AdDaar AlIslam; Khazanah Institusi Daar dalam Fiqih Islam Klasik

 

A. Hijrah dan Darul Islam

Darul Islam termasuk salah satu konsep penting dalam syariah Islam. Kata ad-Daar adalah tempat menetap (al-manzilah) dalam menjelaskan tentang suatu wilayah yang dibatasi dengan tembok. Dan dikatakan دَارَةً  jamaknya دِيَارً  kemudian negara (البلدة) dinamakan Daaran. 

Darul Islam adalah Negara Islam. Yatsrib yang kemudian berubah menjadi Madinah  merupakan Daarul Islam pertama yang ditegakkan Rasulullah SAW. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy menyebutkan bahwa, “Setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, yang mayoritas penduduknya mau tunduk dan memeluk islam, sehingga negeri itu menjadi wadah yang pertama kali bagi Dinullah maka Dia  memberikan dua hak kepada beliau yang mana keduanya belum pernah diberikan kepada siapapun. (1) Darul Islam yang merupakan tempat pertama kali bagi pertumbuhan Islam sekaligus sebagai tempat tinggal yang aman bagi kaum muslimin, (2) masyarakat Islam yang pertama yang didalamnya tercermin makna ummatan wahidatan, dengan sistem yang komprehensif dan hukum-hukum serta ajaran Islam”. 

Pada saat hijrah Rasulullah SAW ada beberapa orang sahabat yang tidak melaksanakan hijrah di Madinah. Kemudian mereka akhirnya dipaksa bergabung ke dalam pasukan kafir Quraisy Mekkah dan mereka akhirnya terbunuh pada Perang Badar ketika melawan pasukan muslim dari Madinah. Al Quran menceritakan kisah ini didalam Qs. 4:97   

إِنَّ ٱلَّذِينَ تَوَفَّىٰهُمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ ظَالِمِيٓ أَنفُسِهِمۡ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمۡۖ قَالُواْ كُنَّا مُسۡتَضۡعَفِينَ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ قَالُوٓاْ أَلَمۡ تَكُنۡ أَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٗ فَتُهَاجِرُواْ فِيهَاۚ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَأۡوَىٰهُمۡ جَهَنَّمُۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا  

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam Keadaan Menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya : "Dalam Keadaan bagaimana kamu ini?". mereka menjawab: "Adalah Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para Malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,” (Qs. 4:97)

Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy dalam bukunya Sirah Nabawiyah menyebutkan, “Hijrah Rasulullah SAW ke Yatsrib yang kemudian kelak bernama Madinah, merupakan langkah awal proses terbentuknya Darul islam yang pertama di muka bumi saat itu. Di samping juga merupakan pernyataan berdirinya Negara Islam di bawah pimpinan pendirinya yang pertama, Muhammad SAW”. 

Ketika bay’at aqabah kedua selesai dilaksanakan, Rasulullah SAW menggerakkan orang-orang mukmin untuk berhijrah ke Yatsrib, sehinggi berjumpa dengan saudara-saudara mereka yang Anshar. Selanjutnya Rasulullah SAW berkata, ان الله عز رجل قد جعل لكم اخوانا ودارا تأمنون بها

“Sesunggunya Allah SWT telah mempersaudarakan masing-masing kalian dan mengaruniai suatu negeri (daaran) yang membuat kalian aman di dalamnya”. 

Dengan kedudukannya yang sedemikian penting, hijrah memiliki nilai syariat yang sangat mulia karena dengannya terbuka jalan menuju Darul Islam. Sehingga hijrah bukan semata perilaku hijrah Rasulullah SAW dan sahabatnya tetapi juga menjadi salah satu prinsip penting dalam harakah Islam.  

Ketika Rasulullah SAW dan para sahabat menguasai mekkah (futuh mekkah), Rasulullah SAW menyatakan tidak ada hijrah karena Islam sudah menang dan setiap muslim bebas beribadah kepada Allah di wilayah-wilayah dimana berlaku hukum Islam di seluruh Jazirah Arab.

قَالَ يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ وَحَدَّثَنِي الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ قَالَ زُرْتُ عَائِشَةَ مَعَ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ اللَّيْثِيِّ فَسَأَلْنَاهَا عَنْ الْهِجْرَةِ فَقَالَتْ لَا هِجْرَةَ الْيَوْمَ كَانَ الْمُؤْمِنُونَ يَفِرُّ أَحَدُهُمْ بِدِينِهِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَإِلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَخَافَةَ أَنْ يُفْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَّا الْيَوْمَ فَقَدْ أَظْهَرَ اللَّهُ الْإِسْلَامَ وَالْيَوْمَ يَعْبُدُ رَبَّهُ حَيْثُ شَاءَ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ

Berkata Yahya bin Hamzah, dan telah menceritakan kepadaku Al Auza'i dari 'Atha' bin Abi Rabah berkata; Aku bersama 'Ubaid bin 'Umair Al Laitsi berkunjung kepada 'Aisyah radliallahu 'anha, kami bertanya kepadanya tentang hijrah. Maka dia mengatakan; "Hari ini tidak ada lagi hijrah. Dahulu orang-orang beriman, diantara mereka ada yang berlari kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam dengan membawa agamanya karena takut terkena fitnah. Adapun hari ini, Allah 'azza wajalla telah memenangkan Islam, dan hari ini pula seseorang dapat beribadah kepada Rabbnya sesukanya. Dan yang ada sekarang adalah jihad dan niat" (HR Bukhari No.3611)


B. Pengertian Darul Islam

Darul Islam merupakan bentuk karunia Allah SWT kepada kaum muslimin dan hijrah kedalamnya merupakan sebuah perintah nyata dalam shiroh nabawiyah. Asal kata muhajarah adalah mujafat dan tark (merenggangkan dan meninggalkan). Sedangkan dalam istilah syariat, hijrah adalah, “berpindah dari darul kufr dan syirik ke darul Islam”.  

Ketika menyebutkan Darul Islam, Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy menyebutkan bahwa, “Yaitu suatu hak yang pertama kali dikaruniakan Allah SWT kepada Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Menurut kesepakatan empat Imam (Maliki, Hambali, Hanafi dan Syafi’i), hak itu adalah negara atau wilayah yang berada dalam kekuasaan kaum muslimun. Dimana mereka dapat mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran Islam dengan leluasa serta menghalangi musuh-musuhnya, baik melalui cara damai maupun perang, dan lain sebagainya”.  

Darul Islam yang secara harfiah disebut daerah Islam adalah sebuah Negara yang memberlakukan hukum Islam. Keberadaan suatu daerah yang dikuasai secara penuh merupakan syarat terbentuknya negara. Adanya batas-batas teritorial yang jelas memungkinkan sebuah negara yang berkuasa diatasnya menegakkan hukum (syariah) sebagaimana diatur dalam konstitusi, sekaligus memberikan kepastian perlindungan dan keamanan bagi warga yang terdapat di dalamnya. 

Jumhur ulama membagi negara-negara yang merupakan alat kekuasaan dalam menerapkan hukum Islam, ke dalam dua kategori yaitu Darul Islam dan Darul Harb (Darul Kufr). Pembagian tersebut selain didasarkan kepada adanya realitas empirik juga didorong oleh beberapa faktor sebagai berikut : 

a. Untuk menata dan mengatur kepentingan kaum muslimin secara umum sebagai pemimpin dan yang dipimpin di suatu wilayah dalam hubungannya dengan non muslim yang berada di wilayah atau negara yang sama ; dan dengan negara atau wilayah yang berdampingan dengannya.


b. Sebagai upaya untuk menerapkan hukum Islam, baik bagi Umat Islam sendiri maupun non muslim yang tinggal di negara/wilayah tersebut.

c. Sebagai usaha ahli fiqih dan hukum Islam untuk merespon dan menata hukum Islam, terutama di bidang mu’amalah dan munakahat, serta mendapatkan hukum hubungan antara negara Islam dengan negara non-Islam dalam berbagai lapangan kehidupan.

Prof Dr. Yusuf Musa menjelaskan, “Realitas menunjukkan bahwa tidak semua manusia mau menerima kebenaran Islam. Konsekuensi logis dari hal ini adalah bahwa syari'at Islam tidak dapat diberlakukan untuk seluruh manusia. Berdasarkan kenyataan ini, jumhur ulama membagi negara —yang merupakan alat kekuasaan dalam menerapkan hukum Islam— kepada dua bagian, yaitu dar al-lslam dan dar al-harb”.  

Drs. Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah merangkum pendapat beberapa para ulama tentang Darul Islam sebagai berikut.  Imam Abu Yusuf (w. 182 H.), tokoh terbesar mazhab Hanafi berpendapat bahwa suatu negara disebut dar al-lslam bila berlaku hukum Islam di dalamnnya, meskipun mayoritas warganya tidak muslim. Sementara dar al-harb, menurutnya, adalah negara yang tidak memberlakukan hukum Islam, meskipun sebagian besar penduduknya beragama Islam. 

Al-Kisani (w. 587 H), juga ahli fiqh mazhab Hanafi, memperkuat pendapat Abu Yusuf. Menurutnya, dar al-harb dapat menjadi dar al-lslam, apabila negara tersebut memberlakukan hukum Islam.

Dalam pemikiran modern, pandangan demikian juga dianut oleh Sayyid Quthb (w. 1387 H). Tokoh al-Ikhwan al-Muslimun ini memandang negara yang menerapkan hukum Islam sebagai dar al-lslam, tanpa mensyaratkan penduduknya harus muslim atau bercampur baur dengan ahl al-zimmi. 

Al-Rafi'i (w. 623 H), salah seorang tokoh mazhab Syafi'i, menjadikan alat ukur untuk menentukan apakah sebuah negara dar al-lslam atau dar al-harb dengan mempertimbangkan pemegang kekuasaan dalam negara tersebut. Suatu negara dipandang sebagai dar al-lslam apabila dipimpin oleh seorang muslim.  Pendapatnya ini didasarkan pada kenyataan yang pernah berkembang pada masanya, di mana seorang pemimpin sangat berpengaruh dan menentukan keputusan-keputusan politik negara tersebut. Seorang pemimpin muslim yang memiliki komitmen kepada ajaran agamanya tentu akan berusaha menjalankan nilai-nilai Islam dan hukum Islam di negara yang dipimpinnya.


Hal yang berbeda dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah (80-150 H) yang membedakan Darul Islam dan Daruk Kufr berdasarkan rasa aman yang dinikmati penduduknya. Bila umat Islam meras aman dan ‘at home’ dalam menjalankan aktifitas keagamaan mereka, maka negara tersebut termasuk Darul Islam. Sebaliknya bila tidak ada rasa aman untuk umat Islam, maka negara tersebut adalah Darul Kufr. 

Sementara itu Ibnu Qayyim Al Jauziyah (w.751) berpendapat bahwa Darul Islam adalah negara yang wilayahnya didiami oleh (mayoritas) orang-orang Islam dan hukum yang berlaku di negara tersebut adalah hukum Islam. Bila kedua unsur ini tidak terpenuhi maka negara itu bukan Darul Islam. 

Dari berbagai pendapat tersebut, Muhammad Iqbal, M. Ag menarik kesimpulan bahwa mayoritas ahli fiqih mensyaratkan suatu negara sebagai Darul islam bila pemegang kekuasaan beragama Islam, sehingga hukum Islam dapat dijalankan dengan baik. 

Kesimpulan diatas bersesuaian dengan pendapat Javid Iqbal yang mengatakan bahwa Darul Islam adalah negara yang pemerintahannya dipegang umat Islam, mayoritas penduduknya beragama Islam dan meggunakan hukum Islam sebagai undang-undangnya. Karena kekuasaan mutlak atau kedaulatan puncaknya berada di tangan Allah, maka Darul Islam harus menjunjung tinggi hukum Islam. Selanjutnya karena masyarakat Islam harus diperintah oleh hukum Islam, maka pemimpin pemerintahannya juga haruslah muslim agar mereka dapat menjalankan hukum Islam.  

Di dalam Darul Islam, kaum muslimin dilindungi karena keislaman mereka, dan orang-orang dzimmi dilindungi di dalamnya karena perjanjian antara mereka dengan Darul Islam. Baik perjanjian yang bersifat sementara seperti kesepakatan damai, gencatan senjata atau perjanjian yang bersifat selamanya seperti aqad dzimmah. 

Tegasnya, Darul Islam adalah daar (negara) yang tunduk kepada kekuasaan Islam dan kaum muslim serta menerapkan di dalamnya hukum-hukum Islam. Setiap negara, yang loyalitasnya, hukumnya dan pemerintahannya mengikuti prinsip Darul Islam maka ia adalah Darul Islam meskipun penduduknya mayoritas adalah orang-orang kafir. Sebaliknya jika sebuah negara sesuai dengan prinsip Darul Kufr maka ia adalah Darul Kufr meskipun mayoritas penduduknya adalah orang-orang Islam. 

Mayoritas ahli fiqih mensyaratkan suatu negara sebagai Darul Islam, bila pemegang kekuasaan beragama Islam, sehingga hukum Islam dapat mereka jalankan dengan baik. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut adalah umat Islam akan memperoleh jaminan keamanan di negara tersebut.

Berdasar pendapat-pendapat para ‘ulama diatas, paling tidak ada 3 (tiga) pendekatan yang bisa digunakan untuk menentukan apakah suatu negara terkategori dalam Darul Islam atau Darul Kufr. Ketiga pendekatan tersebut adalah (a) Hukum yang berlaku di negara tersebut, (b) Pemegang kekuasaan negara tersebut, dan (c) Keamanan warga negara dalam menjalankan syariat Islam.

Dengan demikian dua unsur pokok yang harus ada dalam Darul Islam adalah kekuasaan negara dipegang oleh kaum muslimin dan diberlakukannya hukum Islam. Adapun adanya unsur rasa aman hanya merupakan dampak dari pemberlakuan hukum Islam. Ketertiban dan keadilan di masyarakat akan terwujud manakala hukum Islam diberlakukan sempurna diseluruh wilayah Darul Islam.


Namun jika ditilik secara seksama, jika ukuran pokoknya adalah pemerintahan, maka itu juga tidak menjadi jaminan berlakunya hukum Islam. Sebab dengan bergantinya rezim pemerintahan bisa berganti pula hukum yang diberlakukan. Atau jika pemerintahan tersebut dipegang oleh orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah dan Rasulnya, maka pemberlakuan hukum Islam menjadi subjektif karena tergantung kepentingan penguasa.  


Untuk menentukan secara tegas apakah sebuah negara disebut dengan Darul Islam atau Darul Kufr maka diperlukan acuan tegas yang bersifat fundamental dari negara tersebut. Acuan tegas tersebut adalah naskah proklamasi dan konstitusi yang berlaku di negara tersebut. 


Negara tersebut haruslah sejak awal memproklamirkan dirinya sebagai negara Islam yang dalam konstitusi dasarnya menyebutkan hukum Islam sebagai hukum positif negara. Inilah nilai penting dari naskah proklamasi, karena dari proklamasi akan jelas konstitusi apa yang digunakan dan hukum positif apa yang akan dijalankan.

Dengan demikian siapapun yang memerintah negara tersebut haruslah terikat kepada ketentuan ini. Konstitusi negara, khususnya proklamasi dan konstitusi dasar (UUD) adalah acuan-acuan pokok mengkategorikan sebuah negara sebagai Darul Islam atau Darul Kufr. 

Menurut Qamaruddin Khan, negara yang terikat oleh kaidah-kaidah Islam sebagaimana disebutkan diatas dinamakan sebagai negara agama (religious state).  Menurut Dr. S. Waqar Ahmad Husaini negara ini disebut dengan Negara Syari'ah.  Taqiyuddin An Nabhani menyebut negara ini dengan Daulah Islamiyah.  Dr. Yusuf Qardhawi menyebut negara ini dengan Daulah Islamiyah.   Muhammad Tahir Azhary menyebutnya dengan Negara Hukum.  Sayyid Qutb menyebut negara ini dengan sebutan Darul Islam.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.