Perpindahan Kiblat di Bulan Syaban

 

Dalam buku ‘Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad’ Karya H. Munawar Chalil 1960 halaman 201, dijelaskan tentang sejarah perpindahan kiblat.

Bahwa saat itu, Nabi Muhammad SAW sejak hijrah ke Madinah, apabila mengerjakan shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis (Palestina) sampai kurang lebih 16 bulan lamanya, sebelum akhirnya mendapat perintah supaya menghadap ke arah Baitul Haram (Ka'bah, Makkah).

Pada saat itu, kondisi kota Mekah sedang berada dalam zaman kegelapan, yang mana para penduduknya menganut kepercayaan paganisme (menyembah berhala). Bahkan pada saat itu, Ka’bah dijadikan pusat peribadatan dengan diisi banyak berhala, di antaranya berhala paling besar yang diberi nama Hubal.

Sebaliknya, kota Yatsrib (Madinah), berpenghuni penduduk yang sudah mengenal agama (dien). Di antaranya ialah Kabilah Bani Najran yang beragama Nasrani dan Kabilah Bani Quraidzah yang beragama Yahudi.

Menurut riwayat, pada kondisi Mekah dan Madinah seperti itu, Nabi Muhammad SAW baru saja hijrah di Madinah, menunaikan shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Meski sebelumnya, saat di Mekah, Rasulullah dan para sahabat menunaikan shalat menghadap kiblat ke arah Ka’bah yang berada di Masjidil Haram Mekah.

Adapun alasan Rasulullah shalat menghadap Baitul Maqdis saat di Madinah, adalah bertujuan menghargai kaum Nasrani dan Yahudi yang mana keduanya beribadah menghadap ke Baitul Maqdis (Palestina).

Namun ternyata kaum Yahudi memanfaatkan niat mulia Rasulullah SAW dengan melakukan beragam tipu daya. Mereka berusaha meyakinkan Rasulullah SAW agar terus beribadah menghadap Baitul Maqdis dan hanya terfokus kepada Baitul Maqdis sehingga dapat melupakan Baitul Haram.

Hal ini dijelaskan dalam sebuah riwayat, bahwa terjadi sebuah peristiwa, yang mana Rasulullah SAW selalu dibujuk oleh segolongan kaum Yahudi agar hanya menyukai Baitul Maqdis sebagai satu-satunya tanah suci yang telah disediakan oleh Allah SWT untuk kediaman para Rasul-Nya. Mereka (Yahudi) berkata: “Maka jika engkau itu benar-benar Rasul Tuhan, wahai Muhammad, hendaklah engkau berdiam di tanah suci itu (Baitul Maqdis) menurut jejak para Rasul Tuhan yang terdahulu daripada engkau.”

Namun Rasulullah SAW tidak terperdaya oleh bujuk rayu Yahudi. Sebaliknya, beliau selalu merasakan kerinduan menunaikan shalat menghadap Ka’bah (Masjidil Haram). Beliau kemudian berharap petunjuk dari Allah SWT dengan menengadah ke arah langit mengharapkan turunnya wahyu terkait hal tersebut. Kejadian ini pun terekam dalam surat Al-Baqarah ayat 143 sampai 145.

Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.”

Ayat 143 tersebut sebagai bentuk ketegasan bahwa hanya Allah SWT-lah yang memberikan petunjuk dan memiliki segala arah. Oleh sebabnya, sangat sombong dan licik tipu daya Yahudi yang menunjukkan seolah-olah mereka paling mengetahui perihal ibadah.

Kemudian pada ayat 144 diterangkan jawaban atas kerinduan Rasulullah SAW kepada Masjidil Haram:

“Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”

 


Sedangkan pada ayat 145, diterangkan identitas Islam sebagai agama yang tidak meniru-niru agama lainnya, melainkan agama yang secara lugas menjelaskan perbedaan keyakinan (iman) antar umat manusia. Dan atas perbedaan itu, Islam sangat mengedepankan toleransi, yaitu tidak memaksakan umat agama lain untuk beribadah sesuai aturan Islam.

“Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu (pengetahuan tentang Islam) kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang lalim.”

Dari ayat tersebut pula, dapat kita pahami bahwa Allah SWT telah memberikan petunjuk kepada Rasulullah SAW tentang golongan mana yang akan setia kepada Rasulullah SAW setelah mendapatkan ilmu tentang agama, dan sebaliknya, golongan lalim yang menolak kebenaran ilmu.

===

Berikut kisah perpindahan kiblat (tahwilul qiblat) umat Islam:

1. Sebelumnya, umat Islam menghadap ke Baitul Maqdis sebagai kiblat. ketika masih di Makkah atau sebelum hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad saw. dan umat Islam berkiblat ke Ka’bah ketika shalat. Riwayat lain menyebutkan, ketika di Makkah pun Nabi Muhammad saw. menghadap ke Baitul Maqdis Palestina, namun tidak membelakangi Ka’bah karena beliau berada di Hajar Aswad dan Rukun Yamani ketika shalat. 

Setelah hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad saw., baik atas inisiatif sendiri atau petunjuk Allah, mengubah kiblat shalat umat Islam ke Baitul Maqdis yang berada di Palestina. Tidak lagi menghadap ke Ka’bah di Makkah. Kejadian ini berlangsung selama 10 bulan lamanya. Riwayat lain menyebut 16, 17 atau 18 bulan. 


Dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad saw. dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih (M Quraish Shihab, 2018) disebutkan, ternyata Nabi Muhammad saw. memiliki ‘maksud tertentu’ ketika mengubah kiblat ke Baitul Maqdis di Palestina. Maksudnya, ketika di Madinah –di mana banyak orang Yahudi bermukim- Nabi Muhammad saw. ingin menunjukkan kepada mereka bahwa Islam datang bukan untuk menghilangkan ajaran-ajaran yang pernah diajarkan oleh para rasul dan nabi terdahulu, termasuk Nabi Musa.  Oleh karenanya, Nabi Muhammad saw., baik atas inisiatif sendiri ataupun perintah Allah, akhirnya ketika shalat menghadap ke Baitul Maqdis yang merupakan kiblatnya orang-orang Yahudi. Nabi Muhammad saw. berharap, langkah itu bisa menarik orang-orang Yahudi untuk menerima Islam. Namun ternyata, kebijakan itu tidak membuahkan hasil. Orang-orang Yahudi tetap saja tidak mau menerima Islam, bahkan memusuhi Nabi Muhammad saw. dan umat Islam.

Setelah 16 bulan berlalu, Nabi Muhammad saw. merasa bahwa lebih baik menghadap ke Ka’bah ketika shalat. Alasannya, Ka’bah merupakan rumah peribadatan pertama bagi umat manusia. Ka’bah yang dibangun Nabi Ibrahim as. tentu jauh lebih tua dibandingkan Baitul Maqdis yang dibangun Nabi Sulaiman as. Di samping itu, dipilhkan Ka’bah sebagai kiblat umat Islam juga karena posisi Makkah yang merupakan pusat bumi. Keinginan Nabi Muhammad saw. untuk mengalihkan kiblat ke Ka’bah di Makkah semakin besar. Beliau kerapkali menengadahkan wajahnya ke langit dan berharap turun wahyu dari Allah tentang perintah agar mengalihkan kiblat ke Ka’bah. Harapan Nabi Muhammad saw. itu dijawab Allah pada pertengahan bulan Rajab –riwayat lain pertengahan Sya’ban- tahun ke-2 Hijriyah, ketika Nabi Muhammad saw. melaksanakan shalat Dzuhur –riwayat lain shalat Ashar. Allah menurunkan QS. Al-Baqarah ayat 144 yang isinya perintah untuk berkiblat ke Masjidil Haram.

Ketika ayat tersebut turun, Nabi Muhammad saw. menghentikan shalatnya sebentar, kemudian beliau berputar 180 derajat dan menghadap ke Makkah. Para jamaah yang berada di belakang Nabi Muhammad saw. terpaksa jalan memutar dan tetap berada di belakangnya. Masjid dimana Nabi Muhammad saw. mengalihkan arah kiblat –dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram- ketika shalat ini kemudian dikenal dengan nama Masjid Qiblatain (masjid dua kiblat)

2. Rasulullah SAW pernah mengimami shalat Zhuhur di Masjid Bani Salamah, namun dua rakaat pertama shalatnya masih menghadap Baitul Maqdis. 

3. Rasulullah SAW meminta malaikat Jibril untuk menyampaikan maksudnya kepada Allah SWT agar arah kiblat diganti ke Ka'bah. 

4. Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk memindahkan kiblat ke Ka'bah. Mari kita lihat beberapa kisah berikut

Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi ibu dari Basyar bin Barra’ bin Ma’rur dari Bani Salimah. Lalu Ummu Basyar pun menjamu beliau. Kemudian tibalah waktu shalat Zhuhur. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun shalat bersama para sahabat di masjid. Setelah mengerjakan shalat dua rakaat, turunlah Jibril mengisyaratkan untuk shalat menghadap ke Baitullah dan Jibril pun shalat menghadap ke sana. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memutar posisinya menghadap Ka’bah, bertukarlah posisi wanita pada kaum lelaki dan posisi kaum laki-laki pada posisi wanita. Oleh karena itu, masjid itu dinamai dengan masjid qiblatain (dua kiblat). Kemudian keluarlah ‘Ibad bin Basyar—ia juga termasuk dalam jamaah shalat tersebut—ia melewati Bani Haritsah dari kaum Anshar yang sedang rukuk melaksanakan shalat ‘Ashar. ‘Ibad bin Basyar pun berkata, “Aku bersumpah demi Allah, bahwa aku telah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke Baitullah. Kemudian mereka pun memutar arah kiblat mereka.”

Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seseorang datang kepada kami, ketika kami shalat pada Bani ‘Abdul Asy-hal. Ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diperintahkan untuk menghadap ke Ka’bah. Lalu imam kami pun berputar ke Ka’bah dan kami pun mengikutinya.”

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Pada saat orang-orang berada di Quba’ kala shalat Shubuh. Lalu datanglah seseorang kepada mereka. Ia berkata, ‘Sesungguhnya telah diturunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah diperintahkan untuk menghadap ke Ka’bah. Kemudian mereka pun menghadap kepadanya. Padahal, sebelumnya mereka menghadap ke arah Syam kemudian berputar ke arah Ka’bah.”

Dari Barra’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pada awal mula tiba di Madinah, kakek dan pamannya juga dari golongan Anshar, bahwasanya mereka pada kesempatan itu shalat menghadap Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mendambakan untuk menjadikan kiblatnya adalah Ka’bah. Adapun shalat yang pertama kali dilakukan beliau dengan menghadap Ka’bah adalah shalat ‘Ashar, saat itu beliau shalat dengan para sahabatnya. Kemudian keluarlah salah seorang yang ikut dalam jamaah tersebut dan melewati suatu kaum yang sedang ruku’ (shalat) di masjid. Lalu ia berkata, ‘Aku bersaksi demi Allah, aku telah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap Ka’bah. Mereka pun mengalihkan arah kiblat mereka menghadap ke Ka’bah. Sementara kaum Yahudi dan Ahlul Kitab sangat menginginkan sekiranya kaum muslimin menghadap ke Baitul Maqdis. Ketika kaum muslimin menghadap ke Baitullah (Ka’bah), mereka pun mengingkarinya.

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Pendapat yang paling tepat, shalat yang dikerjakan di Bani Salimah pada saat meninggalnya Basyar bin Barra’ bin Ma’rur adalah shalat Zhuhur. Sedangkan, shalat yang pertama kali dikerjakan di Masjid Nabawi (dengan menghadap Ka’bah) adalah shalat ‘Ashar.” (Fath Al-Baari, 1:97)

5. Perintah ini diturunkan melalui wahyu kepada Rasulullah SAW. 

6. Umat Islam di seluruh dunia diwajibkan menghadap kiblat di Kakbah saat beribadah. 

Beberapa alasan perpindahan kiblat: 

1. Rasulullah SAW kurang suka dengan kiblat yang sama dengan umat Yahudi.

2. Masjidil Haram adalah kiblat Nabi Ibrahim.

3. Kiblat ke arah Ka'bah dapat membuat orang-orang Arab tertarik dan masuk Islam.

Perpindahan kiblat menjadi ujian bagi kaum muslimin.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa Ibnu Juraij berkata, “Telah disampaikan kepadaku bahwa orang-orang yang telah memeluk Islam kembali menjadi murtad. Mereka berkata bahwa kiblat itu ke sana, ganti lagi ke sini.”

Perpindahan kiblat umat Islam dari Masjid Al-Aqsa ke Masjidil Haram terjadi pada masa Rasulullah SAW. Peristiwa ini terjadi pada bulan Sya'ban, kira-kira 16-17 bulan setelah hijrah dari Makkah ke Madinah.

===

Keistimewaan Bulan Syaban

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu 'Anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ “

Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan.” (HR. Al Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu 'Anhuma, beliau berkata, “Wahai Rasulullah! aku tidak pernah melihatmu berpuasa pada satu bulan dari bulan-bulan yang ada sebagaimana puasamu pada bulan Sya’ban.”

Rasulullah bersabda,

 ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ 

“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amat suka saat amalanku dinaikkan aku dalam kondisi berpuasa.” (HR. Al Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.