Al Qur'an turun pertama kali pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan atau 6 Agustus 610 M dan kemudian secara berangsung-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Surat yang pertama turun adalah Qs. Al 'Alaq:l-5 saat Rasulullah SAW sedang bertahannuts dalam Gua Hira yang terdapat disebuah bukit yang bernama Jabal Nur sebelah utara Kota Makkah. Surat yang terakhir turun menurut kebanyakan ulama adalah Surah Al Maidah ayat 3, tetapi menurut Imam As-Suyuthi pendapat yang kuat adalah berdasar Hadits Riwayat An-Nasaai dari Ibnu Abbas adalah Surat Al Baqarah ayat 281.
Surat-surat dalam Al Our'an diklasifikasi berdasar tempat turunnya, yaitu ayat-ayat Makiyah (yang turun di Mekkah) dan Madaniyah (yang turun di Madinah), klasifikasi ini juga sesuai dengan tahapan perjuangan Rasulullah SAW yang mula pertama kali di Mekkah sebagai Marhalatutta'sis kemudian Hijrah Makaniyah ke Yatsrib yang kemudian dijadikan Ibu Kota Negara : Madinah, dikenal dengan Marhalatut lamkin.
Ayat yang turun di Mekkah sebanyak 86 Surat 4780 ayat, sedang yang turun di Madinah sebanyak 28 Surat 1456 Ayat. Ayat-ayat yang turun di Mekkah memakan waktu selama 12 Tahun 5 Bulan 13 Hari, sedangkan di Madinah selama 9 Tahun 9 Bulan 9 Hari. Jumlah Total yang diturunkan adalah 114 Surat 6.236 Ayat, 74.437 Kalimat dan 325.545 Huruf. Al Qur'an diturunkan dengan beberapa methode (Qs. 42:51) yaitu melalui perantaraan wahyu, dibelakang tabir atau melalui malaikat. Terkadang Malaikat Jibril menampakkan dirinya dengan rupa yang jelas dan berada diufuk atau bahkan lebih dekat lagi seperti jarak dua ujung busur panah (Qs. 53:6-9).
Urutan turunnya Al Qur'an tidak sebagaimana susunan yang ada sekarang, ia turun dengan terpencar, ada ayat yang turun dengan sebab tertentu (asbabunrruzuf) dan ada yang tidak tanpa sebab, yang terakhir inilah yang lebih banyak. Setiap satu bagian Al Qur'an turun Rasulullah memanggil salah seorang sahabatnya dan mendiktekan ayat tersebut kepadanya dan menunjukkan tempat bagian ayat tersebut dalam keseluruhan Al Qur'an. Setelah didiktekan Rasulullah menyuruh juru tulisnya mencatat dan membacakan kembali apa yang telah dicatatnya dan melakukan koreksi jika terdapat kesalahan pencatatan. Rasulullah mengangkat beberapa penulis wahyu dan memerintahkan mereka untuk menulis setiap kali ada ayat yang turun.
Hadits riwayat Muslim, dari Abi Sa'id al Khudriy berbunyi, "Janganlah kalian tulis sesuatu mengenai ku selain tulisan Al Qur’an. Barangsiapa yang telah menulis sesuatu mengenaiku selain tulisan Al Qur’an, maka hendaklah ia menghapusnya". Dari hadits ini, nyatalah bahwa pada saat Rasulullah saw masih hidup, belum ada catatan hadits, hal ini dimaksudkan agar ayat-ayat Al Qur’an dapat terjaga keaslian dan kemurniannya, tidak bercampur dengan catatan lain.
Untuk menghindari kerancuan akibat bercampuraduknya ayat-ayat Al Qur’an dengan yang lainnya, misalnya hadits Rasulullah, maka beliau tidak membenarkan seorang sahabat menulis apapun selain Al Qur’an. Hadits baru dicatat setelah beliau meninggal. Di samping itu Rasulullah saw senantiasa menganjurkan untuk menghapal Al Qur’an, "Orang yang paling mulia diantara ummatku adalah orang yang hafal Al Qur’an dan ahli sholat malam". "Orang yang hafal Al Qur’an adalah pembawa panji-panji Islam".
Proses turunnya wahyu secara bertahap merupakan bantuan terbaik bagi beliau ataupun bagi para sahabat untuk menghafalnya dan memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya. Allah berfirman, "Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Our'an karena hendak cepat-cepat (menguasai)-nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu" (Al Qiyamah: 16-18)
Begitu wahyu turun dengan segera dihafal oleh para qurro dan ditulis oleh para penulis. Pada saat itu belum diperlukan untuk membukukannya dalam satu mushhaf, karena Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Susunan atau tertib penulisan Al Qur’an itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan di tempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi -ia menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surat anu-.
Imam Ahmad bin Hanbal menyampaikan sebuah hadits dengan isnad baik dan berasal dari 'Utsman bin Abil-'Ash yang mengatakan, "Pada suatu hari aku duduk bersama Rasulullah saw. Tiba-tiba pandangan beliau tampak seolah-olah sedang melihat seseorang. Kemudian beliau menjelaskan, "Malaikat Jibril datang kepadaku dan menyuruhku menempatkan ayat ini di dalam surat itu". Banyak sekali hadits yang melukiskan bagaimana Rasulullah mendiktekan ayat-ayat kepada para pencatat wahyu dan memberi petunjuk tentang susunan dan urutannya.
Susunan dan urutan surah pun berdasarkan kehendak dan petunjuk Rasulullah saw. Sebagaimana diketahui, Rasulullah saw hafal semua ayat dan surah Al Qur’an. Kita tidak mempunyai bukti yang menyatakan sebaliknya. Tidaklah masuk akal pendapat yang mengatakan, urutan surat Al Qur’an disusun oleh beberapa orang sahabat Nabi atas dasar ijtihad mereka sendiri. Dan yang lebih tidak masuk akal lagi kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa beberapa surat disusun urutannya berdasarkan ijtihad para sahabat dan beberapa surat lainnya disusun urutannya menurut kehendak dan petunjuk Rasulullah saw.
Pada masa itu para shahabat mencatat Al Qur'an dengan berbagai bahan, diantaranya adalah dengan kulit hewan ternak, kayu, tulang unta, batu empuk yang bisa ditatah. Pada saat yang bersamaan Rasulullah menganjurkan para shahabat untuk menghafal Al Qur'an, sehingga sekelompok besar sahabat menjadi penghafal Al Qur'an yang sangat teliti dan kuat (hafidz). Methode mencatat dan menghafal ini ternyata sangat bermanfaat dalam mendokumentasi Al Our'an sehingga bisa terjaga hingga saat ini.
Kodifikasi Al Qur’an pada Zaman Abu Bakar Ash Shiddiq ra.
Al Qur’an seluruhnya rampung ditulis pada masa Rasulullah masih hidup, hanya saja ayat-ayat dan surat-suratnya masih terpisah. Orang pertama yang menghimpun Al Qur’an sesuai kehendak Rasulullah adalah Abu Bakar ash Shiddiq. Abu Bakar ash Shiddiq memerintahkan kodifikasi Al Qur’an seusai perang Yamamah, tahun ke-12 H, perang antara muslimin dan kaum murtad (pengikut Musailamatul Khadzdzab yang mengaku dirinya Nabi baru) dimana 70 penghafal Al Qur’an di kalangan sahabat Nabi gugur. Melihat kenyataan itu 'Umar bin Khothob ra. merasa sangat khawatir, lalu mengusulkan supaya diambil langkah untuk usaha kodifikasi Al Qur’an.
Bukhari meriwayatkan sebuah hadits di dalam shohihnya, bahwa Zaid bin Tsabit ra. menceritakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut, "Di saat berkecamuknya perang Yamamah, Abu Bakar minta supaya aku datang kepadanya. Setibanya aku di rumahnya, kulihat Umar bin Khothob sudah berada di sana. Abu Bakar lalu berkata, "'Umar datang kepadaku melaporkan bahwa perang Yamamah bertambah sengit dan banyak para penghafal Al Qur’an yang gugur. Ia khawatir kalau-kalau peperangan yang dahsyat itu akan mengakibatkan lebih banyak lagi para penghafal Al Qur’an gugur. Karena itu ia berpendapat sebaiknya aku segera memerintahkan kodifikasi Al Qur’an". Kukatakan kepada 'Umar, "Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw?!" Umar menyahut. "Demi Allah, itu (kodifikasi Al Qur’an) adalah kebajikan". "Umar berulang-ulang mendesak dan pada akhirnya Allah membukakan dadaku sehingga aku sependapat dengannya".
Kepadaku Abu Bakar berkata, "Engkau seorang muda, cerdas dan terpercaya. Dahulu engkau bertugas sebagai pencatat wahyu, membantu Rasulullah. Dan seterusnya engkau mengikuti Al Qur’an, karena itu laksanakanlah tugas menghimpun (kodifikasi) Al Qur’an". Dan aku berkata, "Demi Allah seumpama orang membebani kewajiban kepadaku untuk memindahkan sebuah gunung, kurasa tidak lebih berat daripada perintah kodifikasi Al Qur’an yang diberikan kepadaku!". Kemudian aku mulai bekerja menelusuri ayat-ayat dan kuhimpun dari catatan-catatan pada pelepah kurma, batu-batu (tembikar) dan di dalam dada para penghafal Al Qur’an.
Dalam penghimpunan (kodifikasi) Al Qur’an, setiap ayat harus dapat dibuktikan kebenarannya oleh dua kesaksian, yaitu melalui hafalan dan tulisan. Sebagai pegangan dikemukakan sebuah hadits Ibnu Abi Dawud dari Yahya bin 'Abdurrohman bin Khothib yang mengatakan, "'Umar datang, kemudian ia berkata, "Siapa yang pernah menerima sesuatu mengenai Al Qur’an dari Rasulullah saw hendaknya ia membawanya". Pada masa itu mereka mencatat ayat-ayat Al Qur’an pada lembaran-lembaran kulit, tembikar dan pelepah kurma. 'Umar tidak mau menerima satu ayat pun dari seseorang tanpa dibuktikan kebenarannya oleh dua orang saksi".
Akhirnya seluruh Al Qur’an terkumpul dalam satu mushhaf. Semua ayat terkumpul berdasarkan syarat yang ditetapkan itu, kecuali surat At Taubah 128-129, ditemukan ada pada Abu Khuzaimah al Anshori, tidak ada orang lain yang menjadi saksi, namun karena banyak sahabatnya mafhum dan hapal akan ayat ini, akhirnya inipun dimasukkan dalam mushhaf Al Qur’an.
Lembaran-lembaran mushhaf itu berada pada Abu Bakar hingga saat wafatnya, kemudian pindah ke tangan 'Umar bin Khothob dan setelah 'Umar wafat seluruh lembaran disimpan Hafshah binti 'Umar.
Kodifikasi Al Qur’an pada Zaman 'Utsman bin Afan ra.
Pada zaman pemerintahan 'Utsman, timbul usaha dari para sahabat untuk meninjau kembali shuhuf-shuhuf yang telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas, bahwa Hudzaifah ibnul Yaman datang kepada 'Utsman karena melihat perselisihan dalam soal qiro'at. Hudzaifah meminta kepada 'Utsman supaya lekas memperbaiki keadaan itu, lekas menghilangkan perselisihan bacaan agar ummat Islam jangan berselisih mengenai Kitab mereka, seperti keadaan orang-orang Yahudi dan Nashara.
Maka 'Utsman meminta kepada Hafsah supaya memberikan shuhuf-shuhuf yang ada padanya untuk disalin ke dalam beberapa mushhaf. Sesudah shuhuf-shuhuf itu diterima beliau pun menyuruh Zaid bin Tsabit, Abdullah ibnu Zubair, Zaid bin Ash, Abdurrahman ibnu Harits ibnu Hisyam menyalin dan shuhuf-shuhuf itu beberapa mushhaf. Pedoman yang diberikan kepada badan tersebut, apabila terjadi perselisihan qiro'at antara Zaid ibnu Tsabit, beliau ini bukan orang Quroisy -hendaklah ditulis menurut qiro'at orang Quroisy, karena Al Qur’an itu diturunkan dengan lisan Quroisy.
Setelah mereka selesai melaksanakan pekerjaan tersebut, kemudian shuhuf-shuhuf itu dikembalikan kepada Hafsah. 'Utsman pun mengirim ke tiap-tiap kota besar satu mushhaf, serta memerintahkan supaya membakar segala sahif-sahif atau mushhaf-mushhaf yang lain dari yang ditulis oleh badan yang terdiri dari empat orang ini. Menurut riwayat lain, Ibnu Abi Daud, badan terdiri dari 12 orang. Namun semua menyepakati bahwa Zaid-lah yang mengepalai badan tersebut.
Badan tersebut berpegang erat pada penyusunan yang telah sempurna dilakukan di masa Abu Bakar. Sesudah persesuaian sempurna terhadap semua ayat Al Qur’an, baik letak di dalam surat maupun penertiban surat, 'Utsman pun menyuruh untuk menyalin empat mushhaf dari naskah pertama yang dinamai naskah Al Imam. Satu naskah itu dikirim ke Mekkah, satu naskah ke Kufah, satu ke Bashroh satu lagi dikirim ke Syam (Syria). Asal salinan yang ditulis badan lajnah itu tinggal di tangan 'Utsman sendiri. 'Utsman memerintahkan supaya menyita segala shuhuf yang terdapat dalam masyarakat dan membakarnya. Kemudian 'Utsman menyuruh supaya kaum muslimin membaca Al Qur’an dengan qiro'at yang termateri dalam Al Imam itu.
Al Qur'an diturunkan secara bertahap ini memudahkan penyerapan pesan-pesan langit dan rahasia-rahasia ghaib didalamnya, hikmahnya adalah :
a. Meneguhkan hati Nabi Muhammad SAW (Qs. 25:32-33)
b. Memudahkan bagi Nabi untuk menghafalnya, meneguhkan dan menghibur Umat Islam
c. Sejalan dengan fitrah manusia yang tumbuh dan berkembang secara evolutif, juga agar disampaikan kepada manusia secara bertahap (Qs. 17:106)
d. Ketentuan bahwa yang bisa mengambil pesan-pesan langit dan rahasia-rahasia ghaib dari Al Qur'an diatas bukan hanya untuk Nabi Muhammad SAW, tetapi juga kepada seluruh ummatnya (Qs. 54:17,22,32,40)
Dalam sejarah terbukti dengan jelas bahwa Al Our'an sebagai kitab suci Umat Islam sangat terjaga dari kemungkinan perubahan dan penyimpangan teks bahasa, sangat berbeda dengan kitab-kitab suci atau shuhuf yang banyak terjadi penyimpangan (tahrij). Penyimpangan yang dilakukan ummat pada saat itu mengambil bentuk yaitu mengubah arti dari lafadz (Qs. 3:75,181-182 4:160-161 5:64), mengubah dan menambah isinya (Qs. 2:79 3:79-80 5:116-117) dan menyembunyikan kebenaran yang dikandungnya (Qs. 2:89-90 3:71-72 61:6).
Dari beberapa data historis yang bisa dilihat, terjaganya terjaganya Al Our'an sebagai kitab suci Umat Islam hingga hari ini karena beberapa hal, diantaranya adalah
Surat-surat dalam Al Our'an diklasifikasi berdasar tempat turunnya, yaitu ayat-ayat Makiyah (yang turun di Mekkah) dan Madaniyah (yang turun di Madinah), klasifikasi ini juga sesuai dengan tahapan perjuangan Rasulullah SAW yang mula pertama kali di Mekkah sebagai Marhalatutta'sis kemudian Hijrah Makaniyah ke Yatsrib yang kemudian dijadikan Ibu Kota Negara : Madinah, dikenal dengan Marhalatut lamkin.
Ayat yang turun di Mekkah sebanyak 86 Surat 4780 ayat, sedang yang turun di Madinah sebanyak 28 Surat 1456 Ayat. Ayat-ayat yang turun di Mekkah memakan waktu selama 12 Tahun 5 Bulan 13 Hari, sedangkan di Madinah selama 9 Tahun 9 Bulan 9 Hari. Jumlah Total yang diturunkan adalah 114 Surat 6.236 Ayat, 74.437 Kalimat dan 325.545 Huruf. Al Qur'an diturunkan dengan beberapa methode (Qs. 42:51) yaitu melalui perantaraan wahyu, dibelakang tabir atau melalui malaikat. Terkadang Malaikat Jibril menampakkan dirinya dengan rupa yang jelas dan berada diufuk atau bahkan lebih dekat lagi seperti jarak dua ujung busur panah (Qs. 53:6-9).
Urutan turunnya Al Qur'an tidak sebagaimana susunan yang ada sekarang, ia turun dengan terpencar, ada ayat yang turun dengan sebab tertentu (asbabunrruzuf) dan ada yang tidak tanpa sebab, yang terakhir inilah yang lebih banyak. Setiap satu bagian Al Qur'an turun Rasulullah memanggil salah seorang sahabatnya dan mendiktekan ayat tersebut kepadanya dan menunjukkan tempat bagian ayat tersebut dalam keseluruhan Al Qur'an. Setelah didiktekan Rasulullah menyuruh juru tulisnya mencatat dan membacakan kembali apa yang telah dicatatnya dan melakukan koreksi jika terdapat kesalahan pencatatan. Rasulullah mengangkat beberapa penulis wahyu dan memerintahkan mereka untuk menulis setiap kali ada ayat yang turun.
Hadits riwayat Muslim, dari Abi Sa'id al Khudriy berbunyi, "Janganlah kalian tulis sesuatu mengenai ku selain tulisan Al Qur’an. Barangsiapa yang telah menulis sesuatu mengenaiku selain tulisan Al Qur’an, maka hendaklah ia menghapusnya". Dari hadits ini, nyatalah bahwa pada saat Rasulullah saw masih hidup, belum ada catatan hadits, hal ini dimaksudkan agar ayat-ayat Al Qur’an dapat terjaga keaslian dan kemurniannya, tidak bercampur dengan catatan lain.
Untuk menghindari kerancuan akibat bercampuraduknya ayat-ayat Al Qur’an dengan yang lainnya, misalnya hadits Rasulullah, maka beliau tidak membenarkan seorang sahabat menulis apapun selain Al Qur’an. Hadits baru dicatat setelah beliau meninggal. Di samping itu Rasulullah saw senantiasa menganjurkan untuk menghapal Al Qur’an, "Orang yang paling mulia diantara ummatku adalah orang yang hafal Al Qur’an dan ahli sholat malam". "Orang yang hafal Al Qur’an adalah pembawa panji-panji Islam".
Proses turunnya wahyu secara bertahap merupakan bantuan terbaik bagi beliau ataupun bagi para sahabat untuk menghafalnya dan memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya. Allah berfirman, "Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Our'an karena hendak cepat-cepat (menguasai)-nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu" (Al Qiyamah: 16-18)
Begitu wahyu turun dengan segera dihafal oleh para qurro dan ditulis oleh para penulis. Pada saat itu belum diperlukan untuk membukukannya dalam satu mushhaf, karena Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Susunan atau tertib penulisan Al Qur’an itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan di tempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi -ia menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surat anu-.
Imam Ahmad bin Hanbal menyampaikan sebuah hadits dengan isnad baik dan berasal dari 'Utsman bin Abil-'Ash yang mengatakan, "Pada suatu hari aku duduk bersama Rasulullah saw. Tiba-tiba pandangan beliau tampak seolah-olah sedang melihat seseorang. Kemudian beliau menjelaskan, "Malaikat Jibril datang kepadaku dan menyuruhku menempatkan ayat ini di dalam surat itu". Banyak sekali hadits yang melukiskan bagaimana Rasulullah mendiktekan ayat-ayat kepada para pencatat wahyu dan memberi petunjuk tentang susunan dan urutannya.
Susunan dan urutan surah pun berdasarkan kehendak dan petunjuk Rasulullah saw. Sebagaimana diketahui, Rasulullah saw hafal semua ayat dan surah Al Qur’an. Kita tidak mempunyai bukti yang menyatakan sebaliknya. Tidaklah masuk akal pendapat yang mengatakan, urutan surat Al Qur’an disusun oleh beberapa orang sahabat Nabi atas dasar ijtihad mereka sendiri. Dan yang lebih tidak masuk akal lagi kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa beberapa surat disusun urutannya berdasarkan ijtihad para sahabat dan beberapa surat lainnya disusun urutannya menurut kehendak dan petunjuk Rasulullah saw.
Pada masa itu para shahabat mencatat Al Qur'an dengan berbagai bahan, diantaranya adalah dengan kulit hewan ternak, kayu, tulang unta, batu empuk yang bisa ditatah. Pada saat yang bersamaan Rasulullah menganjurkan para shahabat untuk menghafal Al Qur'an, sehingga sekelompok besar sahabat menjadi penghafal Al Qur'an yang sangat teliti dan kuat (hafidz). Methode mencatat dan menghafal ini ternyata sangat bermanfaat dalam mendokumentasi Al Our'an sehingga bisa terjaga hingga saat ini.
Kodifikasi Al Qur’an pada Zaman Abu Bakar Ash Shiddiq ra.
Al Qur’an seluruhnya rampung ditulis pada masa Rasulullah masih hidup, hanya saja ayat-ayat dan surat-suratnya masih terpisah. Orang pertama yang menghimpun Al Qur’an sesuai kehendak Rasulullah adalah Abu Bakar ash Shiddiq. Abu Bakar ash Shiddiq memerintahkan kodifikasi Al Qur’an seusai perang Yamamah, tahun ke-12 H, perang antara muslimin dan kaum murtad (pengikut Musailamatul Khadzdzab yang mengaku dirinya Nabi baru) dimana 70 penghafal Al Qur’an di kalangan sahabat Nabi gugur. Melihat kenyataan itu 'Umar bin Khothob ra. merasa sangat khawatir, lalu mengusulkan supaya diambil langkah untuk usaha kodifikasi Al Qur’an.
Bukhari meriwayatkan sebuah hadits di dalam shohihnya, bahwa Zaid bin Tsabit ra. menceritakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut, "Di saat berkecamuknya perang Yamamah, Abu Bakar minta supaya aku datang kepadanya. Setibanya aku di rumahnya, kulihat Umar bin Khothob sudah berada di sana. Abu Bakar lalu berkata, "'Umar datang kepadaku melaporkan bahwa perang Yamamah bertambah sengit dan banyak para penghafal Al Qur’an yang gugur. Ia khawatir kalau-kalau peperangan yang dahsyat itu akan mengakibatkan lebih banyak lagi para penghafal Al Qur’an gugur. Karena itu ia berpendapat sebaiknya aku segera memerintahkan kodifikasi Al Qur’an". Kukatakan kepada 'Umar, "Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw?!" Umar menyahut. "Demi Allah, itu (kodifikasi Al Qur’an) adalah kebajikan". "Umar berulang-ulang mendesak dan pada akhirnya Allah membukakan dadaku sehingga aku sependapat dengannya".
Kepadaku Abu Bakar berkata, "Engkau seorang muda, cerdas dan terpercaya. Dahulu engkau bertugas sebagai pencatat wahyu, membantu Rasulullah. Dan seterusnya engkau mengikuti Al Qur’an, karena itu laksanakanlah tugas menghimpun (kodifikasi) Al Qur’an". Dan aku berkata, "Demi Allah seumpama orang membebani kewajiban kepadaku untuk memindahkan sebuah gunung, kurasa tidak lebih berat daripada perintah kodifikasi Al Qur’an yang diberikan kepadaku!". Kemudian aku mulai bekerja menelusuri ayat-ayat dan kuhimpun dari catatan-catatan pada pelepah kurma, batu-batu (tembikar) dan di dalam dada para penghafal Al Qur’an.
Dalam penghimpunan (kodifikasi) Al Qur’an, setiap ayat harus dapat dibuktikan kebenarannya oleh dua kesaksian, yaitu melalui hafalan dan tulisan. Sebagai pegangan dikemukakan sebuah hadits Ibnu Abi Dawud dari Yahya bin 'Abdurrohman bin Khothib yang mengatakan, "'Umar datang, kemudian ia berkata, "Siapa yang pernah menerima sesuatu mengenai Al Qur’an dari Rasulullah saw hendaknya ia membawanya". Pada masa itu mereka mencatat ayat-ayat Al Qur’an pada lembaran-lembaran kulit, tembikar dan pelepah kurma. 'Umar tidak mau menerima satu ayat pun dari seseorang tanpa dibuktikan kebenarannya oleh dua orang saksi".
Akhirnya seluruh Al Qur’an terkumpul dalam satu mushhaf. Semua ayat terkumpul berdasarkan syarat yang ditetapkan itu, kecuali surat At Taubah 128-129, ditemukan ada pada Abu Khuzaimah al Anshori, tidak ada orang lain yang menjadi saksi, namun karena banyak sahabatnya mafhum dan hapal akan ayat ini, akhirnya inipun dimasukkan dalam mushhaf Al Qur’an.
Lembaran-lembaran mushhaf itu berada pada Abu Bakar hingga saat wafatnya, kemudian pindah ke tangan 'Umar bin Khothob dan setelah 'Umar wafat seluruh lembaran disimpan Hafshah binti 'Umar.
Kodifikasi Al Qur’an pada Zaman 'Utsman bin Afan ra.
Pada zaman pemerintahan 'Utsman, timbul usaha dari para sahabat untuk meninjau kembali shuhuf-shuhuf yang telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas, bahwa Hudzaifah ibnul Yaman datang kepada 'Utsman karena melihat perselisihan dalam soal qiro'at. Hudzaifah meminta kepada 'Utsman supaya lekas memperbaiki keadaan itu, lekas menghilangkan perselisihan bacaan agar ummat Islam jangan berselisih mengenai Kitab mereka, seperti keadaan orang-orang Yahudi dan Nashara.
Maka 'Utsman meminta kepada Hafsah supaya memberikan shuhuf-shuhuf yang ada padanya untuk disalin ke dalam beberapa mushhaf. Sesudah shuhuf-shuhuf itu diterima beliau pun menyuruh Zaid bin Tsabit, Abdullah ibnu Zubair, Zaid bin Ash, Abdurrahman ibnu Harits ibnu Hisyam menyalin dan shuhuf-shuhuf itu beberapa mushhaf. Pedoman yang diberikan kepada badan tersebut, apabila terjadi perselisihan qiro'at antara Zaid ibnu Tsabit, beliau ini bukan orang Quroisy -hendaklah ditulis menurut qiro'at orang Quroisy, karena Al Qur’an itu diturunkan dengan lisan Quroisy.
Setelah mereka selesai melaksanakan pekerjaan tersebut, kemudian shuhuf-shuhuf itu dikembalikan kepada Hafsah. 'Utsman pun mengirim ke tiap-tiap kota besar satu mushhaf, serta memerintahkan supaya membakar segala sahif-sahif atau mushhaf-mushhaf yang lain dari yang ditulis oleh badan yang terdiri dari empat orang ini. Menurut riwayat lain, Ibnu Abi Daud, badan terdiri dari 12 orang. Namun semua menyepakati bahwa Zaid-lah yang mengepalai badan tersebut.
Badan tersebut berpegang erat pada penyusunan yang telah sempurna dilakukan di masa Abu Bakar. Sesudah persesuaian sempurna terhadap semua ayat Al Qur’an, baik letak di dalam surat maupun penertiban surat, 'Utsman pun menyuruh untuk menyalin empat mushhaf dari naskah pertama yang dinamai naskah Al Imam. Satu naskah itu dikirim ke Mekkah, satu naskah ke Kufah, satu ke Bashroh satu lagi dikirim ke Syam (Syria). Asal salinan yang ditulis badan lajnah itu tinggal di tangan 'Utsman sendiri. 'Utsman memerintahkan supaya menyita segala shuhuf yang terdapat dalam masyarakat dan membakarnya. Kemudian 'Utsman menyuruh supaya kaum muslimin membaca Al Qur’an dengan qiro'at yang termateri dalam Al Imam itu.
Al Qur'an diturunkan secara bertahap ini memudahkan penyerapan pesan-pesan langit dan rahasia-rahasia ghaib didalamnya, hikmahnya adalah :
a. Meneguhkan hati Nabi Muhammad SAW (Qs. 25:32-33)
b. Memudahkan bagi Nabi untuk menghafalnya, meneguhkan dan menghibur Umat Islam
c. Sejalan dengan fitrah manusia yang tumbuh dan berkembang secara evolutif, juga agar disampaikan kepada manusia secara bertahap (Qs. 17:106)
d. Ketentuan bahwa yang bisa mengambil pesan-pesan langit dan rahasia-rahasia ghaib dari Al Qur'an diatas bukan hanya untuk Nabi Muhammad SAW, tetapi juga kepada seluruh ummatnya (Qs. 54:17,22,32,40)
Dalam sejarah terbukti dengan jelas bahwa Al Our'an sebagai kitab suci Umat Islam sangat terjaga dari kemungkinan perubahan dan penyimpangan teks bahasa, sangat berbeda dengan kitab-kitab suci atau shuhuf yang banyak terjadi penyimpangan (tahrij). Penyimpangan yang dilakukan ummat pada saat itu mengambil bentuk yaitu mengubah arti dari lafadz (Qs. 3:75,181-182 4:160-161 5:64), mengubah dan menambah isinya (Qs. 2:79 3:79-80 5:116-117) dan menyembunyikan kebenaran yang dikandungnya (Qs. 2:89-90 3:71-72 61:6).
Dari beberapa data historis yang bisa dilihat, terjaganya terjaganya Al Our'an sebagai kitab suci Umat Islam hingga hari ini karena beberapa hal, diantaranya adalah
- adanya suatu kaum yang kuat hafalannya sehingga Al Qur'an dihafal oleh sejumlah besar manusia dalam kurun waktu dan daerah yang sama,
- adanya proses belajar yang secara langsung dilakukan antara shahabat dan Rasulullah sekaligus terjadi dalam waktu yang intensif dan berkelanjutan,
- rutinnya Rasulullah setiap tahun mengecek hafalannya kepada Jibril dan pada tahun terakhirnya bahkan dua kali dicheck hafalannya oleh Jibril,
- proses pembukuan teks ayat yang dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari para shahabat yang terbaik dalam hafalannya serta dalam penulisannya melalui methode yang teliti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.