Makanan Terlarang

 MUKADDIMAH

Kita panjatkan segala puji dan syukur semata kepada Allah yang di tangan-Nyalah terletak kepemilikan mutlak atas segala sesuatu. Manakala ada makhluk manusia yang menginginkan pengabdian, baik dalam hubungan suami-istri, orang tua-anak, atau dalam interaksi kemasyarakatan lainnya yang mana pengabdian tadi tidak ada kaitannya dan bukan dalam rangka penerjemahan pengabdian kepada Allah, maka yang mengabdi dan yang diabdi sungguh telah menempatkan dirinya sebagai musuh Allah. 

Oleh karena itu manakala kita hendak memberikan pengabdian atau pelayanan kepada seseorang, maka semua itu haruslah terkait pada hubungan mata rantai pengabdian kepada Allah SWT. Kendatipun seorang suami memiliki suatu hak pelayanan dari istrinya, akan tetapi hal itu tidaklah bersifat mutlak. Seorang suami tidak berhak minta dilayani istrinya untuk sesuatu yang terpisah dari mata rantai pengabdian kepada Allah karena hal itu bukan saja tidak akan bernilai di hadapan Allah tetapi bahkan telah melampaui hak dan kewenangan yang diberikan Allah SWT. 

Oleh karena itu, kita kembalikan seutuh mungkin segala wujud pengabdian kepada Allah dengan tidak menempatkan diri sebagai tandingan-Nya. Kita berharapuntuk senantiasa terhindar dan mendahulukan pengabdian kepada 'aku' dan menomorduakan pengabdian kepada Allah karena hal itu merupakan petaka besar yang akan mengundang datangnya siksa Allah SWT.


PEMENUHAN AL-UQUD

Pada awal surat Al Maidah: 1 Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu...."

Perlu ditegaskan bahwa khitab dari ayat ini adalah orang yang beriman, yaitu orang yang telah mengikrarkan dua kalimah syahadah. Dalam ayat ini mereka dituntut untuk memenuhi al uqud. Dengan kata lain, ayat ini menuntut orang beriman untuk mengaktualisasikan syahadahnya dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang dianggap istiqomah dengan syahadah asyhadu anla iiaaha illallah manakala dia tidak mengambil satu wujud, baik manusia atau benda , sebagai wasilah dalam urusan rububiyah. 

Dan seseorang menjadi istiqomah dalam syahadah asyhadu anna Muhammadan rasulullah manakala dia tidak mengambil pimpinan yang tidak representatif mewakili kerajaan Allah dan bukan bertindak atas nama Allah. Pada titik inilah terletak pokok pemenuhan terhadap al 'uqud sedangkan hal-hal lain hanyalah cabang atau rantingnya. Kita akan dapatkan dalam Quran bahwa bagian dari pemenuhan al 'uqud itu antara lain adalah menghormati orang tua, karib kerabat, dan tetangga.


MAKANAN YANG DIHARAMKAN

Pada lanjutan ayat Allah SWT berfirman, "Dihalalkan bagi kamu binatang ternak kecuali yang akan dibacakan kepadamu." Bahimatul an'am yang disebutkan dalam ayat ini dimaksudkan kepada hewan yang memang oleh manusia sengaja ditemakkan dan dikembangbiakkan untuk dikonsumsi. Di dalam kaidah ushul, ayat tadi menjadi landasan yang menetapkan bahwa seluruh makanan pada asalnya adalah halal sebelum kemudian terjadi pengharaman seperti yang disebutkan dalam ayat tersebut,"...kecuali yang akan dibacakan kepadamu." Untuk diketahui ayat ini merupakan ayat Madaniyah sehingga pendefenisian ila ma yutla 'alaikum tersebut dihubungkan dengan penjelasan pada QS Al An'aam: 145 yang diturunkan di Mekah,

"Katakanlah, 'Tiadalah aku peroleh pada apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedangkan dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas , maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

Dari telaah ayat di atas dapat kita simpulkan bahwa pada saat Al Maidah: 1 turun telah terdefenisi pembatasan antara makanan halal dan haram, seperti yang terurai pada Al An 'aam: 145 di atas, yaitu darah, bangkai, daging babi, dan binatang yang disembelih bukan atas nama Allah.

Dari empat jenis makanan yang diharamkan tersebut, tiga di antaranya haram karena zatnya memang haram dan yang satu haram karena sifatnya. Bangkai hewan, kecuali ikan, statusnya sama yaitu haram meskipun dimasak dengan cara seperti apapun. Demikian juga dengan daging babi dan darah. Yang dimaksud dengan darah dalam ayat ini adalah darah yang mengalir yang kemudian ditampung dan dibekukan untuk dikonsumsi. Ketiganya haram dikonsumsi. Meskipun manusia merekayasa berbagai teknik pengolahan sehingga ketiganya aman untuk dikonsumsi manusia, tetap saja kesemuanya haram karena memang ketiganya haram secara zat.

Makanan yang haram secara zat disebut Qur'an sebagai rijsun atau barang kotor. Jika barang rijsun dikonsumsi, maka hal itu akan mengundang tidak padunya usus yang memproses makanan dengan organ tubuh secara keseluruhan yang sifatnya fitrah. Fitrah adalah kebalikan dari rijsun. Jadi kalau organ-organ tubuh kita yang fitrah dipaksa mengkonsumsi barang yang rijsun, maka akan terjadi penolakan, ketidakselarasan, dan ketidakharmonisan antara zat-zat sari makanan dari barang yang rijsun tadi dengan organ tubuh yang fitrah.

Adapun binatang yang disembelih atas nama selain Allah jatuh haramnya karena penyimpangan perilaku si penyembelihnya. Mereka yang dimaksud di sini adalah orang-orang musyrik, yaitu mereka yang tidak memenuhi syahadah horisontal asyhadu anna Muhammadan rasulullah karena penyimpangan al wala'nya. Berbicara mengenai orang musyrik maka yang dimaksud adalah golongan filsafatis yang biasanya tidak membaca kitabullah dan tidak pernah mencari solusi masalah dengan mengacu pada kitabullah tetapi lewat pandangan ra'yu atau filsafat. 

Dan ketika mereka diseru oleh al Islam untuk mengikrarkan syahadatain, mereka berpaling. Kelompok manusia inilah yang kemudian disitir bahwa sembelihannya adalah sesuatu yang rijsun. Inilah yang dimaksud dengan makanan yang haram dalam sifatnya. Hewannya sendiri tentu saja dihalalkan, tetapi karena kemudian tersentuh oleh tangan orang musyrik maka status hewan sembelihan tersebut setara dengan bangkai.

Orang musyrik disebut Qur'an sebagai najasun sehingga segala sembelihannya adalah najis. Sifat najis yang ada pada sembelihan orang musyrik berbeda dengan najis ada pada hewan babi. Pemberian status najis ini merupakan suatu bentuk penghinaan dan pelecehan Allah terhadap orang-orang musyrik. Bentuk penghinaan ini juga dapat kita lihat pada diharamkannya konsumsi sembelihan mereka separah apapun keadaannya. 

Manakala kita berada dalam suatu kondisi di mana tidak ada makanan, maka menurut surat Al Maidah sembelihan ahli kitab boleh dikonsumsi. Pada kondisi tiada makanan Allah masih membolehkan memakan darah, daging babi daripada harus memakan daging ayam atau sapi sembelihan orang musyrik. Inilah penghinaan Allah terhadap orang-oran musyrik.

Kemudian dalam Al Maidah ayat 3 disebutkan pula tentang nathihah, yang artinya memancarkan panas diri. Yang dimaksud ayat ini adalah hewan-hewan sisa binatang yang masih meninggalkan nathihah atau panas tubuh. Binatang-binatang yang ditangkap oleh anjing, misalnya, dan anjing itu adalah anjing kita sendiri yang kita lepaskan dengan membaca basmalah dengan maksud memburu binatang, maka binatang buruan yang didapat bisa dikonsumsi meskipun binatang buruan tersebut sempat dimakan dagingnya oleh anjing kita. 

Jadi, binatang buruan itu tidak perlu disembelih lagi. Tapi kalau anjingnya milik orang lain, maka sisa binatang buruan tadi tidak boleh dimakan karena statusnya setara bangkai. Demikian pula dengan daging hewan yang dipersembahkan sebagai sesajian. Binatang ini pun haram dimakan. Kemudian hewan-hewan yang dipakai berjudi yang kemudian disembelih uniuk dimakan juga terlarang untuk dikonsumsi.

Lewat gambaran ayat tadi dapat disimpulkan ada empat jenis makanan berstatus haram. Kalau nanti membaca tambahan informasi lain dalam hadits mengenai sesuatu yang diharamkan, maka itu tidaklah menambah jumlah barang yang diharamkan di dalam Qur'an karena hadits mempaan interpretasi atau penjelas Al Qur'an itu sendiri. Jadi, tidak ada hadits yang menjadi rival dan menghapus ketetapan Al Qur'an.

Yang dimasud dengan haram dalam hadits itu adalah tidak boleh dikonsumsi, dan bukan haram dalam arti hukum. Sebagai contoh, suatu saat bisa saja dalam suatu masyarakat Islam pejabat yang berwenang mengeluarkan larangan mengkonsumsi satu jenis hewan tertentu karena populasinya semakin menipis, tapi hal itu tidaklah menambah daftar makanan haram karena semua itu sifatnya kasuistis. Oleh karena itu, di dalam ajaran Islam dikenal istilah halalan thoyyiban. Jadi, ada pemisahan antara yang halal dan yang thoyyib. Mengkonsumsi makanan yang halal namun berakibat dibui karena yang dimakan itu hewan langka, misalnya jelas tidak thoyyib.

Adapun ungkapaan "Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedangkan dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas ..." (Al An'am: 145) menunjukkan suatu kondisi untuk menyelamatkan hidup guna mencapai sasaran akhir. Oleh karena itu, hukum bukan dimaksudkan untuk membelenggu manusia tetapi menghantarkannya ke tingkat maslahat. Dengan kata lain, pengecualian ini dimaksudkan agar penggapaian sasaran akhir tetap sebagai yang diutamakan. 

Maka apabila kemudian upaya itu terganggu karena faktor-faktor hudud, faraid, atau naha maka hukum tadi diperkenankan diperlonggar namun tidak membah status hukumnya. Ini yang dimaksud dengan famanidtura ghaira bagin wala'adin yang dimaksudkan bukan untuk melanggar hukum, mencicipi yang haram atau melanggar batas, tetapi demi kesinambungan upaya pendhhiran risalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.