Lailatul Qadr

 

A. Pengertian Al Qadr

Lailatul qadr artinya adalah malam kemulian. Selain bermakna kemulian, Al Quran menjelaskan beberapa makna Al Qadr lainnya. Beberapa makna Al Qadr dijelaskan sebagai berikut:

1. Al Qadr artinya kemuliaan, sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut ini

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ (٦٧)

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan” (Qs Az Zumar 39:67)

2. Al Qadr artinya penetapan (القضاء)

Menurut Qs Ad Dukhan 44:3-5 salah satu arti al Qadr adalah penetapan dan pengaturan karena pada malam itu Allah menetapkan segala sesuatu urusan bagi manusia. 

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (٣)فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (٤)أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ (٥)

“3. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[1369] dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. 4. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, 5. (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul”. (Qs Ad Dukhan:3-5)

3. Al Qadr artinya kesempitan (التضييق), sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut.

اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَفَرِحُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلا مَتَاعٌ (٢٦)

“Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, Padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (Qs 13:26) 

Sehingga apabila disebut lailatul qadr, itu bermakna bahwa pada malam tersebut langit dunia menjadi sesak dan sempit karena turunnya begitu banyak malaikat.

B. Lailatul Qadr sebagai Keistimewaan Ummat Rasulullah saw

Lailatul Qadar menurut Tafsir Ath Thabari

Dalam Tafsir Ath Thabari disebutkan para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai maknanya. Sebagian mengatakan bahwa maknanya adalah, amalan-amalan yang diridhai Allah pada malam qadr lebih baik dari amalan di selainnya selama seribu bulan. Mereka yang berpendapat demikian menyebutkan riwayat-riwayat berikut ini :

Al Hakam bin Basyir memceritakan kepada kami, ia berkata: Amr bin Qais Al Mula'i menceritakan kepada kami, mengenai firman-Nya, ; *lebih baik dari seribu bulan," ia berkata, "Amalan pada malam itu lebih baik daripada amalan seribu bulan (pada selainnya).- (As-Suyuthi dalam Ad-Durr Al Mantsur (8/563).)

Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah malam qadr lebih baik dari seribu bulan yang tidak ada malam qadr-nya. Mereka orang berpendapat demikian menyebutkan diantaranya riwayat berikut ini: 

Ibnu Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Hakkam bin Salm menceritakan kepada kami dari Al Mutsanna bin Ash-Shabbah, dari Mujahid, ia berkata, "Dulu di kalangan bani Isra'il ada seorang laki-laki yang biasa shalat malam hingga pagi, kemudian pada siang harinya berjihad melawan musuh hingga sore. Ia melakukan itu selama seribu bulan. Allah lalu menurunkan ayat, "Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan', (bahwa) shalat malam pada malam tersebut lebih baik daripada amal laki-laki tersebut."  

Aththabari dalam tafsirnya lebih memilih pendapat yang kedua ini. Dengan demikian lailatul qadar termasuk keistimewaan yang diberikan kepada ummat Muhammad saw. Dengan adanya keistimewaan ini ummat Rasulullah saw bisa mencapai amal ibadah yang belipat-lipat sekalipun dengan rata-rata usia hidup yang lebih pendek dibanding ummat-ummat terdahulu.

C. Lailatul Mubarakah

Kata lailatul qadr selain dimaknai dengan malam kemuliaan, juga bisa dimaknai dengan pengertian lain. Dalam Qs Ad Dukhan ayat 3-5 disebutkan bahwa lailatul qadr juga adalah lailatul mubarakah, dimana pada malam tersebut dijelaskan semua urusan yang penuh hikmah yaitu urusan yang besar dari sisi Allah. 

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (٣)فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (٤)أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ (٥)

“3. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. 4. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, 5. (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul”. (Qs Ad Dukhan:3-5)

Al Quran menegaskan bahwa yang dimaksud dengan urusan yang besar itu adalah diutusnya para Rasul, dimana tugas mereka adalah membimbing dan memimpin manusia kepada jalan yang benar. Tanpa kehadiran para rasul, ummat manusia bisa tersesat dari jalan Allah dan mengikuti jalan-jalan selain jalan Allah. 

Kehadiran rasul pada hakikatnya adalah hadirnya kepemimpinan yang berdasar kepada petunjuk Allah. Begitupula dengan kehidupan kita hari ini, sekalipun tidak ada Rasulullah, kita tetap harus berada dalam kepemimpinan yang berdasar petunjuk Allah agar tidak tersesat dari jalan Allah.

Akan menjadi suatu paradoks, manakala seorang muslim yang hidupnya bisa teratur dengan ketentuan Allah selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan, namun ketika bulan itu selesai kehidupannya kembali diatur oleh hawa nafsu dan nilai-nilai serta hukum jahiliyah. Perhatikan kembali bahasan tentang Ulil amri dan puasa di sini.

D. Keutamaan Lailatul Qadar

Lailatul qadr memiliki tiga keutamaan yaitu pada malam tersebut turun Al Quran pertama kali ke muka bumi, nilai amal pada malam itu bernilai seribu bulan dan janji ampunan Allah bagi siapa saja yang menegakkan malam tersebut dengan ibadah kepada-Nya. 

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ 

1.  Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada Lailatulqadar. 2.  Tahukah kamu apakah Lailatulqadar itu?

لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ 

3.  Lailatulqadar itu lebih baik daripada seribu bulan.

حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Hisyam telah menceritakan kepada kami Yahya dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang menegakkan  lailatul qadr karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya, dan barangsiapa yang melaksanakan shaum Ramadhan karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya". (HR Bukhari No.1768)

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah mengatakan bahwa yang dimaksud ‘iimaanan’ (karena iman) adalah membenarkan janji Allah yaitu pahala yang diberikan (bagi orang yang menghidupkan malam tersebut). Sedangkan ‘ihtisaaban’ bermakna mengharap pahala (dari sisi Allah), bukan karena mengharap lainnya yaitu contohnya berbuat riya’. (Lihat Fath Al-Baari, 4:251)

 حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَمَّا حَضَرَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

Telah menceritakan kepada kami Isma'il dari Ayub dari Abu Qilabah dari Abu Hurairah berkata; Ketika Ramadhan tiba, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, di dalamnya Allah mewajibkan kalian berpuasa, di dalamnya pintu-pintu surga dibuka lebar dan pintu-pintu neraka ditutup rapat, dan setan-setan dibelenggu. Pada bulan Ramadhan ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, dan barangsiapa tidak mendapati malam itu maka ia telah kehilangan pahala seribu bulan." (HR Ahmad No.9133)

E. Waktu Lailatul Qadr

Waktu lailatul qadr secara tersirat diungkapkan Rasulullah adalah terletak pada malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir.

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ اَلْعَشْرُ -أَيْ: اَلْعَشْرُ اَلْأَخِيرُ مِنْ رَمَضَانَ- شَدَّ مِئْزَرَهُ, وَأَحْيَا لَيْلَهُ, وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Aisyah radhialla ̅hu ‘anha berkata: Rasululla ̅h shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam bila memasuki sepuluh hari -- yakni sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan-- mengencangkan kain sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarga nya. (HR Bukhari dan Muslim).

وَعَنْهَا: ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Dari 'Aisyah radhialla ̅hu ‘anha bahwa Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam selalu beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istri beliau beri'tikaf sepeninggalnya. (HR Bukhari dan Muslim). 

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Carilah Lailatul Qadar pada malam yang ganjil dalam sepuluh malam yang akhir dari Ramadhan". (HR Bukhari No.1878)

وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: ( أَنَّ رِجَالاً مِنْ أَصْحَابِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أُرُوا لَيْلَةَ اَلْقَدْرِ فِي اَلْمَنَامِ, فِي اَلسَّبْعِ اَلْأَوَاخِرِ, فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي اَلسَّبْعِ اَلْأَوَاخِرِ, فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي اَلسَّبْعِ اَلْأَوَاخِرِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ibnu Umar radhialla ̅hu ‘anhu bahwa beberapa shahabat Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam melihat lailatul qadr dalam mimpi tujuh malam terakhir, maka Rasulallah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, Aku telah ditunjukkan kebenaran tentang mimpimu pada tujuh malam yang terakhir, maka barangsiapa ingin mencarinya hendaknya ia mencari pada tujuh malam terakhir." (HR Bukhari dan Muslim).

Dan yang memilih pendapat bahwa lailatul qadar adalah malam kedua puluh tujuh sebagaimana hadits Ubay bin Ka’ab radhialla ̅hu ‘anhu. Ibnu Hajar Asqalani menyebutkan,

وَعَنْ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا, عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ: ( لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ )  رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالرَّاجِحُ وَقْفُهُ. وَقَدْ اِخْتُلِفَ فِي تَعْيِينِهَا عَلَى أَرْبَعِينَ قَوْلًا أَوْرَدْتُهَا فِي فَتْحِ اَلْبَارِي 

Dari Muawiyah Ibnu Abu Sufyan radhialla ̅hu ‘anhu bahwa Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang lailatul qadar: "Malam dua puluh tujuh." Riwayat Abu Dawud dan menurut pendapat yang kuat ia adalah mauquf. Ada 40 pendapat yang berselisih tentang penetapannya yang dipaparkan dalam kitab Fathul Bari. 

Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar menegaskan bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun. 

Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala.

Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam.

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى

Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.”  (HR. Bukhari)

Hikmah dari tidak diberitahukannya secara pasti waktu lailatul qadar agar kaum muslimin bersungguh-sungguh dalam mencarinya.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ حَدَّثَنَا أَنَسٌ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُخْبِرَنَا بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى رَجُلَانِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى فُلَانٌ وَفُلَانٌ فَرُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Khalid bin Al Harits telah menceritakan kepada kami Humaid telah menceritakan kepada kami Anas dari 'Ubadah bin Ash-Shamit berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keluar untuk memberitahukan kami tentang Lailatul Qadar. Tiba-tiba ada dua orang dari Kaum Muslimin yang membantah Beliau. Akhirnya Beliau berkata: "Aku datang untuk memberitahukan kalian tentang waktu terjadinya Lailatul Qadar namun fulan dan fulan menyanggah aku sehingga kepastian waktunya diangkat (menjadi tidak diketahui). Namun semoga kejadian ini menjadi kebaikan buat kalian, maka carilah pada malam yang kesembilan, ketujuh dan kelima (pada sepuluh malam akhir dari Ramadhan) ". (HR Bukhari No.1883)

Hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tentang terjadinya malam lailatul qadar di antaranya adalah untuk membedakan antara orang yang sungguh-sungguh untuk mencari malam tersebut dengan orang yang malas. Karena orang yang benar-benar ingin mendapatkan lailatul qadar tentu akan bersungguh-sungguh untuk mencarinya. 

Jadi menurut pendapat ini, yang “dikejar” dalam lailatul qadr adalah prosesnya dan bukan semata instannya yaitu pahala seribu bulan. Dengan kata lain yang ingin dirubah dari sikap mental kaum muslimin adalah bukan sekedar untuk mengejar pahala seribu bulan tetapi terbentuknya kesungguhan dan keinginan yang kuat untuk beribadah lebih banyak dan berkualitas. Bukan hanya di bulan Ramadhan tetapi juga di bulan-bulan berikutnya. Perhatikan kembali hadits berikut

F. Tanda Lailatul Qadar

1- Keadaan matahari di pagi hari, terbit berwarna putih tanpa memancarkan sinar ke segala penjuru

Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

هِىَ اللَّيْلَةُ الَّتِى أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِقِيَامِهَا هِىَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِى صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لاَ شُعَاعَ لَهَا.

“Malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke dua puluh tujuh (dari bulan Ramadhan). Dan tanda-tandanya ialah pada pagi harinya matahari terbit berwarna putih tanpa memancarkan sinar ke segala penjuru.” (HR. Muslim no. 762)

2- Kedaan malam tidak panas, tidak juga dingin, matahari di pagi harinya tidak begitu cerah nampak kemerah-merahan

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء

“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar tidak begitu cerah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, lihat Jaami’ul Ahadits 18: 361. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahihul Jaami’ no. 5475)

Namun tanda tersebut tak perlu dicari-cari. Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah berkata,

وَقَدْ وَرَدَ لِلَيْلَةِ الْقَدْرِ عَلَامَاتٌ أَكْثَرُهَا لَا تَظْهَرُ إِلَّا بَعْدَ أَنْ تَمْضِي

“Ada beberapa dalil yang membicarakan mengenai tanda-tanda lailatul qadar. Namun itu semua tidaklah nampak kecuali setelah malam tersebut berlalu.” (Fath Al-Bari, 4: 260)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mencari-cari tanda. Yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah memperbanyak ibadah saja di akhir-akhir Ramadhan,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ اَلْعَشْرُ -أَيْ: اَلْعَشْرُ اَلْأَخِيرُ مِنْ رَمَضَانَ- شَدَّ مِئْزَرَهُ, وَأَحْيَا لَيْلَهُ, وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki 10 Ramadhan terakhir, beliau bersungguh-sungguh dalam ibadah (dengan meninggalkan istri-istrinya), menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah.” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174)

G. Tanda Seseorang mendapatkan Lailatul Qadar

Syaikh Khalid Al-Mushlih menyatakan bahwa tidak ada tanda khusus jika seseorang telah mendapatkan Lailatul Qadar. Terang beliau, kalau kita memperbanyak beribadah terus menerus di sepuluh hari terakhir Ramadhan, tentu akan mendapatkan malam penuh kemuliaan tersebut. Demikian yang beliau utarakan dalam salah satu video beliau di sini.

Dengan kata lain, sebenarnya setiap muslim akan mendapati lailatul qadar, apakah ia sedang berpuasa atau tidak, baik laki-laki maupun perempuan, tua atau muda termasuk wanita haidh atau nifas. Termasuk mereka yang sedang beritikaf di masjid, atau di rumah atau sedang dalam perjalanan, semuanya akan mendapati malam lailatul qadar tersebut. Yang menjadi persoalan adalah dalam kondisi bagaimana seseorang mendapati lailatul qadar? Apakah ia sedang tertidur, sedang bemain-main atau sedang dalam keadaan beribadah, pertanyaan itu yang menjadi penting untuk diajukan.

Jika seseorang tertidur lelap dari isya sampai shubuh maka tentu ia tidak bisa disebut 'mendapatkan' lailatul qadar. Disini ukurannya adalah "man qaama" yaitu siapa saja yang bangun dan menegakkan dirinya (qama) untuk beribadah kepada Allah pada malam tersebut. Sabda Nabi saw itu sudah jelas, siapa saja yang qama menegakkan ibadah kepada Allah pada malam lailatul qadar dengan imanan wahtisaban maka ia akan mendapatkan ampunan Allah atas seluruh dosa-dosanya yang telah lalu. 

Bukan hanya dosanya dihapus, tetapi seluruh amal ibadah pada malam tersebut juga akan dicatat menjadi berlipat-lipat nilainya menjadi 1000 bulan. Inilah yang disebut dengan mendapatinya seseorang aan lailatul qadar tersebut. 

H. Menghidupkan Lailatul Qadr

Rasulullah beri'tikaf di Masjid, namun juga membangunkan keluarganya untuk memperbanyak ibadah pada malam-malam ganjil.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ اَلْعَشْرُ -أَيْ: اَلْعَشْرُ اَلْأَخِيرُ مِنْ رَمَضَانَ- شَدَّ مِئْزَرَهُ, وَأَحْيَا لَيْلَهُ, وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ –

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, beliau kencangkan sarungnya (bersungguh-sungguh dalam ibadah dengan meninggalkan istri-istrinya), menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan keluarganya untuk beribadah.” (HR. Bukhari, no. 2024 dan Muslim, no. 1174).

Aisyah meriwayatkan:   ماعلمته صلى الله عليه وسلم قام ليلة حتى الصباح    “Aku selalu menyaksikan beliau beribadah selama Ramadhan hingga menjelang subuh,”

Yang patut pula dipahami bahwa ternyata ada banyak cara menghidupkan malam tersebut

1. Menjaga Isya dan Shubuh berjamaah. Ada yang berpendapat bahwa yang paling sederhana itu bisa dengan mengerjakan shalat Isya dan shalat shubuh. Mengerjakan kedua shalat ini dapat dicatat telah mengerjakan shalat semalam suntuk.

Dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ شَهِدَ الْعِشَاءَ فِى جَمَاعَةٍ كَانَ لَهُ قِيَامُ نِصْفِ لَيْلَةٍ وَمَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ فِى جَمَاعَةٍ كَانَ لَهُ كَقِيَامِ لَيْلَةٍ

“Siapa yang menghadiri shalat ‘Isya berjamaah, maka baginya pahala shalat separuh malam. Siapa yang melaksanakan shalat ‘Isya dan Shubuh berjamaah, maka baginya pahala shalat semalam penuh.” (HR. Muslim no. 656 dan Tirmidzi no. 221).

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ بَقِيَّةُ لَيْلَتِهِ

“Sesungguhnya jika seseorang shalat bersama imam hingga imam selesai, maka ia dihitung mendapatkan pahala shalat di sisa malamnya.” (HR. Ahmad 5: 163. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim).

2. Mengerjakan Shalat Lail 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari, no. 1901)

3. Banyak Berdoa

Pada malam lailatul qadr disunnahkan membaca doa berikut :

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ : أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيَّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ اَلْقَدْرِ, مَا أَقُولُ فِيهَا? قَالَ: قُولِي: اللهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اَلْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي " )  رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, غَيْرَ أَبِي دَاوُدَ

Dari 'Aisyah radhialla ̅hu ‘anhu bahwa dia bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku tahu suatu malam dari lailatul qadr, apa yang harus aku baca pada malam tersebut? Beliau bersabda: "bacalah (artinya: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Engkau menyukai ampunan, maka ampunilah aku)." (Riwayat Imam Lima selain Abu Dawud)

Ibnu Rajab rahimahullah memberi penjelasan menarik,

و إنما أمر بسؤال العفو في ليلة القدر بعد الإجتهاد في الأعمال فيها و في ليالي العشر لأن العارفين يجتهدون في الأعمال ثم لا يرون لأنفسهم عملا صالحا و لا حالا و لا مقالا فيرجعون إلى سؤال العفو كحال المذنب المقصر

“Dianjurkan banyak meminta maaf atau ampunan pada Allah di malam lailatul qadar setelah sebelumnya giat beramal di malam-malam Ramadhan dan juga di sepuluh malam terakhir. Karena orang yang arif (bijak) adalah yang bersungguh-sungguh dalam beramal, namun dia masih menganggap bahwa amalan yang ia lakukan bukanlah amalan, keadaan, atau ucapan yang baik (saleh). Oleh karenanya, ia banyak meminta ampun pada Allah seperti orang yang penuh kekurangan karena dosa.”

4. Bershadaqah 

Nabi Muhammad saw sendiri sangat dermawan ketika memasuki bulan Ramadhan melebihi kedermawanan di bulan-bulan lain. Disebutkan dalam hadits riwayat Ibnu Abbas:

   عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ   

Artinya, “Dari sahabat Ibnu Abbas: Rasulullah SAW adalah orang paling dermawan di antara manusia lainnya, dan ia semakin dermawan saat berada di bulan Ramadhan,” (HR Al-Bukhari dan Muslim).   

Berangkat dari hadits ini, Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi mengingatkan kepada kita agar bersikap dermawan kepada sesama di bulan Ramadhan. 

   يختار للناس أن يكثروا من الجود والإفضال في شهر رمضان اقتداء برسول الله صلى الله عليه وسلم وبالسلف الصالح من بعده، ولأنه شهر شريف قد اشتغل الناس فيه بصومهم عن طلب مكاسبهم   

Artinya, “Diharapkan bagi manusia banyak berlaku dermawan dan mementingkan orang lain pada bulan Ramadhan karena mengikuti sunnah Rasulullah saw dan ulama salafus shaleh setelahnya.Karena bulan Ramadhan merupakan bulan mulia, orang-orang sibuk berpuasa hingga meninggalkan pekerjaan mereka.” (Al-Mawardi, Al-Hawi fi Fiqhhis Syafi’i, juz III, halaman 479).

*

Untuk lebih memfokuskan diri dalam mengejar Lailatur Qadar, disunnahkan bagi kaum muslimin untuk melaksanakan i'tikaf. Dengan mengambil tempat di masjid Jami', dengan mengkhususkan diri sepuluh hari terakhir Ramadhan, maka usaha mengejak Lailatur Qadar akan lebih niscara. Silahkan lihat I'tikaf di sini.

sumber video disini

Lihat bahasan lengkap tentang Puasa Ramadhan disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.