Thaharah

 

1. Pengertian 

Thaharah (طھارة) dalam bahasa Arab bermakna 

An-Nadhzafah (النظافة), yaitu kebersihan.   

Namun yang dimaksud disini tentu bukan semata kebersihan. Thaharah dalam istilah para ahli fiqih adalah : 

  • (عبارة عن غسل أعضاء مخصوصة بصفة مخصوصة), 
        yaitu mencuci anggota tubuh tertentu dengan cara tertentu. 
  • (رفع الحدث و إزالة النجس), 
    yaitu mengangkat hadats dan menghilangkan najis.  

Thaharah menduduki masalah penting dalam Islam. Boleh dikatakan bahwa tanpa adanya thaharah, ibadah kita kepada Allah SWT tidak akan diterima. Sebab beberapa ibadah utama mensyaratkan thaharah secara mutlak. Tanpa thaharah, ibadah tidak sah. Bila ibadah tidak sah, maka tidak akan diterima Allah. Kalau tidak diterima Allah, maka konsekuensinya adalah kesiasiaan. 

2. Thaharah Adalah Ritual 

Thaharah tidak selalu identik dengan kebersihan, meski pun tetap punya hubungan yang kuat dan seringkali tidak terpisahkan. Thaharah lebih tepat diterjemahkan menjadi kesucian secara ritual di sisi Allah SWT. 

Mengapa kita sebut kesucian ritual? 

Pertama, bersih itu lawan dari tidak kotor, tidak berdebu, tidak belepotan lumpur, tidak tercampur keringat, tidak dekil atau tidak lusuh. Sementara suci bukan kebalikan dari bersih. Suci itu kebalikan dari najis. Segala yang bukan najis atau yang tidak terkena najis adalah suci. Debu, tanah, lumpur, keringat dan sejenisnya dalam rumus kesucian fiqih Islam bukan najis atau benda yang terkena najis. 

Artinya, meski tubuh dan pakaian seseorang kotor, berdebu, terkena lumpur atau tanah becek, belum tentu berarti tidak suci. Buktinya, justru kita bertayammum dengan menggunakan tanah atau debu. Kalau debu dikatakan najis, maka seharusnya hal itu bertentangan. Tanah dalam pandangan fiqih adalah benda suci, boleh digunakan untuk bersuci. 

Kedua, thaharah adalah bentuk ritual, karena untuk menetapkan sesuatu itu suci atau tidak, justru tidak ada alasan logis yang masuk akal. Kesucian atau kenajisan itu semata-mata ajaran, ritus, ritual dan kepercayaan. Ketentuan seperti itu tentu resmi datang dari Allah SWT dan dibawa oleh Rasulullah SAW secara sah. 

Daging babi tidak menjadi najis karena alasan mengandung cacing pita atau sejenis virus tertentu. Sebab daging babi tetap haram meski teknologi bisa memasak babi dengan mematikan semua jenis cacing pita atau virus yang terkandung di dalamnya. 

Daging babi juga tidak menjadi najis hanya karena babi dianggap hewan kotor. Sebab seorang penyayang binatang bisa saja memelihara babi di kandang emas, setiap hari dimandikan dengan sabun dan shampo yang mengandung anti-septik, dihias di salon hewan sehingga berpenampilan cantik, wangi, dan berbulu menarik. Setiap minggu diikutkan program menikure dan pedikure. Dan babi antik itu bisa saja diberi makanan yang paling mahal, bersih dan sehat, sehingga kotorannya pun wangi.  

Tapi sekali babi tetap babi, dia tetap hewan najis, bukan karena lifestyle sang babi, tetapi karena kebabi-annya. Dan najisnya babi sudah kehendak Allah SWT, sampai hari kiamat buat seorang muslim, babi adalah hewan najis. Tapi bukan berarti seorang muslim boleh berlaku kejam, sadis atau boleh menyiksa babi. Tetap saja babi punya hak hidup dan kebebasan. 

Dalam kasus ini, 'illat (alasan) atas kenajisannya bukan berangkat dari hal-hal yang masuk akal.  

3. Pembagian Jenis Thaharah 

Thaharah terdiri dari thaharah hakiki  atau yang terkait dengan urusan najis, dan thaharah hukmi atau yang terkait dengan hadats. 

3.1. Thaharah Hakiki (najis) 

Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan, pakain dan tempat shalat dari najis. Boleh dikatakan bahwa thaharah hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis.  

Seorang yang shalat dengan memakai pakaian yang ada noda darah atau air kencing, tidak sah shalatnya. Karena dia tidak terbebas dari ketidaksucian secara hakiki. 

Thaharah hakiki bisa didapat dengan menghilangkan najis yang menempel, baik pada badan, pakaian atau tempat untuk melakukan ibadah ritual.  

Caranya bermacam-macam tergantung level kenajisannya. Bila najis itu ringan, cukup dengan memercikkan air saja, maka najis itu dianggap telah lenyap. Bila najis itu berat, harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis itu pertengahan, disucikan dengan cara mencucinya dengan air biasa, hingga hilang warna, bau dan rasa najisnya.  

3.2. Thaharah Hukmi (hadats) 

Sedangkan thaharah hukmi maksudnya adalah sucinya kita dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar (kondisi janabah).  

Thaharah secara hukmi tidak terlihat kotornya secara fisik. Bahkan boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran pada diri kita. Namun tidak adanya kotoran yang menempel pada diri kita, belum tentu dipandang bersih secara hukum. Bersih secara hukum adalah kesucian secara ritual. 

Seorang yang tertidur batal wudhu'-nya, boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu' bila ingin melakukan ibadah ritual tertentu seperti shalat, thawaf dan lainnya. 

Demikian pula dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah mencuci maninya dengan bersih, lalu mengganti bajunya dengan yang baru, dia tetap belum dikatakan suci dari hadats besar hingga selesai dari mandi janabah.  

Jadi thaharah hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara fisik memang tidak ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk melakukan ritual ibadah.  

Thaharah hukmi didapat dengan cara berwudhu' atau mandi janabah. 

Referensi:
Ahmad Sarwat, Fiqih Thaharah, DU Centre Press, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.