Fidyah

 

Bab Fidyah ini dibagi dalam beberapa bagian yaitu 

  1. Pengertian Fidyah, 
  2. Yang Wajib Bayar Fidyah
  3. Hukum wanita dan menyusui yang membatalkan puasanya
  4. Beberapa masalah
  5. Hitungan Fidyah
  6. Cara menunaikan fidyah 


1. Pengertian Fidyah

Fidyah secara bahasa bermakna harta untuk tebusan. Secara tersirat makna ini bisa dilihat dalam ayat berikut.

وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (١٠٧)

“ Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (Qs Ash Shaffat 37:107)

Secara istilah fidyah adalah 

الْبَدَل الَّذِي يَتَخَلَّصُ بِهِ الْمُكَلَّفُ مِنْ مَكْرُوهٍ تَوَجَّهَ إِلَيْهِ

“pengganti untuk membebaskan seorang mukallaf dari larangan yang berlaku padanya”. 


Dalam syariat puasa, fidyah adalah memberi makan kepada fakir miskin sebagai ganti dari tidak berpuasa. Kewajiban membayar fidyah sudah ditetapkan oleh Alla ̅h subhaanahu wa ta‘aala.

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٤)

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Qs 2:184)


Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

“(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin”


2. Yang Wajib Bayar Fidyah

Kalangan yang diwajibkan membayar fidyah adalah:

a. Orang yang sudah lanjut usia. Disini bukan sekedar orang yang sudah tua, tetapi kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk berpuasa. 

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata,”Telah diberikan keringanan buat orang tua renta untuk berbuka puasa, namun dia wajib memberi makan untuk tiap hari yang ditinggalkannya satu orang miskin, tanpa harus membayar qadha’. (HR. Ad-Daruquthny dan Al-Hakim) 

b. Orang yang sakit dan tidak ada harapan sembuh, yaitu orang yang memiliki penyakit dan tidak sembuh-sembuh atau kecil kemungkinannya untuk sembuh. Tentu bagi mereka tidak mungkin mengganti puasa dengan berpuasa lagi (qadha) namu diganti dengan membayar fidyah.

c. Wanita yang hamil dan menyusui karena dikhawatirkan akan berdampak kepada sang bayi yang sedang disusui. Perhatikan dalil berikut ini.

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ قَالَ كَانَ أَبُو قِلَابَةَ حَدَّثَنِي بِهَذَا الْحَدِيثِ ثُمَّ قَالَ لِي هَلْ لَكَ فِي الَّذِي حَدَّثَنِيهِ قَالَ فَدَلَّنِي عَلَيْهِ فَأَتَيْتُهُ فَقَالَ حَدَّثَنِي قَرِيبٌ لِي يُقَالُ لَهُ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي إِبِلٍ لِجَارٍ لِي أُخِذَتْ فَوَافَقْتُهُ وَهُوَ يَأْكُلُ فَدَعَانِي إِلَى طَعَامِهِ فَقُلْتُ إِنِّي صَائِمٌ فَقَالَ ادْنُ أَوْ قَالَ هَلُمَّ أُخْبِرْكَ عَنْ ذَلِكَ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ قَالَ كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ يَتَلَهَّفُ يَقُولُ أَلَا أَكُونُ أَكَلْتُ مِنْ طَعَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ دَعَانِي إِلَيْهِ

Telah menceritakan kepada kami Isma'il, telah menceritakan kepada kami Ayyub, ia berkata; Abu Qilabah menceritakan padaku dengan hadits ini, lalu ia mengatakan padaku; "Apakah kamu tahu mengenai orang yang telah menyampaikan hadits kepadaku?." Ayyub berkata; Lalu Abu Qilabah menunjukiku dan aku mendatangi orang tersebut, lalu orang itu berkata; telah menceritakan padaku orang yang dekat denganku namanya Anas bin Malik, ia berkata; Aku datang kepada Rasululla ̅h shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam karena unta tetanggaku yang ditahan. Lalu aku berhenti karena beliau sedang makan dan beliau menawariku makan, namun aku memberitahukannya bila aku sedang berpuasa, beliau bersabda: "Teruskan atau lanjutkanlah! Aku kabarkan padamu bahwa Allah Tabaraka Wa Ta'ala menjadikan orang yang sedang musafir tapi berpuasa dan meneruskan shalat (tidak mengqasar), demikian juga wanita yang hamil dan menyusui bahwa mereka akan menyesal." Anas berkata; "Ketahuilah, akhirnya aku berbuka dan makan bersama dengan Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam ketika ia mengundangku untuk makan." (HR Ahmad No.19438)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَجُلٍ مِنْ بَنِي عَبْدِ اللهِ بْنِ كَعْبٍ قَالَ أَغَارَتْ عَلَيْنَا خَيْلُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ وَهُوَ يَتَغَدَّى فَقَالَ ادْنُ فَكُلْ قُلْتُ إِنِّي صَائِمٌ قَالَ اجْلِسْ أُحَدِّثْكَ عَنْ الصَّوْمِ أَوْ الصِّيَامِ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلَاةِ وَعَنْ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوْ الصِّيَامَ

Dari Anas bin Malik -ia adalah seorang laki-laki dari Bani Abdullah bin Ka'ab, ia berkata; Kuda Rasululla ̅h shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba menyerang kami, maka saya pun mendatangi beliau yang sedang makan. Maka beliau berkata: "Mendekat dan makanlah." saya berkata, 'Sesungguhnya, saya sedang berpuasa." Beliau bersabda: "Duduklah, saya akan menceritakanmu tentang shaum atau Shiyam. Sesungguhnya Allah 'azza wajalla meringankan setengah shalat untuk musafir. Dan meringankan shaum bagi Musafir, wanita hamil dan menyusui”. (HR Ahmad No. 18270)

Untuk orang yang lanjut usia diganti dengan fidyah sedangkan bagi mereka yang sakit atau musafir harus menggantinya dengan puasa di lain hari (qadha’). Adapun untuk wanita yang hamil dan menyusui tidak ada nash yang tegas menyebutkan akan hal ini, karena itu terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Memang ada beberapa hadits yang menyebutkan tentang wanita hamil dan menyusui, namun tidak secara tegas menetapkan hukum bagi wanita hamil dan menyusui. Berikut diantaranya:

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا أَبَانُ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ أَنَّ عِكْرِمَةَ حَدَّثَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ أُثْبِتَتْ لِلْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ

Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami Aban, telah menceritakan kepada kami Qatadah bahwa Ikrimah telah menceritakan kepadanya, bahwa Ibnu Abbas berkata; fidyah tersebut ditetapkan bagi orang yang hamil dan yang menyusui.  (Hr. Abu Daud, Hadist No – 1973)

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَيُوسُفُ بْنُ عِيسَى قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا أَبُو هِلَالٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَوَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَبْدِ اللهِ بْنِ كَعْبٍ قَالَ أَغَارَتْ عَلَيْنَا خَيْلُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدْتُهُ يَتَغَدَّى فَقَالَ ادْنُ فَكُلْ فَقُلْتُ إِنِّي صَائِمٌ فَقَالَ ادْنُ أُحَدِّثْكَ عَنْ الصَّوْمِ أَوْ الصِّيَامِ إِنَّ اللهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ وَعَنْ الْحَامِلِ أَوْ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوْ الصِّيَامَ وَاللهِ لَقَدْ قَالَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِلْتَيْهِمَا أَوْ إِحْدَاهُمَا فَيَا لَهْفَ نَفْسِي أَنْ لَا أَكُونَ طَعِمْتُ مِنْ طَعَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ الْكَعْبِيِّ حَدِيثٌ حَسَنٌ وَلَا نَعْرِفُ لِأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ هَذَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ هَذَا الْحَدِيثِ الْوَاحِدِ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ و قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ الْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ تُفْطِرَانِ وَتَقْضِيَانِ وَتُطْعِمَانِ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ وَمَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ و قَالَ بَعْضُهُمْ تُفْطِرَانِ وَتُطْعِمَانِ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ شَاءَتَا قَضَتَا وَلَا إِطْعَامَ عَلَيْهِمَا وَبِهِ يَقُولُ إِسْحَقُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib dan Yusuf bin 'Isa keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Waki' telah menceritakan kepada kami Abu Hilal dari Abdullah bin Sawadah dari Anas bin Malik seorang lelaki dari bani Abdullah bin Ka'ab berkata, Pasukan Rasululla ̅h shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam menyerbu kaum kami secara diam-diam, lalu saya mendatangi beliau dan ternyata beliau sedang makan siang, lantas beliau bersabda: " Mendekat dan makanlah." saya menjawab, saya sedang berpuasa, beliau bersabda lagi: "Mendekatlah niscaya akan saya jelaskan kepadamu tentang puasa, sesungguhnya Allah Ta'ala tidak mewajibkan puasa atas musafir dan memberi keringanan separoh shalat untuknya juga memberi keringan bagi wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa". Sungguh Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam telah menyebut keduanya (yaitu wanita hamil dan menyusui), sangat disayangkan jika diriku tidak memakan makanannya Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam. (perawi) berkata, dalam bab ini (ada juga riwayat -pent) dari Abu 'Umayyah. Abu 'Isa berkata, hadits Anas bin Malik Al Ka'bi merupakan hadits hasan, ini adalah satu-satunya hadits yang diriwayatkan oleh Anas dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wasallam. Sebagian Ahli ilmu berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui yang berbuka wajib mengqadla' puasa dan memberi makan (fakir miskin), hal ini sebagaimana perkataan Sufyan, Malik, Syafi'i dan Ahmad. Dan sebagian mereka berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui yang berbuka wajib memberi makan namun tidak wajib mengqadla' puasanya, hal ini sebagaimana perkataan Ishaq. (HR Tirmidzi no:649)


3. Hukum wanita dan menyusui yang membatalkan puasanya

Perbedaan-perbedaan pendapat tentang hukum wanita dan menyusui yang membatalkan puasanya dapat diringkas sebagai berikut:

a. Kalangan al-Hanafiyah menyebutkan bagi wanita hamil dan menyusui yang khawatir terhadap dirinya atau anaknya diharuskan mengqadha di lain hari

b. Kalangan al-Malikiyah menyebutkan bagi wanita hamil dan menyusui diharuskan untuk membayar fidyah dan tidak perlu mengqadha di lain hari.

c. Kalangan asy-Syafiiyah menyebutkan bagi wanita hamil dan menyusui bahwa:

  • jika khawatir terhadap dirinya saja ia boleh tidak berpuasa dan harus mengqadha, tanpa membayar fidyah
  • jika khawatir terhadap dirinya dan anaknya, ia boleh tidak berpuasa dan harus mengqadha, tanpa membayar fidyah
  • jika khawatir terhadap anaknya saja maka ia boleh tidak berpuasa dan harus mengqadha serta membayar fidyah

d. Kalangan al-Hanabilah menyebutkan bagi wanita hamil dan menyusui

  • Jika khawatir terhadap dirinya saja ia boleh tidak berpuasa dan harus mengqadha, tanpa membayar fidyah
  • Jika khawatir terhadap anaknya saja maka ia boleh tidak berpuasa dan harus mengqadha serta membayar fidyah

Syaikh Sayid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menyebutkan bahwa kebolehan berbuka dan membayar fidyah ini juga bagi perempuan-perempuan hamil dan yang menyusukan anak, jika mereka khawatir akan keselamatan diri atau anak-anak mereka. Tentu keputusan ini bisa diambil apabila sudah melakukan konsultasi dengan dokter, atau berdasar pengalaman atau dugaan keras sehingga muncul kekhawatiran diatas. 

Menurut Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, mereka wajib membayar fidyah dan tidak wajib mengqadha. Diriwayatkan dari Abu Daud dari Ikrimah bahwa Ibnu Abbas berkata mengenai firman Allah ta’ala “dan orang-orang yang sulit melakukannya” merupakan keringanan bagi orang tua yang telah lanjut usia, baik laki-laki maupun wanita yang telah payah untuk berpuasa, agar mereka berbuka, dan memberi makan untuk setiap hari itu seorang miskin. Begitu pula wanita hamil dan menyusukan anak, -jika mereka khawatirakan keselamatan anak-anak mereka- mereka boleh berbuka dan memberi makan (HR Bazar). Pada akhir riwayat iti ditambahkannya, “Dan Ibnu Abbas pernah mengatakan kepada sahaya kepunyaannya yang sedang hamil, “Kau sama dengan orang yang sulit untuk berpuasa, maka bayarlah fidyah dan tak usah mengqdha”. (Isnadnya dinyatakan sah oleh Daruqutni) 

Ahmad Sarwat menjelaskan, "Jumhur ulama yaitu mazhab Al-Malikiyah, As-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat mengatakan bahwa wanita yang hamil dan menyusui ketika tidak berpuasa Ramadhan, menggantinya dengan membayar fidyah dan juga mengqadha’ puasanya, yaitu apabila ketika mereka mengkhawatirkan anak yang dikandung atau disusuinya itu.  Namun bila mereka mengkhawatirkan diri mereka saja, tanpa mengkhawatirkan anak mereka, cukup hanya membayarnya dengan qadha’ puasa saja." 

4. Beberapa Masalah 

a. Menunda qadha’ hingga lewat ramadhan berikutnya.

Jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa orang yang menunda kewajiban mengqadha‘ puasa Ramadhan tanpa uzur syar‘i hingga Ramadhan tahun berikutnya telah menjelang, maka wajib atas mereka mengqadha‘nya sekaligus membayar fidyah. 

Di antara yang berpendapat seperti ini di kalangan para ulama dan mujtahid adalah mazhab Al-Malikiyah, AsySyafi’iyah dan Al-Hanabilah. Sedangkan di kalangan para shahabat Nabi SAW, mereka antara lain Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah ridhwanullahi ‘alaihim. Dari kalangan tabi’in antara lain Mujahid, Said bin Jubair, Atha’ bin Abi Rabah. Juga ada ulama lain seperti Al-Qasim bin Muhammad, Az-Zuhri, Al-Auza’i, Ishaq, Ats-Tsauri, dan lain-lainnya.  

Namun ada juga pendapat ulama yang tidak mewajibkan membayar fidyah dalam kasus seperti ini. Di antara mereka adalah mazhab Al-Hanafiyah, Al-Hasan AlBashri, Ibrahim An-Nakha’i, Daud Adz-Dzhahiri. Sedangkan dari kalangan mazhab Asy-Syafi’iyah, Al-Muzani termasuk di antara berpendapat tidak ada fidyah dalam kasus ini.    

b, Wafat dan punya hutang puasa

Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa seseorang yang tidak berpuasa karena alasan sakit pada bulan Ramadhan, lalu sembuh setelah itu dan punya kesempatan untuk berpuasa, namun belum sempat dia melaksanakan puasa qadha’nya kemudian meninggal dunia, maka hutang puasanya itu cukup dibayar dengan fidyah. 

Sedangkan mazhab Asy-Syafi’iyah, para ulamanya berbeda pendapat dalam menjawab masalah ini. Sebagian dari mereka, termasuk di dalam Al-Imam An-Nawawi, berpendapat bahwa dalam kasus ini, keluarganya berpuasa untuknya sebagai pengganti dari hutang puasanya. Bukan dengan cara membayar fidyah memberi makan orang miskin. 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى بْنِ أَعْيَنَ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ جَعْفَرٍ حَدَّثَهُ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ تَابَعَهُ ابْنُ وَهْبٍ عَنْ عَمْرٍو وَرَوَاهُ يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ عَنْ ابْنِ أَبِي جَعْفَرٍ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khalid telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Musa bin A'yan telah menceritakan kepada kami bapakku dari 'Amru bin Al Harits dari 'Ubaidullah bin Abu Ja'far bahwa Muhammad bin Ja'far menceritakan kepadanya dari 'Urwah dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa meninggal dunia dan memiliki hutang puasa maka walinya berpuasa untuknya". Hadits ini dikuatkan pula oleh Ibnu Wahab dari 'Amru. Dan Yahya bin Ayyub meriwayatkannya dari Ibnu Abu Ja'far. (HR Bukhari No.1816)

و حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ وَأَحْمَدُ بْنُ عِيسَى قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Dan telah menceritakan kepadaku Harun bin Sa'id Al Aili dan Ahmad bin Isa keduanya berkata, Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepada kami Amru bin Harits dari Ubaidullah bin Ja'far dari Muhammad bin Ja'far bin Zubair dari Urwah dari Aisyah radliallahu 'anha; Bahwa Rasululla ̅h shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Siapa yang meninggal, sedangkan ia masih memiliki hutang puasa, maka yang membayarnya adalah walinya." (HR Muslim No.1935)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى

Dari Ibnu 'Abbas RA berkata; "Datang seorang laki-laki kepada Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan dia mempunyai kewajiban (hutang) puasa selama sebulan, apakah aku boleh menunaikannya?". Beliau shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam berkata: "Ya", Beliau melanjutkan: "Hutang kepada Allah lebih berhaq untuk dibayar". (HR. Bukhari No. 1817)

Adapun cara membayarnya boleh dilakukan oleh satu orang ahli waris atau beberapa orang ahli waris sekaligus sesuai dengan jumlah hari puasa yang ditinggalkan mayit. Contoh hutang 7 hari puasa satu orang yang meninggal bisa digantikan oleh 7 orang ahli waris dalam satu hari saja. 

Namun Abu Daud menjelaskan bahwa yang dimaksud kewajiban berpuasa untuk keluarga tersebut untuk puasa nadzar.

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا فِي النَّذْرِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah mengabarkan kepadaku 'Amr bin Al Harits dari 'Ubaidullah bin Abu Ja'far dari Muhammad bin Ja'far bin Az Zubair dari 'Urwah dari Aisyah bahwa Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam berkata: "Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan berkewajiban melakukan puasa, maka walinya berpuasa untuknya." Abu Daud berkata; hal ini mengenai puasa nadzar, dan hal tersebut adalah pendapat Ahmad bin Hanbal. (HR Abu Daud No.2048)

Adapun kalangan al-Malikiyah, asy-Syafiiyah dan al-Hanabilah sepakat bahwa seseorang yang tidak berpuasa karena alasan sakit pada bulan Ramadhan lalu sembuh setelah itu dan memiliki kesempatan untuk berpuasa, namun belum sempat mengerjakannya dia kemudian meninggal. Maka hutang puasanya itu cukup dibayar dengan fidyah. Hal ini berdasar hadits berikut ini.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْثَرُ بْنُ الْقَاسِمِ عَنْ أَشْعَثَ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعَمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ لَا نَعْرِفُهُ مَرْفُوعًا إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَالصَّحِيحُ عَنْ ابْنِ عُمَرَ مَوْقُوفٌ قَوْلُهُ وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي هَذَا الْبَابِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ يُصَامُ عَنْ الْمَيِّتِ وَبِهِ يَقُولُ أَحْمَدُ وَإِسْحَقُ قَالَا إِذَا كَانَ عَلَى الْمَيِّتِ نَذْرُ صِيَامٍ يَصُومُ عَنْهُ وَإِذَا كَانَ عَلَيْهِ قَضَاءُ رَمَضَانَ أَطْعَمَ عَنْهُ و قَالَ مَالِكٌ وَسُفْيَانُ وَالشَّافِعِيُّ لَا يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ قَالَ وَأَشْعَثُ هُوَ ابْنُ سَوَّارٍ وَمُحَمَّدٌ هُوَ عِنْدِي ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami 'Abtsar bin Al Qasim dari Asy'ats dari Muhammad dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: "Barang siapa yang meninggal dan masih memiliki tanggungan puasa hendaknya ia memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya sebagai gantinya". Abu 'Isa berkata, kami tidak mengetahui hadits Ibnu Umar ini diriwayatkan secara marfu' kecuali melalui sanad ini dan yang benar adalah hadits ini mauquf sampai kepada Ibnu Umar. para ahli ilmu berbeda pendapat, sebagian mereka yaitu Ahmad dan Ishaq berpendapat jika si mayyit bernadzar puasa, maka boleh diwakilkan. Namun jika dia memiliki kewajiban mengqadla' puasa Ramadlan, maka sebagai gantinya hendaknya ia memberi makan orang miskin. Malik, Sufyan dan Syafi'i berpendapat, seseorang tidak boleh mewakili puasanya orang lain. Asy'ats ialah Ibnu Sawwar dan menurutku Muhammad disebut juga dengan Ibnu 'Abdir Rahman bin Abu Laila. (HR Tirmidzi No.651)

5. Hitungan Fidyah

Hitungan fidyah adalah setengah sha’ diperoleh dengan mengqiyaskan kepada fidyah atas larangan ihram, karena sabda Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam berikut ini.

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سَيْفٌ قَالَ حَدَّثَنِي مُجَاهِدٌ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي لَيْلَى أَنَّ كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ حَدَّثَهُ قَالَ وَقَفَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحُدَيْبِيَةِ وَرَأْسِي يَتَهَافَتُ قَمْلًا فَقَالَ يُؤْذِيكَ هَوَامُّكَ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَاحْلِقْ رَأْسَكَ أَوْ قَالَ احْلِقْ قَالَ فِيَّ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ إِلَى آخِرِهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ أَوْ تَصَدَّقْ بِفَرَقٍ بَيْنَ سِتَّةٍ أَوْ انْسُكْ بِمَا تَيَسَّرَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Sayf berkata, telah menceritakan kepada saya Mujahid berkata, aku mendengar 'Abdurrahman bin Abu Laila bahwa Ka'ab bin 'Ujrah radhialla ̅hu ‘anhu berkata: " Rasululla ̅h shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam menghampiriku di Hudaibiyah ketika kepalaku dipenuhi kutu, Beliau berkata: "Barangkali kamu terkena serangga (kutu di kepala)?". Aku jawab: "Benar, wahai Rasulullah". Maka Beliau berkata: "Cukurlah rambutmu". Atau dia berkata: "Ayat ini turun untukku" (QS Al Baqarah ayat 196 yang artinya): ("....Maka barangsiapa dari kalian yang sakit atau tertimpa sesuatu pada kepalanya...) hingga akhir ayat. Maka Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam berkata: "Laksanakanlah shaum tiga hari atau bershadaqah sebanyak faraq (tiga sha') terhadap enam orang atau berqurban dengan yang mudah buatmu". (HR Bukhari No.1687)

Apabila dihitung tiga sha’ untuk enam orang itu maka untuk satu orang adalah setengah sha’. Namun pada kenyataanya, ukuran fidyah berbeda-beda menurut ulama. Jumhur ulama dari al-Malikiyah dan asy-Syafiiyah menetapkan ukuran fidyah adalah satu mud menurut ukuran mud Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam. Kalangan al-Hanafiyah menetapkan satu sha’, sedangkan al-Hanabilah  ukurannya adalah satu burr atau setengah sha’ kurma atau setengah sha’ tepung syair.

Dalam penjelasan Satu mud secara umum sama dengan ¼ sha’, atau 1 sha’ sama dengan 4 mud. Disebut satu mud adalah apabila kedua telapak tangan disatukan hingga membentuk sebuah wadah, maka volume yang bisa ditampung kedua telapak tangan ini disebut dengan satu mud. 

Bila diukur zaman sekarang satu mud setara dengan 675 gram atau 0,688 liter. Dan satu sha’ berarti ukurannya adalah 2,752 liter. Ukuran lainnya adalah satu sho’ kira-kira 3 kg. Setengah sho’ kira-kira 1,5 kg. 

Namun yang menjadi patokan bukan ukuran-ukuran berat dari makanan itu, karena pada intinya adalah memberi makan orang miskin. Sehingga yang lebih baik adalah berapa pun ukuran yang diambil untuk fidyah hendaknya untuk sekali makan, makanan itu bisa mengenyangkan orang miskin. Inilah hakikat sebenarnya dari tha’amu miskiin. طَعَامُ مِسْكِينٍ

Tentang ukuran fidyah tidak dipengaruhi oleh berapa kali seseorang makan dalam sehari, misalkan jika ia makan tiga kali sehari maka ia membayar fidyah dihitung satu kali jika sudah memberi makan tiga kali orang miskin. Tentu bukan seperti itu penerapannya. Ketika memberi makan orang miskin satu kali maka itu sudah dihitung untuk membayar fidyah satu hari dari puasa yang ditinggalkan.


6. Cara menunaikan fidyah 

Adapun cara menunaikan fidyah adalah dengan salah satu cara berikut:

- Pertama, memberi bahan pokok tadi kepada orang miskin. Contoh seseorang yang memiliki hutang puasa selama 7 hari, maka caranya adalah memberi tujuh orang miskin masing-masing satu makanan yang mengenyangkan.

- Kedua, membuat suatu hidangan makanan yang dimakan oleh orang miskin. Misalkan seseorang yang memiliki hutang puasa selama 7 hari maka ia mengundang tujuh orang miskin dan memberi mereka makanan hidangan hingga kenyang.

- Ketiga, dengan mengeluarkan harganya. Contohnya seseorang yang memiliki hutang puasa selama tujuh hari maka ia menyerahkan dana sejumlah tujuh hidangan yang biasa dimakannya kepada panitia amil zakat yang ditunjuk oleh pemerintah (ulil amri).

Adapun waktu pembayaran fidyah  adalah pada hari itu ketika tidak melaksanakan puasa pada bulan ramadhan. Atau boleh juga diakhirkan hingga akhir bulan Ramadhan sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik.

note:
tulisan ini mengambil banyak sumber, diantaranya paling banyak diambil dari buku Silsilah Fiqih Kehidupan dari Ust. Ahmad Sarwat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.