipatan kaki kiri seperti pada iftirasy.

Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah sama-sama berpendapat bahwa untuk duduk tasyahhud akhir, yang disunnahkan adalah duduk tawaruk ini.

Namun keduanya berbeda pendapat ketika bicara tentang duduk tasyahhud akhir untuk shalat yang dua rakaat dan tidak ada tasyahhud awalnya, seperti shalat shubuh, shalat Jum’at, shalat witir satu raka’at, shalat Dhuha, shalat Idul Fithri dan Idul Adha serta umumnya shalat-shalat Sunnah yang lainnya. Pertanyaannya : apakah duduknya tawaruk atau iftirasy?

a. Madzhab Syafi’i:
Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa duduk pada saat tasyahud akhir baik yang memiliki dua raka’at maupun yang hanya memiliki satu tasyahud maka semuanya dilakukan dengan duduk tawarruk.

Mereka berdalil dengan hadits Abu Humaid As Sa’idi, beliau berkata:

أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ r رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ اْلأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ.
“Aku adalah orang yang paling hafal shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diantara kalian. Aku melihat beliau apabila bertakbir maka beliau mensejajarkan kedua tangannya dengan kedua pundaknya, apabila beliau ruku’ maka beliau meletakkan kedua tangannya diatas kedua lututnya kemudian beliau meluruskan punggungnya, apabila beliau bangun dari ruku’ maka beliau berdiri tegak hingga tulang punggungnya kembali ketempat asalnya, apabila beliau sujud maka beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan juga tidak melekatkannya (pada lambungnya) serta beliau menghadapkan jari-jari kaki beliau kearah kiblat, apabila beliau duduk pada raka’at kedua maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy), dan apabila beliau duduk pada raka’at terakhir maka beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya serta beliau duduk diatas tempat duduknya –bukan diatas kaki kirinya- (duduk tawarruk). (HR. Al Bukhari).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, ‘Imam Syafi’i dan para sahabat kami berkata:

“Hadits Abu Humaid jelas membedakan antara dua duduk tasyahud, sedangkan hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang muthlaq, maka wajib dibawakan sesuai dengan hadits ini (hadits Abu Humaid). Barangsiapa yang meriwayatkan duduk tawarruk, maka yang dimaksud adalah duduk tasyahud akhir, dan barangsiapa yang meriwayatkan duduk iftirasy, maka yang dimaksud adalah duduk tasyahud awal, dan harus diadakan penggabungan (al-jam’u) antara hadits-hadits yang shahih, terlebih hadits Abu Humaid As Sa’idi ini telah disetujui oleh sepuluh orang pembesar para sahabat radhiyallahuanhum.[12]

Hadits Abu Humaid ini juga datang dengan lafazh-lafazh lain yang semakin memperkuat pendapat madzhab Syafi’i ini, diantaranya:

حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي فِيْهَا التَّسْلِيْمُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شِقِّهِ الْأَيْسَرِ.
“Hingga tatkala sampai sujud terakhir yang ada salamnya, maka Nabi mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk dengan tawarruk diatas sisi kiri beliau.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Diantaranya juga:

حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي تَكُوْنُ خَاتِمَةَ الصَّلَاةِ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْهُمَا وَأَخَّرَ رِجْلَهُ وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى رِجْلِهِ
“Hingga tatkala sampai pada sujud yang merupakan penutup shalat, maka beliau mengangkat kepalanya dari dua sujud tersebut dan beliau mengeluarkan kakinya serta duduk tawarruk diatas kakinya.” (HR. Ibnu Hibban).

Diantaranya juga:

إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيْهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ
“Apabila sampai kepada raka’at terakhir yang menutup shalat, maka beliau mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk tawarruk diatas sisinya kemudian beliau salam.” (HR. An Nasa’i)

b. Madzhab Hanbali
Madzhab Hanbali berpendapat bahwa untuk shalat yang hanya memiliki satu tasyahud maka duduknya adalah duduk iftirasy. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, ‘Dan tidaklah dilakukan duduk tawarruk kecuali pada shalat yang memiliki dua tasyahud, yaitu pada tasyahud yang kedua.[13]

Mereka berdalil dari beberapa hadits, diantaranya hadits ‘Aisyah radhiyallahuanha :

وَكَانَ يَقُوْلُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
“Adalah beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) mengucapkan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy). (HR. Muslim).

Selain itu juga ada hadits Abdullah bin Az Zubair radhiyallahuanhuma :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ r إِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اِفْتَرَشَ الْيُسْرَى وَ نَصَبَ الْيُمْنَى
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila duduk pada dua raka’at, beliau menghamparkan yang kiri dan menegakkan yang kanan (duduk iftirasy).” (HR. Ibnu Hibban).

Dan ada juga hadits Wail bin Hujr radhiyallahuanhu :

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ r حِيْنَ جَلَسَ فِي الصَّلاَةِ اِفْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika duduk dalam shalat beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy).” (HR. Ibnu Khuzaimah).

M. Membaca Lafazdz Tasyahhud Akhir
Rukun shalat yang kesepuluh adalah membaca lafadz tasyahhud atau tahiyat akhir. Ada banyak hadits yang kita terima tentang lafadz ini sesuai dengan riwayat dari para shahabat yang berbeda dan yang digunakan di masing-masing mazhab.

1. Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah
Di dalam mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah, tasyahhud yang digunakan adalah versi tasyahhud yang Rasulullah SAW ajarkan kepada Abdullah bin Maz'ud radhiyallahuanhu sebagaimana disebutkan di dalam Shahih Bukhari.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ t قَالَ: كُنَّا نَقُولُ: التَّحِيَّةُ فِي الصَّلاَةِ، وَنُسَمِّي وَيُسَلِّمُ بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ فَسَمِعَهُ رَسُولُ اللَّهِ r فَقَالَ: " قُولُوا: التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، فَإِنَّكُمْ إِذَا فَعَلْتُمْ ذَلِكَ فَقَدْ سَلَّمْتُمْ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ لِلَّهِ صَالِحٍ فِي السَّمَاءِ وَالأَرْضِ
Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahuanhu berkata,"Sebelumnya kami mengucapkan tahiyat dalam shalat, menyebut nama orang, memberi salam sesama kami, lalu Rasulullah SAW mendengar dan meluruskan,"Bacalah : Penghormatan untuk Allah, beserta shalawat dan thayyibat. Salam untukmu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan keberkahannya. Salam untuk kita dan untuk hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Bila kalian membaca itu maka akan terbawa juga hamba di langit atau antara langit dan bumi (HR. Bukhari)

2. Mazhab Al-Malikiyah
Tasyahhud versi mazhab Al-Malikiyah adalah tasyahhud yang didasarkan pada hadits riwayat Umar bin Al-Khattab radhiyallahunahu sebagaimana yang terdapat di dalam beberapa kitab hadits seperti Al-Muwaththa'[14], Musnad Asy-Syafi'i[15], Sunan Ad-Daruquthni[16], Al-Mustadrak ala Ash-Shahihain[17], As-Sunan Al-Kubra[18] dan lainnya.

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يُعَلِّمُ النَّاسَ التَّشَهُّدَ. يَقُولُ: قُولُوا: التَّحِيَّاتُ للهِ، الزَّاكِيَاتُ للهِ، الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ للهِ ...
Dari Abdurrahman bin Al-Qari bahwa dia mendengar Umar bin Al-Khattab di atas mimber mengajarkan orang-orang lafadz tasyahhud,"Bacalah penghormatan untuk Allah, pujian untuk Allah, shalawat untuk Allah . . . (HR. Malik, Syafi'i, Ad-Daruquthni,

Hanya ada sedikit variasi berbedaan pada awal-awal lafadznya saja, selebihnya sama dengan versi Abdullah bin Mas'ud di atas.

3. Mazhab Asy-Syafi'iyah
Dalam mazhab Asy-Syafi'iyah lafadz tasyahhud diambil dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, sebagaimana tertuang dalam Sunan Abu Daud[19], Sunan Ibnu Majah[20] dan Musnad Asy-Syafi'i[21].

كَانَ رَسُولُ اللهِ r يُعلِّمُناَ التَّشَهُّدُ كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّوْرَةَ مِنَ القُرْآنِ فَكاَنَ يَقُولُ: التَّحِيَّاتُ المبُاَركَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهاَ النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْناَ وَعَلَى عِباَدِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ محمداً رَسُولُ الله
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata,"Rasulullah SAW mengajarkan tasyahhud kepada kami seperti mengajarkan satu surat dalam Al-Quran dan beliau bersabda,"Penghormatan, keberkahan, shalawat dan thayyibat untuk Allah. Salam untukmu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan keberkahannya. Salam untuk kita dan untuk hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. (HR. Asy-syafi'i, Ibnu Majah dan Abu Daud).

N. Membaca Shalawat
1. Hukum
Ada perbedaan pendapat tentang hukum membaca shalawat pada tahiyat akhir, antara yang mengatakan rukun dan sunnah.

a. Rukun
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menegaskan bahwa membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, sehabis membaca doa tasyahhud merupakan rukun shalat. Dan lafadz shalawat itu diucapkan dalam posisi duduk tasyahud akhir.

Sedangkan membaca shalawat ibrahimiyah hukumnya sunnah menurut mazhab asy-Syafi’iyah, dan wajib menurut mazhab Al-Hanabilah.

b. Sunnah
Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah memandang bahwa membaca shalawat atas Nabi SAW hukumnya sunnah, bukan merupakan kewajiban.

2. Dalil
Adapun dalil atas keharusan membaca shalawat kepada Nabi SAW dalam tasyahhud akhir ini adalah hadis-hadits berikut ini.

Di antaranya adalah hadits Ka’ab bin Ujrah. Beliau berkata bahwa Rasulullah SAW ditanya oleh para shahabat,”Allah telah mengajarkan bagaimana caranya memberi salam kepada Anda, lantas bagaimana caranya kami bershalawat kepada Anda?”.

Maka Rasulullah SAW bersabda,”Katakanlah :

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ
“Ya Allah berikanlah rahmat kepada Muhammad dan  keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahaagung. Ya Allah berilah karunia kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan karunia kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahaagung. (HR. Bukhari dan Muslim)

Selain itu juga ada hadits lain riwayat Al-Atsram bin Fudhalah bin Ubaid radhiyallahuanhu. Beliau menyebutkan bahwa Rasulullah SAW mendengar seseorang berdoa dalam shalatnya tanpa memuji Allah dan bershalawat kepada Rasulullah. Maka beliau SAW bersabda :

إِذَا صَلىَّ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَمْجِيْدِ رَبِّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ لِيُصَلِّ عَلىَ النَّبِيِّ ثُمَّ لِيَدْعُ بَعْدَ مَا شَاءَ
Bila salah seorang dari kalian shalat, maka awali dengan mengagungkan dan memuji tuhannya, kemudian bershalawat kepada Nabi, kemudian barulah meminta apa yang dia inginkan. (HR. At-Tirmizy)

O. Mengucapkan Salam Pertama
Salam merupakan bagian dari fardhu dan rukun shalat yang juga berfungsi sebagai penutup shalat.

1. Dalil
Dalilnya tentang salam sebagai rukun shalat dan juga sebagai penutup shalat adalah hadits berikut :

عَنْ عَلِيٍّ t قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله r مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطَّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Kunci shalat itu adalah kesucian (thahur) dan yang mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir". (HR. Muslim)

2. Salam Pertama dan Kedua
Dalam shalat dikenal ada dua salam, yaitu salam pertama dan kedua. Tentang hukum masing-masing salam itu, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.

a. Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah
Salam pertama adalah fardhu shalat menurut para fuqaha, seperti Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah. Sedangkan salam yang kedua bukan fardhu melainkan sunnah.

b. Mazhab Al-Hanabilah
Namun menurut Al-Hanabilah, kedua salam itu hukumnya fardhu, kecuali pada shalat jenazah, shalat nafilah, sujud tilawah dan sujud syukur. Pada keempat perbuatan itu, yang fardhu hanya salam yang pertama saja[22].

3. Lafadz Salam
Menurut As-Syafi’i, minimal lafadz salam itu adalah (السلام عليكم), cukup sekali saja.

Sedangkan menurut Al-Hanabilah, salam itu harus dua kali dengan lafadz (السلام عليكم ورحمة الله), dengan menoleh ke kanan dan ke kiri.

Tidak disunnahkan untuk meneruskan lafadz (وبركاته) menurut Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, dengan dalil :

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ t أَنَّ النَّبِيَّ r كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ حَتَّى يَرَى بَيَاضَ خَدِّهِ
Dari Ibni Mas’ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW memberi salam ke kanan dan ke kiri : Assalamu ‘alaikum warahmatullah Assalamu ‘alaikum warahmatullah, hingga nampak pipinya yang putih. (HR. At-Tirmizy)

4. Salam Menjadi Doa
Selain berfungsi sebagai penutup shalat dan menandai berakhirnya rangkaian ibadah shalat, salam ini juga merupakan doa yang disampaikan kepada orang-orang yang ada di sebelah kanan dan kirinya.

Dasarnya adalah hadits berikut ini :

أَمَرَناَ رَسُولُ اللهِ r أَنْ نَرُدَّ عَلىَ الإِمَامِ وَأَنْ نَتَحَابَّ وَأَنْ يُسَلِّمَ بَعْضُنَا عَلىَ بَعْضٍ
Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk menjawab salam imam, saling mencintai dan saling memberi salam sesama kami. (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Namun bila seseorang shalat sendirian dan tidak ada orang di kanan dan kirinya, maka salam itu menurut sebagian ulama diniatkan untuk disampaikan kepada jin dan malaikat.[23]

P. Tertib
1. Pengertian
Yang dimaksud dengan tertib adalah semua rukun itu dijalankan tidak secara acak-acakan, melainkan yang satu harus didahulukan dari yang lain. Dengan demikian bila urutannya tidak teratur sesuai dengan apa yang telah ditetapkan, maka ibadah itu pun menjadi tidak sah.

2. Dalil
Dalil nash atas keharusan tartib adalah apa yang selalu dilakukan secara rutin oleh Rasulullah SAW dalam shalat beliau, bahwa beliau selalu melakukannya dengan tartib dan urut sesuai dengan urutan yang seharusnya.

Dan di dalam hadits tentang praktek shalat beliau, selalu digunakan kata tsumma (ثمّ), yang artinya kemudian. Dan kata ini menunjukkan urutan.

Q. Thuma'ninah
1. Pengertian
Secara bahasa, kata thuma’ninah (طمأنينة) berarti :

السَّكُونُ بَعْدَ الحَرَكَةِ
Diam setelah bergerak

Dan dalam masalah shalat, thuma’ninah adalah

السَّكُونُ بَيْنَ حَرَكَتَين
Diam di antara dua gerakan

Maksudnya adalah ketika berada pada suatu posisi tertentu di dalam shalat, harus diam sejenak sebelum bergerak lagi.

2. Kedudukan
Menurut jumhurul ulama’, seperti Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, tuma’ninah merupakan rukun shalat, yaitu pada gerakan ruku’, i’tidal, sujud dan duduk antara dua sujud[24]. Sebagian ulama mazhab Asy-syafi’iyah menyebutkan bahwa hukum thuma’ninah adalah syarat sah rukun. Sedangkan dalam pandangan Mazhab Al-Hanafiyah, kedudukan tuma’ninah merupakan kewajiban.

3. Dalil
Ada banyak dalil nash terkait dengan thuma’ninah, antara lain hadits berikut ini :

ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتىَّ تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا
Kemudian ruku’lah hingga thuma’nimah dalam keadaan ruku’, kemudian bangunlah hingga berdiri tegak, kemudian sujudlah hingga thuma’ninah dalam sujud. (HR. Bukhari Muslim)

Selain itu juga ada hadits lainnya yang juga menjadi dasar atas keharusan melakukan thuma’ninah.

عَنْ حُذَيْفَة t أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً لاَ يُتِمُّ رَكُوْعَهُ وَلاَ سُجُوْدَهُ فَلَمَّا قَضَى صَلاَتَهُ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ حُذَيْفَة: مَا صَلَّيْتَ وَلَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ الفِطْرَةِ الَّتِي فَطَرَ اللَّهُ عَلَيْهَا مُحَمَّدًا r
Dari Hudzaifah ra bahwa beliau melihat seseorang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Ketika telah selesai dari shalatnya, beliau memanggil orang itu dan berkata kepadanya,”Kamu belum shalat, bila kamu mati maka kamu mati bukan di atas fitrah yang telah Allah tetapkan di atasnya risalah Nabi Muhammad SAW. (HR. Bukhari)

Footnote:
[1] Ibn Abdil Bar, Al-Kafi Fi Fiqhi Ahli Al-Madinah hal. 207 jilid 1.
[2] Al-Qarafi, Ad-Dzakhirah hal. 195 jilid 1.
[3] An-Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al muhadzab hal.421 jilid 3
[4] Zakariya Al Anshari, Asna Al Mathalib Syarh Raudh At-Thalib hal. 162 jilid 1
[5] Zakariya Al Anshari, Asna Al Mathalib Syarh Raudh At-Thalib hal. 162 jilid 1
[6] Ibnu Qudamah, Al-Mughni hal. 370 jilid 1.
[7] Ibnu Taymiyah, Majmu’ Al Fatawa, jilid 22 hal.449
[8] Al-Mardawi, Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, jilid 2 hal. 65
[9] Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar, jilid 3 hal 44
[10] Al-Kasani, Badai'u Ash-Shanai', jilid 1 hal. 211
[11] Ibnul Humam, Fathul Qadir, jilid 1 hal. 316
[12] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, jilid 3 hal. 413
[13] Ibnu Qudamah, Al-Mughni jilid 2 hal. 227
[14] Al-Imam Malik, Al-Muwaththa', jilid 2 hal. 124
[15] Al-Imam Asy-Syafi'i, Musnad Asy-Syafi'i ala Tartibi Sanjar, jilid 1 hal. 283
[16] Ad-Daruquthni, Sunan Ad-Daruquthni, jilid 2 hal. 162
[17] Al-Hakim, Al-Mustadrak ala Ash-Shahihain, jilid 1 hal. 398
[18] Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, jilid 2 hal. 205
[19] Abu Daud, Sunan Abu Daud, jilid 2 hal. 223
[20] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, jilid 2 hal. 68
[21] Al-Imam Asy-Syafi'i, Musnad Asy-Syafi'i ala Tartibi Sanjar, jilid 1 hal. 283
[22] Ibnu Qudamah, Al-Mughni jilid 1 hal. 551-558
[23] Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid 1 hal. 673
[24] Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid 1 hal. 675

Disarankan melihat sumber tulisan disinidisini dan disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.