Doktrin teologi Al-Quran, “Allahu Wahdah” adalah doktrin tertinggi yang berkaitan dengan aqidah dan praktiknya dalam konteks kehidupan kemasyarakatan umat Islam. Mengapa disebut demikian ? Karena doktrin atau aqidah Allahu Wahdah ini selain menuntut wujudul qiyadah di komunitas umat Islam, juga berkonotasi kepada penafian bagi seluruh bentuk tatanan kehidupan manusia yang tidak berlandaskan ketentuan Allah dan rasul-Nya.
Dalam doktrin tauhid, umat Islam hanya mengakui al-hakimiyyah lillah yang dikonstruk/dibangun dalam sistem Manhaj Nubuwah di bumi.
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلالَةُ فَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”. (Qs 16:36)
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا (٦٠)
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut, Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (Qs 4:60)
Mengingat bahwa konstruksi tatanah kehidupan dalam Islam itu menuntut adanya wilayah hukum, dimana berlaku di dalamnya seluruh norma dan hukum-hukum positif, maka secara teologis, seorang mukmin dituntut untuk hanya hidup di wilayah yang melaksanakan ketentuan Allah dan rasul-Nya. Inilah sebabnya mengapa muncul konsep dakwah dan hijrah yaitu merubah tatanan kehidupan sesuai kehendak Allah dan atau mengupayakan sekuat tenaga untuk menjadikan ajaran Islam terealisir dalam hidup dan kehidupan, di mana pun ia berada.
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya : “Dalam Keadaan bagaimana kamu ini?”. mereka menjawab: “Adalah Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para Malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,” Qs. 4:97
Dinul Haq adalah sistem paripurna yang diberikan Allah SWT kepada manusia, dimana Al Quran menjadi sumber nilai dan hukum tertingginya.
وَكَذَلِكَ أَنْزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَمَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا وَاقٍ (٣٧)
“Dan Demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, Maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (Qs 13:37)
Mengingat bahwa implementasi Al Quran sebagai norma tertinggi yang diakui sebagai ketentuan hukum, hanya berlaku di dalam komunitas kaum muslimin, maka kehadiran Institusi sebagai organisasi yang mampu menjadikan Al Quran sebagai norma hukumdi masyarakat merupakan sebuah keharusan. Dengan demikian Al Quran dalam wujud realitas empiriknya akan menemukan aktualisasi dan realisasi apabila berwujud dalam bentuk "Institusi Kepemimpinan". Inilah yang melatarbelakangi hadirnya Madinah Munawwarah sebagai institusi dan tatanan masyarakat parpurna sebagai model ideal kehidupan kaum muslimin.
Berbagai institusi ini memiliki corak dan bentuk yang bermacam-macam. Menurut Ibnu Khaldun, suatu tipologi institusi dengan tolak ukur kekuasaan dapat dibagi menjadi dua tipologi instiusi, yaitu (1) institusi dengan ciri kekuasaan alamiah (mulk tabi'i) dan (2) institusi dengan ciri kekuasaan politik (mulk siyasi).
Tipe institusi pertama yang ditandai dengan kekuasaan sewenang-wenang (despotisme) dan cenderung kepada “hukum rimba”, tipe ini sebagai negara yang tidak berperadaban. Tipe institusi kedua dibagi menjadi tiga macam yaitu (1) institusi yang berpijak kepada Din (siyasah diniyah), (2) institusi yang berpijak kepada hukum sekuler (siyasah 'aqliyah), dan (3) institusi ala “Plato” institusi madani (siyasah madaniyah).
Institusi dengan tipe siyasah diniyah adalah institusi yang menjadikan hukum (syari'ah) Islam sebagai fondasinya. Karakteristik institusi ini adalah sesuai dengan kaidah-kaidah Al-Qur'an dan Sunnah. Adapun institusi dengan tipe siyasah 'aqliyah adalah institusi yang menjadikan hasil rasio manusia sebagai dasar dalam merumuskan, tanpa mengindahkan sedikitpun wahyu. Sedangkan institusi dengan tipe sisayah madaniyah adalah institusi yang diperintah oleh segelintir golongan elit atas sebagian besar golongan budak yang tidak mempunyai hak pilih.
Saat ini ilmu pengetahuan modern terutama yang dikembangkan di barat telah sampai pada puncaknya dengan merumuskan institusi modern tipe siyasah madaniyah ini sedemikian rupa sehingga menjadi model di negara-negara “maju” termasuk di banyak negara berkembang dan negara miskin.
Ibnu Khaldun berpegang kepada sebuah hipotesis bahwa semakin tinggi tingkat peradaban manusia makin baik tipe institusi nya. Menurut Ibnu Khaldun institusi dengan tipe siyasah diniyah adalah tipe yang terbaik, sebab siyasah diniyah selain berdasar kepada syari'ah yang bersumber dari Al-Khaliq juga tidak menafikan peran akal dalam memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan yang dinamis.
Mayoritas negara-negara di dunia saat ini tidak berpijak kepada negara dengan tipe siyasah madaniyah, maka menurut hipotesis Ibnu Khaldun peradaban yang munculpun belumlah mencapai peradaban yang seidealnya dicapai oleh manusia. Hanya tipe institusi siyasah diniyyah yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun sebagai tipe yang terbaik dan mampu mencapai peradaban yang paling ideal. institusi dengan tipe siyasah diniyah inilah yang berlandaskan kepada syariah.
Tanpa adanya kehadiran institusi , maka cita-cita sosial politik, ekonomi, dan tata kemasyarakatan yang berdiri diatas nilai-nilai wahyu tidak akan mungkin terwujud. Al Quran bukan hanya meletakkan prinsip-prinsip moralitas dan ethics, melainkan juga memberikan tuntunan dan khittah yang jelas dalam pengaturan kehidupan manusia di dunia. Istilah Al Quran untuk ini adalah al-hukmu.
سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (١)
“(ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya.” (Qs 24:1)
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (١٣)
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.” (Qs 4:13)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ (١٧٨)
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.” (Qs 2:178)
#belajarsirah
#sirahnabawiyah
#ummatislamindonesia
#cintaindonesia
#muslimnusantara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.