An-Nidzam
Risalah Tarbawiyah / Tarbawiyah
An-Nidzam artinya adalah peraturan, tata tertib, sistem, atau tatanan. Dinul Islam disebut sebagai nidzam karena ia merupakan ajaran yang mengandung peraturan, pedoman, dan kaidah-kaidah yang tersusun dengan rapi dan sistematis. Guna lebih memahami maknanya, perhatikanlah ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengisyaratkan tentang an-nidzam ini.
Ayat-ayat yang mengisyaratkan tentang An-Nidzam
Pertama, Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 121 yang menyebutkan peristiwa yang terjadi sebelum Perang Uhud, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa allam mengatur dan menata pasukan untuk berperang.
وَإِذْ غَدَوْتَ مِنْ أَهْلِكَ تُبَوِّئُ الْمُؤْمِنِينَ مَقَاعِدَ لِلْقِتَالِ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“dan (ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang[1]. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Kedua, Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 102 – 103 yang meyebutkan tentang kaifiyat pelaksanaan shalat khauf.
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَىٰ لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ ۗ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ ۖ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“…dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat)[2]. Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu[3], dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu[4]. Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Ketiga, Al-Qur’an surah An-Nur ayat 62 yang menyebutkan tentang aturan meminta izin bagi seorang jundi kepada qiyadahnya.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَىٰ أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّىٰ يَسْتَأْذِنُوهُ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ۚ فَإِذَا اسْتَأْذَنُوكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ فَأْذَنْ لِمَنْ شِئْتَ مِنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka Itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Keempat, Al-Qur’an surah An-Naml ayat 17 yang menyebutkan tentang dihimpunnya jin, manusia dan burung sebagai tentara Nabi Sulaiman ‘alaihis salam,
وَحُشِرَ لِسُلَيْمَانَ جُنُودُهُ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَالطَّيْرِ فَهُمْ يُوزَعُونَ
“dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan).”
Lalu di ayat-ayat selanjutnya disebutkan bagaimana Nabi Sulaiman ‘alaihis salam memantau dan mengatur pasukannya sehingga mengetahui ketidakhadiran burung hud-hud.
Kelima, Al-Qur’an surah As-Shaff ayat 4 yang menyebutkan tentang barisan pasukan yang tersusun rapi.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”
Hadits-hadits tentang An-Nidzam
Pertama, hadits yang menyebutkan tentang penataan posisi rombongan saat singgah di tengah perjalanan. Abu Tsa’labah Al Khusyani berkata,
كَانَ النَّاسُ إِذَا نَزَلُوا مَنْزِلًا قَالَ عَمْرٌو كَانَ النَّاسُ إِذَا نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْزِلًا تَفَرَّقُوا فِي الشِّعَابِ وَالْأَوْدِيَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ تَفَرُّقَكُمْ فِي هَذِهِ الشِّعَابِ وَالْأَوْدِيَةِ إِنَّمَا ذَلِكُمْ مِنْ الشَّيْطَانِ فَلَمْ يَنْزِلْ بَعْدَ ذَلِكَ مَنْزِلًا إِلَّا انْضَمَّ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ حَتَّى يُقَالَ لَوْ بُسِطَ عَلَيْهِمْ ثَوْبٌ لَعَمَّهُمْ
“Dahulu orang-orang (sahabat-sahabat nabi) apabila singgah di suatu tempat—sedangkan (di jalur riwayat lain) ‘Amr menyebutkan dengan kalimat: ‘dahulu apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam singgah di suatu tempat’—mereka menyebar di jalan-jalan lembah dan bukit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Sesungguhnya menyebarnya kalian di jalan-jalan lembah dan bukit adalah berasal dari syetan.’ Kemudian beliau tidak singgah di suatu tempat melainkan sebagian mereka bergabung dengan sebagian yang lain hingga dikatakan bahwa apabila dihamparkan selembar kain niscaya dapat menampung mereka.” (HR. Abu Dawud)
Kedua, hadits yang menyebutkan tentang bendaharawan yang amanah sebagaimana diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْخَازِنُ الْمُسْلِمُ الأَمِينُ الَّذِى يُنْفِذُ – وَرُبَّمَا قَالَ يُعْطِى – مَا أُمِرَ بِهِ كَامِلاً مُوَفَّرًا طَيِّبٌ بِهِ نَفْسُهُ ، فَيَدْفَعُهُ إِلَى الَّذِى أُمِرَ لَهُ بِهِ ، أَحَدُ الْمُتَصَدِّقَيْنِ
“Bendahara muslim yang diberi amanah ketika memberi sesuai yang diperintahkan untuknya secara sempurna dan berniat baik, lalu ia menyerahkan harta tersebut pada orang yang ia ditunjuk menyerahkannya, maka keduanya (pemilik harta dan bendahara yang amanah tadi) termasuk dalam orang yang bersedekah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Ketiga, hadits yang menyebutkan tentang arahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Muadz bin Jabal dalam melaksanakan tugas dakwahnya.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ مُعَاذًا قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِي فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
Ibnu Abbas meriwatkan bahwa Muadz berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku dan bersabda, ‘Kamu akan menemui orang-orang Ahli Kitab, maka ajaklah mereka untuk menyaksikan bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka mentaatimu dalam hal ini maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka lima kali shalat di siang dan malam. Jika mereka mentaatimu dalam hal ini maka beritahukan mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka sedekah (zakat), yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka. Jika mereka mentaatimu dalam hal ini, hati-hatilah kalian terhadap harta berharga mereka. Dan takutlah kalian akan doa orang yang dizalimi, karena antara doa itu dan Allah tidak ada hijab.” (HR. Bukhari Muslim)
Keempat, hadits-hadits yang menyebutkan tentang aturan dalam shalat berjama’ah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ وَأَقِيمُوا الصَّفَّ فِي الصَّلاةِ فَإِنَّ إِقَامَةَ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلاةِ
Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda, “Imam itu dijadikan untuk diikuti, maka janganlah kalian berbeda dengannya. Jika ia ruku’ ruku’lah kalian, jika ia membaca, ‘sami’allahu liman hamidahu’, maka ucapkanlah, ‘rabbana lakal hamdu’, jika ia bersujud bersujudlah kalian, jika ia shalat sambil duduk shalatlah kalian semua sambil duduk. Luruskan shaf dalam shalat karena sesungguhnya meluruskan shaf adalah termasuk kebaikan dalam shalat.” (HR. Bukhari Muslim).
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاةِ.
Anas bin Malik berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskan shaf kalian karena meluruskan shaf termasuk kesempurnaan shalat.” (HR. Bukhari Muslim)
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي الصَّلاةِ وَيَقُولُ اسْتَوُوا وَلا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الأَحْلامِ وَالنُّهَى.ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Abu Mas’ud berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengusap pundak kami seraya bersabda, “Luruskanlah oleh kalian dan jangan kalian berselisih yang akan menyebabkan hati kalian akan berselisih. Hendaknya orang-orang yang dewasa dan cerdas dekat denganku (dalam shalat), kemudian orang-orang yang dekat dengan mereka, kemudian orang-orang yang dekat dengan mereka.” (HR. Muslim)
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِه
Dari Abu Mas’ud Al Anshari, dia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Hendaklah seseorang yang mengimami suatu kaum adalah yang paling bagus bacaan Al Qurannya, jika ternyata semua sama, maka pilihlah yang paling tahu tentang sunnah, jika sama juga, maka pilihlah yang lebih dahulu hijrah, jika sama juga, maka utamakan yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah seseorang yang mengimami orang lain di daerah kekuasaannya dan jangan pula dia duduk dalam rangka memuliakan dirinya dirumah orang lain, kecuali dengan izinnya.’” (HR. Muslim)
Kelima, hadits yang menyebutkan tentang ketentuan bagi rombongan safar.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وأبي هريرة أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
Abu Said dan Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika tiga orang keluar dalam bepergian hendaknya mereka memilih salah satu dari mereka sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud).
Keenam, hadits yang menyebutkan tentang kaifiyat shalat khauf.
عن عَبْدَاللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِي الله عَنْهمَا قَالَ غَزَوْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ نَجْدٍ فَوَازَيْنَا الْعَدُوَّ فَصَافَفْنَا لَهُمْ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي لَنَا فَقَامَتْ طَائِفَةٌ مَعَهُ تُصَلِّي وَأَقْبَلَتْ طَائِفَةٌ عَلَى الْعَدُوِّ وَرَكَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْ مَعَهُ وَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفُوا مَكَانَ الطَّائِفَةِ الَّتِي لَمْ تُصَلِّ فَجَاءُوا فَرَكَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهِمْ رَكْعَةً وَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ فَقَامَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ فَرَكَعَ لِنَفْسِهِ رَكْعَةً وَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ
Abdullah bin Umar ra. berkata, “Aku berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dekat Najed. Maka kami menghadap ke arah musuh. Kami pun berbaris untuk mereka dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk shalat dan sekelompok dari kami berdiri bersama mereka untuk shalat, sedangkan sekelompok lain menghadap musuh. Rasulullah ruku’ bersama orang-orang yang (shalat) bersama mereka lalu sujud dua kali kemudian mereka keluar ke tempat kelompok lain yang belum shalat dan mereka (kelompok yang belum shalat itu) datang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ruku’ satu kali bersama kelompok (kedua) yang shalat bersamanya dan sujud dua kali kemudia salam. Lalu masing-masing orang berdiri dan ruku’ sekali dan sujud dua kali.” (HR. Bukhari Muslim).
Ketujuh, hadits yang menyebutkan tentang ketentuan dalam berbai’at.
عن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولا كُنَّا نُبَايِعُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ يَقُولُ لَنَا فِيمَا اسْتَطَعْتَ
Abdullah bin Umar berkata, “Kami dulu berbaiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengar dan taat dan beliau bersabda kepada kami, ‘(mendengar dan taat) pada apa yang kamu mampu.’” (HR. Muslim).
Kedelapan, hadits yang menyebutkan tentang aturan bagi seorang istri dalam rumah tangganya.
لاَ تَصُمِ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنْ فِيْ بَيْتِهِ وَهُوَ شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ كَسْبِهِ مِنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّ نِصْفَ أَجْرِهِ لَهُ.
“Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnat) sedangkan suaminya ada (tidak safar) kecuali dengan izinnya. Tidak boleh ia mengizinkan seseorang memasuki rumahnya kecuali dengan izinnya dan apabila ia menginfakkan harta dari usaha suaminya tanpa perintahnya, maka separuh ganjarannya adalah untuk suaminya.” (HR. Bukhari Muslim)
Urgensi An-Nidzam
An-Nidzam (aturan, tata tertib) adalah sesuatu yang sangat urgen guna mengorganisir kerja-kerja sehingga lebih terarah dan efektif. Tanpa an-nidzam kerja-kerja akan menjadi berantakan dan berjalan tanpa arah.
Oleh karena itu seorang muslim hendaknya membiasakan dirinya dalam an-nidzam pada urusan kecil mulai dari rumah sampai sekolah. Merapikan buku-bukunya dan alat-alat rumah maupun sekolah. Jika menggunakan sesuatu hendaknya mengembalikan ke tempatnya semula. Ia juga harus memperhatikan pengaturan buku tulisnya, kitabnya, mulai dari halaman-halamannya, dan tulisannya.
Seorang Muslim juga hendaknya membiasakan diri dengan kedisiplinan. Sebagai contoh, jika menyampaikan berita, ia harus berusaha menyampaikannya seperti apa yang didengarnya tanpa menambahkan dan mengurangi. Seperti juga membiasakan diri dengan peraturan-peraturan rumah, sekolah, dan kepanduan agar tumbuh dalam kedisiplinan.
Terlebih lagi seorang da’i; ia harus menjadi teladan dalam menegakkan an-nidzam (aturan) untuk dirinya; ia misalnya perlu mengatur waktunya dengan cara membagi harinya menjadi beberapa bagian serta menjadikan waktu-waktu tertentu untuk merealisasikan tugas-tugas tertentu. Ada bagian untuk dirinya sendiri, keluarganya, bagian untuk ibadah dan Tuhannya, dan bagian untuk dakwah kepada Allah. Jangan sampai seorang da’i menggunakan waktunya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat, sebab kewajiban lebih banyak daripada waktu yang tersedia.
Menegakkan An-Nidzam adalah Akhlak Seorang Muslim
Islam adalah agama agama keteraturan, pengorganisasian, dan disiplin. Segala sesuatu yang diwajibkan dan disyariatkan Allah kepada kita teratur, rinci, dan tunduk kepada undang-undang tertentu.
Contoh tentang ini lebih luas dari sekedar apa yang dibicarakan:
Shalat memiliki mempunyai aturan dan urutan yang tidak boleh diabaikan, jika tidak maka shalatnya akan rusak.
Demikian pula puasa, zakat, dan haji bahkan semua jenis ibadah.
Jihad di jalan Allah mempunyai aturan dan adab-adab yang tidak boleh diabaikan, jika tidak, seseorang berdosa karena melanggar aturan itu.
Dalam perkara-perkara sehari-hari seperti makan, minum, berpakaian, naik kendaraan, berdiri, duduk, bepergian, bertempat tinggal, bahkan buang air. Semua tunduk pada aturan dan urutan serta sunnah-sunnahnya yang sudah sama-sama diketahui. Semua muslim menngetahuinya, kecuali orang yang malas untuk mengetahuai agamanya, dirinya, dan masyarakatnya di mana ia hidup.
Setiap aturan yang ditetapkan Islam pasti ada kemaslahatannya bagi pribadi dan masyarakat, atau manfaat bagi kehidupan di dunia dan akhirat. Seorang muslim dituntut untuk menerapkannya, baik untuk hal-hal kecil maupun besar.
Teratur dalam kerja. Tidak mengabaikan dan tidak malas. Tidak menunda pekerjaan saat ini sampai nanti. Apalagi menunda pekerjaan hari ini sampai besok.
Teratur dalam tidur dan jaganya. Tidak melampaui batas satu sama lainnya. Harus menerapkan sunnah Nabi pada masing-masing pekerjaan itu.
Teratur dalam makan dan minumnya, berpakaian dan tinggalnya, tidak berlebih-lebihan dan tidak kikir, tidak mengabaikan dan tidak berbangga-bangga. Harus menerapkan adab dan akhlak Islam dalam segala hal.
Teratur dalam membagi waktu, antara tugas-tugas umum dan khusus. Memberikan keluangan waktu yang sesuai untuk masing-masing tugas. Karena Islam mewajibkan kepada pemeluknya agar melakukan segala sesuatu dengan ilmu dan ihsan.
An-Nidzam dalam Amal Jama’i
Syariah Islam memberi petunjuk yang jelas bahwa dalam amal jama’i diperlukan adanya an-nidzam (aturan). Maka, dalam suatu amal jama’i setiap jamaah harus ada pimpinannya. Hal ini adalah ketetapan syariah dan harus dilaksanakan di dunia realita dan ini dipahami oleh setiap akal sehat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
يَجِبُ أَنْ يُعْرَفَ أَنَّ وِلَايَةَ أَمْرِ النَّاسِ مِنْ أَعْظَمِ وَاجِبَاتِ الدِّينِ ; بَلْ لَا قِيَامَ لِلدِّينِ وَلَا لِلدُّنْيَا إلَّا بِهَا . فَإِنَّ بَنِي آدَمَ لَا تَتِمُّ مَصْلَحَتُهُمْ إلَّا بِالِاجْتِمَاعِ لِحَاجَةِ بَعْضِهِمْ إلَى بَعْضٍ وَلَا بُدَّ لَهُمْ عِنْدَ الِاجْتِمَاعِ مِنْ رَأْسٍ حَتَّى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ } . رَوَاهُ أَبُو داود مِنْ حَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ . وَرَوَى الْإِمَامُ أَحْمَد فِي الْمُسْنَدِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { لَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةٍ يَكُونُونَ بِفَلَاةِ مِنْ الْأَرْضِ إلَّا أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ } فَأَوْجَبَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَأْمِيرَ الْوَاحِدِ فِي الِاجْتِمَاعِ الْقَلِيلِ الْعَارِضِ فِي السَّفَرِ تَنْبِيهًا بِذَلِكَ عَلَى سَائِرِ أَنْوَاعِ الِاجْتِمَاعِ . وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ الْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنْ الْمُنْكَرِ وَلَا يَتِمُّ ذَلِكَ إلَّا بِقُوَّةِ وَإِمَارَةٍ . وَكَذَلِكَ سَائِرُ مَا أَوْجَبَهُ مِنْ الْجِهَادِ وَالْعَدْلِ وَإِقَامَةِ الْحَجِّ وَالْجُمَعِ وَالْأَعْيَادِ وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ . وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ لَا تَتِمُّ إلَّا بِالْقُوَّةِ وَالْإِمَارَةِ ; وَلِهَذَا رُوِيَ : { أَنَّ السُّلْطَانَ ظِلُّ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ } . وَيُقَالُ { سِتُّونَ سَنَةً مِنْ إمَامٍ جَائِرٍ أَصْلَحُ مِنْ لَيْلَةٍ وَاحِدَةٍ بِلَا سُلْطَانٍ } . وَالتَّجْرِبَةُ تُبَيِّنُ ذَلِكَ . وَلِهَذَا كَانَ السَّلَفُ – كالفضيل بْنِ عِيَاضٍ وَأَحْمَد بْنِ حَنْبَلٍ وَغَيْرِهِمَا – يَقُولُونَ : لَوْ كَانَ لَنَا دَعْوَةٌ مُجَابَةٌ لَدَعَوْنَا بِهَا لِلسُّلْطَانِ
“Wajib diketahui bahwa kepemimpinan yang mengurus urusan manusia termasuk kewajiban agama yang paling besar, bahkan agama dan dunia tidaklah tegak kecuali dengannya. Segala kemaslahatan manusia tidaklah sempurna kecuali dengan memadukan antara keduanya, di mana satu sama lain saling menguatkan. Dalam perkumpulan seperti inilah diwajibkan adanya kepemimpinan, sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: ‘Jika tiga orang keluar bepergian maka hendaknya salah seorang mereka menjadi pemimpinnya.’ Diriwayatkan Abu Daud dari Abu Said dan Abu Hurairah.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Abdullah bin Amru, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sebuah tempat di muka bumi ini melainkan mereka menunjuk seorang pemimpin di antara mereka.’ Rasulullah mewajibkan seseorang memimpin sebuah perkumpulan kecil dalam perjalanan, demikian itu menunjukkan juga berlaku atas berbagai perkumpulan lainnya. Karena Allah Ta’ala memerintahkan amar ma’ruf dan nahi munkar, dan yang demikian itu tidaklah sempurna melainkan dengan kekuatan dan kepemimpinan. Demikian juga kewajiban Allah lainnya seperti jihad, menegakkan keadilan, haji, shalat Jumat hari raya, menolong orang tertindas, dan menegakkan hudud. Semua ini tidaklah sempurna kecuali dengan kekuatan dan imarah (kepemimpinan). Oleh karena itu diriwayatkan: ‘Sesungguhnya sultan adalah naungan Allah di muka bumi.’ Juga dikatakan: ‘Enam puluh tahun bersama pemimpin zalim masih lebih baik dibanding semalam saja tanpa pemimpin.’ Pengalaman membuktikan hal itu. Oleh karena itu, para salaf – seperti Al Fudhail bin ‘Iyadh dan Ahmad bin Hambal serta yang lain- mengatakan: ‘Seandainya kami memiliki doa yang mustajab, niscaya akan kami doakan pemimpin.’” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyyah, Hal. 169. Mawqi’ Al Islam)
Pentingnya kepemimpinan untuk tegaknya an-nidzam tergambar dalam peristiwa bai’ah Aqabah dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَخْرِجُوْا إِلَيَّ مِنْكُمُ اثْنَىْ عَشَرَ نَقِيْباً لِيَكُوْنُوْا عَلَى قَوْمِهِمْ بِمَا فِيْهِمْ
“Utuslah kepadaku dua belas orang pimpinan dari kalian agar mereka menjadi pimimpin atas kaum mereka.”[5]
Contoh lain, bahwa setiap kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari Madinah untuk perang atau keperluan lain, beliau selalu menugaskan seseorang untuk memimpin Madinah.
Pengertian Imarah (mengangkat pemimpin)
Yang dimaksud dengan memilih pimpinan atau ketua dalam organisasi, besar atau kecil yaitu memilih orang untuk mengendalikan urusan orang-orang yang berorganisasi dalam satu jalinan dan satu pendapat. Tujuan ini tidak akan tercapai kecuali dengan adanya ketaatan anggota jamaah kepada pimpinannya atas berbagai pendapat yang ada. Jika tidak, adanya kepemimpinan tidak akan bermanfaat. Perhatikanlah hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit berikut ini,
بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي عُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَمَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَأثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَلاَّ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُوْلَ الْحَقَّ أَيْنَمَا كُنَّا وَلاَ نَخَافَ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ “
“Kami membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mendengar dan taat dalam keadaan sulit dan mudah, kami senangi maupun kami benci, dan mendahulukan atas diri kami dan tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya, dan melakukan kebenaran dimanapun kami berada, tidak takut kepada celaan orang yang mencela.” [6]
Ketaatan itu harus dalam koridor kebaikan, bukan dalam kemaksiatan. Disebutkan dalam hadits,
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan bagi makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq.” (HR. Thabrani)
Perlunya Ketaatan
Taat kepada pimpinan menjadi tuntutan dalam setiap pekerjaan. Terlebih lagi dalam amal jama’i untuk menyeru manusia kepada Allah dan menyebarkan agama Islam. Keteladanan mengenai hal ini dapat kita lihat dari sikap para sahabat dalam peristiwa penggalian parit di sekitar Madinah. Mereka selalu meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan ketika salah seorang di antara mereka hendak buang air. Berbeda dengan orang-orang munafiq yang merusak barisan kaum muslimin. Mereka berangsur-angsur meninggalkan barisan dan tidak meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَىٰ أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّىٰ يَسْتَأْذِنُوهُ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ۚ فَإِذَا اسْتَأْذَنُوكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ فَأْذَنْ لِمَنْ شِئْتَ مِنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur, 24: 62)
Taat dan Musyawarah
Yang dimaksud dengan taat bukan berarti meninggalkan musyawarah. Seorang pemimpin seharusnya mengajak anggotanya untuk bermusyawarah. Ulama berkata, “Tidak ada orang yang paling sering mengajak musyawarah para sahabatnya selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [7]
Setiap orang punya hak untuk menyampaikan pandangannya kepada pemimpin, dan pemimpin harus mendengarnya. Jika pandangannya benar, maka harus diterapkan. Dalilnya adalah sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak pergi umrah ke Makkah tahun keenam Hijriyyah, orang-orang Quraisy bersiap-siap untuk mencegahnya masuk. Akhirnya Rasulullah hendak mengutus Umar bin Khaththab agar menjelaskan kepada mereka maksud kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau datang untuk mengunjungi Baitullah, bukan untuk perang. Umar kemudian menyampaikan pendapatnya, “Ya Rasulullah, aku mengawatirkan diriku terhadap orang-orang Quraisy. Apalagi di sana tidak ada keluarga Bani Adiy bin Ka’ab yang membelaku. Sedangkan orang-orang Quraisy itu tahu bagaimana pemusuhanku dan perilaku kasarku kepada mereka. Kalau mau aku tunjukkan kepada seseorang yang lebih mulia menurut orang-orang Quraisy daripada aku: Utsman bin Affan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun kemudian memanggil Utsman dan segera mengutusnya menghadap Abu Sufyan, orang paling terkemuka Quraisy, untuk memberitahunya bahwa beliau tidak datang untuk perang, tapi hanya untuk mengunjungi dan menghormati Baitullah.[8]
Tidak setiap Muslim Siap Beramal Jama’i
Bekerja bersama orang lain untuk menyebarkan Islam dan berdakwah kepada Allah membutuhkan pemahaman dan kesabaran, perlu membiasakan jiwa untuk taat, pengendalian diri, membuang sifat egosentris, rendah hati, kesiapan untuk bersinergi bersama semua orang yang terlibat di sana dalam pekerjaan menyebarkan Islam. Juga membutuhkan kesiapan untuk menerima pendapat yang berseberangan dengan pendapat pribadinya jika jamaah atau pemimpin telah menetapkannya sebagai konsekuensi bagi amal jama’i.
Pada ayat berikut ini,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran, 3: 104), terdapat pembebanan kepada ‘umat’, yakni jama’ah dakwah kepada Allah.
Hal ini, wallahu a’lam, membutuhkan pengerahan tenaga dan pikiran para anggotanya dalam kerangka amal jama’i. Akan tetapi tidak semuanya, karena tidak setiap muslim bisa berada dalam amal jama’i. Bisa jadi seseorang itu shalih untuk dirinya sendiri, akan tetapi ia tidak mengerti an-nidzam dan ketaatan. Ia menganggap an-nidzam sebagai belenggu atau pemaksaan bagi kebebasannya; menganggap ketaatan sebagai kehinaan dan kerendahan.
Orang seperti ini mungkin baik sebagai pribadi saja, namun berbahaya jika beramal bersama orang lain. Orang lain yang bekerja sama dengannya bisa jadi malah terkena dampak negatif karena ia merusak aturan dan tidak komitmen terhadap tuntutan kataatan. Maka barisan bisa kacau, pendapat tidak bisa disatukan, kegaduhan dan kegoncangan merajalela, dan banyak yang keluar dari jamaah. Lalu orang-orang berkata jama’ah berada dalam kejelekan.
Sebuah mesin besar tidak mungkin bisa bekerja dengan baik kecuali jika semua komponennya bergerak secara teratur dan harmoni. Kalau saja ada satu komponen yang ingin bergerak lebih cepat, maka komponen tersebut akan menyebabkan kerusakan bagi yang lain; dan dengan kecepatannya itu ia tidak membawa manfaat. Demikian pula seseorang dalam jama’ah, terkadang ia melihat suatu perbuatan itu baik dan bermanfaat, lalu ia melakukannya meskipun berseberangan dengan lajunya jama’ah. Maka yang terjadi adalah kekacauan dan bahaya padahal orang tersebut menghendaki kebaikan.
Kewajiban Pimpinan
Pemimpin jama’ah hendaknya menyayangi anggotanya, memberikan kesan kepada mereka dengan kelembutan dan pengayomannya serta tidak berlaku kasar kepada mereka. Namun, berlaku sayang terhadap mereka bukan berarti memberikan kebebasan kepada mereka untuk melanggar syariah, atau melakukan hal-hal yang menghinakan dirinya dan membiarkan melakukan hal-hal yang tidak disukai dan itu tidak diperbolehkan oleh syariah Islam. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ ۚ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al-Qur’an) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (Al-Mukminun, 23: 71)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ ۚ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS. Al-Hujurat, 49: 7)
Cara berbuat baik terhadap mereka adalah seperti yang dikatakan Ibnu Taimiyah, “Dengan mengerjakan apa yang berguna bagi mereka dalam hal agama dan dunia walaupun ada yang tidak suka hal itu. Juga harus sayang kerepa mereka pada apa yang mereka tidak suka.”
Seorang pemimpin juga harus menjaga agar mereka selalu berada dalam tekad untuk beramal di kancah dakwah kepada Allah Ta’ala. Mencegah munculnya hal-hal yang membuat mereka malas dan futur yang melemahkan semangat mereka dan melumpuhkan kakuatan mereka.
Hendaknya pula seorang pemimpin menugaskan seorang anggota yang memiliki kemampuan lebih baik dibanding yang lain. Prinsip dalam hal ini tergambar dalam firman Allah Ta’ala,
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. (QS. Al-Qashshash, 28: 26)
Kekuatan itu berbeda-beda sebagaimana amal perbuatan. Hendaknya seseorang ditugaskan untuk melakukan pekerjaan yang paling tepat baginya.
Wallahu A’lam…
Catatan Kaki:
[1] Peristiwa ini terjadi pada perang Uhud yang menurut ahli sejarah terjadi pada tahun ke 3 H.
[2] Menurut jumhur mufassirin bila telah selesai serakaat, maka diselesaikan satu rakaat lagi sendiri, dan Nabi duduk menunggu golongan yang kedua.
[3] Yaitu rakaat yang pertama, sedang rakaat yang kedua mereka selesaikan sendiri pula dan mereka mengakhiri sembahyang mereka bersama-sama Nabi.
[4] Cara sembahyang khauf seperti tersebut pada ayat 102 ini dilakukan dalam keadaan yang masih mungkin mengerjakannya, bila keadaan tidak memungkinkan untuk mengerjakannya, maka sembahyang itu dikerjakan sedapat-dapatnya, walaupun dengan mengucapkan tasbih saja.
[5] Ibnu Hisyam, jilid 2, hal. 61
[6] Ibid.
[7] As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, Ibnu Taimiyah hal. 169
[8] Ibnu Hisyam, jilid 3, hal. 271
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.