Manhaj Khilafah Nubuwah

 MUKADDIMAH

Hadirin ikhwan wal akhwat rahimakumullah, dalam rentang waktu sesaat sebelum tibanya jemputan ajal yang terus membayangi langkah kaki, ayunan tangan, detak jantung, dan denyut nadi kita sekalian, kita kembali pada satu kesadaran akan sempitnya waktu yang kita miliki. Karenanya, amat sangat wajar bagi tiap-tiap mukmin untuk melakukan evaluasi terhadap apa yang sudah dilakukannya: apakah ada nilai tambah "lebih" bagi kehidupan esok hari di yaumil akhir. 

Segala aktivitas akan kita lakukan, kita canangkan, dan kita rencanakan lewat tatapan abtraksi mhani tentang ada atau tidak adanya nilai tambah "lebih" untuk hari esok. Itulah ciri orang-orang yang bertaqwa, dan orang-orang se ma cam itulah yang dijanjikan akan bermandikan curah kasih sayang Allah di syurga serta untuk mereka pula segala kemurahan dan kemudahan bumi ini ditumpahkan.


ISLAM INSTITUSIONAL

Hadirin ikhwan fiddin rahimakumullah, saya ingatkan selalu di setiap maqam dan di setiap pertemuan silaturahim bahwa motto kita tidak pernah bembah, yaitu jika dua muka bertatap, jika dua muka bertaut, entah suami dengan istrinya, entah orang tua dengan anaknya, entah ikhwan dengan ikhwan lain, atau ukhti yang satu dengan ukhti yang lain mesti terjadi satu proses pengokohan bentangan tali kasih ilahi yang mengikat qalbu mukmin yang satu dengan qalhu mukmin yang lain. 

Motto .sebarkanlah salam di antara kalian' tidak hanya sebatas ucapan assalamu 'alaikum tapi merupakan ekspresi mhani atas mewujudnya bentangan silah-silah ar rahim antarmukmin. Akan tetapi, cerita tentang mencintainya seseorang atas orang lain itu bukanlah kisah bam tapi mempakan bagian dari kehidupan manusia yang biasa terjadi di segala zaman dan waktu. Lantas di mana lebihnya motto dan sikap kita itu jika kenyataannya mencintai seseorang adalah gambaran insan secara umum? Jika membelai atau memberi adalah bagian dari sejarah manusia yang orang kafir pun melakukannya, maka di manakah letaknya keunggulan motto kita? 

Jika indikator bahwa seseorang berada dalam kondisi persaudaraan Islam cukup dengan hanya mengucap salam ketika bertemu muka atau menyisihkan sebagian receh kepada orang yang dia suka, maka arnat sangat naif dan amat sangat tidak menyentuh jangankan hakikat dari ukhuwah Islamiyah itu sendiri, sekadar kulit arinya pun tidak, karena orang lain pun melakukan hal semacam itu.

Hadirin ikhwan wal akhwat fiddin rahimakumullah, kerancuan, kekeliruan, dan munculnya berbagai fenomena penyimpangan dari gambaran al Islam secara utuh, termasuk di dalamnya penyimpangan dalam bahasan ukhuwah Islamiyah, dilatarbelakangi oleh beberapa hal yang secara mendasar sudah lebih dahulu menyimpang.

Hal pertama yang menyebabkan kekaburan, kerancuan, dan kekacauan berpikir, bersikap, dan bertindak dalam memposisikan diri sebagai mukmin hingga tidak menempati paradigma baku dan contoh-contoh wujud dari apa yang di-sunnah-kan Rasulullah sebagai tafsirul Quranul karim assamil adalah cam masuk Islam ke Indonesia yang memang berbeda dengan masuknya Islam ke dalam relung-relung qalbu manusia pada zaman Rasulullah di sekitar jazirah Hijaz Arab, Afrika, dan bahkan masuknya Islam ke sebagian Eropa. 

Jika Rasulullah menawarkan Islam kepada seseorang, maka Rasulullah bukan menawarkan shalat, bukan menawarkan jilbab, bukan menawarkan zakat atau haji, namum menawarkan Islam pada ancangan aqidah. Lewat ancangan inilah dibentuk keyakinan dan opini manusia bahwa mereka meninggalkan daerah dzulumat ke daerah an nur. Lewat ancangan inilah mereka diberi suatu doktrin bahwa mereka akan memasuki daerah suci al manhaj, khilafah, al jamaah, Islam, sabilirabbik, shiratal mustaqim, sabilillah, atau berbagai nama suci yang agung sebagai sebutan untuk subjek mated yang sama.

Kenapa manhaj ini disebut al Islam? Karena jaminan keselamatannya memang mutlak. Kendatipun seseorang datang dengan dosa sepenuh bumi, maka Allah janjikan ampunan sebanyak itu pula. Kenapa manhaj ini disebut al jamaah? Karena memang gerak dari manhaj ini menitikberatkan pada kebersamaan dengan mendahulukan kepentingan-kepentingan umum dan menomorduakan kepentingan-kepentingan pribadi. Kenapa manhaj ini disebut sabilillah? Karena lewat manhaj inilah manusia bisa bertemu, bertatap muka, dan ber-audensi dengan Allah SWT kelak di Yaumil Akhir.

Manhaj suci ini juga disebut sabilirabbik karena memang orang-orang yang berada di dalamnya seutuhnya menyandarkan segenap ke-dhaifan, ke-naif-an, dan keterbatasan dirinya semata kepada Allah. Manhaj ini juga disebut shirathal mustaqim karena memang inilah jalan paling pendek menuju ke syurga. Jangankan lima sampai sepuluh tahun hidup di manhaj ini, setengah atau satu jam pun sudah cukup menghantarkan dia ke syurga. Banyak jalan menuju neraka, tetapi hanya satu jalan ke syurga.

Nah, inilah yang diyakinkan oleh Rasulullah kepada para sahabat assabiqunal awwalun. Inilah yang diajarkan pada lima tahun pertama bi'tsah ke-rasu/-an. Mereka memandang manhaj sebagai sesuatu yang suci, dan mereka memandang sabilith thagut sebagai manhaj rijsun au najasun yang menjijikkan dan memuakkan. Orang menjadi muslim dengan amat sangat menghormati dan memuliakan al jamaah, al Islam, al manhaj. Mereka diyakinkan bahwa manhaj inilah yang mempakan benang merah penghubung langit dan bumi. 

Mereka diyakinkan bahwa manhaj ini mempakan tempat suci yang untuk itu Allah menurunkan dari tempat yang suci Lauhul Mahfudz catatan kitab yang suci lewat malaikat yang suci turun kepada nabi yang disucikan untuk dijadikan kaidah dan norma hukum bagi hamba-hamba yang disucikan. Opini dibentuk sedemikian rupa sehingga mereka menyadari bahwa memasuki gerbang jamaah Islamiyah berarti memasuki marhamah ilahiyah karena lewat manhaj inilah tetes-tetes kemurahan, kemudahan, rahmat, barakah, dan syafaat Allah tertumpah mah. Mereka dihantarkan pada satu keyakinan bahwa hanya dalam masyarakat inilah, hanya dalam manhaj inilah terdapat artikulasi kepentingan dan kehendak Allah di bumi. Saat itu mereka belum bicara shalat lima waktu, belum bicara shaum ramadhan, belum bicara zakat maal, infaq, dan shadaqah, belum bicara haji.

Perbedaan mukmin dan ghoiru mukmin hanyalah pada kelembagaan sebagai wujud aqidah yang memisahkannya. Oleh karena itu, setiap mukmin memandang manhaj dalam pandangan yang sakral. Akan tetapi, Islam masuk ke Indonesia, Asia Tenggara, dan Asia Timur Jauh bukan dalam pendekatan aqidah melainkan lewat pendekatan tingkah laku. Dan jika pendekatan institusional kelembagaan menitikberatkan pada yang disebut otoritas, legalitas, dan power, maka pendekatan tingkah laku hanya mengenai perilaku sukarela, dan justru di sinilah letak permasalahannya. Islam berdasarkan asosiasi sukarela inilah yang akhirnya menimbulkan penyimpangan yang amat sangat jauh. 

Orang yang sudah merasa paling Islam dengan sudah melaksanakan shalat, shaum, zakat, atau haji menjadi kaget dan bingung ketika ditarik ke dalam pendekatan jamaah karena tiba-tiba harus menata titian baru. Bila akhirnya dia bergabung dengan jamaah Islam dengan menganggap hal itu tidak lebih dari sekadar untuk memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk sosial yang memang perlu dengan yang namanya kebersamaan, maka mereka ini tidak berada pada posisi seperti para sahabat Rasulullah yang memandang Islam sebagai manhaj suci, sebagai artikulasi kepentingan dan kehendak Allah di Bumi, dan sebagai benang merah penghubung langit dan Bumi. 

Oleh karena itu ketika Tsa'labah didiskualifikasi oleh Rasulullah dari kelembagaan ini gara-gara bab zakat, dia merasa resah dan gelisah. Dibujuknya Abu Bakar dan Umar untuk membantu meluluhkan hati Rasulullah agar mau menerimanya kembali. Lain lagi dengan umat Islam Indonesia yang memandang jamaah ini hanya sebatas sebagai kebutuhan sosial manusia. 

Orang semacam ini tidak merasa bahwa bergabung dalam jamaah adalah rahmat dan karunia Allah yang amat besar, sehingga saat keluar jamaah pun dia tidak merasa sedang terpental dari anugrah dan hidayah Allah. Ini tentu suatu hal yang amat bersebrangan dengan kondisi konkrit yang ada pada masa Rasulullah saw. Situasi seperti ini telah membentuk pribadi muslim yang kemungkinan kurang memahami apa yang disebut al jamaah atau memandang jamaah dalam pengertian bahasa Arab pasar yaitu sebagai kumpulan dua orang atau lebih. 

Padahal, yang disebut jamaah dalam Islam adalah al Islam itu sendiri. Oleh karena itu, statemen Rasulullah bahwa barangsiapa yang keluar dari jamaah meski sejengkal maka dia keluar dari Islam tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karenanya umat Islam Indonesia sulit ditarik ke dalam satu al manhaj. Padahal, keagungan dan kemuliaan tidak akan bisa dipisahkan dari al manhaj. Maka boleh saja jumlah umat Islam di Indonesia semakin hari semakin banyak, tetapi simbol keagungan justru makin hilang dan makin tidak ada. Kita belum berbicara bagaimana masalah ukhuwah atau perilaku-perilaku lain yang terpancar sebagai bunga-bunga yang semerbak harum dan buah-buahan lezat dari pohon al Islam itu sendiri. Yang kita bicarakan adalah akar tunjangnya yang siap memberi karakteristik kepada cabang, ranting, daun, bunga, dan buahnya.


WUJUD ARKANUL ISLAM

Gambaran dari ancangan kelembagaan sebenarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendefinisian iman kepada Allah. Tapi karena bahasan iman kepada Allah juga berangkat dari pendekatan yang salah yaitu tingkah laku, maka akhirnya aqidah dipandang sebagai sesuatu yang tidak memiliki korelasi yang nyata dengan syariah. Kepada Allah percaya tapi dalam kehidupan bermasyarakat rela hidup di bawah naungan sesuatu yang bukan dari Alloh. 

Seharusnya aqidah dan syariah itu memiliki hubungan yang amat sangat erat. Kenapa? Karena iman kepada Allah tidak boleh berhenti pada bahasan rububiyah, mulkiyah, dan uluhiyah saja (sekadarbahasan). Bahasan iman kepada Allah tidak boleh berhenti di wujud, qidam, baqa, dan seterusnya. Bahasan iman kepada Allah tidak boleh berhenti di asmaul husna: ar rahman, ar rahim, al ghafar, dan seterusnya. Jika iman kepada Allah hanya berhenti sampai di situ, maka hanya akan melahirkan satu keyakinan "itlqadiah bahwa Allah-lah tempat bergantung mengharap perkenan dan belas kasih, tempat menyandarkan segala kenaifan, kedhaifan, dan keterbatasan diri. 

Semuanya bersifat itiqadiah saja dan tidak sampai pada satu penetapan bahwa Allah azza wa Jalla dengan segala sifat-sifat-Nya dalam bahasan rububiyah, mulkiyah, uluhiyah, dalam bahasan asmaul husna, dan dalam bahasan wujud, qidam, baqa tadi menciptakan apa yang disebut manhajul khilafah. Inni jaailun fil ardli khalifatan (QS Al Baqarah: 30). Tapi karena ayat ini juga dipahami dalam pendekatan asosiasi sukarela tadi, maka kemudian dalam beberapa terjemah pengertiannya menjadi tendensius: "... Sesungguhnya Aku menjadikan di muka Bumi Adam sebagai khalifah...".

Jadi, Al Baqarah: 30 menjadi kisah Adam! Jadi kalau Adamnya tiada, maka ayat ini sudah invalid. Padahal baik jaailun bima'na fi'il dan khalifatan sebagai maf'ul atau jaailun bima'na isimfa'il dan khalifatan sebagai hal, tidak ada sedikit pun tekanan bahwa yang dimaksud khalifah itu adalah Adam saja, namun yang dimaksud adalah manhaj-nya, tatanan konsep dan kesistemannya. Adapun penanggung jawab manhaj yang pertama yang disebutkan pada ayat itu adalah Adam as.

Pernyataan malaikat ataj'alu fiiha may yufsidu fiihaa wa yasfikud dimaa itu membuktikan bahwa Allah sudah menetapkan penanggung jawab manhaj, yaitu Adam as. Tapi permasalahannya bukan terletak pada Adam. Bukan ini yang menyebabkan jatuhnya kutuk dan laknat Allah terhadap syetan. Tatkala Adam menyelesaikan daurah-nya dan kemudian lengser sebagai penanggung jawab manhaj, maka naiklah kemudian Idris. Syetan pun memerangi Idris. Setelah Idris selesai melakukan dauratul insaniyah-nya, naiklah Nuh sebagai penanggung jawab manhaj. Syetan pun memerangi dan memusuhi Nuh as.

Jadi, permasalahannya bukan Adam yang menjadi musuh syetan namun yang menjadi musuh syetan adalah siapa saja yang menjadi penanggung jawab manhaj. Karena itu dalam QS Al Araf: 16 secara nyata syetan mengekspresikan usahanya untuk duduk mengintai manusia agar tergelincir dari manhaj suci shirathal mustaqim, yaitu al manhajul khilafah Islam, dan bukannya dari urusan shalat, shaum, zakat, dan haji. Karena jatuhnya kutuk Allah atas syetan ini disebabkan oleh persoalan manhaj, maka bagi para penanggung jawab manhaj yang secara langsung ditetapkan oleh Allah, yaitu para nabi, berlakulah suatu ketentuan umum: wa kadzaalika ja'alna tikulli nabiyyin aduwwan syayaatiinul jinni wal insi (Dan aku jadikan bagi tiap-tiap nabi musuh dari syetan golongan jin dan manusia). Namun dengan berakhirnya dauratul insaniyah nabi terakhir Muhammad saw, mestinya syetan melakukan rekonsiliasi dengan manusia. Tetapi temyata setelah Abu Bakar naik, syetan pun memusuhi Abu Bakar. Ini jelas sekali bahwasanya yang dibidik oleh syetan laknatullah adalah mereka yang terkait dengan tatanan kesisteman al Islam itu sendiri.

Ikhwan fiddin rahimakumullah, cam pandang yang keliru terhadap manhaj juga akhirnya membias pada cara pandan yang keliru terhadap iman kepada kitab. Iman kepada kitab akhirnya dipahami dalam pengertian sebatas percaya kepada mushaf Quran sebagai wahyu dari Allah. Padahal, tidak pernah terjadi Rasulullah mengangkat mushaf tinggi-tinggi sambil berteriak, "Saudara-saudara, percayakah Anda bahwa kitab ini merupakan wahyu Allah?" Hal seperti ini tidak pernah terjadi di masa Rasulullah. 

Penekanan iman kepada kitab adalah keyakinan bahwa untuk manhaj suci ini Allah menurunkan dari tempat yang suci Lauhul Mahfudz lewat malaikat yang disucikan yang tidak pernah berbuat maksiat kepada nabi yang juga a! ma'sum untuk dijadikan sumber hukum bagi masyarakat yang disucikan: al muthahharun. Kalau yang dikatakan iman kepada kitab itu hanya sebatas percaya bahwa yang dibaca Muhammad adalah wahyu dari langit, maka ahli kitab pun percaya. Tetapi sepanjang mereka tidak bergabung dengan Muhammad, tetap saja kafir ahli kitab namanya. 

Oleh karena itu, segala perilaku ibadah yang bukan mempakan pancaran dari akar tunjang ini tidak akan bernilai di sisi Allah. Contoh, dalam surat At Taubah: 19 dibahas tentang orang yang melaksanakan ibadah haji dan memakmurkan Masjidil Haram tetapi sama saja kelasnya dengan orang musyrik. Di Al Anfal: 35-36 juga dikisahkan tentang orang yang berinfaq dan shalat namun akhirnya tidak mendapatkan nilai dari Allah SWT. Nah, ini hanya sekadar contoh afaliyah yang sudah terputus dari akar tunjangnya.


LEGITIMASI HAK PENGATURAN BUMI

Para sahabat Rasulullah memandang manhaj ini sebagai manhaj suci produk langit, dan mereka bergabung ke dalamnya dengan keyakinan bahwa lewat manhaj ini hak kepemilikan, pengaturan, dan penghukuman dari Allah menetes. Kita amat yakin bahwa pemilik mutlak segala sesuatu, pemilik hak mutlak atas otoritas, legalitas, dan power adalah Allah SWT. Namun, kenyataannya kita bisa ikut mengatur, kita bisa memiliki sejengkal tanah, kita bisa memiliki sejumlah kekayaan. 

Kenyataannya kita bisa mengatur: ambil yang ini, tinggalkan yang itu. Dari mana azas legalitasnya? Kalau hubungan benang merah langit dan Bumi tidak kita dapatkan, maka posisi kita dalam pemilikan, pengaturan, penghukuman, atau distribusi kekuasaan ini adalah dalam posisi sebagai tandingan Allah. Sebagai tandingan Allah, jangan berharap mendapat rahmat, barakah, dan syafaat. Kelak di Yaumil Makhsyar saat Bumi dilipat Allah dengan tangan kanan-Nya (QS 39: 67), Allah secara demonstratif menantang orang-orang yang berani menempatkan diri pada posisi sebagai rival Allah: mengatur sebagaimana Allah mengatur tetapi dia tidak bertindak untuk atas narha Allah, menghakimi seperti halnya Allah sedangkan dia tidak ada hak untuk mengatasnamakan Allah SWT. 

Tak ada satu makhluk pun yang berani tengadah pada hari yang dahsyat itu tatkala tantangan Allah dihantarkan kepada orang-orang yang ketika di dunia menempatkan diri sebagai seteru, tandingan, dan rival Allah SWT Nah untuk memahami benang merah penghubung asas legalitas tadi hingga sahlah kita mengatur, sahlah kita memiliki, sahlah kita menebang pohon, sahlah kita menyembelih hewan, sahlah menumpahkan darah, maka benang merahnya tidak lain adalah lewat al manhaj. 

Lewat manhaj inilah Allah teteskan otoritas, legalitas, dan power hingga kemudian penanggung jawab manhaj, baik Adam, Idris, Muhammad, atau Abu Bakar menjadi sahlah mengatur, sahlah memiliki, sahlah memutus, sahlah menumpuk batu, sahlah membangun gedung, sahlah semuanya! Maka kemudian berlakulah suatu hukum bahwa semua perilaku harus diawali dengan bismillah, in the name of Allah, untuk atas nama Allah. Hak pengaturan ini kemudian diumumkan oleh Rasulullah kepada siapapun yang bergabung ke dalam al manhaj: kullukum ra'in (tiap-tiap kamu adalah pemimpin) dalam pengertian memiliki hak pengaturan, pemilikan, penetapan, atau kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.