Manusia memiliki dua jenis tindakan, yakni: yang berorientasi pada kenikmatan dan yang berorientasi pada sasaran. Tindakan-tindakan yang berorientasi pada kenikmatan bersifat sama dengan tindakan-tindakan sederhana yang dilakukan oleh manusia sebagai akibat langsung dari naluri mereka, fitrah dan atau perilaku mereka untuk meraih suatu kenikmatan atau menghindari suatu derita tertentu. Misalnya, seorang manusia merasakan dahaga akan meraih segelas air; seorang manusia yang melihat serangga penyengat akan berlari menghindarinya; seorang yang ingin daging domba maka akan menyembelihnya
Reaksi-reaksi yang timbul sesuai dengan keinginan seseorang, dan secara langsung wf terkaitkan kepada kenikmatan dan kesakitan. Tindakan-tindakan ' yang berorientasi kepada kenikmatan menarik seseorang dengan suatu daya tarik tertentu, dan tindakan yang menyakitkan akan mendorong manusia dengan daya dorong tertentu.
Tindakan-tindakan yang berorientasikan sasaran adalah tindakan yang tidak memiliki daya tarik dan daya tolak di dalam dirinya sendiri. Fitrah manusia atau nalurinya tidak menariknya ke arah tindakan-tindakan ini atau menolaknya dari mereka. Melainkan, orang-orang, sesuai dengan penilaian mereka sendiri dan dikarenakan sifat baik di dalam tindakan itu sendiri atau kebaikan di dalam menghindarinya, menyelenggarakan tindakan- tindakan ini atau menjauhkan dari mengerjakannya.
Artinya, sebab pertama dan rangsangan pertama manusia olah kebaikan di dalamnya, bukan kenikmatan. Kenikmatan merangsang desakan-desakan naluriah, dan kebaikan merangsang kehendak. Ada perbedaan antara suatu tindakan yang memberikan kenikmatan dan kegembiraan dengan suatu tindakan yang tidak hanya memberikan kenikmatan melainkan bisa mengakibatkan kesakitan, tetapi pada saat yang sama memberikan kepuasan. Kenikmatan dan kesakitan adalah perasaan-perasaan yang umum berada di dalam diri manusia atau hewan. Tetapi, kepuasaan dan kesetujuan atau keengganan dan kekecewaan merupakan sifat yang khas manusia. Kepuasaan, keengganan dan hasrat termasuk dalam kemaujudan kontemplatif manusia, bukan kedalam pencerapan inderawi.
Manusia memenuhi kegiatan-kegiatan yang berorientasi kepada sasaran mereka melalui kearifan dan kehendak mereka, bertentangan dengan kegiatan-kegiatan berorientasi kepada kenikmatan-kenikmatan yang diselenggarakan melalui indera-indera dan dorongan-dorongan naluriah mereka. Dipenuhi melalui intelek dan kehendak berarti bahwa kekuatan kontemplasi di dalam intelek mereka memberikan tanggapan kepada kebaikan, penyempurnaan kenikmatan, dan berusaha mencari jalan untuk meraihnya yang boleh jadi merupakan jalan yang sulit ditempuh. Dipenuhi dengan kekuatan kehendak berarti bahwa di dalam diri manusia ada suatu kekuatan yang tak tergantung pada intelek, yang berfungsi sebagai pelaksana keputusan-keputusan yang diambil lewat intelek, yang sangat mungkin melaksanakan keputusan yang dipaksakan oleh intelek, sekalipun keputusan-keputusan itu bertentangan dengan hasrat-hasrat, ketertarikkan-ketertarikkan, dan dorongan-dorongan alamiah mereka.
Makin besar kekuatan kearifan dan kehendak, akan makin kuat pulalah pengaruh mereka atas naluri manusia. Makin bertambah intelek dan kehendak seseorang tindakan-tindakannya akan makin bersifat berorientasi kepada sasaran dari pada berorientasi kepada kenikmatan. Makin dia kepada sifat-sifat kehewanannya, maka makin berorientasi kepada kesenanganlah dia ketimbang berorientasi kepada sasaran. Jika kegiatan yang berorientasi kepada sasaran menguasai orientasi kenikmatan atau kenikmatan menjadi satu bagian dari suatu rencana semesta yang berorientasi kepada sasaran, maka alam bersekutu dengan intelek dan dorongan-dorongan naluriah bersekutu dengan kehendak.
Kegiatan yang berorientasi kepada sasaran, karena memang diarahkan oleh serangkaian tujuan-tujuan sasaran jangka panjang, mewajibkan adanya suatu rencana, suatu proyek, suatu cara dan pilihan sarana untuk meraihnya. Karena manusia yang mengambil keputusan bagi dirinya sendiri, maka intelek manusia itu sekaligus adalah perencana, teoritisi dan isyarat bagi cara dan alat yang tentunya tergantung pada jumlah ilmu, informasi, keuntungan-keuntungan dan kemampuan penilaiannya.
Kalau kita telah bersepakat bahwa cita-cita utama dan pertama adalah dzohirnya kondisi Mardhotillah maka orientasi sasaranpun ke arah sana. Sadar akan sasaran yang hendak dicapai sarat dengan tantangan dan ujian yang berat maka telah mewajibkan kita untuk membuat rencana (planing). Secara umum rencana program sering tertuang dalam bentuk program kerja jangka panjang, menengah dan program jangka pendek. Atau ada pula orang yang membuat program berdasarkan harian, mingguan, bulanan dan tahunan. Apapun yang telah diancangkan mengenai masalah waktunya tidak ada ketentuan baku yang mengikat. Masing-masing orang dan atau kelompok orang memiliki hak prerogatif untuk menentukannya, berdasarkan kemampuan. Tentu saja kita harus insyaf bahwa manusia boleh berencana sedangkan keputusan final berada pada qudrat dan irodat Allah subhanahu wa ta'ala..
وَمَا تَشَاۤءُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ ࣖ
29. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam. (QS. 81:29)
Ketika rencana program hendak dibentangkan, janganlah dilupakan dengan sumber daya manusia juga sumber dana dan tenaga yang ada. Rencana program haruslah bersifat realistik - tidak bersifat idealistik utopis (terlalu mengangan-angan) yang membuat kita menjadi penghayal. Program yang realistis dan rasional sangat diperlukan agar dapat memudahkan kita dalam menginventarisir kebutuhan dan juga mengevaluasi keberhasilan dan atau kegagalan. Alloh SWT. sangat tidak mengharapkan ummat Islam menjadi penghayal dan merasa bangga dengan lamunan.
Keberlanjutan dari hidup yang penuh dengan hayalan pasti akan sangat membuka peluang bagi Syethan untuk masuk ke dalam alam fikiran dan hati manusia. Inklinasinya kondisi kita semakin jauh terseret pada sikap hidup yang hedonistis. Itulah yang dibisikkan Syethan.
يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيْهِمْۗ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطٰنُ اِلَّا غُرُوْرًا
120. (Setan itu) memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu hanya menjanjikan tipuan belaka kepada mereka. (QS. 4:120)
Apakah mungkin ada sebuah program dibangun di atas pondasi angan-angan? Yah, dengan alasan apa pun dan bagaimana pun sebuah langkah ke depan harus melewati tahapan alamiah. Melangkah harus seukuran dengan kaki. Memperhatikan kondisi sumber daya dan dana yang ada secara internal agar tidak terjadi benturan yang tajam dengan lingkungan eksternalnya. Untuk memperkuat daya tahan terhadap benturan yang keras kita harus membentengi diri. Secara individual (ibda bi nafsi) apakah waktu yang dua puluh empat jam tersebutr kita isi dengan program yang bermanfaat? Sehingga nampak hasilnya bagi diri dan jami'atul muslimin. Atau waktu yang ada lewat tanpa kesan yang mendalam. Up to you.
18 MUHARRAM 1418 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.