Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika memulai peperangan biasa menyembunyikan maksud dan tujuan ketika perang, kecuali pada perang Tabuk. Dalam perang ini, Rasulullah menjelaskan kepada para sahabat bahwasanya jarak tempuh perjalanan ini membutuhkan waktu lama. Ditambah dengan pasukan musuh yang beliau ketahui dengan jumlah sangat besar.
Rasulullah menjelaskan maksudnya supaya para sahabat dan kaum muslimin mempersiapkan diri sebaik-baiknya, beliau memeberitahukan bahwa beliau akan berangkat melawan pasukan Romawi. Lokasinya jauh dekat Syam. Jaraknya 750 km lebih dari Madinah. Tiap orang butuh kendaraan dan bekal yang cukup.
Saat itu, Madinah dalam kondisi hiruk pikuk dan ramai. Orang-orang munafik meminta izin dengan berbagai alasan agar tidak ikut berjihad fisabillah. Sebagian orang-orang munafik itu berkumpul di rumah seorang Yahudi Suwaylim.
Keutamaan Infaq fi Sabilillah
Pada pagi harinya Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam mengatakan : man jahhaza jaisyul usroh falahul jannah
من جهز جيش العسرة غفر الله له فله الجنة
Rasulullah mengajak para sahabat yang kaya untuk berinfak di jalan Allah, agar dapat menanggung para mujahidin yang fakir. Utsman bin Affan menjadi salah satu yang mengeluarkan infak sangat besar hingga tak satupun dapat menyamainya. Hingga Rasulullah pun berkata, “Ya Allah, ridhailah Utsman. Sesungguhnya aku telah ridha kepadanya.”
Rasulullah menaiki kendaraannya dan meminta agar para sahabat segera menaiki kendaraannya masing-masing. Tiba-tiba datanglah tujuh orang Anshar yang berasal dari kalangan fakir miskin. Mereka meminta agar diikutsertakan dalam jihad.
Rasulullah berkata, “Aku tidak memiliki kendaraan untuk membawa kalian.”
Mendengar itu, mereka kembali dengan sedih dan menangis karena tidak memliki sesuatu yang dapat mereka sedekahkan.
Orang-orang yang tak bisa berangkat perang ini Bani Muqarrin dari kalangan Bani Muzayyanah. Mereka adalah Salim bin Auf, Harami bin Amr, Abdur Rahman bin Ka’b yang dipanggil Abu Laila, Fadlullah, Amr bin Atabah dan Abdullah bin Amr Al Muzani.
Nama orang ini ada perbedaan dalam kitab Sirah Nabawi Ibnu Ishaq yang menjelaskan tafsir surat at Taubah. Sekelompok orang yang menangis tak bisa ikut Perang Tabuk terdiri atas sahabat Ansar dan lain-lainnya. Mereka adalah Salim bin Umair, Ulayyah bin Zaid, Abu Laila Abdur Rahman bin Ka’b, Amr bin Hamam bin Jamuh, Abdullah bin Mugaffal al-Muzani, Harami bin Abdullah, dan Iyad bin Sariyah al-Fazzari
Abu Layla Abdurrahman ibn Ka’ab dan Abdullah ibn Mughaffal.
Yamin ibn Ka’ab an-Nadhari bertemu dengan Abu Layla Abdurrahman ibn Ka’ab dan Abdullah ibn Mughaffal. Mereka berdua sedang menangis, lalu Yamin ibn Ka’ab bertanya, “Apa yang membuat kalian berdua bersedih?”
Mereka menjawab, “Kami datang kepada Rasulullah dengan tujuan agar Rasulullah bisa mengikutsertakan kami dalam jihad. Namun beliau tidak memiliki sesuatu yang dapat membawa kami. Kami juga tidak memiliki apa-apa untuk dijadikan bekal.
Kemudian ia memberikan seekor unta kepada keduanya, dan juga kurma sebagai bekal bagi mereka. Akhirnya keduanya berangkat bersama Rasulullah.
Abdullah bin Mughaffal
Abdullah bin Mughaffal termasuk sahabat yang melakukan Bai’atur Ridhwan atau Bai’atusy Syajarah, yaitu sumpah setia yang dilakukan di bawah sebatang pohon pada suatu tempat yang bernama Hudaibiah pada tahun ke-7 H. Hal ini diungkapkan sendiri oleh Abdullah.
“Aku termasuk di antara orang-orang yang yang menyatakan sumpah atau bai’at dengan Rasulullah.”
Sejak itu, beliau tidak pernah absen dalam setiap perjuangan menegakkan dan menyebarkan ajaran agama Islam bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hingga wafatnya, kecuali Perang Tabuk.
Peristiwa ketidakikutan Abdullah bin Mughaffal dalam Perang Tabuk memiliki kenangan tersendiri baginya.
Ketika melakukan persiapan untuk perang ini, kaum Muslimin tengah dilanda musim paceklik yang sangat mencekik, yang membuat mereka bingung antara ikut perang atau tidak. Sebab, setelah musim paceklik itu, musim panen yang menggairahkan akan menjelang.
Semakin hari, Abdullah kian bingung dan bimbang. Terlebih ketika hampir tibanya hari pemberangkatan. Dia bukan takut karena akan meninggalkan tanamannya yang tidak lama lagi akan panen, tapi karena dia memang tidak memiliki apa-apa untuk bekal perang.
Karena dorongan imannya yang sempurna dan keyakinan yang benar, dia berusaha terus dan tidak putus asa. Dalam hati kecilnya hanya terguris harapan agar dapat mati syahid atau tersebarnya agama Islam bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Namun setiap usaha yang dicobanya tetap buntu. Akhirnya dia berusaha memohon bantuan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri untuk mengusahakan kendaraan. Namun, alangkah kecewanya Abdullah ketika mendapat jawaban dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
“Aku juga tidak bisa mengusahakan kendaraan-kendaraan untuk mengangkut kalian.”
Akhirnya Abdullah hanya bisa melampiaskan kekesalan hatinya dengan mengadu kepada Allah dengan cara menangis. Abdullah pun menangis dan menangis.
Betapa sedihnya Abdullah ketika menyaksikan kaum Muslimin dan para sahabat yang lain berbaris bershaf-shaf meninggalkan Madinah menuju Tabuk. Mereka berbaris dengan langkah berderap teratur mengikuti satu komando Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, menuju medan jihad fii sabilillah. Sementara dia sendiri tidak bisa ikut karena tidak memiliki kendaraan.
Abdullah bersedih karena harus tinggal di kota bersama-sama dengan orang-orang yang lemah, para perempuan, anak-anak kecil, tuna netra, orang sakit dan orang lemah lainnya. Tatkala lamunannya sampai ke situ, mengucurlah air matanya untuk kesekian kalinya.
Namun kesedihannya cukup terhibur ketika Allah menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya sehubungan dengan kondisinya.
وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
“Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”. lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (QS. At-Taubah [9] 92).
Untuk sementara Abdullah senang karena termasuk di antara orang-orang yang dimaksud oleh ayat tersebut. Namun, ia tetap bersedih hati karena tidak mampu ikut berperang dan tidak bisa mengikuti jejak Nabi yang sangat dicintainya itu.
Karenanya, pada masa kekhalifahan, Abdullah tidak mau ketinggalan. Dia tidak pernah lagi melewatkan satu pun peperangan jihad yang dilakukan oleh setiap khalifah pada masanya.
Ketika daerah Irak berhasil dibebaskan, Khalifah Umar bin Khaththab secara beruntun mengirimkan beberapa orang ahli fiqih untuk mengajarkan Islam di Bashrah. Abdullah termasuk di antara mereka yang diutus.
Ketika pasukan Muslimin berjuang gigih untuk masuk ke daerah Tustar, Abdullah termasuk di antara mereka yang pertama memasuki pintu gerbang kota itu.
Pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, Abdullah memilih tempat tinggal dan berhijrah ke Bashrah. Dia membangun sebuah rumah dekat masjid. Di sanalah dia menghabiskan sisa-sisa hidupnya dengan giat mengajar dan beribadah hingga wafat pada tahun 60H, pada masa Khalifah Muawiyyah bin Abi Sufyan. Abdullah termasuk sahabat yang menjadi sumber banyak hadits.
sumber
https://minanews.net/tidak-ikut-berjihad-abdullah-pun-menangis/
https://www.islampos.com/menangis-karena-tidak-bisa-ikut-berjihad-134513/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.