Rasulullah saw. memerintahkan para sahabat yang mampu, terutama kaum Anshar (pribumi Madinah) yang tidak dikenali oleh orang-orang Makkah, untuk menunaikan ibadah haji yang sesuai dengan manasik Nabi Ibrahim dan tidak mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan penyembahan berhala. Ketika kembali dari berhaji, orang-orang Anshar ini melapor kepada Rasulullah bahwa mereka mengerjakan sa'i dengan keraguan sebab di tengah mas`a (jalur sa`i) antara Safa dan Marwah terdapat dua berhala besar Asaf dan Na'ilah.
Oleh karena itu, turunlah wahyu Allah, yaitu Al-Baqarah 158: Inna sh-shafa wa l-marwata min sya`a'iri l-Lah. Fa man hajja l-baita aw i`tamara fa la junaha `alayhi an yaththawwafa bi hima. Wa man tathawwa`a khairan fa inna l-Laha syakirun `alim ('Sesungguhnya Safa dan Marwah sebagian dari syi`ar-syi`ar Allah. Maka barangsiapa berhaji ke Baitullah atau berkunjung (umrah), tidak salah baginya untuk bolak-balik pada keduanya. Dan barangsiapa menambah kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pembalas Syukur lagi Maha Mengetahui'). Ayat ini kelak sering dibaca oleh para jemaah haji ketika melakukan sa`i.
Pada bulan April 628 (Dzulqa`dah 6 Hijri) Rasulullah saw. bermimpi menunaikan umrah (kunjungan) ke Makkah dan mengajak para sahabat untuk mewujudkan mimpi tersebut. Rasulullah pun dengan disertai 1.500 sahabat berangkat menuju Makkah, mengenakan pakaian ihram dan membawa hewan-hewan qurban.
Kaum musyrikin Quraisy mengerahkan pasukan untuk menghalang-halangi sehingga rombongan dari Madinah tertahan di Hudaibiyah, 20 km di sebelah barat laut Makkah. Kaum Quraisy mengutus Suhail ibn Amr untuk berunding dengan Rasulullah. Suhail mengusulkan, antara lain, kesepakatan genjatan senjata dan kaum Muslimin harus menunda umrah dengan kembali ke Madinah, tetapi tahun depan diberikan kebebasan melakukan umrah dan tinggal selama tiga hari di Makkah.
Rasulullah menyetujui perjanjian ini meskipun para sahabat banyak yang kecewa, namun tidak ada yang berani menentang keputusan Junjungan mereka. Sepintas lalu isi perjanjian kelihatannya merugikan kaum Muslimin, tetapi secara politis sangat menguntungkan. "Perjanjian Hudaibiyah" merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah Islam sebab untuk pertama kalinya kaum Quraisy di Makkah mengakui kedaulatan kaum Muslimin di Madinah.
Dalam perjalanan pulang ke Madinah, turunlah wahyu Allah dalam Al-Fath 27: "Sungguh Allah akan memenuhi mimpi rasul-Nya dengan sebenar-benarnya, bahwa kamu pasti akan memasuki Masjid al-Haram insya Allah dengan aman. Kamu akan mencukur kepalamu atau menggunting rambut (merampungkan umrah) dengan tidak merasa takut. Dia mengetahui apa yang tidak kamu ketahui, dan Dia menjadikan selain itu kemenangan yang dekat".
Sesuai dengan Perjanjian Hudaibiyah, tahun berikutnya (Maret 629 atau Dzulqa`dah 7 Hijri) Rasulullah saw. beserta para sahabat untuk pertama kalinya melakukan umrah ke Baitullah. Ketika rombongan Nabi yang berjumlah sekira 2.000 orang memasuki pelataran Kakbah untuk melakukan tawaf, orang-orang Makkah berkumpul menonton di bukit Qubais dengan berteriak-teriak bahwa kaum Muslimin kelihatan letih dan pasti tidak kuat berkeliling tujuh putaran.
Mendengar ejekan ini, Rasulullah bersabda kepada jemaahnya, "Marilah kita tunjukkan kepada mereka bahwa kita kuat. Bahu kanan kita terbuka dari kain ihram, dan kita lakukan thawaf dengan berlari!" Sesudah mencium Hajar Aswad, Rasulullah saw. dan para sahabat memulai tawaf dengan berlari-lari mengelilingi Kakbah sehingga para pengejek akhirnya bubar.
Pada putaran keempat setelah orang-orang usil di atas bukit Qubais pergi, Rasulullah mengajak para sahabat berhenti berlari dan berjalan seperti biasa. Inilah latar belakang beberapa sunah tawaf di kemudian hari: bahu kanan yang terbuka (idhthiba') serta berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama khusus pada tawaf yang pertama.
Selesai tujuh putaran, Rasulullah saw. salat dua rakaat di Maqam Ibrahim, kemudian minum air Zamzam. Sesudah itu Rasulullah me-lakukan sa`i antara Safa dan Marwah, dan akhirnya melakukan tahallul ('menghalalkan kembali') atau membebaskan diri dari larangan-larangan ihram, dengan menyuruh Khirasy mencukur kepala beliau.
Ketika masuk waktu duhur, Rasulullah saw. menyuruh Bilal ibn Rabah naik ke atap Kakbah untuk mengumandangkan azan. Suara azan Bilal menggema ke segenap penjuru sehingga orang-orang Makkah berkumpul ke arah "suara aneh" yang baru pertama kali mereka dengar.
Kaum musyrikin menyaksikan betapa rapinya saf-saf kaum Muslimin yang sedang salat berjamaah. Hari itu, 17 Dzulqa`dah 7 Hijri (17 Maret 629), untuk pertama kalinya azan berkumandang di Makkah dan Nabi Muhammad s.a.w. menjadi imam salat di depan Kakbah! SESUAI dengan isi Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw. dan para sahabat hanya tiga hari berada di Makkah, kemudian kembali ke Madinah.
Akan tetapi, kegiatan Muslimin di Makkah menimbulkan kesan yang mendalam bagi orang-orang Quraisy. Tiga orang terkemuka Quraisy, yaitu Khalid ibn Walid, Amru ibn Ash, dan Utsman ibn Thalhah, menyusul ke Madinah untuk mengucapkan Kalimat Syahadat. Di kemudian hari, pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab (634-644), Khalid ibn Walid memimpin pasukan Islam membebaskan Suriah dan Palestina serta Amru ibn Ash membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi. Adapun Utsman ibn Thalhah dan keturunannya kelak diberi kepercayaan oleh Rasul untuk memegang kunci Kakbah. Sampai hari ini, meskipun yang menguasai dan memelihara Kakbah silih berganti hingga Dinasti Saudi sekarang, kunci Kakbah tetap dipegang oleh keturunan Utsman ibn Thalhah dari Bani Syaibah.
Beberapa bulan sesudah Rasulullah saw. berumrah, kaum Quraisy melanggar perjanjian genjatan senjata sehingga pada 20 Ramadan 8 Hijriah (11 Januari 630) Rasulullah saw. beserta sepuluh ribu pasukan menaklukkan Makkah tanpa pertumpahan darah. Bahkan, Rasulullah saw. memberikan amnesti umum kepada warga Makkah yang dahulu memusuhi Muslimin. La tatsriba `alaykumu l-yaum. Yaghfiru l-Lahu lakum wa huwa arhamu r-rahimin (Tiada balas dendam bagimu hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian dan Dia Paling Penyayang di antara para penyayang), demikian sabda Rasulullah saw. mengutip ucapan Nabi Yusuf a.s. yang tercantum dalam Surat Yusuf 92.
Akibatnya, seluruh orang Quraisy masuk Islam. Turunlah Surat An-Nasr: "Tatkala datang pertolongan Allah dan kemenangan, engkau melihat manusia masuk kepada agama Allah berbondong-bondong. Sucikan dan pujilah Tuhanmu dan memohon ampunlah pada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat".
Setelah menerima ayat ini, Rasulullah pada ruku dan sujud dalam salat mengucapkan Subhanaka llahumma rabbana wa bi hamdika, allahumma ghfirli (Maha Suci Engkau, Ya Allah, dan pujian bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah daku). Dengan jatuhnya kota Makkah ke tangan umat Islam, Rasulullah saw. segera memerintahkan pemusnahan berhala-berhala di sekeliling Kakbah serta membersihkan ibadah haji dari unsur-unsur kemusyrikan dan mengembalikannya kepada syariat Nabi Ibrahim yang asli.
Pada tahun 8 Hijriah itu Rasulullah saw. melakukan umrah dua kali, yaitu ketika menaklukkan Makkah serta ketika beliau pulang dari Perang Hunain. Ditambah dengan umrah tahun sebelumnya berarti Rasulullah saw. sempat melakukan umrah tiga kali, sebelum beliau mengerjakan ibadah haji tahun 10 Hijriah. Pada bulan Zulhijah 9 Hijriah (Maret 631), Rasulullah saw. mengutus sahabat Abu Bakar Shiddiq untuk memimpin ibadah haji. Rasulullah sendiri tidak ikut lantaran kesibukan beliau dalam menghadapi Perang Tabuk melawan pasukan Romawi.
Abu Bakar Shiddiq mendapat perintah untuk mengumumkan Dekrit Rasulullah, berdasarkan firman Allah dalam At-Taubah 28 yang baru diterima Nabi bahwa mulai tahun depan kaum musyrikin dilarang mendekati Masjid al-Haram dan menunaikan ibadah haji karena sesungguhnya mereka bukanlah penganut ajaran Nabi Ibrahim a.s.
Pada tahun 10 Hijriah (632 Masehi) Semenanjung Arabia telah dipersatukan di bawah kekuasaan Nabi Muhammad saw. yang berpusat di Madinah, dan seluruh penduduk telah memeluk agama Islam. Maka pada bulan Syawwal Rasulullah saw. mengumumkan bahwa beliau sendiri akan memimpin ibadah haji tahun itu. Berita ini disambut hangat oleh seluruh umat dari segala penjuru sebab mereka berkesempatan mendampingi Rasulullah dan menyaksikan setiap langkah beliau dalam melakukan manasik (tata cara) haji.
Rasulullah saw. berangkat dari Madinah sesudah salat Jumat tanggal 25 zulkaidah (21 Februari) mengendarai unta beliau yang bernama Al-Qashwa', dengan diikuti sekira 30.000 jemaah. Seluruh istri beliau ikut serta dan juga putri beliau yang saat itu masih hidup, Fatimah. Sesampai di Dzulhulaifah yang hanya belasan kilometer dari Madinah, Rasul dan rombongan singgah untuk istirahat dan mempersiapkan ihram. Di sini istri Abu Bakar Shiddiq, Asma', melahirkan putra yang diberi nama Muhammad dan Abu Bakar berniat mengembalikannya ke Madinah. Akan tetapi, Rasulullah mengatakan bahwa Asma' cukup mandi bersuci, memakai pembalut yang rapi, dan dapat melakukan seluruh manasik haji.
Muhammad ibn Abi Bakar yang lahir di Dzulhulaifah itu kelak menjadi Gubernur Mesir pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib (656-661). Keesokan harinya, Sabtu 26 zulkaidah (22 Februari), setelah semuanya siap untuk berihram, Rasulullah saw. menaiki unta kembali, lalu bersama seluruh jemaah mengucapkan: Labbaik Allahumma Hajjan (Inilah saya, Ya Allah, untuk berhaji).
Tidak ada seorang pun yang berniat umrah sebab menurut tradisi saat itu umrah hanya boleh di luar musim haji. Tiga cara haji (Tamattu`, Ifrad, Qiran) yang kita kenal sekarang baru diterapkan Rasulullah di Makkah delapan hari berikutnya. Rombongan menuju Makkah dengan tiada henti mengucapkan talbiyah.
Pada hari Sabtu 3 Zulhijah (29 Februari), Rasul dan rombongan tiba di Sarif, 15 km di utara Makkah, kemudian beristirahat. Aisyah, istri Nabi, kedatangan masa haidnya sehingga dia menangis karena khawatir tidak dapat menunaikan haji. Rasulullah saw. menghiburnya, "Sesungguhnya haid itu ketentuan Allah untuk putri-putri Adam. Segeralah mandi dan engkau dapat melakukan semua manasik haji, kecuali thawaf sampai engkau suci."
Pada Ahad 4 Zulhijah (1 Maret) pagi, Rasulullah dan rombongan memasuki kota Makkah. Di sana sudah menunggu puluhan ribu umat yang datang dari berbagai penjuru, dan diperkirakan total jemaah haji mencapai lebih dari 100.000 orang. Rasulullah memasuki Masjid al-Haram melalui gerbang Banu Syaibah yang terletak di samping telaga Zamzam di belakang Maqam Ibrahim. Gerbang Banu Syaibah ini kelak populer dengan nama Babu s-Salam ('Pintu Kedamaian').
Perlu dijelaskan bahwa yang disebut Masjid al-Haram waktu itu adalah pelataran Kakbah tempat salat dan tawaf (secara harfiah, masjid artinya tempat sujud), sedangkan bangunan masjid baru dirintis pada masa Khalifah Umar ibn Khattab (634-644) dan mengalami perluasan dari zaman ke zaman sehingga akhirnya megah seperti sekarang.
Juga perlu dijelaskan bahwa Rasulullah tidak pernah memerintahkan masuk masjid harus dari gerbang Banu Syaibah atau Babu s-Salam. Beliau masuk pintu itu karena memang datang dari arah utara! Gerbang yang dimasuki Nabi itu kini tidak ada lagi. Ketika pada tahun 1957 Masjid al-Haram diperluas sehingga tempat sa`i termasuk Safa dan Marwah menjadi bagian masjid, pemerintah Arab Saudi membuat banyak pintu. Dua pintu di antaranya diberi nama Pintu Banu Syaibah dan Pintu Babu s-Salam. Sekarang banyak jemaah haji berusaha masuk Masjid al-Haram dari Pintu Babu s-Salam "made in Saudi" ini dengan anggapan melaksanakan Sunah Nabi!
Pada awal setiap putaran tawaf, jemaah haji disunahkan untuk memberikan penghormatan (istilam) kepada Hajar Aswad di pojok tenggara Kakbah. Rasulullah saw. memberikan empat cara istilam tersebut. Ketika umrah pertama kali tahun 7 Hijriah, beliau mengecup Hajar Aswad. Ketika penaklukan Makkah, beliau menyentuhkan ujung tongkat ke Hajar Aswad dari atas unta. Ketika umrah saat pulang dari Hunain, Hajar Aswad beliau usap dengan tangan kanan. Ketika beliau haji tahun 10 Hijriah, beliau hanya melambaikan tangan dari jauh ke arah Hajar Aswad.
Cara yang terakhir ini sangat praktis dan mungkin paling afdal. Akan tetapi, kenyataannya banyak jemaah haji sekarang yang bersikut-sikutan untuk mengecup Hajar Aswad. Hanya karena penasaran, dia rela melakukan yang haram (menyakiti jemaah yang lain) untuk mengejar yang sunah! Rasulullah saw. melakukan tawaf tujuh putaran. Ummu Salamah, salah satu istri beliau, bertawaf dengan ditandu sebab sedang sakit.
Setiap melewati Rukun Yamani Rasulullah cuma mengusapnya dengan tangan. Antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad beliau mengucapkan doa paling populer: Rabbana atina fi d-dunya hasanah wa fi l-akhirati hasanah wa qina `adzaba n-nar (Ya Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat serta peliharalah kami dari azab neraka).
Setelah selesai tujuh putaran, beliau salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, kemudian pergi ke telaga Zamzam. Beliau minum air Zamzam dan membasahi kepala beliau. Sesudah itu Rasulullah saw. menuju bukit Safa untuk memulai sa`i. Beliau naik ke bukit, lalu menghadap Kakbah, bertakbir tiga kali dan berdoa. Kemudian beliau turun ke lembah menuju Marwah dengan berlari-lari kecil antara Masil dan Bait Aqil. (Kini Masil dan Bait Aqil ditandai dengan lampu hijau.
Sebagai catatan, jarak dari Safa ke Masil 100 meter, dari Masil ke Bait Aqil 80 meter, dan dari Bait Aqil ke Marwah 240 meter.) Sesampai di Marwah Rasulullah saw. melakukan apa yang beliau kerjakan di Safa. Demikianlah bolak-balik sebanyak tujuh kali. Setelah selesai sa`i, Rasulullah saw. di Marwah menginstruksikan sesuatu yang mengejutkan para sahabat karena belum pernah terjadi sebelumnya: beliau memerintahkan seluruh sahabat yang tidak membawa hadyu (hewan qurban) agar mengubah niat haji menjadi umrah, padahal selama ini umrah hanya dilakukan di luar musim haji.
Dengan mengubah niat menjadi umrah, sebagian besar jemaah haji yang tidak membawa hadyu dapat ber-tahallul (bebas dari larangan ihram) dan baru berihram lagi untuk haji tanggal 8 Zulhijah. Karena mereka tidak membawa hadyu dari rumah, tentu pada Hari Nahar (10 Zulhijah) atau Hari-Hari Tasyriq (11-13 Zulhijah) mereka harus membeli hewan untuk dijadikan hadyu. Inilah yang kelak dikenal sebagai Haji Tamattu`, artinya 'bersenang-senang' sebab masa berihram hanya beberapa hari saja.
Pada mulanya para sahabat ragu-ragu melaksanakan perintah Nabi karena manasik seperti itu (umrah di musim haji) belum pernah ada, apalagi Nabi sendiri ternyata tidak ber-tahallul. Melihat keraguan para sahabat, Rasulullah saw. bersabda, "Seandainya aku tidak membawa hadyu, aku pun akan mengubah hajiku menjadi umrah. Tetapi aku telah menghadapi urusanku (membawa hadyu) dan tidak dapat mundur lagi sehingga aku tidak akan bertahallul sampai aku menyembelih hadyu-ku." Ada juga sahabat yang penasaran bertanya, "Tahallul untuk apa saja, Ya Rasulullah?" "Tahallul untuk semuanya!" jawab Nabi. Kemudian Rasulullah saw. menegaskan, "Telah masuk umrah ke dalam haji untuk selama-lamanya." Artinya, umrah dapat dikerjakan di musim haji, bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah haji!
Mendengar penegasan Rasulullah, para sahabat yang sebagian besar tidak membawa hadyu ber-tahallul secara massal. Hanya Rasulullah saw. dan sebagian kecil sahabat yang terus berihram (tidak ber-tahallul) sebab mereka membawa hadyu. Sejak saat itu mulailah dikenal tiga cara ibadah haji. Pertama, Haji Tamattu` atau "bersenang-senang" (umrah dulu, baru haji) bagi mereka yang tidak membawa hadyu. Kedua, Haji Ifrad atau "mandiri" (haji dulu, baru umrah) bagi penduduk Makkah yang membawa hadyu. Ketiga, Haji Qiran atau "gabungan" (haji dan umrah langsung digabungkan) bagi bukan penduduk Makkah yang membawa hadyu. Cara terakhir inilah, yaitu Haji Qiran, yang dikerjakan Rasulullah saw. dalam ibadah haji beliau.
Hal ini disimpulkan dari fakta bahwa beliau membawa hadyu dan sesudah mengerjakan haji beliau tidak lagi melakukan umrah secara terpisah sampai beliau kembali ke Madinah tanggal 14 Zulhijah. Sebenarnya cara Haji Tamattu` bukanlah inovasi Rasulullah saw., melainkan memang diperintahkan oleh Allah sebagai keringanan bagi umat-Nya, melalui wahyu yang turun ketika Rasulullah dan rombongan tertahan di Hudaibiyah empat tahun sebelumnya (6 Hijriah), tetapi baru pada ibadah haji tahun 10 Hijriah Rasulullah berkesempatan menerapkan pelaksanaannya.
Ayat perintah tamattu` itu kini tercantum dalam Al-Baqarah 196: tamatta`a bi l-`umrati ila l-hajj (bersenang-senang dengan umrah ke haji) bagi mereka yang bukan penduduk Makkah, li man lam yakun ahluhu hadhiri l-masjidi l-haram (bagi mereka yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjid al-Haram).
Ketika Rasulullah dan rombongan berangkat dari Dzulhulaifah, semuanya berniat haji dan tidak seorang pun yang berniat umrah meskipun sebagian besar tidak membawa hadyu. Sebagaimana dikemukakan oleh Aisyah, istri Rasulullah, di kemudian hari yang tercatat dalam hadis-hadis (berita-berita tentang Sunah Nabi), "Kami keluar bersama Nabi saw. hanya dengan tujuan haji. Ketika kami selesai melakukan tawaf dan sa`i ('kami' di sini adalah jemaah haji sebab Aisyah sedang haid), barulah Rasulullah memerintahkan yang tidak membawa hadyu untuk ber-tahallul."
Keterangan Jabir ibn Abdillah, sahabat yang paling lengkap bercerita tentang kisah haji Rasulullah, lebih tegas lagi, "Kami para sahabat Rasulullah saw. bertujuan haji yang murni (khalishan), tidak mencampurkannya dengan umrah sebab kami tidak mengenal umrah! (lasna na`rifu l-`umrah)." Maksud Jabir sudah tentu adalah tidak mengenal "umrah di musim haji" sebab ketika di Dzulhulaifah "sistem lama" (umrah harus di luar musim haji) belum dihapuskan oleh Rasulullah saw.
Rupanya Nabi saw. sebagai seorang pemimpin yang bijaksana menunggu saat yang tepat untuk menerapkan perintah Allah dalam Al-Baqarah 196 agar umat tidak terkejut dengan "sistem baru" (haji harus disertai umrah). Ketika Rasulullah dan rombongan beristirahat di Sarif tanggal 3 Zulhijah sebelum masuk Makkah, beliau mulai melakukan "sosialisasi" sistem baru dengan mengumumkan kepada jemaah haji, "Barangsiapa yang mau menjadikannya umrah, jadikanlah hajimu menjadi umrah."
Di sini Rasulullah hanya mengimbau dengan kalimat "siapa mau" (man sya'a). Esok harinya, tanggal 4 Zulhijah 10 Hijriah (1 Maret 632) ketika semua jemaah haji dari berbagai penjuru sudah berkumpul di Makkah, serta jemaah telah santai karena sudah melaksanakan tawaf dan sa`i, barulah Rasulullah memerintahkan cara Haji Tamattu` bagi yang tidak membawa hadyu dan mendekritkan terintegrasinya umrah ke dalam haji.
Hal ini pun ternyata menimbulkan suasana heboh di kalangan para sahabat, sampai-sampai Rasulullah sebagai manusia normal sedikit emosi melihat para sahabat pada awalnya enggan "meralat" niat haji menjadi umrah. Dari uraian di atas jelaslah bahwa untuk jemaah haji Indonesia yang sudah tentu bukan pribumi Makkah dan boleh dipastikan tidak membawa hadyu dari rumah (jika ada yang berminat meniru Nabi membawa hadyu, alangkah repotnya kondisi di pesawat udara sehingga besar kemungkinan tidak diperkenankan oleh pihak Garuda!), tidak ada pilihan lain kecuali melaksanakan perintah Rasulullah saw. untuk mengambil cara Haji Tamattu`.
Hal ini berlaku baik bagi jemaah Gelombang Pertama (yang ke Madinah dahulu) maupun bagi jemaah Gelombang Kedua (yang langsung ke Makkah). DARI tanggal 5 sampai 7 Zulhijah (2-4 Maret),
Rasulullah saw. melakukan kegiatan-kegiatan: memimpin salat di Masjid al-Haram, melakukan tawaf sunat, dan salat sunat di Hijir Ismail. Meskipun beliau dalam keadaan berihram, beliau menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah tempat lahir beliau di Suq al-Layl dan berziarah ke kuburan istri yang paling beliau cintai, Khadijah al-Kubra, yang terletak di Ma'la. Beliau juga menghapuskan kebiasaan aneh pada masa Jahiliyah: orang yang berihram tidak boleh masuk rumah dari pintu, tetapi harus membuat lubang di belakang rumah atau masuk lewat atap!
Tradisi yang entah dari mana asalnya ini dilarang oleh Nabi berdasarkan perintah Allah dalam Al-Baqarah 189.
Pada Kamis 8 Zulhijah (5 Maret), Rasulullah saw. memerintahkan umat beliau yang memakai cara Tamattu` kembali mengenakan pakaian ihram dan menjauhi larangan-larangan ihram untuk memulai ibadah haji. Mereka yang memakai cara Ifrad atau Qiran, termasuk beliau sendiri, memang sudah dalam keadaan berihram sebab sesudah tawaf dan sa`i mereka tidak bertahallul.
Manasik haji yang beliau terapkan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina sangat perlu kita cermati sebab manasik ini merupakan "sistem baru" yang berbeda dengan "sistem lama" (cara Jahiliyah), berdasarkan aturan Ilahi dalam Al-Baqarah 196-203 yang diwahyukan tahun 6 Hijriah dan baru sempat diterapkan pada ibadah haji Rasulullah saw. tahun 10 Hijriah.
Pada tanggal 8 Zulhijah pagi, Rasulullah saw. beserta jemaah haji pergi menuju Mina untuk mempersiapkan air sebab mulai tanggal 10 Zulhijah sesudah pulang dari Arafah mereka akan tinggal di Mina selama beberapa hari. Itulah sebabnya tanggal 8 Zulhijah disebut Hari Tarwiyah (tarwiyah artinya 'mempersiapkan air').
Di zaman modern sekarang, meskipun air di Mina sudah berlimpah sehingga para jemaah tidak perlu tarwiyah atau mempersiapkan air, sebagian besar ulama tetap berpendapat bahwa pergi ke Mina tanggal 8 Zulhijah merupakan salah satu sunnah haji. Paling tidak, hal itu perlu dilakukan untuk "napak tilas" perjalanan Nabi. Namun, perlu dipertimbangkan bahwa sekarang pemerintah Arab Saudi terus-menerus membongkar rumah-rumah di Mina agar kapasitas Mina tetap memadai dalam menampung jemaah haji yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Akibatnya, berlaku hukum ekonomi: ongkos sewa rumah di Mina semakin mahal sehingga jemaah haji yang ingin singgah di Mina tanggal 8 Zulhijah harus mengeluarkan biaya tambahan yang cukup besar.
Pada hari Jumat, 9 Zulhijah (6 Maret) sesudah matahari terbit, Rasulullah saw. dan seluruh jemaah haji berangkat menuju Arafah. Ketika melewati Muzdalifah, kaum Quraisy berharap agar Rasulullah berhenti sebab selama ini kaum Quraisy selalu berwukuf di Masy`ar al-Haram (Muzdalifah), sedangkan yang berwukuf di Arafah adalah mereka yang bukan suku Quraisy. Oleh karena itu,
Rasulullah memerintahkan agar seluruh jemaah haji tanpa kecuali kembali kepada syariat Ibrahim untuk berwukuf di Arafah, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 199: Afidhu min haitsu afadha n-nas (Membanjirlah kamu dari tempat membanjirnya manusia).
Sebelum masuk Arafah, Rasulullah saw. singgah di Namirah dan ketika masuk waktu zuhur (matahari tergelincir ke barat) beliau pergi ke tengah Padang Arafah untuk berkhotbah sebagai tanda dimulainya acara wukuf. Rasulullah menghentikan unta beliau, Al-Qashwa', di suatu tempat yang ketinggian. Di samping beliau berdiri Rabi`ah ibn Umayyah yang mempunyai suara keras dan lantang. Ia ditugasi untuk menyambung suara Nabi agar jelas terdengar oleh puluhan ribu jemaah yang hadir.
Sesudah Rasulullah mengucapkan tahmid dan takbir, memuji dan membesarkan nama Allah, beliau memberikan khotbah yang isinya antara lain sebagai berikut: "Wahai manusia (Ayyuha n-nas), dengarkanlah kata-kataku agar aku terangkan kepadamu. Sesungguhnya aku tidak tahu apakah aku masih akan bertemu dengan kamu di tempat wukuf ini sesudah tahun ini. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kamu darah sesamamu dan harta sesamamu sampai kamu berjumpa dengan Tuhanmu, seperti haramnya hari ini dan bulan ini. Sesungguhnya kamu pasti akan berjumpa dengan Tuhanmu dan Dia pasti akan menanyai kamu tentang segala perbuatanmu.
Wahai manusia, seseorang yang mempunyai hutang hendaklah mengembalikan hutang itu kepada orang yang telah mempercayainya. Segala jenis riba dihapuskan, dan kamu boleh memiliki kembali modalmu. Janganlah berbuat zalim dan kamu tidak akan dizalimi. Allah telah memutuskan bahwa tidak boleh ada riba lagi, dan riba yang pertama kuhapuskan adalah riba dari Abbas ibn Abdil-Muttalib seluruhnya. Semua pertumpahan darah di masa jahiliyah harus ditinggalkan tanpa balas dendam. Hutang darah yang pertama kuhapuskan adalah darah Rabi`ah ibn Harits ibn Abdil-Muttalib yang dibunuh oleh Hudzail.
Wahai manusia, sesungguhnya setan telah putus asa untuk terus disembah-sembah di negerimu ini. Akan tetapi, dia akan puas dengan ditaati dalam hal-hal selain itu, yaitu perbuatan-perbuatan yang kamu sebenarnya tahu bahwa itu salah, tetapi tetap kamu perbuat. Maka, waspadalah terhadap setan dalam hal agamamu. Sesungguhnya kamu mempunyai hak atas istri-istrimu dan mereka pun mempunyai hak terhadapmu. Bertakwalah kamu kepada Allah dalam memperlakukan istri-istrimu sebab kamu telah mengambil mereka dengan amanat Allah.
Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kamu sesuatu, yang jika kamu berpegang teguh kepadanya pasti kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu sesuatu yang terang dan nyata: Kitab Allah dan Sunah Nabi-Nya. Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, dan tidaklah halal seseorang mengambil milik saudaranya kecuali dia memberikan dengan rela. Sesungguhnya Tuhanmu cuma satu, dan sungguh ayah kamu juga satu. Kamu semua berasal dari Adam, sedangkan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa. Tidak ada keutamaan orang Arab dari orang bukan Arab melainkan lantaran takwa."
Di akhir khotbah beliau, Rasulullah saw. bertanya kepada puluhan ribu umat yang hadir, "Wahai manusia, apakah aku telah menyampaikan?" Jemaah haji serempak menjawab, "Benar, telah engkau sampaikan." Maka Rasulullah mengacungkan tangan beliau ke langit sambil berseru, "Wahai Allah, saksikanlah! Wahai Allah, saksikanlah!"
Kemudian Rasulullah menutup khotbah beliau dengan bersabda, "Maka hendaklah yang telah menyaksikan daripadamu menyampaikan kepada yang tidak hadir. Semoga siapa yang menyampaikan akan lebih dalam memperhatikannya daripada yang sekadar mendengarkan. Mudah-mudahan berlimpahlah rahmat dan berkat Allah kepada kamu sekalian."
Selesai berkhotbah, Rasulullah saw. turun dari unta, lalu memimpin salat zuhur dan asar secara jama` dan qasar. Kemudian beliau menuju Sakhrat, batu karang di kaki bukit Jabal Rahmah. Di sini Rasulullah saw. menerima wahyu Al-Ma'idah 3: Al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu `alaykum ni`mati wa radhitu lakumu l-islama dina (Hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan Aku lengkapkan untukmu nikmat-Ku dan Aku relakan bagimu Islam sebagai agamamu).
Ketika Rasulullah saw. menyampaikan wahyu yang baru beliau terima kepada para sahabat, Abu Bakar Shiddiq menangis tersedu-sedu. Umar ibn Khattab bertanya, "Apa yang kau tangiskan, wahai Abu Bakar? Bukankah kita seharusnya bergembira bahwa agama kita telah sempurna?" Abu Bakar menjawab, "Tidakkah terpikir olehmu, wahai anak Khattab, hal itu merupakan isyarat bahwa Rasulullah mungkin cuma sebentar lagi bersama-sama dengan kita."
Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk tidak menyia-nyiakan waktu wukuf. "Haji itu di Arafah," sabda beliau. Sambil menghadap kiblat, Rasulullah dan para sahabat memuji dan mengagungkan Allah, berzikir, berdoa, memohon ampun, membaca ayat-ayat Quran, dan memperbanyak talbiyah.
Setelah matahari terbenam, Rasulullah saw. mengajak para jemaah haji untuk berangkat menuju Muzdalifah (Masy`ar al-Haram), sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 198: Fa idza afadhtum min `arafatin fa dzkuru l-Laha `inda l-masy`ari l-haram (Maka ketika kamu membanjir dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy`ar al-Haram).
Rasulullah saw. mengajak Usamah ibn Zaid untuk duduk di punggung unta Al-Qashwa'. Di zaman jahiliyah sudah menjadi kebiasaan untuk secepat mungkin meninggalkan Arafah dengan setengah berlari maka Rasulullah melarang cara yang tergopoh-gopoh ini. "Tenang, tenang, sebagaimana tenangnya jiwa. Hendaklah yang kuat di antaramu membantu dan mengawasi yang lemah," demikian sabda beliau.
Sesampai di Muzdalifah, Rasulullah saw. dan rombongan menunaikan salat magrib dan isya secara jama` dan qasar. Rasulullah dan sebagian besar jemaah haji bermalam di Muzdalifah, tetapi beliau mengizinkan orang-orang yang lemah, wanita, dan anak-anak berangkat ke Mina sesudah tengah malam supaya dapat melontar jumrah sebelum massa membanjir datang. Sawdah, istri Nabi yang paling gemuk, memohon izin untuk pergi ke Mina malam itu juga sebab tubuhnya tidak kuat berdesak-desakan. Rasulullah mengizinkan dan mengirimkan Sawdah bersama Ummu Sulaim dengan ditemani oleh sepupu Rasul yang masih remaja, Abdullah ibn Abbas ibn Abdil-Muttalib. Di kemudian hari, Abdullah ibn Abbas ini (nama populernya Ibnu Abbas) menjadi salah seorang perawi hadis yang termasyhur. S
esudah salat subuh di Muzdalifah, Rasulullah saw. memimpin jemaah haji menuju Mina. Kini yang beliau ajak membonceng di punggung Al-Qashwa' adalah sepupu beliau Fadhil ibn Abbas (kakaknya Abdullah). Ketika melewati lembah Muhassir, Rasulullah menyuruh para jemaah haji mempercepat langkah seraya bersabda, "Bersegeralah melewati Muhassir sebab di lembah ini ashhabu l-fil (pasukan gajah) Abrahah dimusnahkan burung Ababil."
Pada hari Sabtu, 10 Zulhijah (7 Maret), pagi hari Rasulullah saw. sampai di Mina. Beliau tidak mampir di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha, melainkan langsung menuju Jumrah Aqabah. Tepat sebelas tahun sebelumnya, pada musim haji tahun 621 (setahun sebelum Hijrah) di bukit Aqabah, persis di atas jumrah, Rasulullah saw. menerima ikrar sumpah setia dari para wakil masyarakat Anshar (suku Aws dan Khazraj) yang mengundang beliau untuk berhijrah ke kota mereka, Yatsrib atau Madinah.
Berbeda dengan Jumrah Ula dan Jumrah Wustha yang terletak di lapangan terbuka, Jumrah Aqabah terletak di kaki bukit. Itulah sebabnya penampung batu lontaran di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha berbentuk lingkaran, sedangkan di Jumrah Aqabah cuma setengah lingkaran karena terhalang cadas bukit.
Di kemudian hari, meskipun bukit Aqabah sudah dipapas rata dengan tanah, umat Islam "tidak berani" menjadikan penampung batu lontaran di Jumrah Aqabah sebagai lingkaran penuh seperti dua jumrah yang lain, mungkin karena takut dianggap bid`ah. Sampai sekarang, Jumrah Aqabah dibiarkan tetap dikelilingi setengah lingkaran.
Pada tanggal 10 Zulhijah itu Rasulullah saw. melakukan berbagai manasik dengan urutan sebagai berikut: Rasulullah melontar Jumrah Aqabah dengan batu kerikil sebanyak tujuh kali, dan beliau bertakbir pada setiap lontaran. Inilah perlambang usaha penolakan secara maksimal terhadap godaan setan.
Sesudah melontar beliau berdoa, Allahuma j`alhu hajjan mabruran wa sa`yan masykuran wa dzanban maghfuran (Ya Allah, jadikanlah manasik ini membuahkan haji yang bermutu, usaha yang diterima, dan dosa yang terampuni). Kemudian Rasulullah menyembelih hadyu sebanyak 63 ekor unta dengan tangan beliau sendiri, lalu sisanya yang 37 ekor disembelih oleh Ali ibn Abi Thalib.
Sesudah itu Rasulullah saw. melakukan tahallul dengan menyuruh Khirasy, yang mencukur beliau ketika umrah tahun 7 Hijriah, untuk mencukur kepala beliau. Yang mengharukan adalah ketika Rasul dicukur Khalid ibn Walid dan Suhail ibn Amr memunguti rambut-rambut beliau yang jatuh, lalu mengusapkan rambut-rambut itu ke muka mereka sambil menangis karena menyesali perbuatan mereka sebelum masuk Islam.
Selanjutnya, Rasulullah saw. pergi ke Makkah untuk melakukan tawaf mengelilingi Kakbah. Setelah salat zuhur, beliau kembali ke Mina. Oleh karena itu, Rasulullah mengambil cara Haji Qiran (haji dan umrah digabungkan), tanggal 10 Zulhijah itu beliau tidak melakukan sa`i di antara Safa dan Marwah. Sa`i beliau cukup satu kali tanggal 4 Zulhijah yang sudah mencakup sa`i haji dan umrah. Akan tetapi, sebagian besar para sahabat melakukan sa`i tanggal 10 Zulhijah atau sesudahnya karena mereka mengambil cara Haji Tamattu` sesuai perintah Rasul. Inilah sa`i haji bagi para sahabat yang Tamattu` sebab sa`i mereka tanggal 4 Zulhijah adalah sa`i umrah saja dan belum sa`i haji.
Rasulullah saw. memberikan kelonggaran pada jemaah haji untuk melakukan manasik-manasik di atas dengan urutan yang berbeda-beda. Melontar jumrah, menyembelih hadyu, mencukur atau menggunting rambut, serta tawaf dan sa`i boleh dilakukan secara acak, tidak usah berurutan. Para jemaah haji boleh mendahulukan mana yang sempat dikerjakan.
Bahkan, manasik-manasik di atas tidak harus semuanya terlaksana pada Hari Nahar (10 Zulhijah).
Penyembelihan hadyu boleh dilakukan pada Hari-Hari Tasyriq (11-13 Zulhijah). Tawaf dan sa`i boleh dilakukan pada Hari-Hari Tasyriq, bahkan boleh dilakukan sesudah jemaah pulang dari Mina asalkan masih dalam bulan Zulhijah. Juga boleh dilakukan urutan seperti ini: dari Muzdalifah jemaah haji langsung ke Makkah melakukan tawaf dan sa`i, lalu tahallul mencukur atau menggunting rambut di Marwah, kemudian baru ke Mina untuk melontar jumrah atau menyembelih hadyu. "Kerjakan saja, tidak apa-apa." If`al, la haraj, demikianlah selalu jawaban Rasulullah saw. ketika beliau ditanya oleh para jemaah mengenai urutan manasik-manasik di atas.
Apa pun urutan manasik yang dipilih oleh jemaah haji, Rasulullah saw. menginstruksikan jemaah haji untuk menginap di Mina pada malam-malam Hari Tasyriq, kecuali mereka yang karena kesibukannya tidak dapat menginap.
Rasulullah mengizinkan paman beliau, Abbas ibn Abdil-Muttalib, bermalam di Makkah untuk mengelola siqayah (air Zamzam untuk jemaah haji). Demikian pula para gembala yang harus menjaga ternak mereka di malam hari diberi izin oleh Rasul untuk tidak menginap di Mina.
Pada tanggal 11 dan 12 Zulhijah, sesudah masuk waktu zuhur, Rasulullah saw. dan para jemaah haji melontar secara berturut-turut Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan akhirnya Jumrah Aqabah, masing-masing tujuh lontaran. Beliau berdoa sesudah melontar Jumrah Ula dan Jumrah Wustha, tetapi segera pergi setelah melontar Jumrah Aqabah. Rasulullah memberikan kelonggaran bagi yang tidak sempat melontar pada siang hari untuk melakukannya di malam hari. Juga bagi orang yang sakit, lanjut usia, lemah, atau wanita hamil, pelontaran boleh diwakilkan kepada orang lain.
Di masa jahiliyah kaum musyrikin Quraisy menggunakan waktu luang di Mina untuk saling membanggakan silsilah keturunan dan kehebatan nenek moyang masing-masing. Rasulullah saw. melarang kebiasaan takabur ini dan menggantinya dengan zikir kepada Allah semata, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 200: Fa idza qadhaitum manasikakum fa dzkuru l-Laha ka dzikrikum aba'akum aw asyadda dzikra (Maka ketika kamu telah menunaikan manasikmu, berzikirlah kepada Allah seperti menzikiri bapak-bapakmu, bahkan harus lebih hebat zikirnya).
Rasulullah saw. juga menerapkan kebolehan dari Allah bagi jemaah haji untuk memilih dua hari atau tiga hari dalam melontar tiga jumrah, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 203: Fa man ta`ajjala fi yaumaini fa la itsma `alayhi wa man ta'akhkhara fa la itsma `alayhi, li manittaqa (Barangsiapa yang bergegas dalam dua hari maka tiada dosa baginya dan barangsiapa yang belakangan juga tiada dosa baginya, yang penting mereka takwa).
Jadi pada tanggal 12 Zulhijah sore hari jemaah haji boleh melakukan nafar awwal (pulang duluan) meninggalkan Mina pulang ke Makkah. Mereka yang ingin nafar awwal harus sudah berada di luar Mina sebelum magrib. Jika saat maghrib masih di Mina, mereka harus mengambil nafar tsani (pulang rombongan kedua), yaitu harus bermalam di Mina dan melontar lagi tiga jumrah tanggal 13 Zulhijah, baru pulang ke Makkah. Sebagian sahabat memilih nafar awwal dan sebagian lagi memilih nafar tsani. Adapun Rasulullah saw. melakukan nafar tsani, pulang ke Makkah tanggal 13 Zulhijah.
Pada malam 14 Zulhijah, Rasulullah saw. menyuruh istri beliau, Aisyah, yang selesai masa haidnya untuk menunaikan umrah. "Inilah pengganti umrahmu yang gagal," sabda beliau. Aisyah kembali berihram dari Tan`im dengan ditemani adiknya, Abdurrahman ibn Abi Bakar, lalu mereka berdua melakukan tawaf dan sa`i sehingga ber-tahallul di Marwah.
Pengalaman Aisyah yang melakukan Haji Ifrad (haji dulu, baru umrah) dijadikan dasar oleh para ulama di kemudian hari untuk membolehkan Haji Ifrad bagi yang bukan penduduk Makkah dan tidak membawa hadyu. Juga pengalaman Abdurrahman ibn Abi Bakar yang berumrah lagi dijadikan dasar untuk membolehkan umrah sunah di musim haji dengan berihram dari Tan`im. Akan tetapi, ada juga para ulama yang berpendapat bahwa jemaah yang tidak membawa hadyu harus melakukan Haji Tamattu` sesuai perintah Rasul (Aisyah melakukan Ifrad lantaran haid) serta umrah sunah di musim haji tidak dicontohkan Rasul dan para sahabat (umrahnya Abdurrahman lantaran menemani kakaknya). Wallahualam.
Sesudah salat subuh hari Rabu 14 Zulhijah (11 Maret), Rasulullah saw. dengan istri-istri beliau, kecuali Safiyah yang mengalami haid dua hari sebelumnya melakukan tawaf wada (tawaf perpisahan), lalu mereka kembali ke Madinah. Rasulullah tidak dapat berada lama-lama di Makkah sebab pekerjaan beliau selaku Kepala Negara harus segera beliau rampungkan. Tiga bulan sesudah itu, pada hari Senin tanggal 12 Rabiulawal 11 Hijriah (8 Juni 632), Rasulullah saw. berpulang ke Rahmatullah. Sesungguhnya kita milik Allah dan sungguh kepada-Nya kita akan kembali.
Demikianlah kisah ibadah haji dari Nabi Ibrahim a.s. sampai Nabi Muhammad saw. Marilah kita menunaikan ibadah haji yang merupakan salah satu Rukun Islam. Di samping untuk melaksanakan perintah Allah, ibadah haji juga sangat banyak manfaatnya bagi kita, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Hajj 28: li yasyhadu manafi`a lahum (agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka). Rasa nikmat menunaikan ibadah haji sungguh luar biasa dan tidak dapat diceritakan, melainkan hanya dapat dirasakan sendiri. Oleh Drs. H. Irfan Anshory
Sumber di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.