Oleh: Farid Nu‘man Hasan
Masalah penyikapan terhadap sifat-sifat Allah SWT, telah menjadi polemik keras sesama umat Islam. Telah memakan waktu belasan abad lamanya, bahkan sampai saling mengkafirkan terjadi di antara mereka.
Mereka yang mengaku mengikuti salaf meyakini bahwa Allah SWT mesti disifati sebagaimana zahirnya ayat dan hadits.
Tanpa ta‘wil, ta‘thil, takyif, tahrif, dan tasybih. Menurut mereka, kita mesti mensifat Allah SWT sebagaimana Allah dan RasulNya sifati untuk diriNya. Ketika Allah SWT menyebut dirinya punya Wajah dan Tangan, ber-istiwa di atas ‗arsy, maka hendaknya itsbat (menetapkan) apa adanya, begitulah Allah SWT, tanpa kita menyerupakan dengan makhlukNya. Bahkan yang mengingkari pemahaman bahwa Allah SWT di atas ‗asry, di atas langit, maka dia tela kafir.
Dari Abu Muthi‘ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar, beliau berkata,
Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, ―Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?‖ Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, ―Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta‘ala sendiri berfirman,
―Allah menetap tinggi di atas ‗Arsy‖. Dan ‗Arsy-Nya berada di atas langit.‖ Orang tersebut mengatakan lagi, ―Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‗Arsy.‖ Akan tetapi orang ini tidak mengetahui dimanakah ‗Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, ―Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.‖(Lihat Al ‗Uluw, Imam Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus
Salaf, Riyadh, cetakan pertama, 1995.)
Dan, masih banyak perkataan seperti ini dari para ulama Islam.
Sementara itu, kelompok kedua, yaitu pihak yang menyandarkan pada pemahaman Imam Abul Hasan Al Asy‘ariy, dan mereka pun juga meyakininya sebagai pemahaman salaf, bahwa mereka memahami Allah SWT itu wujud, tanpa tempat dan arah (atas, bawah, kanan, kiri). Maha Suci Allah dari itu semua. Allah SWT tidak membutuhkan tempat dan arah, sebab tempat dan arah adalah makhluk. Allah SWT tidak membutuhkan makhluk, karena Dia qiyamuhu binafsihi, dan makhluklah yang membutuhkanNya. Jika Allah
SWT di atas langit dan ‗arsy. Maka di manakah Allah SWT ketika langit dan ‗arsy belum ada?
Bagi pihak ini, sifat-sifat Allah SWT mesti di ta‘wil atau juga sebagian di tafwidh, itulah pemahaman Salaf yang sebenarnya. Seperti istawa di atas 'arsy, mesti dipahami istawla (berkuasa) bukan sedang duduk di atas ‗arsy, Allah di langit maknanya Allah itu Maha Tinggi, bukan bermakna zhahirnya. Dan seterusnya. Bahkan mereka juga mengkafirkan pihak yang mengatakan Allah SWT memiliki tempat atau berada di sebuah tempat.
Imam Ibn Nujaim Al Hanafi Berkata:
"Dan kafir orang yang menetapkan tempat bagi Allah Ta'ala, kalau ia berkata "Allah di langit" jika maksud ucapan tersebut adalah hanya menceritakan zhahirnya khabar maka ia tidak kufur, tetapi jika maksudnya adalah tempat bagi Allah maka ia kafir" (Al Bahr Ar Raa'iq, 5 / 129)
Imam Ibn Hajar al-Haitami dalam karyanya berjudul Al Minhâj
Al Qawîm ‗Alâ Al Muqaddimah Al Hadhramiyyah menuliskan sebagai berikut:
―Ketahuilah bahwa Al Qarafi dan lainnya telah meriwayatkan dari Al Imâm asy-Syafi‘i, Al Imâm Malik, Al Imâm Ahmad dan Al Imâm Abu Hanifah bahwa mereka semua sepakat mengatakan bahwa seorang yang menetapkan arah bagi Allah dan mengatakan bahwa Allah adalah benda maka orang tersebut telah menjadi kafir. Mereka semua (para Imam madzhab) tersebut telah benar-benar menyatakan demikian‖ (Al Minhâj Al Qawîm, Hal. 224)
Dalam kitab Syarh Al Fiqh Al Akbar yang telah disebutkan di atas, Imam Ali Al Qari menuliskan sebagai berikut:
―Maka barangsiapa yang berbuat zhalim dengan melakukan kedustaan kepada Allah dan mengaku dengan pengakuanpengakuan yang berisikan penetapan tempat bagi-Nya, atau menetapkan bentuk, atau menetapkan arah; seperti arah depan atau lainnnaya, atau menetapkan jarak, atau semisal ini semua, maka orang tersebut secara pasti telah menjadi kafir‖ (Syarh Al Fiqh Al Akbar, hal. 215)
Dan semisal ini masih banyak juga.
Jalan Kompromis
Di antara dua pendapat ini, sebenarnya masih ada jalan untuk dikompromikan. Sebab pada dasarnya dua pemahaman ini bertemu dalam beberapa titik pokok. Di antaranya:
1. Keduanya sama-sama menghendaki kesucian dan keagungan bagi sifat-sifat Allah SWT.
2. Keduanya sama-sama tidak ingin menyamakan Allah SWT dengan makhluk sedikit pun.
3. Tapi, keduanya berbeda dalam caranya saja. Kelompok pertama mensucikan sifat-sifatNya dengan memangkas semua bentuk ta‘wil, memahami apa adanya sebagaimana zahirnya. Kelompok kedua memberikan ta‘wil dalam rangka mensucikannya dari ta‘wil-ta‘wil menyimpang, sebagai koridor, agar orang jahil dan awam memmiliki panduan apalagi setelah Islam menyebar ke negeri-negeri tak berbahasa Arab.
Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:
―Tidak dibenarkan mengkafirkan orang yang keliru dalam masalah ini kecuali terpenuhinya syarat-syarat kekufuran. Ini hanya ada pada khilafiyah yang kontradiktif dan hakiki.‖
Lalu kata Beliau: ―ada pun perbedaan-perbedaan lain seperti dalam ragam atau dalam masalah lafal serta ungkapan, merupakan khilaf ringan. Hal ini banyak terjadi dalam masalahmasalah khabariyah (keyakinan). ― (Majmu‘ Fatawa, 6/58) Imam Asy Syathibi Rahimahullah mengatakan:
―Salah satu masalah yang diperselisihkan adalah masalah sifat. Apabila kita teliti maksud kedua kelompok, kita dapatkan bahwa keduanya berkeyakinan melindungi kesucian, menafikan kekurangan dan meninggikan derajatNya. Perbedaan mereka hanyalah ada cara yang ditempuh, dan ini sama sekali tidak mengurangi niat suci mereka sama sekali. Alhasil, kadar perbedaan ini layaknya seperti perbedaan furu‘ saja. (Al I‘tisham, 2/187)
Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah mengatakan:
Pertama. Kedua kelompok sepakat dalam mensucikan Allah SWT dari bentuk penyerupaan dengan makhlukNya.
Kedua. Semua kelompok sepakat untuk memutuskan bahwa maksud lafal dalam nash-nash seperti ini sepenuhnya dalam konteks yang sesuai dengan zat Allah ﷻ, bukan sebagaimana dipahami untuk makhlukNya. Dengan demikian keduanya sepakat menghindari tasybih (penyerupaan Allah SWT dengan makhluk).
Ketiga. Semua pihak sepakat bahwa lafal-lafal ini disebutkan untuk mendekatkan pemahaman dalam benak, atau diletakkan dalam kerangka indrawi pengguna bahasa itu. Dan sebuah bahasa betapa pun tingginya, tidak mampu mengungkapkan sesuatu yang memang tidak dimengerti oleh penggunanya. Esensi yang berhubungan dengan zat Alah SWT dipahami dalam konteks tersebut. Bahasa memang memiliki kelemahan untuk mengungkapkan hakikat ini.
Jika sudah ditetapkan yang demikian ini, maka antara salaf dan khalaf sepakat secara prinsip atas dasar-dasar ta‘wil. Perbedaan mereka adalah bahwa khalaf menambahkan pembatasan makna yang dikandung dengan tetap menjaga kesucian Allah SWT dengan tujuan agar orang awam tidak terjerumus dalam pemahaman tasybih. Perbedaan seperti ini tidak seharusnya menghasilkan kegoncangan. (Majmu‘ah Ar Rasail, Al
Aqaid, Hal. 330)
Lalu Beliau melanjutkan:
Kesimpulannya, ulama khalaf dan salaf sepakat bahwa kandungan maksud itu bukan pada lahiriyahnya lafal yang telah dikenal oleh makhluk, tapi ia adalah ta‘wil yang masih global. Mereka juga sepakat bahwa semua ta‘wil yang bertentangan dengan syariat adalah terlarang. Perbedaan hanyalah terjadi pada perbedaan lafal yang masih dibenarkan oleh syara‘, dan itu masalah ringan sebagaimana engkau lihat,
dan ini juga hal yang para salaf sering menggunakannya. Yang terpenting untuk dilakukan bagi kaum muslimin sekarang adalah penyatuan barisan, menghimpun kata sedapat yang kita mampu lakukan. (Ibid, Hal. 331)
Demikianlah jalan kompromis para ulama yang begitu jeli melihat titik persamaan, yang dengannya pertumpahan darah dan fitnatut takfir bisa dihindari.
Maka, semuanya adalah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Asfarayini berikut ini.
Faidah yang keempat: Definisi Ahlus Sunnah.
Keempat: Ahlus Sunnah ada tiga kelompok.
1. Al Atsariyah, imam mereka adalah Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah.
2. Al Asy'ariyah, imam mereka adalah Imam Abul Hasan Al Asy'ariy Rahimahullah.
3. Al Maturidiyah, imam mereka adalah Imam Abu Manshur Al Maturidiy Rahimahullah
Adapun firqoh sesat sangat banyak... (Lawami' Al Anwar Al Bahiyah wa Sawathi' Al Asrar Al Atsariyah, Imam Syamsuddin As Safariyniy Al Hambaliy).
Jadi, kalau ada yang mengatakan Al Asy‘ariyah bukan Ahlus Sunnah adalah berlebihan. Kadang pengikut Asy‘riyah juga menyerang golongan Al Atsariyah, yang dua abad belakangan disebut dengan Wahabiyah, dengan sebutan mujassimah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
Adapun melaknat para ulama asy'ariyah, maka melaknat mereka mesti dita'zir (dihukum), dan laknat itu kembali kepada pelakunya. Barangsiapa yang melaknat orang yang tidak berhak dilaknat maka laknat itu kembali kepada si pelaknat. Para ulama adalah pembela cabang-cabang agama, dan golongan asy'ariyah adalah pembela-pembela dasar-dasar agama. (Majmu' Al Fatawa, 4/16)
Para imam seperti Imam Ibnu Hajar Al 'Asqalani, Ibnu Hajar Al Haitami, An Nawawi, Ibnu Furak, Ibnul Jauzi, Al Ghazali, Al Bulqini, Al Baqilani, Al Juwaini, Abu Syamah, Ibnu An Nahwi, As Suyuthi, Ali Al Qari, Zakariya Al Anshari, Al Qalyubi, Al Qasthalani, ... dll -Rahimahumullah- semua ini Asy'ariyah.
Diperkirakan Asy‘ariyah adalah mayoritas umat Islam hari ini, juga dianut oleh mayoritas kampus-kampus Islam ternama.
Walau untuk ini belum ada sensus atau data yan bisa menjadi komparasinya.
Mereka semua Ahlus Sunnah dan dalam satu rumah bersama Imam Ahmad, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Muhammad bin Abdil Wahhab.. hanya saja mungkin yang satu ada di ruang tamu, yang lain di ruang makan, tapi masih satu rumah yang sama, Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Sikap menuduh yang lain bukan ahlus sunnah adalah sikap yang paling sensitif terjadinya perpecahan umat Islam. Hendaknya setiap muslim berhati-hati dalam masalah ini.
Wallahu A'lam
Sumber : Madah tarbiyah 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.