I'tikaf


Secara bahasa i’tikaf berasal dari kata ‘akafa (عَكَفَ) yang artinya al-habsu (الحَبْسُ) yang artinya memenjarakan.  Dengan demikian secara bahasa i’tikaf adalah

حَبْسُ النَّفْسِ عَنِ التَّصَرُّفَاتِ الْعَادِيَّةِ

“memenjarakan diri sendiri dari melakukan sesuatu yang biasa”.

Dalam Al Quran disebutkan, 

إِذْ قَالَ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ (٥٢)

“(ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung Apakah ini yang kamu ikatkan dirimu ?” (Qs Al Anbiyaa 21:52)

Maksudnya adalah yang selalu kamu sembah dan puja. Berdasar ayat tersebut, makna I’tikaf adalah berada di sesuatu dan mengikat diri kepadanya, baik ia berupa kebaikan atau keburukan.

Secara istilah i’tikaf adalah menetap di dalam masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala  pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. I’tikaf dilakukan dengan maksud mencari malam lailatul qadr, karenanya akan lebih fokus apabila dilakukan di masjid. 

Dengan kata lain orang yang beri’tikaf akan memenjara dirinya di dalam masjid semata mengharap ridha Allah. Hukum i’tikaf adalah sunnah, namun ia menjadi wajib jika seseorang bernazar untuk melaksanakannya.

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْهَادِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوْسَطِ مِنْ رَمَضَانَ فَاعْتَكَفَ عَامًا حَتَّى إِذَا كَانَ لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَهِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي يَخْرُجُ مِنْ صَبِيحَتِهَا مِنْ اعْتِكَافِهِ قَالَ مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفْ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ

Telah menceritakan kepada kami Isma'il berkata, telah menceritakan kepada saya Malik dari YAzid bin 'Abdullah bin Al Had dari Muhammad bin Ibrahim bin Al Harits At-Taimiy dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman dari Abu Sa'id Al Khudriy radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wa sallam 'i'tikaf pada sepuluh malam pertengahan bulan dari Ramadhan lalu orang-orang mengikutinya. Hingga ketika malam kedua puluh satu, yaitu malam ketika Beliau kembali ke tempat i'tikaf Beliau, Beliau berkata: "Siapa yang telah beri'tilkaf bersamaku maka hendaklah dia beri'tikaf pada sepuluh malam -malam akhir. (HR Bukhari no.1887

Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa ajakan Rasulullah tersebut adalah siapa yang beri’tikaf bersamaku, jadi ajakan ini tidak kepada seluruh kaum muslimin tetapi kepada sebagian saja. Dengan demikian hukum i’tikaf adalah sunnah. Lain halnya jika i’tikaf itu dinadzarkan maka hukumnya menjadi wajib. 

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَخِيهِ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْفِ نَذْرَكَ فَاعْتَكَفَ لَيْلَةً

Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Abdullah dari saudaranya dari Sulaiman bin Bilal dari 'Ubaidullah bin 'Umar dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar dari 'Umar bin Al Khaththob radliallahu 'anhu bahwa dia berkata: "Wahai Rasulullah, aku pernah bernadzar di zaman Jahiliyyah untuk beri'tikaf satu malam di Al Masjidil Haram". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya: "Tunaikanlah nadzarmu itu". Maka kemudian 'Umar bin Al Khaththob radliallahu 'anhu melaksanakan i'tikafnya pada suatu malam. (HR Bukhari No.1901)

Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam melaksanakan i’tikaf di masjid Nabawi di Madinah al Munawarah.

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا 

“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya.” (Qs Al Baqarah 2:187)

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ

Dari 'Abdullah bin 'Umar RA berkata: " Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan". (HR Bukhari No.1885)

Di surat Al Baqarah disebutkan bahwa i’tikaf dilakukan di dalam masjid. Namun pada ulama berbeda pendapat tentang masjid apa yang bisa dilaksanakan i’tikaf di dalamnya. Namun yang paling kuat adalah i’tikaf bertempat di masjid jama’ah. 

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ أَنْ لَا يَعُودَ مَرِيضًا وَلَا يَشْهَدَ جَنَازَةً وَلَا يَمَسَّ امْرَأَةً وَلَا يُبَاشِرَهَا وَلَا يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ إِلَّا لِمَا لَا بُدَّ مِنْهُ وَلَا اعْتِكَافَ إِلَّا بِصَوْمٍ وَلَا اعْتِكَافَ إِلَّا فِي مَسْجِدٍ جَامِعٍ

Dari Aisyah bahwa ia berkata; “Yang disunahkan atas orang yang beri'tikaf adalah tidak menjenguk orang yang sedang sakit, serta tidak mengiringi jenazah serta tidak menyentuh wanita, tidak bercampur dengannya dan tidak keluar untuk suatu keperluan kecuali karena sesuatu yang harus ia lakukan. Dan tidak ada i'tikaf kecuali disertai puasa dan tidak ada i'tikaf kecuali di Masjid Jami’. (HR Abu Daud No.2115)

Masjid Jami’ yang dimaksud diatas adalah masjid dimana didalamnya ditegakkan shalat jama’ah dan shalat jum’at. Dan mengacu kepada sirah nabawiyah bahwa masjid pertama yang dibangun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ketika Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wa sallam melakukan hijrah ke Yatsrib. Dimana sejak itu shalat jama’ah selalu dipimpin oleh Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan i’tikaf di dalam tenda di dalam masjid. Namun ketika ia melihat istri-istrinya ikut membuat tenda/kemah di dalam masjid, Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wa sallam tidak melaksanakan i’tikaf.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا فَضَرَبَتْ خِبَاءً فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى الْأَخْبِيَةَ فَقَالَ مَا هَذَا فَأُخْبِرَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَالْبِرَّ تُرَوْنَ بِهِنَّ فَتَرَكَ الِاعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ

Dari 'Aisyah radhialla ̅hu ‘anhu berkata: "Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan dan aku membuatkan tenda khusus untuk Beliau, dan setiap beliau selesai dari shalat Shubuh Beliau masuk ke dalam tenda tersebut. Kemudian Hafshah meminta izin kepada 'Aisyah untuk juga membuat tenda, maka 'Aisyah mengizinkannya, lalu Hafshah membuatnya. Ketika Zainab putri dari Jahsy melihatnya ia pun membuat tenda yang lain buatnya. Pada pagi harinya Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam melihat tenda-tenda tersebut lalu berkata: "Apa ini?" Lalu Beliau diberitahu. Maka Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam berkata: "Apakah kalian melihat kebaikan ada padanya (dengan membuat tenda-tenda ini)?" Akhirnya Beliau meninggalkan i'tikaf pada bulan itu lalu Beliau ber'tikaf sepuluh hari pada bulan Syawal. (HR Bukhari No.1892)

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلَمَّا انْصَرَفَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ إِذَا أَخْبِيَةٌ خِبَاءُ عَائِشَةَ وَخِبَاءُ حَفْصَةَ وَخِبَاءُ زَيْنَبَ فَقَالَ أَالْبِرَّ تَقُولُونَ بِهِنَّ ثُمَّ انْصَرَفَ فَلَمْ يَعْتَكِفْ حَتَّى اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ

Dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam hendak beri'tikaf. Ketika Beliau menuju tempat khusus untuk i'tikaf Beliau, Beliau melihat ada tenda-tenda, yaitu tendanya 'Aisyah, Hafshah dan Zainab. Maka Beliau berkata: "Apakah kalian melihat kebaikan ada padanya (dengan membuat tenda-tenda ini)?" Akhirnya Beliau pergi dan tidak jadi i'tikaf. Kemudian Beliau ber'tikaf sepuluh hari pada bulan Syawal. (HR. Bukhari No.1893)

Dengan melihat hadits diatas maka mendirikan tenda atau semacamnya di dalam Masjid bukanlah merupakan sunnah, ia hanya merupakan perlengkapan yang digunakan Rasulullah ketika itikaf. Memang tidak bisa dibayangkan apabila mendirikan tenda di dalam masjid dianggap sebagai sunnah, maka betapa kumuhnya masjid apabila ada 100 orang i’tikaf di dalamnya dan mendirikan 100 tenda pula. Bisa-bisa tidak ada ruang untuk shalat, dan yang ada hanya tenda-tenda berdiri.

Kegiatan i’tikaf adalah mengoptimalkan dan memaksimalkan beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala  di dalam masjid seperti shalat sunnah, berdzikir, membaca Al-Quran, membaca Hadits dan lain sebagainya. Semua kegiatan itu terutama diniatkan untuk meraih ampunan Allah subhanahu wa ta'ala  dan meraih nilai malam Lailatul Qadr.

Karena itikaf dilakukan di dalam masjid, maka adab-adab di dalam masjid juga semestinya dijaga, seperti membaca Al Quran hendaknya tidak mengganggu orang di sebelahnya.

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ اعْتَكَفَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلَاةِ

Dari Abu Salamah dari Abu Sa'id dia berkata; "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri'tikaf di Masjid, lalu beliau menedengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (Al Qur'an) mereka. kemudian beliau membuka tirai sambil bersabda: "Ketahuilah, sesungguhnya kalian tengah berdialog dengan Rabb, oleh karena itu janganlah sebagian yang satu mengganggu sebagian yang lain dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca (Al Qur'an) atau dalam shalatnya." (HR Abu Daud, No.1135)

*

Lantas, berapa lama batas minimal i'tikaf? Ada pendapat bahwa i'tikaf adalah 10 hari, ada yang menyatakan minimal sehari-semalam, dan ada juga yang hanya sesaat saja (lahdzah). Beberapa saat saja (lahdzah), artinya bisa beberapa saat semisal satu jam, setengah hari dan tidak harus satu hari penuh sehari semalam, asalkan berniat melakukan i’tikaf.

Dalam hal ini pendapat terakhir ini bisa menjadi kabar gembira bagi mereka yang sibuk dan hanya memiliki waktu sedikit saja untuk itikaf di Masjid.

Dalam hal ini kami lebih memegang pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa batas minimal i’tikaf adalah beberapa saat saja (lahdzah), artinya bisa beberapa saat semisal satu jam, setengah hari dan tidak harus satu hari penuh sehari semalam, asalkan berniat melakukan i’tikaf.

Yang menjadi dasar pendapat jumhur ulama adalah hadits dari Ya’la bin Umayyah radhiallahu ‘anhu , beliau berkata,

ﺇﻧﻲ ﻷﻣﻜﺚ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ، ﻭﻣﺎ ﺃﻣﻜﺚ ﺇﻻ ﻷﻋﺘﻜﻒ

“Saya berdiam beberapa saat di masjid, dan tidaklah aku berdiam kecuali untuk i’tikaf” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf).

An-Nawawi menjelaskan pendapat jumhur ulama dalam hal ini, beliau berkata,

ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺃَﻗَﻞُّ ﺍﻻﻋْﺘِﻜَﺎﻑِ ﻓَﺎﻟﺼَّﺤِﻴﺢُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻗَﻄَﻊَ ﺑِﻪِ ﺍﻟْﺠُﻤْﻬُﻮﺭُ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳُﺸْﺘَﺮَﻁُ ﻟُﺒْﺚٌ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ , ﻭَﺃَﻧَّﻪُ ﻳَﺠُﻮﺯُ ﺍﻟْﻜَﺜِﻴﺮُ ﻣِﻨْﻪُ ﻭَﺍﻟْﻘَﻠِﻴﻞُ ﺣَﺘَّﻰ ﺳَﺎﻋَﺔٍ ﺃَﻭْ ﻟَﺤْﻈَﺔٍ

“Adapun batas minimal i’tikaf yang shahih adalah apa yang ditegaskan oleh jumhur bahwa dipersyaratkan tinggal/menetap di masjid dan boleh lama atau sedikit bahkan sampai beberapa saat (lahdzah)” (Al-Majmu’ 6/514).

Demikian juga Ibnu Hazm menegaskan berdiam diri di masjid karena Allah adalah i’tikaf dan tidak ada batasan tertentu. Beliau berkata,

ﻓﻜﻞ ﺇﻗﺎﻣﺔ ﻓﻲ ﻣﺴﺠﺪ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﻨﻴﺔ ﺍﻟﺘﻘﺮﺏ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻋﺘﻜﺎﻑ

“Semua bentuk berdiam diri di masjid karena Allah Ta’ala, dalam rangka berniat ibadah kepada-Nya adalah i’tikaf” (Al-Muhalla , 5:179).

Nash Al-Quran dan As-Sunnah tidak menyebut batasan i’tikaf dengan batas waktu tertentu. Abdul Aziz bin Baz menjelaskan,

ﺍﻻﻋﺘﻜﺎﻑ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﻜﺚ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻟﻄﺎﻋﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﻤﺪﺓ ﻛﺜﻴﺮﺓ ﺃﻭ ﻗﻠﻴﻠﺔ ، ﻷﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺮﺩ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻓﻴﻤﺎ ﺃﻋﻠﻢ ﻣﺎ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﺤﺪﻳﺪ ﻻ ﺑﻴﻮﻡ ﻭﻻ ﺑﻴﻮﻣﻴﻦ ﻭﻻ ﺑﻤﺎ ﻫﻮ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ

“I’tikaf adalah berdiam diri di masjid dalam rangka melakukan ketaatan kepada Allah, baik itu lama ataupun sebentar, karena tidak terdapat (sepengetahuanku) dalil yang menunjukkan batasan waktu i’tikaf baik satu hari maupun dua hari atau yang lebih dari itu” (Majmu’ Fatawa 14/441).

Adapun riwayat ‘Umar bin Khaththab yang mau i’tikaf semalam saja, maka ini adalah nadzar i’tikaf yang harus ditunaikan.

‘Umar pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ﻛﻨﺖ ﻧﺬﺭﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﺎﻫﻠﻴﺔ ﺃﻥ ﺃﻋﺘﻜﻒ ﻟﻴﻠﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ؟ ﻗﺎﻝ : “ ﻓﺄﺅﻑ ﺑﻨﺬﺭﻙ

“Aku pernah bernadzar di zaman jahiliyah (sebelum masuk islam) untuk melakukan i’tikaf semalam di masjidil haram?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Penuhi nadzarmu’” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bagi yang mendapati udzur tidak bisa i’tikaf, maka hendaklah ia melakukan i’tikaf semampunya di masjid dan semoga bisa mendapatkan malam lailatul qadar. 

Shalih Al-Fauzan menjelaskan,

إذا تعذر عليك أن تعتكف العشر الأواخر من رمضان كاملة لماذا لاتعتكف في المسجد ولو لساعة واحده أو يوم واحد ان استطعت او من العشاء الى الفجر. كل يوم نذهب الى المسجد لنصلي العشاء والقيام فلماذا لاتنوي الأعتكاف ولو من العشاء الى صلاة القيام أو حتى الى صلاة الفجر ثم تذهب لعلها توافق ليلة القدر فتفوز فوزا عظيما*

“Apabila Anda memiliki udzur untuk melakukan i’tikaf di sepuluh akhir ramadhan secara sempurna, maka mengapa Anda tidak i’tikaf di masjid walaupun hanya satu jam, atau sehari yang engkau mampu, atau dari isya hingga subuh, sesuai kemampuanmu. Setiap hari kita berangkat ke masjid untuk mengerjakan shalat isya dan qiyamul lail (tarawih), lalu mengapa Anda tidak berniat untuk i’tikaf, walaupun hanya dari waktu isya hingga tarawih, atau hingga shalat subuh kemudian pulang. Mudah-mudahan hal tersebut bertepatan dengan lailatul qadr sehingga Anda pun meraih keberuntungan yang besar” (http://safeshare.tv/v/EJkW2w4DNvI).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.