Berbagai Sunnah Dalam Shalat*
Di antara perbuatan dan perkataan yang umumnya dianggap sebagai sunnah dalam shalat oleh para ulama, dengan segala detail istilahnya adalah hal-hal berikut ini.
1. Mengangkat Tangan Takbiratul Ihram
Al-Malikiyah dan As-Syafi'iyah menyebutkan bahwa disunnahkan untuk mengangkat tangan saat takbiratul ihram, yaitu setinggi kedua pundak. Dalil yang digunakan adalah hadits berikut ini :
عَنِ بْنِ عُمَرَ t أَنَّهُ r كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ
Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya setinggi pundaknya saat memulai shalatnya (HR. Muttafaq 'Alaihi)
Dan Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa laki-laki mengangkat tangan hingga kedua telinganya sedangkan wanita mengangkat sebatas pundaknya saja. Dalilnya yang mendasarinya adalah hadits berikut :
عَنِ وَائِلِ بْن حُجْرٍ t أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ r رَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ دَخَلَ فيِ الصَّلاَةِ وَكَبَّرَ وَصَفَّهُمَا حِيَالَ أُذُنَيْهِ
Dari Wail bin Hajr radhiyallahuanhu bahwa dia melihat Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat, lalu bertakbir dan meluruskan kedua tanggannya setinggi kedua telinganya.(HR. Muslim)
عَنِ البَرَّاءِ بْنِ عَازِبِ t كَانَ رَسُولُ اللهِ r إِذَا صَلىَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتىَّ تَكُوْنَ إِبهَامُهُ حِذَاءَ أُذُنَيْهِ
Dari Al-Barra' bin Azib bahwa Rasulullah SAW bila shalat mengangkat kedua tanggannya hingga kedua jempol tangannya menyentuh kedua ujung telinganya (HR. Ahmad, Ad-Daruquthny)
Sedangkan Al-Hanabilah menyebutkan bahwa seseorang boleh memilih untuk demikian atau mengangkat tangannya hingga kedua ujung telinganya.
Dalilnya adalah bahwa keduanya memang punya dasar hadits yang bisa dijadikan sandaran. Saat mengangkat kedua tangan, dianjurkan agar jari-jari terbuka tidak mengepal, sebagaimana pendapat jumhur, serta menghadap keduanya ke arah kiblat.
2. Bersedekap
Jumhur ulama selain Al-Malikiyah mengatakan bahwa disunnahkan untuk bersedekap, yaitu meletakkan tapak tangan kanan di atas tapak tangan kiri, dengan dalil berikut ini :
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ t أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ r رَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ دَخَلَ فيِ الصَّلاَةِ وَكَبَّرَ ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ اليُمْنَى عَلىَ كَفِّهِ اليُسْرَى وَالرِّسْغِ وَالسَّاعِدِ
Dari Wail bin Hajr radhiyallahuanhu bahwa dia melihat Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat, lalu bertakbir dan meletakkan tangan kanannya di atas tapak tangan kirinya, atau pergelangannya atau lengannya. (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa'i)
Sedangkan Al-Malikiyah tidak menganggap meletakkan tangan di atas dada dan lainnya itu sebagai sunnah. Bagi mazhab ini, posisi tangan dibiarkan saja menjulur ke bawah.
Pendapat ini juga dipilih oleh Hasan al-Bashri, an-Nakhai, al-Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij, Imam al-Baqir, an-Nashiriyyah. [1]
Bahkan mereka mengatakan bahwa hal itu kurang disukai bila dilakukan di dalam shalat fardhu 5 waktu, namun dibolehkan bila dilakukan dalam shalat sunnah (nafilah).
3. Meletakkan Antara Dada dan Pusar atau di Bawahnya
Sedangkan dimana diletakkan kedua tangan itu, para ulama sejak dahulu memang berbeda pendapat. Setidaknya di dalam pendapat para ulama mazhab empat ada dua posisi yang berbeda.
Pertama di bawah pusar, kedua di antara dada dan pusar, ketiga tangan tidak bersedakep dan lurus saja menjuntai ke bawah.
a. Di bawah Pusar : Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah
Mereka yang mengatakan bahwa posisi tangan itu di bawah pusar diantaranya adalah Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah. [2]
Imam Al-Kasani (w. 587 H) menuliskan dalam kitabnya Badai'u Ash-Shanai' sebagai berikut :
وأما محل الوضع فما تحت السرة في حق الرجل والصدر في حق المرأة
Adapun tempat bersedekap, adalah dibawah pusar untuk laki-laki dan di dada untuk perempuan.[3]
Al-Khiraqi (w. 334 H) juga menyebutkan tentang posisi tangan di bawah pusar dalam kitab Mukhtashar karyanya.
ثم يضع يده اليمنى على كوعه اليسرى ويجعلهما تحت سرته
Kemudian meletakkan tangan kanan diatas pergelangan tangan kiri, lalu meletakkannya dibawah pusar. [4]
Mereka yang berpendapat seperti ini umumnya berlandasan dengan hadits shahih berikut ini :
مِنَ السُّنَّةِ وَضْعُ اليَمِيْنِ عَلىَ الشِّمَالِ تَحْتَ السُّرَّةِ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu,"Termasuk sunnah adalah meletakkan kedua tangan di bawah pusat".(HR. Ahmad dan Abu Daud).
Tentu perkataan Ali bin Abi Thalib ini merujuk kepada praktek shalat Rasulullah SAW, sebagaimana beliau menyaksikannya.
Al-Hanabilah berkata bahwa maksud dari diletakkannya tangan pada bagian bawah pusar untuk menunjukkan kerendahan di hadapan Allah SWT.
b. Antara Pusar dan Dada : Asy-Syafi'iyah
Mazhab Asy-Syafi'iyah menyebutkan bahwa tangan diletakkan pada posisi antara dada dan pusar. Dan bahwa posisinya agak miring ke kiri, karena disitulah posisi hati, sehingga posisi tangan ada pada anggota tubuh yang paling mulia.
Al-Muzani (w. 264 H) menyebutkan dalam kitab Mukhtashar karyanya :
ويرفع يديه إذا كبر حذو منكبيه ويأخذ كوعه الأيسر بكفه اليمنى ويجعلها تحت صدره
Dan mengangkat kedua tangan ketika takbir sampai sebatas pundak, lalu bersedekap dengan telapak tangan kanan memegang pergelangan tangan kiri. Lalu meletakkannya dibawah dada. [5]
An-Nawawi (w. 676 H) juga menyebutkan dalam kitabnya, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, bahwa meletakkan tangan diantara dada dan pusar adalah pendapat yang shahih dan mansush dalam madzhab Asy-Syafi’i. [6]
c. Tangan di Dada
Kalau merujuk kepada pendapat ulama salaf, khususnya mazhab fiqih yang muktamad dalam ilmu fiqih, nampaknya tidak ada satu pun yang mengatakan bahwa posisi tangan sewaktu shalat di letakkan di dada.
Pendapat semacam itu baru kita temukan belakangan , di kalangan tokoh-tokoh mutaakkhkhirin, seperti As-Shan’ani, As-Syaukani, Al-Mubarakfuri dan Al-Albani. Mereka ini pada dasarnya bukan ulama fiqih yang mewakili mazhab fiqih tertentu dan hidup di masa yang jauh dari masa salafushshalih.
Ash-Shan'ani (w. 1182 H) dengan kitabnya Subulussalam menuliskan sebagai berikut :
وَالْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ الْوَضْعِ الْمَذْكُورِ فِي الصَّلَاةِ، وَمَحَلُّهُ عَلَى الصَّدْرِ كَمَا أَفَادَ هَذَا الْحَدِيثُ
Hadits ini menjadi dalil atas masyru'iyah dalam meletakkan tangan di atas dada sebagaimana hadits tersebut. [7]
Dalam pendapatnya beliau memang lebih cenderung memposisikan tangan di dada. Dan beliau wafat di tahun 1182 hijriyah, ada rentang waktu 12 abad sejak masa Rasulullah SAW.
Asy-Syaukani berpendapat dalam kitab Nailul Authar cenderung memposisikan tangan di dada. Beliau ulama yang wafat tahun 1250 hijriyah, sekitar seabad sesudah Ash-Shan'ani wafat.[8]
Al-Mubarakfuri yang juga memposisikan tangan di dada. Beliau menuliskan pendapatnya itu dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi. Beliau wafat tahun 1352 hijriyah. [9]
Al-Albani : terakhir yang berpendapat bahwa posisi tangan di dada adalah Al-Albani yang wafat di abad sekarang ini, tepatnya tahun 1420 hijriyah. Pendapatnya dituliskan dalam kitab kontroversial, Shifat Shalat Nabi.[10]
Namun sebelum masa mereka, tidak ada ulama yang mengatakan bahwa posisi tangan di dada. Setelah syariah Islam berusia 12 abad di dunia, barulah muncul pendapat yang mengatakan bahwa posisi tangan di dada.
Keliru Dalam Penisbatan
Memang ada kalangan tertentu yang menisbatkan pendapat ini kepada ulama salaf, tetapi setelah diteliti lebih dalam, ternyata penisbatan itu kurang tepat penisbatan itu.
Misalnya Imam al-Qurthubi (w. 671 H) menisbatkan pendapat ini kepada Shahabat Ali bin Abi Thalib (al-Qurthubi w. 671 H, Tafsir al-Qurthubi, h. 8/ 7311). Tetapi penisbatan ini tidak tepat. (Muhammad Syamsul Haq al-Adzimabadi w. 1329 H, at-Ta’liq al-Mughni, h. 1/ 285).
Ali bin Abu Bakar al-Marghinani al-Hanafi (w. 593 H) menisbatkan pendapat ini kepada Imam as-Syafi’i (w. 204 H) dalam kitabnya al-Hidayah fi Syarh Bidayat al-Mubtadi’, h. 1/ 47.
Penisbatan ini tidak tepat, karena pendapat Imam as-Syafi’i sebagaimana dinyatakan oleh ulama-ulama as-Syafi’iyyah tidak seperti itu (Lihat: Ismail bin Yahya al-Muzani w. 264 H, Mukhtashar al-Muzani, h. 107).
Nashiruddin Al-Albani (w. 1420 H) juga menisbatkan pendapat ini kepada Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) dalam kitabnya Irwa’ al-Ghalil, h. 2/ 71.
Penisbatan ini juga tidak tepat, karena menurut Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) justru yang lebih kuat secara dalil adalah meletakkan tangan dibawah pusar. (Ishaq bin Manshur al-Maruzi al-Kausaj w. 251 H, Masa’il al-Imam Ahmad wa Ishaq bin Rahawaih, h. 2/ 552).
Dalam masalah ini, bisa diambil sedikit gambaran bahwa malahan tak ada satupun ulama fiqih madzhab empat yang berpendapat meletakkan tangan diatas dada saat shalat.
Bahkan, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa meletakkan tangan di atas dada bagi Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) saat shalat hukumnya makruh.
3. Melihat ke Tempat sujud
As-Syafi'iyah dan para ulama lainnya mengatakan bahwa melihat ke arah tempat sujud adalah bagian dari sunnah shalat. Sebab hal itu lebih dekat ke arah khusyu'. Selain itu memang ada dalilnya.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ t قَالَ كَانَ رَسُولُ الله r إِذَا اسْتَفْتَحَ الصَّلاَة لمَ ْيَنْظُرْ إِلاَّ إِلَى مَوْضِعِ سُجُوْدِهِ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bila memulai shalat, tidak melihat kecuali ke arah tempat sujudnya.
Kecuali saat tahiyat, maka pandangan diarahkan ke jari tangan kanannya. Sebagaimana disebutkan pada hadits berikut :
Dari Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahuanhu bahwa apabila Rasulullah SAW duduk dalam tasyahhud, beliau meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya dan meletakkan tangan kirinya di atas tangan kirinya lalu menunjuk dengan telunjuknya dan pandangan matanya tidak lepas dari telunjuknya itu". (HR. Ahmad, An-Nasai, Abu Daud)
4. Doa Iftitah
Doa iftitah juga seringkali disebut dengan doa istiftah atau doa tsana'. Semuanya merujuk pada lafadz yang sama. Hukum membacanya adalah sunnah menurut jumhur ulama, kecuali Al-Malikiyah yang menolak kesunnahannya.
Sedangkan lafadznya memang sangat banyak versinya. Dan bisa dikatakan bahwa semuanya bersumber dari Rasulullah SAW.
عَنْ عُمَرَ t أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ :سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ تَبَارَكَ اِسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلا إِلَهُ غَيْرُكَ
Dari Umar radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membaca : “Maha suci Engkau dan segala puji untuk-Mu. Diberkahilah asma-Mu, tinggilah keagungan-Mu. Dan tiada tuhan kecuali Engkau.(HR. Muslim)
Lafaz ini diriwayatkan oleh Asiyah radhiyallahuanhu dengan perawi Abu Daud dan Ad-Daruquthuny.
وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ t عَنْ رَسُولِ اللَّهِ r أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاةِ قَالَ : "وَجَّهْتُ وَجْهِي لِلَّذِي فَطَّرَ السّمَوَاتِ والأرض حنيفاً مسلماً وما أنا من المشركين إن صلاتي ونُسُكي ومحيايَ ومماتِي لله رب العالمين لا شريك له وبذلك أمرت وأنا من المسلمين .اللَّهُمَّ أَنْتَ المَلِكُ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ . . . إِلَى آخِرِهِ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu dari Rasulullah SAW bahwa beliau bila berdiri untuk shalat membaca :”Aku hadapkan wajahku kepada Tuhan Yang menciptakan langit dan bumi, dengan lurus dan berserah diri sedangkan aku bukan bagian dari orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam.Tiada sekutu baginya dan dengan itulah aku diperintahkan. Dan aku termasuk bagian dari orang-orang muslim.(HR. Muslim)
Lafaz ini sampai kepada kita lewat perawi yang kuat seperti Imam Muslim, Ahmad dan Tirmizy dan dishahihkan oleh Ali bin Abi Thalib. Lafaz ini sebenarnya juga lafadz yang juga ada di dalam ayat Al-Quran Al-Kariem, kecuali bagian terakhir tanpa kata "awwalu".
Selain itu juga ada lafdaz lainnya seperti di bawah ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ :كَانَ رَسُولُ اللَّهِ r إِذَا كَبَّرَ لِلصَّلاةِ سَكَتَ هُنَيَّةً قَبْلَ أَنْ يَقْرَأَ فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ : أَقُولُ : اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اِغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ
Dari Abi Hurairah radhiyallahanhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bila bertakbir memulai shalat, beliau diam sejenak sebelum mulai membaca (Al-Fatihah). Maka aku bertanya padanya dan beliau menjawab,”Aku membaca : Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, sucikanlah aku dari kesalahan-kesalahan sebagaimana Engaku mensucikan pakaian dari kotoran. Ya Allah, mandikan aku dengan air, salju dan embun". (HR. Muttafaq ‘alaihi)
5. Ta’awwudz dan Basmalah
Ta’awwudz adalah berlindung kepada Allah, lafadznya adalah :
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
Aku berlindung kepada Allah dari setan yang dirajam
Jumhur ulama yaitu mazhab Al-Hanafiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa lafadz ta’awwudz merupakan bagian dari sunnah shalat, yang diucapkan sesudah membaca doa iftitah dan sebelum melafazkan surat Al-Fatihah.
Dalilnya adalah firman Allah SWT :
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاَللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Apabila kamu membaca Al-Quran maka berlindunglah kepada Allah dari setan yang dirajam. (QS. An-Nahl : 98)
Sedangkan mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa hukum melafadzkan ta’awwudz tergantung pada hukum shalatnya. Kalau diucapkan dalam shalat fardhu maka hukumnya makruh, tetapi tidak makruh kalau dilakukan pada shalat sunnah.
6. Mengucapkan Amin
Dalilnya adalah hadits Nabi berikut ini
عَنْ نُعَيْم المُجَمِّرِ t قَالَ : صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ : (بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) . ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ القُرْآنِ حَتَّى إِذَا بَلَغَ : (وَلا الضَّالِّينَ) قَالَ "آمِينَ" وَيَقُولُ كُلَّمَا سَجَدَ وَإِذَا قَامَ مِنْ الجُلُوسِ : اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ : وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لاشْبَهُكُمْ صلاةً بِرَسُولِ اللَّهِ r
Dari Nu'aim Al-Mujammir radhiyallahuanhu berkata,”Aku shalat di belakang Abu Hurairah, beliau membaca : bismillahirrahmanirrahim. Kemudian beliau membaca ummul-quran (Al-Fatihah), hingga beliau sampai kata (waladhdhaallin) beliau mengucapkan : Amien. Dan beliau mengucapkannya setiap sujud. Dan bila bangun dari duduk mengucapkan : Allahu akbar. Ketika salam beliau berkata : Demi Allah Yang jiwaku di tangan-Nya, aku adalah orang yang paling mirip shalatnya dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. (HR. An-Nasai dan Ibnu Khuzaemah).
إِذَا قَال الإْمَامُ : { غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ } فَقُولُوا آمِينَ . فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْل الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ مَا تَقَدَّمَ لَهُ مِنْ ذَنْبِهِ
Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Apabila imam mengucapkan "Amien", maka ucapkanlah juga. Siapa yang amin-nya bersamaan dengan ucapan amin para malaikat, maka Allah mengampunkan dosa-dosanya yang telah lampau.(HR. Jamaah kecuali At-Tirmizy)
7. Merenggangkan Kedua Tumit
Salah satu sunnah dalam posisi berdiri ketika shalat adalah merenggangkan kedua tumit dan tidak menempelkanya. namun para ulama berbeda pendapat terkait berapa jarak antara kedua tumit itu ketika direnggangkan.
a. Mazhab Al-Hanafiyah
Menurut mazhab Al-Hanafiyah, disunnahkan untuk merenggangkan kedua tumit saat berdiri kira-kira selebar 4 jari. Sebab posisi yang demikian sangat dekat dengan khusyu'.
Asy-Syaranbilali (w. 1169 H) salah satu ulama dalam mazhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya, Maraqi Al-Falah sebagai berikut :
وتفريج القدمين في القيام قدر أربع أصابع
Dan merenggangkan kedua tumit sekedar empat jari.[11]
b. Mazhab Asy-Syafi'iyah
Dalam mazhab Asy-Syafi'iyah dikatakan bahwa jaraknya kira-kira sejengkal. Dan makruh untuk menempelkan keduanya karena menghilangkan rasa khusyu'.
Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya, Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj sebagai berikut :
ويفرق ركبتيه وقدميه قدر شبر
Dan memisahkan kedua lutut dan tumitnya sekadar sejengkal.[12]
Ar-Ramli (w. 1004 H) juga salah satu ulama besar dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, tentang hal ini sebagai berikut :
وَيُفَرِّقُ الذَّكَرُ رُكْبَتَيْهِ وَيَكُونُ بَيْنَ قَدَمَيْهِ قَدْرُ شِبْرٍ
Dan laki-laki merenggangkan kedua lututnya. Dan hendaklah kedua tumitnya berjarak satu jengkal.[13]
c. Al-Malikiyah
Mazhab Al-Malikiyah mengatakan disunnahkan untuk merenggangkannya tapi tidak terlalu lebar dan tidak terlalu dekat.
Ibnu Juzai Al-Kalbi (w. 741 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, sebagai berikut :
وَأما الْفَضَائِل فَهِيَ ... والترويح بَين الْقَدَمَيْنِ فِي الْوُقُوف
Adapun yang termasuk fadhail antara lain ... dan mengistirahatkan kedua tumit ketika berdiri. [14]
Al-Kalbi menggunakan istilah at-tarwih, dimana maknanya secara bahasa adalah istirahat. Maksudnya mengistirahatkan kedua kaki biar enak, sehingga posisinya tidak terlalu rapat dan tidak terlalu lebar.
8. Membaca Ayat Al-Quran
Membaca sebagian surat Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah disunnahkan berdasarkan hadits berikut ini :
Dari Qatadah radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW membaca dalam shalat Zhuhur pada dua rakaatnya yang pertama surat Al-Fatihah dan dua surat, beliau memanjangkannya di rakaat pertama dan memendekkannya di rakaat kedua. Terkadang beliau mendengarkan ayat. Beliau SAW membaca dalam shalat Ashar pada dua rakaatnya yang pertama surat Al-Fatihah dan dua surat, beliau memanjangkannya di rakaat pertama dan memendekkannya di rakaat kedua. Dan beliau beliau memanjangkannya di rakaat pertama shalat shubuh dan memendekkannya di rakaat kedua. (HR. Muttafaqun 'alaihi).
عَنْ أَبِي بَرْزَةَ t أَنَّ النَّبِيَّ r كَانَ يَقْرَأُ فيِ الصُّبْحِ مِنَ السِّتِّيْنَ إِلىَ الْمِائَة
Dari Abu Bazrah radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW membaca dalam shalat shubuh dari 60-an ayat hingga 100-an ayat.". (HR. Muttafaqun 'alaihi)
9. Takbir Antara Rukun
Pada setiap pergantian gerakan yang merupakan rukun shalat, disunnahkan untuk bertakbir. Dasarnya adalah hadits berikut ini :
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ t رَأَيْتُ النَّبِيَّي r كَبَّرَ فيِ كُلِّ رَفْعٍ وَخَفْضٍ وَقِيَامٍ وَقُعُودٍ
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu berkata,"Aku melihat Nabi SAW bertakbir setiap bangun atau turun, baik berdiri atau duduk". (HR. Ahmad, An-Nasai dan At-Tirmizy dengan status shahih).
Kecuali pada saat bangun dari ruku', maka bacaannya adalah "sami'allahu liman hamidah". Maknanya, Allah Maha Mendengar orang yang memuji-Nya.
10. Meletakkan Lutut saat Sujud
Meletakkan kedua lutut lalu kedua tangan kemudian wajah ketika turun sujud dan sebaliknya
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Kedua pendapat yang anda tanyakan itu masing-masing memiliki dalil dari hadits Rasulullah SAW. Baik yang mengatakan tangan dulu baru lutut atau yang sebaliknya, lutut dulu baru tangan.
a. Tangan Lebih Dulu
عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ t إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ البَعِيْرَ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ ثُمَّ رُكْبَتَيْهِ
Dari Abi Hurairah radhiyallahu 'anhu Berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”bila kamu sujud, maka janganlah duduk seperti cara duduknya unta. Hendaklah dia meletakkan tangannya terlebih dahulu sebelum lututnya.
Para fuqaha yang berpendapat bahwa tangan terlebih dahulu sebelum lutut diantaranya adalah: Al-Hadawiyah, Imam Malik menurut sebagian riwayat dan Al-auza‘i.
b. Lutut Lebih Dulu
عَنِ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ t قَالَ رَأَيْتُ r إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
Dari Wail bin Hujr berjata,”Aku melihat Rasulullah SAW bila sujud meletakkan kedua lututnya sebelum tangannya.
Sedangkan para fuqaha yang berpendapat bahwa tangan terlebih dahulu sebelum lutut diantaranya adalah: mazhab Imam Abu Hanifah dan mazhab Imam Asy-Syafi‘i serta menurut sebagian riwayat mazhab Imam Malik.
Mereka menolak pendapat yang mengatakan bahwa tangan yang diletakkan terlebih dahulu sebelum lutut karena menurut anggapan mereka hadits yang digunakan ada masalah. Karena dalam matannya ada ketidak-konsistenan, karena disebutkan bahwa jangan duduk seperti duduknya unta, lalu diteruskan dengan perintah untuk meletakkan tangan terlebhi dahulu. Hal ini justru bertentangan. Karena unta itu bila duduk, justru kaki depannya terlebih dahulu baru kaki belakang. Sedangkan perintahnya jangan menyamai unta, artinya seharusnya kaki terlebih dahulu baru tangan.
Ketidak-konsistenan ini dikomentari oleh Ibnul Qayyim bahwa ada kekeliruan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari ini. Perintahnya terbalik, seharusnya bunyi perintahnya adalah untuk meletakkan lutut terlebih dahulu bahru tangan. Dan kemungkinan terbaliknya suatu lafaz dalam hadits bukan hal yang tidak mungkin.
11. Sunnah Bacaan Dalam Sujud
a. Hukum Membaca Bacaan Sujud
Jumhur Ulama : Sunnah
Jumhur ulama diantaranya para ulama dari mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah menyebutkan bahwa lafadz-lafadz yang dibaca saat sujud berupa takbir, tasbih dan doa hukumnya sunnah dan bukan wajib.
Apabila sama sekali tidak dibaca dan ditinggalkan baik secara sengaja atau tidak sengaja, sama sekali tidak merusak shalat. Shalatnya tetap sah tanpa membaca apapun pada saat sujud.
Dasarnya adalah hadits Nabi SAW tentang bagaimana beliau mengajarkan orang yang shalatnya buruk, dimana beliau mengajarkan tata cara sujud tanpa menyebutkan harus membaca sesuatu. Seandainya bacaan saat sujud itu wajib hukumnya, pastilah beliau SAW mengajarkan kepada orang tersebut.
Al-Hanabilah : Wajib
Sedangkan dalam pandangan mazhab Al-Hanabilah, membaca lafadz sujud ini hukumnya wajib. Apabila seseorang secara sengaja meninggalkannya, maka dia batal shalatnya. Namun bila meninggalkannya karena lupa, shalatnya masih sah. Namun disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi.
Dasarnya menurut mereka bahwa Rasulullah SAW mengerjakannya dan memerintahkan kita untuk mengerjakannya.
b. Anjuran Membaca Tasbih Saat Sujud
Al-Quran
Dasar perintah untuk membaca tasbih ketika sujud adalah ayat Al-Quran berikut ini :
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكِ الأَْعْلَى
Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi (QS. Al-A'la : 1)
As-Sunnah
Di dalam hadits Rasulullah SAW telah bersabda :
لَمَّا نَزَلَتْ فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ قَال رَسُول اللَّه اجْعَلُوهَا فِي رُكُوعِكُمْ. فَلَمَّا نَزَلَتْ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكِ الأَْعْلَى قَال: اجْعَلُوهَا فِي سُجُودِكُمْ
Dari Uqbah bin Amir bahwa ketika turun ayat (fasabbih bismirabbikal'adzhim), Rasulullah SAW bersabda, "Jadikanlah lafadz ini sebagai bacaan dalam rukukmu". Dan ketika turun ayat (sabbihismarabbikal 'ala), Rasulullah SAW memerintahkan,"Jadikanlah lafadz ini bacaan di dalam sujudmu". (HR. Abu Daud)
Maka para ulama umumnya sepakat mengatakan bahwa lafadz tasbih yang dibaca dalam sujud adalah :
سبحان ربي الأعلى
Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi
c. Apakah Dibaca Sekali Atau Tiga Kali?
Dalam hal berapa kali dibaca lafadz tasbih ini, para ulama berbeda pendapat.
Mazhab Al-Hanafiyah
Mazhab Al-Hanafiyah mensyaratkan bahwa minimal membaca tasbih di dalam sujud itu tiga kali. Apabila kurang dari tiga kali, hukumnya makruh tanzih.
Apabila shalat sendirian, akan menjadi lebih utama bila dibaca lebih dari tiga kali. Sedangkan bila sedang menjadi imam dalam shalat fardhu lima waktu, jangan lebih dari tiga kali, agar orang-orang yang shalat di belakangnya tidak merasa terlalu lama.
Mazhab Al-Malikiyah
Mazhab Al-Malikiyah menyebutkan bahwa tasbih dalam sujud hukumnya sunnah dengan lafadz apapun. Tapi yang paling utama adalah lafadz subhana rabbiyal a'la wabihamdih. Bila diulang-ulang maka pahalanya lebih banyak lagi.
Namun imam dalam shalat fardhu lima waktu tidak dianjurkan mengulang-ulangnya karena khawatir memberatkan para makmum.
Mazhab Asy-Syafi'iyah
Mazhab Asy-Syafi'iyah memandang bahwa asalnya tasbih dalam sujud itu cukup sekali saja, minimal membaca subhanallah, atau subhanarabbi. Sedangkan bila mau yang sempurna adalah bacaan subhana rabbiyal a'la wabihamdih yang dibaca minimal tiga kali. Bila dibaca lima kali, tujuh kali, sembilan kali dan sebelas kali, maka akan semakin sempurna.
Namun sebagaimana mazhab lain, mazhab Asy-syafi'i melarang imam shalat fardhu untuk membaca lebih dari tiga kali, sebagai perlindungan bagi makmum.
Mazhab Al-Hanabilah
Sudah disebutkan di atas bahwa mazhab Al-Hanabilah mewajibkan bacaan sujud. Dan bacaan itu minimal adalah subhana rabbiyal a'la, dan minimal sekali dibaca, tanpa tambahan wabihamdih.
d. Bacaan Doa
Selain bertasbih, ketika sujud juga disunnahkan untuk berdoa dan memperbanyaknya. Dasarnya adalah hadits shahih berikut ini :
أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ العَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثَرُوا الدُّعَاءَ
Jarak yang paling dekat antara seorang hamba dengan Tuhannya ketika dia sedang sujud, maka perbanyaklah doa. (HR Muslim)
Diantara hadits-hadits yang sampai kepada kita tentang bacaan doa tatkala sujud adalah lafadz-lafadz sunnah berikut ini.
Doa Versi Pertama
Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan lafadz sujud yang disamakan dengan lafadz ruku', yaitu :
كَانَ النَّبِيُّ يَقُولُ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
Nabi SAW pada saat rukuk dan sujud membaca : Maha Suci Engkau Ya Allah, segala pujian untuk-Mu, ampunilah Aku. (HR. Bukhari)
Doa Versi Kedua
Selain itu juga ada doa lainnya seperti berikut ini :
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ، وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ، وَعَلاَنِيَتَهُ وَسِرَّهُ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِعَفْوِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ، لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
Ya Allah, ampunilah diriku dari dosaku semuanya, yang detail atau yang besar, yang awal dan yang akhir, yang terlihat ataupun yang tidak terlihat. Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari murka-Mu, dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu dan Aku berlindung dengan-Mu dari-Mu. Tidak terhitung pujian bagi-Mu Engkau sebagaimana pujian-Mu atas diri-Mu. (HR. Muslim)
Doa Versi Ketiga
Doa versi lainnya diriwayatkan dari Ali Ridha sebagai berikut :
إِذَا وَضَعْتَ وَجْهَكَ سَاجِداً فَقُلْ- اللَّهُمَّ أَعِنيِّ عَلىَ شُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Dari Abi Said radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi SAW bersabda,"Wahai Muaz, bila kamu meletakkan wajahmu dalam sujud, katakanlah : Ya Allah, tolonglah aku untuk bersyukur dan beribadah dengan baik kepada-Mu."
أَحُبُّ الْكَلاَمِ إِلَى اللهِ أَنْ يَقُولَ الْعَبْدُ وَهُوَ سَاجِدٌ : رَبِّ إِنَِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي
Kalimat yang paling disukai Allah adalah ketika seorang hamba berdoa sambil sujud,"Ya Allah, sungguh Aku telah zalim pada diriku maka ampunilah Aku.
Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Said bin Manshur dalam kitab Sunannya.
e. Larangan Membaca Al-Quran Saat Sujud
Para ulama umumnya sepakat mengharamkan baca ayat Al-Quran pada saat sedang sujud. Hal itu berdasarkan larangan dari Rasulullah SAW dalam hadits berikut ini :
نَهَانِي رَسُول عَنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَأَنَا رَاكِعٌ أَوْ سَاجِدٌ.
Dari Ali bin Abi Thalib,"Rasulullah SAW melarangku untuk membaca Al-Quran pada saat sedang rukuk dan sujud. (HR. Muslim)
أَلاَ وَإِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا، فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ، وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ، فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ.
Ketahuilah bahwa Aku dilarang untuk membaca Al-Quran pada saat rukuk dan sujud. Pada saat rukuk maka agungkan Allah. Pada saat sujud maka bersungguh-sungguhlah dala m berdoa, seraya cepat dikabulkan bagi kalian. (HR. Muslim)
Di dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, apabila seseorang membaca surat Al-Fatihah di dalam sujud, maka shalatnya menjadi batal. Karena seperti memindahkan salah satu rukun shalat bukan pada tempatnya. Sedangkan menurut jumhur ulama, dibacanya Al-Fatihah atau surat yang lain tidak sampai membuat shalat menjadi batal.
f. Tidak Boleh Doa Dengan Bahasa Indonesia Dalam Sujud
Tentang bolehkah berdoa dengan bahasa Indonesia, kalau dilakukan di dalam shalat hukumnya tidak boleh. Sebab shalat itu tidak boleh menggunakan bahasa selain Arab.
An-Nawawi (w 676 H), salah satu ulama besar dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menegaskan larangan doa dalam shalat dengan bahasa selain bahasa Arab. Berikut kutipan fatwanya sebagaimana beliau tuliskan di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab.
ولا يجوز ان يخترع دعوة غير مأثورة ويأتى بها العجمية بلا خلاف وتبطل بها الصلاة بخلاف ما لو اخترع دعوة بالعربية فانه يجوز عندنا بلا خلاف
Dan tidak boleh membuat doa-doa yang tidak diajarkan nabi dengan mengungkapnnya dengan bahasa ‘ajam (selain bahasa arab) dengan kesepakatan ulama dan shalatnya menjadi batal karenanya berbeda saat doa yang ia buat sendiri tersebut diungkapkan dengan bahasa arab maka menurut kalangan syafi’iyyah sepakat membolehkannya.[15]
Untuk itu solusi terbaik bila kita ingin berdoa dengan lafadz yang kita karang dan kita gubah sendiri dan dengan menggunakan bahasa kita masing-masing termasuk bahasa Indonesia adalah seusai shalat setelah kita mengucapkan salam. Dan berdoa pada saat usai shalat itu merupakan waktu yang sangat mustajabah, sebagaimana di dalam shalat juga. Ada beberapa nash hadits yang menyebutkan hal itu, diantaranya adalah hadits berikut ini.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ رضي الله عنه قَالَ : قِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ ؟ قَالَ : جَوْفَ اللَّيْلِ الْآخِرِ وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ
Dari Abi Umamah radhiyallahuanhu, dia berkata bahwa ditanyakan kepada Rasulullah SAW tentang doa yang paling didengar, maka beliau SAW menjawab,"Doa pada akhir malam dan ketika usai mengerjakan shalat fardhu". (HR. At-Tirmizy).
أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاةٍ تَقُولُ : اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Rasulullah SAW berwasiat kepada Muadz bin Jabal,"Aku berwasiat kepadamu wahai Muadz, jangan tinggalkan pada setiap usai dari shalat bacaan : Ya Allah, bantulah Aku untuk bisa mengingat-Mu, mensyukuri-Mu dan bagusnya ibadah kepada-Mu. (HR. Abu Daud)
12. Doa Duduk Antara Dua Sujud
Menurut mazhab As-Syafi'iyah, Al-Hanabilah dan Al-Malikiyah, doa yang dibaca ketika duduk di antara dua sujud adalah lafadz berikut ini.
رَبِّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنيِ وَعَافِنيِ
Ya Allah, ampunilah aku, kasihilah aku, berikah aku kekuatan, angkatlah aku, beri aku rezeki, tunjuki aku dan sehatkan aku".
Dalilnya adalah riwayat berikut ini :
Dari Huzaifah radhiyallahuanhu berkata bahwa dirinya shalat bersama dengan Rasulullah SAW. Beliau mengucapkan antara dua sujud : Rabbighfirli".(HR. An-Nasai dan Ibnu Majah)
13. Bacaan Tasyahhud Awal dan Akhir
Dalam posisi duduk tahiyat atau tasyahhud ada beberapa jenis lafadz yang dibaca, yaitu tasyahhud itu sendiri, shalawat kepada nabi dan lafadz doa-doa.
a. Tasyahhud
Tasyahhud awal diucapkan pada rakaat kedua setelah sujud yang kedua. Hukumnya sunnah menurut para fuqaha, kecuali Al-Hanafiyah menyebutnya wajib.
إِذَا كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ rفِي الصَّلاَةِ قُلْنَا: السَّلاَمُ عَلَى اللَّهِ مِنْ عِبَادِهِ، السَّلاَمُ عَلَى فُلاَنٍ وَفُلاَنٍ فَقَالَ النَّبِيُّ r :لاَ تَقُولُوا السَّلاَمُ عَلَى اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ السَّلاَمُ وَلَكِنْ قُولُوا: التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ فَإِنَّكُمْ إِذَا قُلْتُمْ أَصَابَ كُلَّ عَبْدٍ فِي السَّمَاءِ أَوْ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ، فَيَدْعُو
Kami shalat bersama Nabi SAW dan membaca,"Salam untuk Allah dari hamba-hamba-Nya, salam untuk fulan dan fulan". Nabi SAW bersabda,"Jangan bilang salam untuk Allah karena Allah adalah As-Salam, tapi katakan : Penghormatan untuk Allah, beserta shalawat dan thayyibat. Salam untukmu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan keberkahannya. Salam untuk kita dan untuk hamba-hamba Allah yang shalih. Bila kalian membaca itu maka akan terbawa juga hamba di langit atau antara langit dan bumi. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Kemudian silahkan pillih doa yang kamu sukai dan berdoalah. (HR. Bukhari)
إِذَا قَعَدْتُمْ فيِ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَقُولُوا - التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلىَ عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ - ثُمَّ لِيَتَخَيَّر أَحَدُكُمْ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ فَلْيَدْعُ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
Bila kamu duduk pada tiap dua rakaat maka ucapkanlah,"Segala kehormatan, shalawat dan kebaikan buat Allah. Salam kepadamu wahai Nabi dengan segala rahmat dan keberkahan-nya. Salam juga bagi kami dan buat hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya". Lalu silahkan pilih doa yang paling disukai dan panggillah tuhannya azza wa jalla. (HR. Ahmad dan An-Nasai)
Mazhab Al-Hanafiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah menyatakan bahwa disunnahkan duduk iftirasy untuk tasyahhud awwal.
Duduk iftirasy adalah posisi duduk di atas tumit kiri setelah menggeletakkannya dan menegakkan telapak kaki yang kanan. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
عَنِ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ t أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ r يُصَليِّ فَسَجَدَ ثُمَّ قَعَدَ فَافْتَرَشَ رِجْلَهُ اليُسْرَى
Dari Wail bin Hujr radhiyallahu 'anhu bahwa dirinya telah melihat Nabi SAW shalat dan sujud kemudian duduk dengan mengiftirasykan kaki kirinya. (HR. Buhkari)
Sedangkan mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa duduk tasyahhud awwal dan tasyahhud akhir sama saja, yaitu duduk tawarruk.
Duduk tawaruk adalah duduk dengan meletakkan pinggul dilantai dengan mengeluarkan telapak kaki yang kiri (melalui bawah tulang kering kaki kanan) dan menegakkan telapak kaki yang kanan. Atau biasanya kita duduk seperti ini di rakaat terakhir sebelum salam.
Dasarnya adalah hadits berikut ini :
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ النَّبِيَّ r كَانَ يَجْلِسُ فيِ وَسَطِ الصَّلاَةِ وَآخِرِهَا مُتَوَرِّكًا
Dari Ibnu Masud radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi SAW duduk di tengah dan akhir shalat dengan posisi tawarruk. [16]
b. Shalawat Kepada Nabi
Ada perbedaan pendapat ulama dalam hukum membaca shalawat kepada Nabi SAW di dalam duduk tasyahhud antara yang mewajibkan dan yang mengatakan hukumnya sunnah.
Mazhab As-Syafi'iyyah dan Al-Hanabilah : Wajib
Mazhab As-Syafi'iyyah dan Al-Hanabilah menyatakan bahwa shalawat kepada Nabi dalam tasyahhud akhir hukumnya wajib.
Dalil yang digunakan oleh mazhab Asy-syafi'iyah atas wajibnya shalawat kepada nabi adalah firman Allah SWT :
ياأيها الَّذِينً آمَنُوا صَلُوا عَلَيه وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Wahai orang-orang yang beriman, sampaikanlah shalawat dan salam kepadanya (Nabi SAW). (QS. Al-Azhab : 56)
Dan mazhab Al-Hanabilah juga dengan mazhab Asy-syafi'iyah juga mendasarkan pada hadits yang memerintahkan shalawat kepada nabi :
إِذَا صَلَّى أحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأ بِتَمْجيدِ رَبِّهِ وَالثَّناءُ عَلَيه ثُمَّ لِيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ r ثُمَّ لِيَدْعُ بَعْدُ بِمَا شَاءَ
Apabila kamu shalat mulaikan dengan memuliakan dan memuji Tuhannya. Kemudian sampaikan shalawat kepada Nabi dan berdoalah dengan doa yang dikehendaki.
Sedangkan shalawat kepada keluarga beliau SAW hukumnya sunnah menurut mazhab As-Syafi'iyah. Namun menurut mazhab Al-Hanabilah hukumnya wajib.[17]
Dasar yang digunakan oleh mazhab Al-Hanabilah dalam mewajibkan shalawat kepada keluarga nabi adalah hadits Abu Zar'ah :
الصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ r أَمْرٌ مِنْ تَرْكِهَا أُعَادُّ
Shalawat kepada Nabi SAW adalah sebuah ibadah, bila ditinggalkan harus diulangi.
Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah : Sunnah
Sedangkan menurut Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah, membaca shalawat kepada Nabi pada tasyahhud akhir hukumnya sunnah.[18]
Dasar yang digunakan adalah bahwa mereka tidak memandang shalawat itu sebagai keharusan, tetapi sekedar sunnah saja, sebagaimana mereka tidak mewajibkan baca Al-Fatihah dalam shalat kecuali hanya sunnah.
Ditambah lagi ada lafadz sebagai berikut :
فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ فَقَدْ تَمَّتْ صَلاَتُكَ
Apabila kamu lakukan maka sempurnalah shalatmu.
Artinya tidak membaca juga tidak mengapa dan kalau dibaca shalatnya akan lebih sempurna.
Adapun lafaz shalawat kepada Nabi dalam tasyahhud akhir seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW adalah :
اللَّهُمَّ صَل عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آل مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آل إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آل مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آل إِبْرَاهِيمَ فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarganya, sebagaimana shalawat-Mu kepada Ibrahim dan kepada keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana barakah-Mu kepada Ibrahim dan keluarganya. Di seluruh alam ini sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung.
*Sumber tulisan disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.