Dalam kehidupan sehari-hari, sebagai kaum muslimin, kita sering dihadapkan pada berbagai macam masalah yang berkaitan dengan bagaimana melaksanakan ajaran Islam secara baik dan benar. Masalah-masalah yang sering ditanyakan adalah masalah-masalah tentang fiqih, karena fiqih menjelaskan hampir seluruh masalah dalam keseharian hidup kaum muslimin.
Fiqih bertugas untuk menjelaskan, merinci dan memperdalam masalah-masalah yang berkaitan dengan syariah. Syariah Islam sendiri meliputi seluruh amaliyah baik yang bersifat ubudiyah maupun muamalah. Perkara ubudiyah meliputi thaharah, shalat, zakat, puasa, dan haji. Sedangkan muamalah meliputi mulai dari (1) Ahkmul Ahwalisy Syakhshiyah yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan keluarga, hubungan suami isteri dan famili. (2) Ahkamul-Madniyah (hukum perdata) yakni yang berhubungan dengan mu’amalah antara individu, masyarakat dan kelompok, misalnya : jualbeli, sewa-menyewa, penggadaian, penanggung syirkah, utang piutang, memenuhi janji dan bertanggung jawab.
Syariah juga meliputi (3) Akhamul Jinayah (Hukum Pidana) yakni perkara yang berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan mukallaf dan sangsi pidananya. (4) Ahkamul Murafa’at (Hukum Acara) yakni perkara yang berhubungan dengan lembaga pengadilan, masalah saksi dan sumpah. (5) Ahkamul-Dusturiyah (Hukum Perundang-undangan) yaitu hukum yang berhubungan perundang-undangan dan hokum positif.
Syariah juga mencakup (6) Ahkamud-Dauliyah (Hukum Kenegaraan), yaitu hukum yang berhubungan dengan hubungan antara negara-negara Islam dengan negara-negara non-Islam, serta pergaulan antara non muslim di dalam negara di dalam negara Islam. (7) Ahkamul Iqtishadiyah Wal maliyah yaitu perkara tentang Hukum Ekonomi dan harta Benda.
Dari paparan singkat di atas, kita bisa menyimpulkan sedemikian banyaknya pokok bahasan syariah itu. Nah, fiqih lebih luas lagi, karena Fiqih merinci, menjelaskan dan memperdalam masalah-masalah yang berkaitan dengan syariah Islam. Fiqih juga menjelaskan perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan ulama dan perbedaan pendapat antar mahzab tentang satu masalah tertentu. Bahkan bukan hanya perbedaan antar mahzab, perbedaan dan perselisihan juga terjadi di di dalam satu mahzab.
Karena fiqih (ilmu fiqih) memberikan tuntunan praktis (serta perbedaan) bagaimana menjalankan Islam dalam kehidupan sehari-hari maka sangat penting bagi setiap muslim untuk mempelajari Fiqih. Namun yang menjadi soal adalah perlunya waktu yang sangat banyak dan methode belajar yang tepat untuk mempelajari ilmu fiqih.
Karena itu untuk kepentingan praktis, maka sering kaum muslimin meminta pendapat seorang ‘alim untuk memilih satu diantara sekian banyak pendapat yang berselisih dalam satu pokok bahasan atau satu masalah tertentu. Di sini tugas seorang ‘alim (ulama) adalah bukan hanya menjelaskan ragam perbedaan dan perselisihan pendapat tetapi yang terpenting adalah memberikan pendapat yang menurutnya terbaik dan paling sesuai dengan kaidah-kaidah syariah yang benar.
Mengapa terjadi perbedaan pendapat dalam fiqih ? Perbedaan pendapat dalam fiqih terjadi karena beberapa sebab sebagai berikut.
1. Perbedaan Qira’at
Dalam cabang ilmu al-Quran kita akan temukan ada beberapa bacaan atau qiro’at yang berbeda-beda yang dikenal dengan istilah qiro’ah sab’ah. Karena perbedaan qiro’at inilah nanti bisa menyebabkan perbedaan dalam kesimpulan hukum. Contoh fiqih dalam masalah ini adalah firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَين
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki...” (QS. Al-Maidah : 6)
Ulama ahli qiro’ah seperti Imam Nafi’, Ibnu Amir dan al-Kisa’i membaca lafadz (وَأَرْجُلَكُمْ) dengan huruf lam di fathah. Sementara imam Ibnu Katsir, Abu Umar dan Hamzah membaca lafadz (وَأَرْجُلِكُمْ) dengan huruf lam dikasroh.
Bagi ulama yang membaca lafadz tersebut dengan huruf lam difathah maka kaki dalam bab wudhu itu harus dibasuh. Adapun ulama yang membaca lafadz tersebut dengan lam dikasroh maka kaki itu cukup dengan diusap saja dan tidak perlu dibasuh.
2. Belum Sampainya Hadits
Bisa jadi karena banyaknya riwayat hadits dan belum ada pembukuan hadits di zaman itu menyebabkan kemungkinan terjadinya ada salah satu hadits yang belum sampai kepada ulama satu dan ulama lain sudah mengetahui adanya riwayat hadits tersebut. Sehingga hukumnya pun nanti bisa berbeda-beda.
Sebagai contoh adalah masalah status hukum puasanya orang yang junub karena bangun kesiangan di bulan ramadhan. Dan ini terjadi pada masa sahabat. Abu Hurairah berpendapat bahwa puasanya orang yang junub karena bangun kesiangan di bulan ramadhan itu tidak sah.
مَنْ أَصْبَحَ جُنُباً فَلاَ صَوْمَ لَهُ
Dari Abu Hurairah dia berkata : “orang yang masuk waktu shubuh dalam keadaan junub, maka puasanya tidak sah”. (HR. Bukhari)
Beliau berpandangan seperti itu sebab belum sampainya riwayat Aisyah kepada beliau. Sedangkan Aisyah berpendapat bahwa puasanya orang yang junub karena bangun kesiangan di bulan ramadhan itu tetap sah. Hal ini berdasarkan hadits yang beliau riwayatkan sendiri yaitu :
أَنَّ اَلنَّبِي صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
Dari Aisyah dan Ummi Salamah radhiyallahuanhuma bahwa Nabi SAW memasuki waktu shubuh dalam keadaan junub karena jima’, kemudian beliau mandi dan berpuasa. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Perbedaan Menilai Status Hadits
Penilaian sebuah hadits itu bukan berasal dari Nabi Muhammad SAW. Sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengatakan ini hadits shahih, ini hadits hasan dan ini hadits dha’if. Penilaian hadits itu muncul berdasarkan ijtihad masing-masing para ulama. Bisa jadi ulama satu mengatakan haditsnya dho’if sementara ulama lainnya mengatakan hadits tersebut shahih. Nah, karena penilaian status hadits yang berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam kesimpulan hukumnya.
Contoh dalam kasus ini adalah masalah hukum membaca doa qunut dalam shalat shubuh. Madzhab Hanafi dan Madzhab Hanbali berpandangan bahwa Hadits tentang qunut shubuh itu statusnya dhoif, sehingga kesimpulannya qunut shubuh itu tidak disyariatkan bahkan hukumnya bisa jadi bid’ah. Sementara madzhab Maliki dan Madzhab Syafi’iy berpandangan bahwa hadits qunut shubuh itu haditsnya shohih.
Nah, perbedaan dalam menilai status hadits ini menyebabkan adanya perbedaan hukum doa qunut dalam shalat shubuh. Hadits yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas.
مَا زَال رَسُول اللَّهِ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Rasulullah SAW tetap melakukan qunut pada shalat fajr (shubuh) hingga beliau meninggal dunia. (HR. Ahmad).
عَنْ أنَسٍ أَنَّ النَّبِي قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ ثُمَّ تَرَكَهَ فَأَمَّا فِي الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتىَّ فَارَقَ الدُّنْيَا
Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW melakukan doa qunut selama sebulan mendoakan keburukan untuk mereka, kemudian meninggalkannya. Sedangkan pada shalat shubuh, beliau tetap melakukan doa qunut hingga meninggal dunia. (HR. Al-Baihaqi)
Hadits ini dishahihkan oleh ulama Syafi’iyah dan ulama hadits lainnya. Sebagaimana yang dijelaskan imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab bahwa Derajat hadits ini dinyatakan shahih menurut beberapa ulama hadits, di antaranya Al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Balkhi. Mereka mengatakan bahwa sanad ini shahih dan para rawinya Tsiqah. Al-Hakim dalam kitab Al-Arbainnya berkata bahwa hadits ini shahih. Diriwayatkan juga oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih. Sementara ulama yang lainnya menilai hadits tersebut termasuk hadits dhaif.
Sebagai catatan bahwa penilaian hadits ini baru sebatas sanad hadits, sementara dari segi matannya (isinya) menurut sirah ini berkaitan dengan qunut nazilah. Sehingga ada pendapat yang mengatakan bahwa qunut dilakukan hanya ketika ada peristiwa besar yang melanda sehingga dilakukan qunut nazilah (kesedihan).
4. Perbedaan Memahami Nash
Semua ulama pasti sama-sama pakai dalil al-Quran dan al-Hadits. Namun bisa jadi dalam memahami nash para ulama berbeda beda. Sehingga akan muncul kesimpulan hukum yang berbeda beda. Contohnya adalah masalah batal atau tidak batalnya wudhu seseorang yang bersentuhan dengan wanita ajnabi. Allah SWT berfirman :
أَولاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا
“ atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik”. (QS. An-Nisa : 43)
Ulama Hanafiyah memahami lafadz (أَولاَمَسْتُمُ النِّسَاء) dengan arti jima’. Maka apabila seseorang dalam keadaan punya wudhu dan menyentuh wanita ajnabi maka sentuhan itu tidak membatalkan wudhunya. Sebab yang membatalkan wudhu adalah apabila sampai melakukan jima’ atau hubungan badan.
Sementara ulama Syafiiyah memahami lafadz (أَولاَمَسْتُمُ النِّسَاء) dengan arti menyentuh. Sehingga hanya dengan bersentuhan kulit saja dengan wanita ajnabi secara langsung maka wudhunya dianggap batal.
5. Lafadzh Bermakna Banyak
Sebagaimana didalam al-Quran terdapat ayat yang berbunyi :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“ wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. QS. Al-Baqarah: 228).
Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa makna dari lafadz Quru’ adalah suci. Sementara ulama Hanafiyah mengatakan bahwa makna lafadz Quru’ adalah haid.
6. Kontradiksi Dalil
Dalam dunia ilmu Hadits akan kita temukan begitu banyak riwayat hadits yang kita terima. Dari sekian banyaknya riwayat hadits tersebut ada beberapa hadits yang secara dzhohir kelihatan saling bertentangan. Hal ini bisa menyebabkan para ulama berbeda pendapat.
Sebagai contoh adalah masalah apakah wudhu seseorang itu batal ketika menyentuh kemaluan. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ulama Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa menyentuh kemaluan secara langsung tanpa penghalang itu membatalkan wudhu. Sementara ulama Hanafiyah mengatakan tidak batal.
Hal ini karena adanya dua buah hadits yang saling bertentangan. Dua hadits tersebut adalah sebagai berikut :
عن طلق بن علي رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن مس الذكر في الصلاة «الرجل يمس ذكره، أعليه وضوء؟ فقال صلى الله عليه وسلم: إنما هو بضعة منك، أو مضغة منك»
Hadits Thalq bin ali dari ayahnya bahwa : Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang menyentuh kemaluannya dalam shalat , apakah dia harus wudhu? maka nabi menjawab : Itu hanyalah bagian dari dirimu. (HR. Tirmidzi,Nasai,Abu Dawud, Ibnu Majah)
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأ
“Siapa yang menyentuh kemaluannya maka harus berwudhu” (HR. Ahmad dan At-Tirmizy)
Bagaimana menyikapi terjadinya perbedaan fiqih ?
Sikap terbaik dalam menghadapi perselisihan dalam masalah fiqih adalah sebagaimana ayat berikut:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59)
Ini adalah prinsip agung yang mesti diikuti oleh setiap muslim, yaitu mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa maksudnya? Secara tekstual ayat ini mengajak kaum muslimin untuk mengembalikan setiap tanazu’ (perselisihan) kepada AL Quran dan Sunnah, karena keduanya adalah dua perkara yang apabila dipegang teguh, ummat tidak akan tersesat selamanya (lan tadhillu ‘abada).
Mengomentari kalimat “in kuntum tu’minûna bi Allâh wa al-yawmi al-âkhir.”, Tafsir as-Sa’di berkata, “Hal itu menunjukkan bahwa orang yang tidak mengembalikan masalah yang diperselisishkan kepada keduanya (al-Quran dan as-Sunnah) pada hakikatnya bukanlah seorang Mukmin, namun beriman kepada thâghût, sebagaimana disampaikan dalam ayat selanjutnya yaitu An Nisa 4:60.
Namun disinilah letak permasalahannya, karena saat suatu masalah dikembalikan kepada Al Quran dan Hadits, ulama sendiri sering berbeda pendapat sehingga muncul perbedaan-perbedaan juga muncul mahzab-mahzab. Ini sudah kita bahas pada bagian awal tulisan ini.
Lantas bagaimana menyikapi perbedaan pendapat tersebut ? Nampaknya kita perlu memperhatikan nasihat dan contoh baik dari para ulama terdahulu dalam menyikapi perselisihan ini.
Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats-Tsauri, sebagai berikut:
سفيان الثوري يقول إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau melarangnya.” (Imam Abu Nu’aim Al-Asbahany, Hilyatul Auliya’, 3/133)
Berkata Imam an Nawawi Rahimahullah:
وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ
“Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/131. Mawqi’ Ruh Al-Islam)
Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona ijtihadiyah, maka hendaknya menerima dengan lapang dada dan tidak saling mengingkari.
Imam As-Suyuthi Rahimahullah berkata dalam kitab Al-Asybah wa An Nazhair:
الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Sesungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As-Suyuthi, Al-Asybah wa An Nazhair, 1/285)
Berkata Asy Syaikh Dr. Umar bin Abdullah Kamil:
فالاجتهاد إذا كان وفقًا لأصول الاجتهاد ومناهج الاستنباط في علم أصول الفقه يجب عدم الإنكار عليه ولا ينكر مجتهد على مجتهد آخر ولا ينكر مقلد على مقلد آخر وإلا أدى ذلك إلى فتنة
“Ijtihad itu, jika dilakukan sesuai dengan dasar-dasar ijtihad dan manhaj istimbat (konsep penarikan kesimpulan hukum) dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar fiqih), maka wajib menghilangkan sikap pengingkaran atas hal ini. Tidak boleh seorang mujtahid mengingkari mujtahid lainnya, dan tidak boleh seorang muqallid (pengekor) mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian maka akan terjadi fitnah.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al-Hiwar wal Qawaid Al-Ikhtilaf, hal. 43. Mauqi’ Al-Islam)
Hasan Al-Banna Rahimahullah menjelaskan -setelah Beliau menerangkan sebab-sebab perselisihan fiqih di antara umat Islam:
كل هذه أسباب جعلتنا نعتقد أن الإجماع على أمر واحد في فروع الدين مطلب مستحيل بل هو يتنافى مع طبيعة الدين وإنما يريد الله لهذا الدين أن يبقى ويخلد ويساير العصور ويماشي الأزمان وهو لهذا سهل مرن هين لين لا جمود فيه ولا تشديد
“Bahwa sebab-sebab itu membuat kita berkeyakinan bahwa upaya penyatuan dalam masalah furu’ adalah pekerjaan mustahil, bahkan bertentangan dengan tabiat agama ini. Allah menghendaki agar agama ini tetap terjaga dan abadi, dan dapat mengiringi kemajuan zaman. Untuk itu agama ini harus muncul dalam warna yang mudah, fleksibel dan lentur, tidak jumud atau keras.” (Majmu’ah Ar Rasa-il, hal. 26)
Dalam Risalah Al-Khamis beliau juga berkata: “Bahwa perselisihan dalam masalah furu’ (cabang) merupakan masalah yang mesti terjadi. Hal itu karena dasar-dasar Islam dibangun dari ayat-ayat, hadits-hadits dan amal, yang kadang dipahami beragam oleh banyak pikiran. Karena itu, maka perbedaan pendapat pun tetap terjadi pada masa sahabat dulu. Kini masih terjadi dan akan terus terjadi sampai hari kiamat. Alangkah bijaknya Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al-Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik), “Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya.”
Bukanlah aib dan cela manakala ada berbeda pendapat. Tetapi yang aib dan cela adalah sikap fanatik (ta’ashub) dengan satu pendapat saja dan membatasi pemikiran manusia. Kita perlu selalu terbuka dalam menyikap perbedaan pendapat, karena toh, pendapat-pendapat itu semua dikeluarkan oleh para ulama yang sangat faqih dan menguasai ilmu-ilmu syariah. Terlebih jika perbedaan yang dibahas adalah masalah-masalah furu’iyah yang tidak berdampak kepada status aqidah dan kemusliman seseorang.
Yang menjadi pokok masalah kemudian adalah bukan pada perselisihan pendapatnya karena seseorang bisa saja kemudian berpegang kepada satu pendapat untuk menjadi pedoman bagi dirinya dalam menjalankan Islam secara murni dan konsekuen. Namun persoalan kemudian adalah bagaimana apabila perbedaan pendapat tersebut berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan kepentingan bersama, sehingga memungkinkan terjadinya konflik kepentingan dan konflikhorizontal antar umat Islam. Dalam perkara ini siapa yang harus ditaati ?
Jawaban atas pertanyaan ini sebenarnya berkaitan dnegan nash yang terdapat dalam awal ayat yang membicarakan ketaatan kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.”
Pertanyaannya adalah siapa yang dimaksud dengan ulil amri yang harus ditaati dalam ayat tersebut ? Mari kita lihat ragam pendapat yang dikemukakan oleh berbagai tafsir tentang hal ini.
Tafsir at-Thabari, sebuah kitab tafsir klasik yang ditulis oleh ulama besar Abu Jafar Muhammad bin Jarir at-Thabari dan banyak dirujuk oleh para mufassir berikutnya, menyebutkan bahwa para ahli ta’wil berbeda pandangan mengenai arti ulil amri.
Satu kelompok ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah umara. Sementara berkata sebagian ulama lain, bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan akan fiqh). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa sahabat-sahabat Rasulullah-lah yang dimaksud dengan ulil amri. Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar. (Lihat lebih jauh dalam Tafsir at-Thabari)
Imam al-Mawardi dalam kitab tafsirnya menyebutkan ada empat pendapat dalam mengartikan kalimat “ulul amri” pada QS An-Nisa:59. Pertama, ulil amri bermakna umara (para pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin masalah keduniaan). Ini merupakan pendapat Ibn Abbas, as-Sady, dan Abu Hurairah serta Ibn Zaid. Imam al-Mawardi memberi catatan bahwa walaupun mereka mengartikannya dengan umara namun mereka berbeda pendapat dalam sabab nuzul turunnya ayat ini.
Ibn Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Huzafah bin Qays as-Samhi ketika Rasul mengangkatnya menjadi pemimpin dalam sariyah (perang yang tidak diikuti oleh Rasulullah saw.). Sedangkan As-Sady berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Amr bin Yasir dan Khalid bin Walid ketika keduanya diangkat oleh Rasul sebagai pemimpin dalam sariyah.
Kedua, ulil amri itu maknanya adalah ulama dan fuqaha. Ini menurut pendapat Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Atha, dan Abi al-Aliyah. Ketiga, Pendapat dari Mujahid yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw. Pendapat keempat, yang berasal dari Ikrimah, lebih menyempitkan makna ulil amri hanya kepada dua sahabat saja, yaitu Abu Bakar dan Umar. (Tafsir al-Mawardi, jilid 1, h. 499-500)
Ahmad Mustafa al-Maraghi menyebutkan bahwa ulil amri itu adalah umara, ahli hikmah, ulama, pemimpin pasukan dan seluruh pemimpin lainnya dan zuama yang manusia merujuk kepada mereka dalam hal kebutuhan dan kemaslahatan umum. Dalam halaman selanjutnya al-Maraghi juga menyebutkan contoh yang dimaksud dengan ulil amri ialah ahlul halli wal aqdi (legislatif ?) yang dipercaya oleh umat, seperti ulama, pemimpin militer dan pemimpin dalam kemaslahatan umum seperti pedagang, petani, buruh, wartawan dan sebagainya. (Tafsir al-Maraghi, juz 5, h. 72-73)
Imam Fakhur Razi mencatat ada empat pendapat tentang makna ulil amri. Pertama, makna ulil amri itu adalah khulafa ar-rasyidin. Kedua, pendapat lain mengatakan bahwa ulil amri bermakna pemimpin perang (sariyah). Ketiga, Ulil amri itu adalah ulama yang memberikan fatwa dalam hukum syara’ dan mengajarkan manusia tentang agama (islam). Keempat, dinukil dari kelompok rawafidh bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah imam-imam yang mashum. (Tafsir al-fakhr ar-Razi, juz 10, h. 144)
Senada dengan sejumlah kitab tafsir di atas, al-Alusi, pengarang tafsir Ruh al-Maani, mendata adanya beberapa pandangan tentang makna ulil amri. Ada yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah pemimpin kaum muslimin (umara al-muslimin) pada masa Rasul dan sesudahnya. Mereka itu adalah para khalifah, sultan, qadhi (hakim) dan yang lainnya. Ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah pemimpin sariyah. Juga ada yang berpendapat bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi (cendekiawan?). (Tafsir Ruh al-Maani, juz 5, h 65)
Ibn Katsir, setelah mengutip sejumlah hadis mengenai makna ulil amri, menyimpulkan bahwa ulil amri itu adalah, menurut zhahirnya, ulama. Sedangkan secara umum ulil amri itu adalah umara dan ulama” (Tafsir al-Quran al-Azhim, juz 1, h. 518)
Dr. Wahbah az-Zuhaili, ulama masa kini yang semasa dengan Dr. Yusuf Qardhawi, dalam kitab tafsirnya, at-Tafsir al-Munir, menyebutkan bahwa sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa makna ulil amri itu adalah ahli hikmah atau pemimpin perang. Sebagian lagi berpendapat bahwa ulil amri itu adalah ulama yang menjelaskan kepada manusia tentang hukum-hukum syara’. Sedangkan syiah, masih menurut Wahbah Az-Zuhaili, berpendapat bahwa ulil amri itu adalah imam-imam yang mashum. (at-Tafsir al-Munir, juz 5, h. 126). Dalam kitab ahkam al-Quran, Ibn al-arabi berkata: “yang benar dalam pandangan saya adalah ulil amri itu umara dan ulama semuanya”. (Ahkam al-Quran, juz 1, h. 452)
Mari kita bahas makna-makna Ulil Amri sebagaimana disebutkan oleh mufassir diatas. Secara umum, sebenarnya pengertian Ulil Amri bisa disederhanakan hanya dalam dua pengertian yaitu Ulil Amri bi makna umara dan bi makna Ulama. Karena pengertian pemimpin perang atau ahlul aqdi wal halli sesunguhnya juga adalah umara atau pemimpin ummat dalam satu perkara khusus yaitu perang atau pengadilan.
Adapun pengertian dalam Tafsir al-Maraghi, yang menyebutkan contoh-contoh ulil amri itu tidak hanya berkisar pada ahlul halli wal aqdi, ulama, pemimpin perang saja; tetapi juga memasukkan profesi wartawan, buruh, pedagang, petani ke dalam contoh ulil amri, ini tidak bisa diterima karena itu semua adalah profesi, hal mana tidak ada perkara ketaatan padanya.
Sekarang mari kita bahas dua makna tersebut, antara umara dan ulama. Apabila suatu masalah dikembalikan kepada Ulil Amri bi makna Ulama, maka sepanjang ini berkaitan dengan perilaku individu (fardhiyah), maka perbedaan pendapat yang muncul karena perbedaan pendapat ulama akan mungkin terjadi dan ini tidak akan terelakkan.
Namun jika masalahnya berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, atau masalah yang melibatkan banyak orang (jam’iyah), maka keputusan ulama akan menjadi masalah karena keputusannya akan bisa bertentangan dengan keputusan ulama lainnya. Dan jika ini terjadi bisa terjadi konflik kepentingan dan konflik antar kelompok. Ini harus dihindari.
Karenanya, apabila masalahnya berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, atau masalah yang melibatkan banyak orang (jam’iyah), maka keputusannya harus dikembalikan kepada keputusan Ulil Amri bi makna Umara (pemimpin). Sebab pemimpinlah yang mengetahui dampak dari keputusan tersebut, Umaralah yang mengetahui tingkat maslahat dan resiko mafsadat suatu keputusan.
Justru untuk hal semacam ini, ulama harus mengikut apa yang menjadi keputusan umara, bukan sebaliknya atau bahkan menentangnya. Karenanya seluruh keputusan tentang ibadah dalam pengertian jam’iyah seperti pelaksanaan ibadah secara berjamaah bisa dipastikan harus mendapat izin dan restu dari Umara. Selain untuk menghindari adanya perselisihan fisik, juga secara aqidah, pelaksanaan ibadah jam’iyah adalah wujud dari tauhidul ummah.
Namun ketaatan kepada Umara disini juga sebenarnya adalah ketaatan bersyarat dan bukan ketaatan mutlak. Apabila diperhatikan tidak disebutkannya kata “taat” pada ulil amri adalah untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada Ulil Amri tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya atau keputusannya adalah dalam rangka maksiat kepada Allah dan RasulNya,, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada Ulil Amri. (Tafsir Al Misbah)
Menurut Tafsir as-Sa‘di, bisa jadi inilah rahasia dihilangkannya frasa athî’u pada perintah untuk menaati ulil amri dan disebutkannya kata tersebut pada perintah untuk menaati Rasul. Artinya, Rasulullah saw. tidak memerintahkan kecuali ketaatan kepada Allah. Karena itu, siapa saja yang menaati Beliau berarti sama dengan menaati Allah Swt. Adapun kepada ulil amri, perintah taat itu disyaratkan tidak dalam perkara maksiat. (Tafsir As Sa’di)
Namun perlu digaris bawahi disini, perlu diingat kembali bahwa prinsip ketaatan kepada Ulil Amri sekalipun bersyarat, ummat tidak diperkenankan untuk menjadikan hawa nafsu sebagai dasar bersikap. Maksudnya begini, jika ummat suka maka ia akan mengikuti ulil amri, jika tidak suka maka ia akan meninggalkan ulil amri. Tentu tidak demikian, sebaliknya hadits Nabi menegaskan bahwa dasar ketaatan bukan pada suka atau tidak suka, tetapi apabila sudah diputuskan maka ummat hendaknya taat penuh kepadanya.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗوَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ ٣٦
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.” Qs Al Ahzab 33:36
Alasan lainnya, banyak hadis Nabi saw. yang mewajibkan kaum Muslim menaati khalifah atau pemimpin termasuk dalam perkaran yang tidak disukai datau dibenci. Di antaranya adalah sabda Rasulullah saw.:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ
“Mendengar dan menaati seorang (pemimpin) yang Muslim adalah wajib, baik dalam perkara yang disenangi atau dibenci, selama tidak diperintahkan untuk maksiat.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ahmad dari Ibnu Umar ra).
Hadits berikut juga mengetengahkan ketaatan hirarkis yaitu kepada Allah Swt., Rasulullah saw, dan umara.
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعِ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، مَنْ أَطَاعَ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى اْلأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِي
“Siapa saja yang menaatiku, sesungguhnya dia telah menaati Allah. Siapa saja yang bermaksiat kepadaku, sesungguhnya dia telah bermaksiat kepada Allah. Siapa saja yang menaati pemimpin, sesungguhnya dia telah menaatiku. Siapa saja yang bermaksiat kepada pemimpin, sesungguhnya dia telah bermaksiat kepadaku”. (HR Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah).
Dari hadits tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, justru akan terlaksana apabila seorang muslim menaati Amir (pemimpin). Dan sebaliknya jika ummat menentang Amir nya maka, maka mereka sesungguhnya menentang Allah dan Rasul-Nya.
Selain fiqih, masih banyak Ilmu-ilmu lain yang harus dipelajari
Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Selain ilmu fiqih yang luar biasa njelimet seperti di bahas di atas, banyak ilmu-ilmu syar’I lain yang wajib dipelajari oleh kaum muslimin, seperti ilmu tauhid (aqidah), ilmu-ilmu al quran (ulumul qur’an), ilmu-ilmu hadits (ulumul hadits), ilmu shirah khususnya sirah nabawiyah, ilmu qiyadah wad daulah, ilmu akhlaq dan juga ilmu ushul fiqih.
Dalam masalah fiqih, seperti yang dijelaskan di atas, cara paling mudah adalah dengan mengembalikan masalah kepada ulama dan meminta pendapat terbaik dari mereka, ini jika berkaitan dengan masalah fardhiyah. Namun jika masalahnya berkaitan dengan kepentingan orang banyak, maka keputusan umara harus lebih didahulukan. Toh, umara sendiri dipilih secara ketat dan dianggap bisa menyelesaian masalah-masalah berat yang berkaitan dengan keummatan.
Kita juga harus mempelajari ilmu-ilmu lain selain dari ilmu fiqih tersebut, seperti aqidah, akhlaq, sirah nabawiyah, juga pelajaran tentang qiyadah wad daulah. Terlebih ilmu aqidah dan tauhid, maka kajian tentangnya harus lebih diutamakan dan didahulukan karena aqidah adalah dasar amal. Dan apabila salah dalam mengambil dasar sebuah amal, maka amal tersebut akan tertolak dan terputus.
Seperti misalkan, sering kita mendengar bahwa kepemimpinan itu adalah perkara cabang (al-qiyadat al-furu’iyah). Secara keilmuan, perkara kepemimpinan memang berasal dari pokok bahasan syariah, dengan demikian qiyadah adalah masalah furu’iyah.
Atau jika ditarik dari kajian aqidah sebagai pokok bahasan, maka bahasan qiyadah adalah furu’nya atau cabangnya, karena kepemimpinan adalah realisasi dari keyakinan Allah sebagai malikal mulki (Raja Diraja), sehingga pemimpin disebut sebagai wakil Allah di bumi (khalifatullah fil aradhi).
Namun banyak ayat dan hadits yang menegaskan bahwa salah dalam memilih pemimpin akan berdampak serius di akhirat. Mereka yang salah mengangkat kepemimpinan akan mendapat azab di akhirat.
وَبَرَزُوا لِلَّهِ جَمِيعًا فَقَالَ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا مِنْ عَذَابِ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ قَالُوا لَوْ هَدَانَا اللَّهُ لَهَدَيْنَاكُمْ سَوَاءٌ عَلَيْنَا أَجَزِعْنَا أَمْ صَبَرْنَا مَا لَنَا مِنْ مَحِيصٍ (٢١)
“Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: "Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja? Mereka menjawab: "Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri".” Qs. 14:21
إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الأسْبَابُ (١٦٦)وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّءُوا مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ (١٦٧)
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan ke luar dari api neraka.” Qs. 2/166-167
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولا (٦٦)وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلا
(٦٧)رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا (٦٨)
“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami ta`at kepada Allah dan ta`at (pula) kepada Rasul" Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". Qs. 33/66-68
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa qiyadah (kepemimpinan Islam) menjadi syarat sahnya iman. Keimanan bisa batal dan pelakunya dihukumi neraka apabila salah dalam memilih pemimpin.
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ (٤٦)وَإِذْ يَتَحَاجُّونَ فِي النَّارِ فَيَقُولُ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا نَصِيبًا مِنَ النَّارِ (٤٧)قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُلٌّ فِيهَا إِنَّ اللَّهَ قَدْ حَكَمَ بَيْنَ الْعِبَادِ (٤٨)وَقَالَ الَّذِينَ فِي النَّارِ لِخَزَنَةِ جَهَنَّمَ ادْعُوا رَبَّكُمْ يُخَفِّفْ عَنَّا يَوْمًا مِنَ الْعَذَابِ (٤٩)قَالُوا أَوَ لَمْ تَكُ تَأْتِيكُمْ رُسُلُكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا بَلَى قَالُوا فَادْعُوا وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلا فِي ضَلالٍ (٥٠)
“46. kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang[1324], dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): "Masukkanlah Fir'aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras".
47. dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, Maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: "Sesungguhnya Kami adalah pengikut-pengikutmu, Maka dapatkah kamu menghindarkan dari Kami sebahagian azab api neraka?"
48. orang-orang yang menyombongkan diri menjawab: "Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka karena Sesungguhnya Allah telah menetapkan keputusan antara hamba-hamba-(Nya)".
49. dan orang-orang yang berada dalam neraka berkata kepada penjaga-penjaga neraka Jahannam: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu supaya Dia meringankan azab dari Kami barang sehari".
50. penjaga Jahannam berkata: "Dan Apakah belum datang kepada kamu rasul-rasulmu dengan membawa keterangan-keterangan?" mereka menjawab: "Benar, sudah datang". penjaga-penjaga Jahannam berkata: "Berdoalah kamu". dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka. “(Qs 40:46-50)
وَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَسَاءَلُونَ (٢٧)قَالُوا إِنَّكُمْ كُنْتُمْ تَأْتُونَنَا عَنِ الْيَمِينِ (٢٨)قَالُوا بَلْ لَمْ تَكُونُوا مُؤْمِنِينَ (٢٩)وَمَا كَانَ لَنَا عَلَيْكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بَلْ كُنْتُمْ قَوْمًا طَاغِينَ (٣٠)فَحَقَّ عَلَيْنَا قَوْلُ رَبِّنَا إِنَّا لَذَائِقُونَ (٣١)فَأَغْوَيْنَاكُمْ إِنَّا كُنَّا غَاوِينَ (٣٢)فَإِنَّهُمْ يَوْمَئِذٍ فِي الْعَذَابِ مُشْتَرِكُونَ (٣٣)إِنَّا كَذَلِكَ نَفْعَلُ بِالْمُجْرِمِينَ (٣٤)إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (٣٥)وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ (٣٦)
“27. sebahagian dan mereka menghadap kepada sebahagian yang lain berbantah-bantahan.
28. Pengikut-pengikut mereka berkata (kepada pemimpin-pemimpin mereka): "Sesungguhnya kamulah yang datang kepada Kami dan kanan[1276].
29. pemimpin-pemimpin mereka menjawab: "Sebenarnya kamulah yang tidak beriman".
30. dan sekali-kali Kami tidak berkuasa terhadapmu, bahkan kamulah kaum yang melampaui batas.
31. Maka pastilah putusan (azab) Tuhan kita menimpa atas kita; Sesungguhnya kita akan merasakan (azab itu).
32. Maka Kami telah menyesatkan kamu, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang sesat.
33. Maka Sesungguhnya mereka pada hari itu bersama-sama dalam azab.
34. Sesungguhnya Demikianlah Kami berbuat terhadap orang-orang yang berbuat jahat.
35. Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri,
36. dan mereka berkata: "Apakah Sesungguhnya Kami harus meninggalkan sembahan-sembahan Kami karena seorang penyair gila?" Qs 37;27-36)
[1276] Maksudnya: Para pemimpin itu mendatangi pengikut-pengikutnya dengan membawa tipu muslihat yang mengikat hati.
هَذَا فَوْجٌ مُقْتَحِمٌ مَعَكُمْ لا مَرْحَبًا بِهِمْ إِنَّهُمْ صَالُوا النَّارِ (٥٩)قَالُوا بَلْ أَنْتُمْ لا مَرْحَبًا بِكُمْ أَنْتُمْ قَدَّمْتُمُوهُ لَنَا فَبِئْسَ الْقَرَارُ (٦٠)قَالُوا رَبَّنَا مَنْ قَدَّمَ لَنَا هَذَا فَزِدْهُ عَذَابًا ضِعْفًا فِي النَّارِ (٦١)وَقَالُوا مَا لَنَا لا نَرَى رِجَالا كُنَّا نَعُدُّهُمْ مِنَ الأشْرَارِ (٦٢)أَتَّخَذْنَاهُمْ سِخْرِيًّا أَمْ زَاغَتْ عَنْهُمُ الأبْصَارُ (٦٣)إِنَّ ذَلِكَ لَحَقٌّ تَخَاصُمُ أَهْلِ النَّارِ (٦٤)
“59. (Dikatakan kepada mereka): "Ini adalah suatu rombongan (pengikut-pengikutmu) yang masuk berdesak-desak bersama kamu (ke neraka)". (Berkata pemimpin-pemimpin mereka yang durhaka): "Tiadalah Ucapan selamat datang kepada mereka karena Sesungguhnya mereka akan masuk neraka".
60. Pengikut-pengikut mereka menjawab: "Sebenarnya kamulah. tiada Ucapan selamat datang bagimu, karena kamulah yang menjerumuskan Kami ke dalam azab, Maka Amat buruklah Jahannam itu sebagai tempat menetap".
61. mereka berkata (lagi): "Ya Tuhan kami; barang siapa yang menjerumuskan Kami ke dalam azab ini Maka tambahkanlah azab kepadanya dengan berlipat ganda di dalam neraka".
62. dan (orang-orang durhaka) berkata: "Mengapa Kami tidak melihat orang-orang yang dahulu (di dunia) Kami anggap sebagai orang-orang yang jahat (hina).
63. Apakah Kami dahulu menjadikan mereka olok-olokan, ataukah karena mata Kami tidak melihat mereka?"
64. Sesungguhnya yang demikian itu pasti terjadi, (yaitu) pertengkaran penghuni neraka”. (Qs. 38:59-64)
فَوَقَاهُ اللَّهُ سَيِّئَاتِ مَا مَكَرُوا وَحَاقَ بِآلِ فِرْعَوْنَ سُوءُ الْعَذَابِ (٤٥)النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ (٤٦)وَإِذْ يَتَحَاجُّونَ فِي النَّارِ فَيَقُولُ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا نَصِيبًا مِنَ النَّارِ (٤٧)قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُلٌّ فِيهَا إِنَّ اللَّهَ قَدْ حَكَمَ بَيْنَ الْعِبَادِ (٤٨)وَقَالَ الَّذِينَ فِي النَّارِ لِخَزَنَةِ جَهَنَّمَ ادْعُوا رَبَّكُمْ يُخَفِّفْ عَنَّا يَوْمًا مِنَ الْعَذَابِ (٤٩)قَالُوا أَوَ لَمْ تَكُ تَأْتِيكُمْ رُسُلُكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا بَلَى قَالُوا فَادْعُوا وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلا فِي ضَلالٍ (٥٠)إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الأشْهَادُ (٥١)
45. Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir'aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang Amat buruk. 46. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): "Masukkanlah Fir'aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras". 47. Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, Maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: "Sesungguhnya Kami adalah pengikut-pengikutmu, Maka dapatkah kamu menghindarkan dari Kami sebahagian azab api neraka?" 48. Orang-orang yang menyombongkan diri menjawab: "Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka karena Sesungguhnya Allah telah menetapkan keputusan antara hamba-hamba-(Nya)". 49. Dan orang-orang yang berada dalam neraka berkata kepada penjaga-penjaga neraka Jahannam: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu supaya Dia meringankan azab dari Kami barang sehari". 50. Penjaga Jahannam berkata: "Dan Apakah belum datang kepada kamu rasul-rasulmu dengan membawa keterangan-keterangan?" mereka menjawab: "Benar, sudah datang". penjaga-penjaga Jahannam berkata: "Berdoalah kamu". dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka. 51. Sesungguhnya Kami menolong Rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat), (Qs 40:45-51)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.