Penjelasan tentang Isbal

Isbal artinya melabuhkan pakaian hingga menutupi mata kaki. Larangan isbal bagi beberapa kalangan telah dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah SAW, namun para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini, sejak zaman dahulu hingga kini. Untuk zaman ini, para ulama pun berbeda pendapat. Syaikh Al Qaradhawy tidak mengharamkan isbal kecuali dengan sombong, begitu pula umumnya para ulama Mesir, Pakistan, India, dan lain-lain. Namun para ulama-ulama Saudi menyebutkan hukum isbal sudah tegas. 


A. DEFINISI ISBAL 
Isbal secara bahasa adalah masdar dari “asbala”, “yusbilu-isbaalan”, yang bermakna “irkhaa-an”, yang artinya; menurunkan, melabuhkan atau memanjangkan. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ibnul Aroby rahimahullah dan selainnya adalah; memanjangkan, melabuhkan dan menjulurkan pakaian hingga menutupi mata kaki dan menyentuh tanah, baik karena sombong ataupun tidak. [Lihat Lisanul Arob, Ibnul Munzhir 11/321, Nihayah Fi Gharibil Hadits, Ibnul Atsir 2/339] 

Dalam hadits-hadits Nabi, disebutkan tentang isbal diantaranya :
Hadits 1:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda: “Apa saja yang melebihi dua mata kaki dari kain sarung, maka tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari No. 5787, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 9705, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Umal  No. 41158)

Hadits 2: 
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Allah tidak melihat pada hari kiamat nanti kepada orang yang menjulurkan kainnya (hingga melewati mata kaki) dengan sombong.” (HR. Bukhari No. 5788. Muslim No. 2087) 

Hadits 3:
 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الَّذِي يَجُرُّ ثِيَابَةُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti.” (HR. Muslim  No. 2085.  Ibnu Majah No.3569, 3570, An Nasa’i No. 5327, Ahmad No. 4489)
           
  Hadits 4:
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ حَدَّثَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ يَجُرُّ إِزَارَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ خُسِفَ بِهِ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِي الْأَرْضِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Dari Ibnu Umar, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Ketika seorang laki-laki memanjangkan kainnya dengan sombong, dia akan ditenggelamkan dengannya dibumi dan menjerit-jerit sampai hari kiamat.” (HR. Bukhari No. 3485. Muslim No. 2088, Ahmad No. 5340)  

Hadits 5:
عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
Dari Salim, dari Ayahnya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti.” Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku salah seorang yang celaka, kainku turun, sehingga aku selalu memeganginya.” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya kamu bukan termasuk orang yang melakukannya karena kesombongan.” (HR. Bukhari No. 3665,  An Nasa’i No. 5335,  Ahmad No. 5351)

Hadits 6:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ زِدْ فَزِدْتُ فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ إِلَى أَيْنَ فَقَالَ أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ
Dari Ibnu Umar, dia berkata: Aku melewati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan kain sarungku menjulur ke bawah. Beiau bersabda: “Wahai Abdullah, naikan kain sarungmu.” Maka aku pun menaikannya. Lalu Beliau bersabda lagi: “Tambahkan.” Maka aku naikkan lagi, dan aku senantiasa menjaganya setelah itu. Ada sebagian orang yang bertanya: “Sampai mana batasan?” Beliau bersabda: “Setengah betis.” (HR. Muslim No. 2086, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3134) 

Hadits 7:
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْضِعُ الْإِزَارِ إِلَى أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ وَالْعَضَلَةِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلَ فَإِنْ أَبَيْتَ فَمِنْ وَرَاءِ السَّاقِ وَلَا حَقَّ لِلْكَعْبَيْنِ فِي الْإِزَارِ
Dari Hudzaifah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tempatnya Izar (kain sarung) adalah sampai setengah betis, jika kamu tidak mau maka dibawahnya, jika kamu tidak mau maka di bawah betis dan tidak ada hak bagi kain itu atas kedua mata kaki.” (HR. At Tirmidzi No. 1783. Katanya: hasan shahih, An Nasa’i No. 5329, Ibnu Majah No. 3572)

Nabi shallallahu 'alihi wa sallam telah bersabda :
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang menjulurkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan memandangnya pada hari Kiamat”. (HR. Bukhari 5788 dari hadits Abu Hurairah dan Muslim 5424 dari hadits Ibnu Umar)

عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ قَالَ :" ثَلَاثَةٌ لا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلا يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلٍيْمٌ",قَالَ :فَقَرَأَهَا رَسُوْلُ اللهِ ثَلاثَ مِرَارٍ .قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ :"خَابُوا وَ خَسِرُوْا. مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ :"المُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلْفِ الْكَاذِبِ"
Dari Abu Dzar dari Nabi, beliau bersabda :"Tiga golongan yang tidak akan diajak komunikasi oleh Allah pada hari Kiamat dan tidak dilihat dan tidak (juga) disucikan dan bagi mereka adzab yang pedih. " Abu Dzar menceritakan, "Rasulullah mengulanginya sampai tiga kali. ", "Sungguh merugi mereka, siapakah mereka wahai Rasulullah ?" tanya Abu Dzar. Nabi menjawab: "Orang yang isbal, orang yang mengungkit-ngungkit sedekahnya dan penjual yang bersumpah palsu." (HR Muslim I/102 no 106)

Walaupun kalimat musbil mutlaq dalam hadits ini, namun para ulama sepakat maknanya membidik isbal yang dikuti perasaan sombong. Alasannya, adanya kesamaan hukum (tidak dilihat oleh Allah pada hari kiamat) sebagaimana ditunjukkan kandungan hadits Ibnu Umar yang lalu.


عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: "بَيْنََا رَجُلٌ يَجُرُّ إِزَارَهُ إِذْ خُسِفَ بِهِ, فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِي الأَرْضِ إِلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda: "Tatkala seorang laki-laki sedang mengisbal sarungnya, tiba-tiba bumi terbelah bersamanya., Maka diapun berguncang-guncang, tenggelam di dalam bumi hingga hari Kiamat" (HR. Bukhari no: 5790)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ : لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
Dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, beliau bersabda, " Barang siapa yang menyeret pakaiannya (di tanah) karena sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat.", Abu Bakar mengeluh "Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu sisi sarung (pakaian bawah)ku (melorot) turun (melebihi batas mata kaki) kecuali kalau aku (senantiasa) menjaga sarungku dari isbal". Nabi shallallahu 'alihi wa sallam mengatakan :"Engkau bukan termasuk yang melakukannya karena sombong." (HR Al-Bukhari no 5784)


B. KISAH UMAR DAN SEPOTONG KAIN 
Berkenaan dengan isbal ini, pendapat yang mengharamkan isbal secara mutlak sering menunjukkan sebuah kisah tentang Umar bin Khattab menjelang wafatnya. Ketika itu, Umar bin Khattab RA berada di hari menjelang kematiannya. Keadaan Umar benar-benar berada dalam keadaan yang parah dan kepayahan. Sampai-sampai ada sebagian kaum muslimin yang berkata, "Aku khawatir ia akan tewas."

Setelah itu, dibawakanlah kepada Umar minuman nabidz agar diminum oleh beliau.  Beliau pun langsung meminumnya, namun minuman tersebut keluar kembali dari lubang tikaman di perutnya. Kemudian dibawakan kepada beliau susu dan beliau pun meminumnya. Lagi-lagi, susu tersebut juga keluar dari perutnya yang ditikam.

Dalam kondisi Umar yang seperti itu, tiba-tiba datang seorang pemuda dan berkata kepada beliau “Bergembirahlah wahai amirul mu’minin dengan berita gembira dari Allah untukmu, engkau adalah sahabat Rasulullah, pendahulu Islam, engkau adalah pemimpin dan engkau berlaku adil, kemudian engkau diberikan Allah syahadah (mati syahid)," Umar lalu menjawab “Aku berharap seluruh perkara yang engkau sebutkan tadi cukup untukku, tidak lebih ataupun kurang." Tatkala pemuda itu berbalik ternyata pakaiannya terjulur hingga menyentuh lantai.

Umar lantas memanggil pemuda itu dan berkata, “Wahai saudaraku, angkatlah pakaianmu! Sesungguhnya hal itu akan lebih bersih bagi pakaianmu dan lebih menaikkan ketaqwaanmu kepada Rabbmu”, [Lihat kisahnya di Al-Bidayah Wan Nihayah tulisan Ibnu Katsir].


C. BEBERAPA PERBEDAAN PENDAPAT
Perbedaan pendapat tentang isbal memang sudah lama ada, bukan sebuah hal yang qath'i, meski ada sebagian kalangan yang agaknya sudah agak berlebihan tentang masalah ini. Walaupun sesungguhnya perbedaan pendapat itu tidak bisa dipungkiri. Sebagian mengatakan bahwa memanjangkan kain atau celana di bawah mata kaki hukumnya mutlak haram, apapun motivasinya. Namun sebagian lainnya mengatakan tidak mutlak haram, karena sangat tergantung motivasi dan niatnya.

1. Pendapat Yang Mengatakan Mutlak Haram
Tidak sulit untuk mencari literatur pendapat yang mengharamkan isbal secara mutlak. Fatwa-fatwa dari kalangan ulama Saudi umumnya cenderung memutlakkan keharaman isbal. Sebelum mengurai fatwa tersebut, berikut akan disampaikan batas-batas pakaian menurut kalangan ini. 

1.1. Batas Pakaian Muslim Menurut Pendapat Ini.
Rasulullah telah memberikan batas-batas syarI terhadap pakaian seorang muslim, perhatikan hadits-hadits berikut: 

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: 
“Artinya: Keadaan sarung seorang muslim hingga setengah betis, tidaklah berdosa bila memanjangkannya antara setengah betis hingga di atas mata kaki. Dan apa yang turun dibawah mata kaki maka bahagiannya di neraka. Barangsiapa yang menarik pakaiannya karana sombong maka Allah tidak akan melihatnya” [Hadits Riwayat. Abu Dawud 4093, Ibnu Majah 3573, Ahmad 3/5, Malik 12. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Misykah 4331] 

Berkata Syaroful Haq Azhim Abadi rahimahullah: “Hadits ini menunjukkan bahwa yang sunnah hendaklah sarung (seluar) seorang muslim hingga setengah betis, dan dibolehkan turun dari itu hingga di atas mata kaki. Apa saja yang dibawah mata kaki maka hal itu terlarang dan haram. [ Aunul Ma’bud 11/103] 

Dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: 
“Artinya: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memegang otot betisku lalu bersabda, “Ini merupakan batas bawah kain sarung. Jika engkau enggan maka boleh lebih bawah lagi. Jika engkau masih enggan juga, maka tidak ada hak bagi sarung pada mata kaki” [Hadits Riwayat. Tirmidzi 1783, Ibnu Majah 3572, Ahmad 5/382, Ibnu Hibban 1447. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah 1765] 

Hadits-hadits di atas mengisyaratkan bahwa panjang pakaian seorang muslim tidaklah melebihi kedua mata kaki dan yang paling utama hingga setengah betis, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam haditsnya yang banyak. 

Dari Abi Juhaifah Radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku melihat Nabi keluar dengan memakai Hullah Hamro seakan-akan saya melihat kedua betisnya yang sangat putih” [Tirmidzi dalam Sunannya 197, dalam Syamail Muhammadiyah 52, dan Ahmad 4/308] 

Ubaid bin Khalid Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Tatkala aku sedang berjalan di kota Madinah, tiba-tiba ada seorang di belakangku sambil berkata, "Tinggikan sarungmu! Sesungguhnya hal itu lebih mendekatkan kepada ketakwaan." Ternyata dia adalah Rasulullah. Aku pun bertanya kepadanya, "Wahai Rasulullah, ini Burdah Malhaa (pakaian yang mahal). Rasulullah menjawab, "Tidakkah pada diriku terdapat teladan?" Maka aku melihat sarungnya hingga setengah betis”.[Hadits Riwayat Tirmidzi dalam Syamail 97, Ahmad 5/364. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Mukhtashor Syamail Muhammadiyah, hal. 69] 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memanjangkan celananya hingga melebihi mata kaki. Beliau menjawab:’ Panjangnya qomis, celana dan seluruh pakaian hendaklah tidak melebihi kedua mata kaki, sebagaimana telah tetap dari hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam” [Majmu Fatawa 22/14] 

1.2. Dalil-Dalil Haramnya Isbal Menurut Pendapat Ini.
Pertama: 
“Dari Abu Dzar bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang pedih. Rasulullah menyebutkan tiga golongan tersebut berulang-ulang sebanyak tiga kali, Abu Dzar berkata: "Merugilah mereka! Siapakah mereka wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab: "Orang yang suka memanjangkan pakaiannya, yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu." [Hadits Riwayat Muslim 106, Abu Dawud 4087, Nasai 4455, Darimi 2608. Lihat Irwa: 900] 

Kedua: 
“Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat." [Hadits Riwayat Bukhari 5783, Muslim 2085] 

Ketiga: 
“Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda: "Apa saja yang di bawah kedua mata kaki di dalam neraka." [Hadits Riwayat Bukhari 5797, Ibnu Majah 3573, Ahmad 2/96] 

Keempat: 
“Dari Mughiroh bin Syubah Radhiyallahu ‘anhu, adalah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Wahai Sufyan bin Sahl! Janganlah kamu isbal, sesungguhnya Allah tidak menyenangi orang-orang yang isbal." [Hadits Riwayat. Ibnu Majah 3574, Ahmad 4/26, Thobroni dalam Al-Kabir 7909. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 2862] 

Kelima: 
“Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan” [Hadits Riwayat Abu Dawud 4084, Ahmad 4/65. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 770] 

Keenam: 
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata: "Saya lewat di hadapan Rasulullah sedangkan sarungku terurai, kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menegurku seraya berkata, "Wahai Abdullah, tinggikan sarungmu!" Aku pun meninggikannya. Beliau bersabda lagi, "Tinggikan lagi!" Aku pun meninggikannya lagi, maka semenjak itu aku senantiasa menjaga sarungku pada batas itu. Ada beberapa orang bertanya, "Seberapa tingginya?" "Sampai setengah betis."[Hadits Riwayat Muslim 2086. Ahmad 2/33] 

Berkata Syakh Al-Albani rahimahullah: “Hadits ini sangat jelas sekali bahwa kewajiban seorang muslim hendaklah tidak menjulurkan pakaiannya hingga melebihi kedua mata kaki. Bahkan hendaklah ia meninggikannya hingga batas mata kaki, walaupun dia tidak bertujuan sombong, dan di dalam hadits ini terdapat bantahan kepada orang-orang yang isbal dengan sangkaan bahwa mereka tidak melakukannya karena sombong! Tidakkah mereka meninggalkan hal ini demi mencontohkan perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap Ibnu Umar?? Ataukah mereka merasa hatinya lebih suci dari Ibnu Umar?” [Ash-Shahihah: 4/95] 

Berkata Syaikh Bakr Abu Zaid:” Dan hadits-hadits tentang pelarangan isbal mencapai derajat mutawatir makna, tercantum dalam kitab-kitab shohih, sunan-sunan, ataupun musnad-musnad, diriwayatkan dari banyak sekali oleh sekelompok para sahabat. Beliau lantas menyebutkan nama-nama sahabat tersebut hingga dua puluh dua orang. Lanjutnya: “ Seluruh hadits tersebut menunjukkan larangan yang sangat tegas, larangan pengharaman, karena di dalamnya terdapat ancaman yang sangat keras. Dan telah diketahui bersama bahwa sesuatu yang terdapat ancaman atau kemurkaan, maka diharamkan, dan termasuk dosa besar, tidak dihapus dan diangkat hukumnya. Bahkan termasuk hukum-hukum syari yang kekal pengharamannya."[Hadd Tsaub Wal Uzroh Wa Tahrim Isbal Wa Libas Syuhroh, hal. 19] 

1.3. Beberapa Fatwa Yang Mengharamkan Mutlak. 
Fatwa Syeikh Bin Baz secara jelas dan tegas mengatakan bahwa isbal itu haram, apapun alasannya. Dengan niat riya' atau pun tanpa niat riya'. Pendeknya, apapun bagian pakaian yang lewat dari mata kaki adalah dosa besar dan menyeret pelakunya masuk neraka. Beliau amat serius dalam masalah ini, sampai-sampai fatwa beliau yang paling terkenal adalah masalah keharaman mutlak perilaku isbal ini. 

Berikut ini adalah salah satu petikan fatwa beliau:

”Al-Bukhari dari Abu Hurairah. Bahwa Rasulullah SAW bersabda,
مَا أسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإزَارِ فَفِيْ النَّارِ
Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa sarung maka tempatnya di Neraka "[Hadits Riwayat Bukhari dalam sahihnya]

Ada tiga golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah di hari Kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan (dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu."(HR Muslim)

Kedua hadits ini dan yang semakna dengannya mencakup orang yang menurunkan pakaiannya (isbal) karena sombong atau dengan sebab lain. Karena Rasulullah SAW mengucapkan dengan bentuk umum tanpa mengkhususkan. Kalau melakukan Isbal karena sombong, maka dosanya lebih besar dan ancamannya lebih keras.

Tidak boleh menganggap bahwa larangan melakukan Isbal itu hanya karena sombong saja, karena Rasullullah SAW tidak memberikan pengecualian hal itu dalam kedua hadist yang telah kita sebutkan tadi, sebagaiman juga beliau tidak memberikan pengecualian dalam hadist yang lain.

Beliau SAW menjadikan semua perbuatan isbal termasuk kesombongan karena secara umum perbuatan itu tidak dilakukan kecuali memang demikian. Siapa yang melakukannya tanpa diiringi rasa sombong maka perbuatannya bisa menjadi perantara menuju ke sana. Dan perantara dihukumi sama dengan tujuan, dan semua perbuatan itu adalah perbuatan berlebihan-lebihan dan mengancam terkena najis dan kotoran.

Adapun Ucapan Nabi SAW kepada Abu Bakar As Shiddiq ra. ketika berkata: Wahai Rasulullah, sarungku sering melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benar-benar menjaganya. Maka beliau bersabda: "Engkau tidak termasuk golongan orang yang melakukan itu karena sombong." [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Yang dimaksudkan oleh oleh Rasulullah bahwa orang yang benar-benar menjaga pakaiannya bila melorot kemudian menaikkannya kembali tidak termasuk golongan orang yang menyeret pakaiannya karena sombong. Karena dia (yang benar-benar menjaga ) tidak melakukan Isbal. Tapi pakaian itu melorot (turun tanpa sengaja) kemudian dinaikkannya kembali dan menjaganya benar-benar. Tidak diragukan lagi ini adalah perbuatan yang dimaafkan.

Adapun orang yang menurunkannya dengan sengaja, apakah dalam bentuk celana atau sarung atau gamis, maka ini termasuk dalam golongan orang yang mendapat ancaman, bukan yang mendapatkan kemaafan ketika pakaiannya turun. Karena hadits-hadits shahih yang melarang melakukan Isbal besifat umum dari segi teks, makna dan maksud.

Maka wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati terhadap Isbal. Dan hendaknya dia takut kepada Allah ketika melakukannya. Dan janganlah dia menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki dengan mengamalkan hadits-hadits yang shahih ini. Dan hendaknya juga itu dilakukan karena takut kepada kemurkaan Alllah dan hukuman-Nya. Dan Allah adalah sebaik-baik pemberi taufiq.” [Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Bazz dinukil dari Majalah Ad Da'wah hal 218]

Lebih dari fatwa di atas, Syaikh Ibnu Utsaimin menyebutkan bahwa isbal dalam shalat adalah maksiat dan shalatnya tidak sah. Katanya:
وأما المحرَّم لوصفه: فكالثوب الذي فيه إسبال، فهذا رَجُل عليه ثوب مباح من قُطْنٍ، ولكنَّه أنزله إلى أسفلَ من الكعبين، فنقول: إن هذا محرَّم لوَصْفه؛ فلا تصحُّ الصَّلاة فيه؛ لأنه غير مأذونٍ فيه، وهو عاصٍ بِلُبْسه، فيبطل حُكمه شرعاً، ومن عَمِلَ عملاً ليس عليه أمرُنا فهو رَدٌّ.
“Ada pun hal yang diharamkan menurut sifatnya adalah seperti pakaian yang menjulur, dia adalah seorang yang memakai pakaian katun yang mubah, tetapi dia menurunkannya sampai melewati dua mata kaki. Maka kami katakan: ini adalah diharamkan menurut sifatnya, dan tidak sah shalatnya, karena itu tidak diizinkan, dan termasuk maksiat dengan pakaiannya itu, dan secara syar’i hukumnya adalah batal, dan barang siapa yang beramal yang bukan termasuk perintah kami maka itu tertolak. (Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 2/154. Cet. 1, 1422-1428H. Dar Ibnu Al Jauzi)”

1.4. Keburukan Isbal Menurut Pendapat Ini.
Menurut pendapat ini keharaman isbal telah jelas, bahkan di dalam isbal terdapat beberapa kemungkaran yang tidak boleh dianggap remeh, berikut penjelasan mereka.

a. Menyelisihi Sunnah 
Menyelesihi sunnah termasuk perkara yang tidak bisa dianggap mudah dan ringan, karana kewajiban setiap muslim untuk mengamalkan setiap sendi dien dalam segala perkara baik datangnya dari Al-Qur’an atau Sunnah. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 
“Artinya: Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul, takut akan di timpa cobaan (fitnah) atau ditimpa adzab yang pedih” [An-Nur: 63] 

b. Mendapat Ancaman Neraka 
Berdasarkan hadits yang sangat banyak berisi ancaman neraka [lihat diatas], bagi yang melabuhkan pakaiannya, baik karena sombong taupun tidak. 

c. Termasuk Kesombongan 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan” [Hadits Riwayat Abu Dawud 4084, Ahmad 4/65, dishohihkan oleh Al-Albany dalam As-Shohihah 770] 

Berkata Ibnul Aroby rahimahullah: “Tidak boleh bagi laki-laki untuk memanjangkan pakaiannya melebihi kedua mata kaki, meski dia mengatakan: “Aku tidak menariknya karena sombong”, karena larangan hadits secara lafazh mecakup pula bagi yang tidak sombong, maka tidak boleh bagi yang telah tercakup dalam larangan, kemudian berkata: “Aku tidak mau melaksanakannya karena sebab larangan tersebut tidak ada pada diriku”, ucapan semacam ini merupakan klaim yang tidak bisa diterima, bahkan memanjangkan pakaian itu sendiri menunjukkan kesombongan” [Fathul Bari 10/325] 

d. Menyerupai Wanita 
Isbal bagi wanita disyari’atkan bahkan wajib, dan mereka tidak diperkenankan untuk menampakkan anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Orang yang isbal berarti mereka telah menyerupai wanita dalam berpakaian, dan hal itu terlarang secara tegas, berdasarkan hadits. 

Dari Ibnu Abbas ia berkata; “Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” [Hadits Riwayat Bukhari 5885, Abu Dawud 4097, Tirmidzi 2785, Ibnu Majah 1904] 

Imam At-Thabari berkata: “Maknanya tidak boleh bagi laki-laki menyerupai wanita di dalam berpakaian dan perhiasan yang menjadi kekhususan mereka, demikian pula sebaliknya” [Fathul Bari II/521] 

Dari Khorsyah bin Hirr berkata: “Aku melihat Umar bin Khaththab, kemudian ada seorang pemuda yang melabuhkan sarungnya melalui di hadapannya. Maka Umar menegurnya seraya berkata: “Apakah kamu orang yang haidh?” pemuda tersebut menjawab: “Wahai amirul mukminin apakah laki-laki itu mengalami haidh?” Umar menjawab; “Lantas mengapa engkau melabuhkan sarungmu melewati mata kaki?” kemudian Umar minta diambilkan guting lalu memotong bagian sarung yang melebihi kedua mata kakinya”. Kharsyah berkata: “Seakan-akan aku melihat benang-benang di ujung sarung itu” [Hadits Riwayat Ibnu Syaibah 8/393 dengan sanad yang shohih, lihat Al-Isbal Lighoiril Khuyala, hal. 18] 

e. Berlebih Lebihan 
Tidak ragu lagi syari’at yang mulia ini telah memberikan batas-batas berpakaian, maka barangsiapa yang melebihi batasnya sungguh ia telah belebih-lebihan. 

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 
“Artinya: Dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” [Al-A’raf: 31] 

f. Terkena Najis 
Orang yang isbal tidak aman dari najis, bahkan kemungkinan besar najis menempel dan mengenai sarungnya tanpa ia sadari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Artinya: Naikkan sarungmu karena hal itu lebih menunjukkan ketakwaan dalam lafazh yang lain lebih suci dan bersih” [Hadits Riwayat Tirmidzi dalam Syamail 97, Ahmad 5/364, dishohihkan oleh Al-Albani dalam Mukhtashar Syama’il Muhammadiyyah hal. 69] 

2. Pendapat Yang Mengharamkan Bila Dengan Niat Riya'
Kelompok pendapat ini mengatakan bahwa dalil-dalil larangan isbal adalah global (muthlaq), sedangkan dalil global harus dibatasi oleh dalil yang spesifik (muqayyad). Jadi, secara global isbal memang dilarang yaitu haram, tetapi ada sebab (‘illat) yang men-taqyidnya yaitu karena sombong (khuyala’). Kaidahnya adalah Hamlul muthlaq ilal muqayyad  (dalil yang global mesti dibawa/ dipahami kepada dalil yang mengikatnya/ mengkhususkannya).

Pernahnya suatu ketika Rasulullah SAW dalam keadaan terburu-buru meng-isbal-kan pakaiannya. 
خَسَفـَتِ الشَّـمْسُ وَ نَحْنُ عِـنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَـلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَـقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْـجِلاً حَتَّى ٲَتَى الْمَسْجِدَ وَ ثَابَ النَّاسُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ فَجُلِّيَ عَنـْھَا ثُمَّ ٲَقـْبَلَ عَـلَيْنَ وَ قَالَ ٳِنَّ الشَّـمْسَ وَالْقَـمَرَ اَيَتَانِ مِنْ اَيَاتِ اللَّهِ فَٳِذَا رَٲَيْتُـمْ مِنْھَا شَـيْءًا فَصَلُّوْا وَادْعُـوْا اللَّهَ حَتَّى يَكْشِـفَـھَا

Kami sedang bersama Nabi saw ketika terjadi gerhana matahari. Beliau berdiri sambil menyeret pakaiannya dengan tergesa-gesa sampai ke masjid dan orang-orang sudah berkumpul. Lalu Nabi shalat dua rakaat, dan matahari tampak kembali. Kemudian beliau menghadap ke arah kami dan berkata, 'Matahari dan bulan adalah ayat-ayat Allah. Kalau terjadi gerhana, maka shalatlah dan berdoalah sehingga Allah menampakkannya kembali'. (Shahih Bukhari, bab 'Man jarra ijarahhu ghairu khuyala', lihat Fath Al-Bari, vol.X/254, hadits no.5785)

Apakah karena hanya terburu-buru saja, isbal boleh dilakukan ? Ternyata ada hadits riwayat Imam Bukhari lain yang menyatakan prinsip lebih umum tentang hal ini, yaitu :

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat!" Abu Bakar bertanya, "Ya Rasulullah, sarungku sering melorot kecuali bila aku menjaganya!" Rasulullah menjawab, "Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong."[Hadits Riwayat Bukhari 5784]

Sejalan dengan hadits ini, beberapa ulama besar tidak mengharamkan isbal asalkan bukan karena riya’/sombong, di antaranya adalah Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Imam Nawawi.

2.1. Ibnu Hajas Asqalani
Ibnu Hajar Al-Asqalani adalah ulama besar yang  menulis syarah (penjelasan) kitab Shahih Bukhari. Kitab beliau ini boleh dibilang kitab syarah yang paling masyhur dari Shahih Bukhari. 

Khusus dalam masalah hukum isbal ini, beliau punya pendapat sendiri. Ibnu Hajar Asqalani memandang bahwa haramnya isbal tidak bersifat mutlak. Isbal hanya haram bila memang dimotivasi oleh sikap riya'. Isbal halal hukumnya bila tanpa diiringi sikap itu.

Ketika beliau menerangkan hukum atas sebuah hadits tentang haramnya isbal, beliau secara tegas memilah maslah isbal ini menjadi dua. Pertama, isbal yang haram, yaitu yang diiringi sikap riya'. Kedua, isbal yang halal, yaitu isbal yang tidak diiringi sikap riya'. Berikut petikan fatwa Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.

وفي هذه الأحاديث أن إسبال الإزار للخيلاء كبيرة, وأما الإسبال لغير الخيلاء فظاهر الأحاديث تحريمه أيضا, لكن استدل بالتقييد في هذه الأحاديث بالخيلاء على أن الإطلاق في الزجر الوارد في ذم الإسبال محمول على المقيد هنا, فلا يحرم الجر والإسبال إذا سلم من الخيلاء

Di dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa isbal izar karena sombong termasuk dosa besar. Sedangkan isbal bukan karena sombong (riya'), meski lahiriyah hadits mengharamkannya juga, namun hadits-hadits ini menunjukkan adalah taqyid (syarat ketentuan) karena sombong. Sehingga penetapan dosa yang terkait dengan isbal tergantung kepada masalah ini. Maka tidak diharamkan memanjangkan kain atau isbal asalkan selamat dari sikap sombong. (Lihat Fathul Bari, hadits 5345)

Dalam cetakan lain, perkataan Ibnu Hajar selengkapnya sebagai berikut:

وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيث أَنَّ إِسْبَال الْإِزَار لِلْخُيَلَاءِ كَبِيرَة وَأَمَّا الْإِسْبَال لِغَيْرِ الْخُيَلَاء فَظَاهِر الْأَحَادِيث تَحْرِيمه أَيْضًا. لَكِنْ اُسْتُدِلَّ بِالتَّقْيِيدِ فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث بِالْخُيَلَاءِ عَلَى أَنَّ الْإِطْلَاق فِي الزَّجْر الْوَارِد فِي ذَمّ الْإِسْبَال مَحْمُول عَلَى الْمُقَيَّد هُنَا, فَلَا يَحْرُم الْجَرّ وَالْإِسْبَال إِذَا سَلِمَ مِنْ الْخُيَلَاء
“Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa isbal (menyeret) sarung karena sombong termasuk dosa besar. Adapun isbal yang bukan karena sombong, maka zhahir-nya hadis-hadis itu juga mengharamkannya. Namun taqyid sombong pada hadits-hadits ini dipakai untuk dalil, bahwa hadits-hadits lain tentang larangan isbal yang mutlak (tanpa menyebutkan kata sombong) harus difahami dengan taqyid sombong ini, sehingga isbal dan menyeret pakaian tidak diharamkan bila selamat dari rasa sombong”. (Fathul bari: jilid 13, hal: 266, cetakan Daaru Thaibah)

2.2. Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah adalah ulama besar di masa lalu yang menulis banyak kitab, di antaranya Syarah Shahih Muslim. Kitab ini adalah kitab yang menjelaskan kitab Shahih Muslim. Beliau juga adalah penulis kitab hadits lainnya, yaitu Riyadhus-Shalihin yang sangat terkenal ke mana-mana. Termasuk juga menulis kitab hadits sangat populer, Al-Arba'in An-Nawawiyah. Juga menulis kitab I'anatut-Thalibin dan lainnya.

Di dalam Syarah Shahih Muslim, beliau menuliskan pendapat:
وأما الأحاديث المطلقة بأن ما تحت الكعبين في النار فالمراد بها 
ما كان للخيلاء, لأنه مطلق, فوجب حمله على المقيد. والله أعلم
Adapun hadits-hadits yang mutlak bahwa semua pakaian yang melewati mata kaki di neraka, maksudnya adalah bila dilakukan oleh orang yang sombong. Karena dia mutlak, maka wajib dibawa kepada muqayyad, wallahu a'lam.

والخيلاء الكبر. وهذا التقييد بالجر خيلاء يخصص عموم المسبل إزاره ويدل على أن المراد بالوعيد من جره خيلاء. وقد رخص النبي صلى الله عليه وسلم في ذلك لأبي بكر الصديق رضي الله عنه, وقال, " لست منهم " إذ كان جره لغير الخيلاء
Dan Khuyala' adalah kibir (sombong). Dan pembatasan adanya sifat sombong mengkhususkan keumuman musbil (orang yang melakukan isbal) pada kainnya, bahwasanya yang dimaksud dengan ancaman dosa hanya berlaku kepada orang yang memanjangkannya karena sombong. Dan Nabi SAW telah memberikan rukhshah (keringanan) kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq ra seraya bersabda, "Kamu bukan bagian dari mereka." Hal itu karena panjangnya kain Abu Bakar bukan karena sombong.

Bukan hanya Ibnu Hajar Asqalani dan Imam An Nawawi saja, hal ini banyak didukung oleh pendapat para ulama kibar (besar), berikut :

1. Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid Rahimahullah:
وجمهور العلماء من المذاهب الأربعة على عدم التحريم
 “Dan Jumhur (mayoritas) Ulama dari kalangan empat madzhab tidak mengharamkannya.”

2. Imam Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu
    Dalam Al Adab Asy Syar’iyyah, Ibnu Muflih berkata:
قَالَ صَاحِبُ الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ
“Berkata pengarang Al Muhith dari kalangan Hanafiyah,  dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya: “Bukankah kita dilarang melakukan itu?” Abu Hanifah menjawab: “Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.” (Imam Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226. Mawqi’ Al Islam)

3. Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu
Masih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah:
وَقَالَ فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ بِهِ وَهَذَا ظَاهِرُ كَلَامِ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ الْأَصْحَابِ رَحِمَهُمُ اللَّهُ
Dalam satu riwayat Hambal berkata: “Menjulurnya kain sarung, jika tidak dimaksudkan untuk sombong, maka tidak mengapa. Demikian ini merupakan zhahir perkataan lebih dari satu sahabat-sahabatnya (Imam Ahmad) rahimahumullah.”  (Ibid)
Disebutkan dalam riwayat lain bahwa Imam Ahmad juga mengharamkan. (Ibid)

Sementara dalam Kasysyaf Al Qina’ disebutkan:
قَالَ أَحْمَدُ فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ ، وَإِسْبَالُ الرِّدَاءِ فِي الصَّلَاةِ ، إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ ( مَا لَمْ يُرِدْ التَّدْلِيسَ عَلَى النِّسَاءِ ) فَإِنَّهُ مِنْ الْفُحْشِ .
“Berkata Imam Ahmad dalam riwayat Hambal: Menjulurkan kain sarung, dan memanjangkan selendang (sorban) di dalam shalat, jika tidak ada maksud sombong, maka tidak mengapa (selama tidak menyerupai wanita), jika demikian maka itu berbuatan keji.” (Imam Al Bahuti, Kasysyaf Al Qina’,  2/ 304.  Mawqi’ Al Islam. Juga Imam Ar Rahibani, Mathalib Ulin Nuha, 2/363. Mawqi’ Al Islam Lihat juga Imam Ibnu Taimiyah, Syarhul ‘Umdah, Hal. 361. Cet. 1, 1998M-1428H. Darul ‘Ashimah, Riyadh. KSA. )

4. Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Masih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah:
وَاخْتَارَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ رَحِمَهُ اللَّهُ عَدَمَ تَحْرِيمِهِ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِكَرَاهَةٍ وَلَا عَدَمِهَا
 “Syaikh Taqiyyuddin Rahimahullah (maksudnya Ibnu Taimiyah) memilih untuk tidak mengharamkannya, dan tidak melihatnya sebagai perbuatan makruh, dan tidak pula mengingkarinya.” (Ibid)

Beliau berkata dalam kitab Syarhul ‘Umdah:
فأما أن كان على غير وجه الخيلاء بل كان على علة أو حاجة أو لم يقصد الخيلاء والتزين بطول الثوب ولا غير ذلك فعنه أنه لا 
بأس به وهو اختيار القاضي وغيره
Ada pun jika memakainya tidak dengan cara sombong, tetapi karena ada sebab atau hajat (kebutuhan), atau tidak bermaksud sombong dan menghias dengan cara memanjangkan pakaian, dan tidak pula selain itu, maka itu tidak apa-apa. Ini juga pendapat yang dipilih oleh Al Qadhi dan selainnya. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syarhul ‘Umdah, Hal. 361) 

5. Imam Syarfuddin Musa Al Hijawi Rahimahullah
Beliau ulama bermadzhab Hambali, berkata dalam kitab  Al Iqna’:

 فَإِنْ أَسْبَلَ ثَوْبَهُ لِحَاجَةٍ كَسَتْرِ سَاقٍ قَبِيحٍ مِنْ غَيْرِ خُيَلَاءَ أُبِيحَ
“Maka, sesungguhnya menjulurkan pakaian karena ada kebutuhan seperti menutupi betis yang buruk, tanpa adanya sombong, maka itu mubah (boleh).” (Al Iqna’ fi Fiqh Al Imam Ahmad bin Hambal, 1/91. Darul Ma’rifah, Beirut, Libanon)

6. Imam Abul Hasan Al Maliki Rahimahullah
Beliau ulama bermadzhab Maliki, penyusun kitab Kifayatuth Thaalib. Berkata Imam Ali bin Ahmad Ash Sha’idi Al ‘Adawi Rahimahullah dalam Hasyiyah-nya terhadap Kifayatuth Thalib:
ثُمَّ أَقُولُ : وَعِبَارَةُ الْمُصَنِّفِ تَقْتَضِي أَنَّهُ يَجُوزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَجُرَّ ثَوْبَهُ أَوْ إزَارَهُ إذَا لَمْ يَقْصِدْ بِذَلِكَ كِبْرًا أَوْ عُجْبًا
Kemudian saya katakan: perkataan Al Mushannif (penyusun kitab Kifayatutj Thalib, pen) menunjukkan kebolehan bagi laki-laki menjulurkan pakaiannya atau kain sarungnya jika dia tidak bermaksud sombong atau ‘ujub. (Hasyiyah Al ‘Adawi, 8/111. Mawqi’ Al Islam) 

1. ويحرم وهو كبيره إسبال شيء من ثيابه ولو عمامة خيلاء في غير حرب فإن أسبل ثوبه لحاجة كستر ساق قبيح من غير خيلاء أبيح ما لم يرد التدليس على النساء ومثله قصيرة اتخذت رجلين من خشب فلم تعرف ويكره أن يكون ثوب الرجل إلى فوق نصف ساقه وتحت كعبه بلا حاجة لا يكره ما بين ذلك

2. Imam Mawardi dalam kitab Al-Inshof juz 1 hal : 473 mengatakan :
ويكره زيادته إلى تحت كعبيه بلا حاجة على الصحيح من الروايتين وعنه ما تحتهما في النار وذكر الناظم من لم يخف خيلاء لم يكره والأولى: تركه هذا
“ Dan makruh melebihi sampai bawah mata kaki tanpa ada hajat mnurut pndapat yg shohih..si nadzim mnyebutkan jika tidak takut sombong maka TIDAK MAKRUH…”

3. Bahkan Ibnu Taimiyyah dalam hal ini bertaqlid dgn pendapat al-Qodhi yang membolehkannya jika tanpa khuyala :

وقال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله في: ((شرح العمدة)) (ص361-362) : (فأما إن كان على غير وجه الخيلاء بل كان على علة أو حاجة أو لم يقصد الخيلاء والتزين بطول الثوب ولا غير ذلك فعنه أنه لا بأس به وهو اختيار القاضي وغيره

“Ibnu Tamiyyah berkata dalam kitab Syrh Umdah “ Adapun jika tidak dengan khuyala akan tetapi karena ada alasan atau hajat atau tidak bermaksud sombong dan berhias dgn pakaian panjang dan lainya, maka tidaklah mengapa dan ini ikhtiyarnya al-Qodhi dan selainnya “.

4. Imam Syafi’i sendiri memiliki pendapat lain yg dinukil oleh Imam Nawawi dalam kitab majmu’nya berikut :

لا يجوز السدل في الصلاة ولا في غيرها للخيلاء ، فأما السدل لغير الخيلاء في الصلاة فهو خفيف ؛ لقوله صلى الله عليه وسلم لأبي بكر رضى الله عنه وقال له : إن إزاري يسقط من أحد شقي . فقال لهلست منهم
“Tidak boleh sadl atau isbal di dalam sholat maupun diluar sholat jika karena sombong. Adapun sadl bukan karena sombong di dalam sholat maka itu adalah khofif / ringan karena hadits Nabi Saw kepada Abu Bakar yang berkata “ Wahai Rasul, sesungguhnya pakaianku menyeret ke bumi “ Maka Nabi mnjawab “ Kamu bukan karena sombong “.

5. Hadits dari Ibnu Umar yg diriwayatkan dalam Shohih Muslim berikut :
من جر إزاره لا يريد بذلك إلا المخيلة فإن الله لا ينظر إليه يوم القيامة
“ Barangsiapa yang menyeret sarungnya, tidak berbuat itu selain sifat sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat “. (HR. Muslim).

Imam Asy Syafi’i dan Imam An Nawawi Rahimahumallah
             Dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Imam An Nawawi berkata:
وَأَنَّهُ لَا يَجُوز إِسْبَاله تَحْت الْكَعْبَيْنِ إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوه ، وَظَوَاهِر الْأَحَادِيث فِي تَقْيِيدهَا بِالْجَرِّ خُيَلَاء تَدُلّ عَلَى أَنَّ التَّحْرِيم مَخْصُوص بِالْخُيَلَاءِ
 “Tidak boleh isbal di bawah mata kaki jika sombong, jika tidak sombong maka makruh (dibenci). Secara zhahir hadits-hadits yang ada memiliki pembatasan (taqyid) jika menjulurkan dengan sombong, itu menunjukkan bahwa pengharaman hanya khusus bagi yang sombong.” (Al Minhaj Syarh  Shahih Muslim,  Kitab Al Libas Waz Zinah Bab Tahrim Jarr ats Tsaub wa Bayan Haddi maa Yajuz …, Juz. 7, Hal. 168, No hadits. 3887. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Para fuqaha Islam menyebutkan bahwa hukum  makruh ada dua macam, yakni Makruh Tanzih dan Makruh Tahrim. Makruh Tanzih adalah makruh ynag mendekati mubah (boleh). Makruh Tahrim adalah makruh yang medekati haram.

Dalam kitab lainnya:
وَقَالَ النَّوَوِيّ : الْإِسْبَال تَحْت الْكَعْبَيْنِ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوه ، وَهَكَذَا نَصَّ الشَّافِعِيّ عَلَى الْفَرْق بَيْن الْجَرّ لِلْخُيَلَاءِ وَلِغَيْرِ الْخُيَلَاء ، قَالَ : وَالْمُسْتَحَبّ أَنْ يَكُون الْإِزَار إِلَى نِصْف السَّاق ، وَالْجَائِز بِلَا كَرَاهَة مَا تَحْته إِلَى الْكَعْبَيْنِ ، وَمَا نَزَلَ عَنْ الْكَعْبَيْنِ مَمْنُوع مَنْع تَحْرِيم إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ وَإِلَّا فَمَنْع تَنْزِيه ، لِأَنَّ الْأَحَادِيث الْوَارِدَة فِي الزَّجْر عَنْ الْإِسْبَال مُطْلَقَة فَيَجِب تَقْيِيدهَا بِالْإِسْبَالِ لِلْخُيَلَاءِ اِنْتَهَى
Berkata An Nawawi: “Isbal dibawah mata kaki dengan sombong (haram hukumnya, pen), jika tidak sombong maka makruh. Demikian itu merupakan pendapat Asy Syafi’i tentang perbedaan antara menjulurkan pakaian dengan sombong dan tidak dengan sombong. Dia berkata: Disukai memakai kain sarung sampai setengah betis, dan boleh saja tanpa dimakruhkan jika dibawah betis sampai mata kaki, sedangkan di bawah mata kaki adalah dilarang dengan pelarangan haram jika karena sombong,  jika tidak sombong maka itu tanzih. Karena hadits-hadits yang ada yang menyebutkan dosa besar bagi pelaku isbal adalah hadits mutlak (umum), maka wajib mentaqyidkan (mengkhususkan/ membatasinya) hadits itu adalah karena isbal yang dimaksud jika  disertai khuyala (sombong). Selesai.” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al Khuyala, Juz. 10, Hal. 263. Darul Fikri. Lihat juga Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Kitab Al Jami’ Bab Laa Yanzhurullah ila man Jarra Tsaubahu Khuyala’, Juz. 4, Hal. 158. Cet. 4, 1960M-1379H. Maktabah Mushtafa Al Baabi Al Halabi. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al Libas Bab Ar Rukhshah fi Al Libas Al Hamil …, Juz. 2, Hal. 114. Maktabah Ad Da’wah )
             
Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An Nawawi juga membuat bab khusus (yakni Bab ke 119)  tentang masalah ini berjudul:
باب صفة طول القميص والكُم  والإزار وطرف العمامة وتحريم إسبال شيء من ذلك على سبيل الخيلاء
وكراهته من غير خيلاء
 “Bab Sifat Panjangnya Gamis, Kain Sarung, dan Ujung Sorban, dan haramnya isbal (memanjangkan) hal tersebut karena sombong, dan makruh jika tidak sombong.” (Imam An Nawawi, Riyadhus Shalihin, Hal. 257. Cet. 3, 1998H-1419H. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arnauth  Muasasah Ar Risalah, Beirut)

Imam At Tirmidzi Rahimahullah
Dalam kitab Sunan-nya Beliau menulis Bab: Maa Ja’a fi Karahiyati jaaril Izaar (Bab Tentang riwayat dimakruhkannya menjulurkan kain sarung) 

Imam Ibnu Abdil Barr Rahimahullah
Beliau berkata –sebagaimana dikutip Imam Ibnu Hajar-  sebagai berikut:
قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ : مَفْهُومه أَنَّ الْجَرّ لِغَيْرِ الْخُيَلَاء لَا يَلْحَقهُ الْوَعِيد ، إِلَّا أَنَّ جَرّ الْقَمِيص وَغَيْره مِنْ الثِّيَاب مَذْمُوم عَلَى كُلّ حَال .
Ibnu Abdil Barr berkata: “Bisa difahami bahwa menjulurkan pakaian bukan karena sombong tidaklah termasuk dalam ancaman hadits tersebut, hanya saja memang menjulurkan gamis dan pakaian lainnya, adalah tercela di segala keadaan.”  (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al Khuyala, Juz. 10, Hal. 263. Darul Fikr.  Lihat juga Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Kitab Al Jami’ Bab Laa Yanzhurullah ila man Jarra Tsaubahu Khuyala’, Juz. 4, Hal. 158. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al Libas Bab Ar Rukhshah fi Al Libas Al Hamil …, Juz.  2, Hal. 114)

Imam Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah
Beliau berkata:
قَالَ الْقَاضِي : قَالَ الْعُلَمَاء : وَبِالْجُمْلَةِ يُكْرَه كُلّ مَا زَادَ عَلَى الْحَاجَة وَالْمُعْتَاد فِي اللِّبَاس مِنْ الطُّول وَالسَّعَة . وَاللَّهُ أَعْلَم .
Berkata para ulama: “Secara global (umumnya) dimakruhkan setiap hal yang melebihi dari kebutuhan dan berlebihan dalam pakaian, baik berupa panjangnya  dan lebarnya. Wallahu A’lam.” (Al Minhaj Syarh  Shahih Muslim,  Kitab Al Libas Waz Zinah Bab Tahrim Jarr ats Tsaub wa Bayan Haddi maa Yajuz …, Juz. 7, Hal. 168)

Imam Az Zarqani menyebutkan:
وَفِي الْمَوَاهِبِ : مَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ عَلَى سَبِيل الْخُيَلاَءِ فَلاَ شَكَّ فِي تَحْرِيمِهِ ، وَمَا كَانَ عَلَى طَرِيقِ الْعَادَةِ فَلاَ تَحْرِيمَ فِيهِ ، مَا لَمْ يَصِل إِلَى جَرِّ الذَّيْل الْمَمْنُوعِ مِنْهُ . وَنَقَل الْقَاضِي عِيَاضٌ عَنِ الْعُلَمَاءِ كَرَاهَةَ كُل مَا زَادَ عَلَى الْعَادَةِ فِي اللِّبَاسِ لِمِثْل لاَبِسِهِ فِي الطُّول وَالسِّعَةِ
Disebutkan dalam Al Mawahib: apa saja dalam hal ini yang termasuk dilakukan dengan cara  sombong maka tak ragu lagi haramnya, dan apa saja yang dilakukan karena itu adalah hal yang telah menjadi adat maka tidak haram, selama tidak sampai menjulurkan ujung yang dilarang. Al Qadhi ‘Iyadh menukil dari para ulama bahwa dimakruhkan setiap tambahan yang melebihi kebiasaan dalam pakaian, semisal pakaian yang melebihi dalam panjang dan lebarnya. (Imam Az Zarqani, Syarh ‘Ala Al Muwaththa, 1/273)

Jadi, makruhnya itu adalah jika ‘lebih’ dan ‘tambahan’ itu diluar kebiasaan yang terjadi lazimnya di masyarakat. Nah, zaman ini dan dibanyak negeri muslim,   umat Islam  terbiasa dengan isbal sebatas mata kaki lebih sedikit. Bisa jadi ini juga telah menjadi bagian dari kebiasan yang dimaksud, dan makruh jika melewati kebiasaan itu.
             
Namun ada pula yang mengatakan bahwa standar kebiasaan tersebut hanyalah kebiasaan yang terjadi masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,bukan selainnya.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah
Beliau berkata:
وَيُكْرَهُ إسْبَالُ الْقَمِيصِ وَالْإِزَارِ وَالسَّرَاوِيلِ ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِرَفْعِ الْإِزَارِ . فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ عَلَى وَجْهِ الْخُيَلَاءِ حَرُمَ
“Dimakruhkan isbal (memanjangkan) gamis (baju kurung), kain sarung, dan celana panjang, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan menaikannya. Tetapi jika isbal dengan sombong maka haram.” (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, Al Fashlu Ats Tsalits Maa Yakrahu fi Ash Shalah, Juz. 3, Hal. 21)

Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi Rahimahullah
Beliau berkata ketika menjelaskan makna hadits, “tidak ada hak bagi kain terhadap dua mata kaki”:

أَيْ لَا تَسْتُر الْكَعْبَيْنِ بِالْإِزَارِ وَالظَّاهِر أَنَّ هَذَا هُوَ التَّحْدِيد وَإِنْ 
لَمْ يَكُنْ هَذَا خُيَلَاء نَعَمْ إِذَا اِنْضَمَّ أَسْفَل عَنْ هَذَا الْمَوْضِع بِالْخُيَلَاءِ اِشْتَدَّ الْأَمْر وَبِدُونِهِ الْأَمْر أَخَفّ .
“Yaitu kedua mata kaki tidak boleh tertutup dengan kain, dan zahirnya kalimat ini merupakan pembatasan, jika melakukannya dengan tidak sombong. Ya, jika sampai lebih bawah dari tempatnya (mata kaki) dengan sombong maka perintah menaikannya lebih keras, dan jika tidak dengan sombong maka perintahnya lebih ringan.” (Imam Abul Hasan as Sindi, Syarh Sunan An Nasa’i, Kitab Az Zinah Bab Maudhi’ al Izar, Juz. 7, Hal. 68, No hadits. 5234. Lihat juga Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, Kitab Al Libas bab Maudhi’ al Izar Aina Huwa, Juz. 6, Hal. 493, No hadits. 3562.)
             
Dalam  Fatawa Al Hindiyah tertulis:
إسْبَالُ الرَّجُلِ إزَارَهُ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ إنْ لَمْ يَكُنْ لِلْخُيَلَاءِ فَفِيهِ كَرَاهَةُ تَنْزِيهٍ ، كَذَا فِي الْغَرَائِبِ .
“Isbal-nya kain seorang laki-laki di bawah mata kaki, jika dia tidak sombong, maka hukumnya makruh tanzih demikian di sebut dalam Al Gharaib.” (Fatawa Al Hindiyah, Juz. 43, Hal. 183)
           
Memanjangkan pakain pada shalat hingga melebihi mata kaki, bahkan menyentuh tanah adalah makruh menurut mayoritas ulama. Tersebut dalam Al Mausu’ah:
فَإِسْدَال الثَّوْبِ فِي الصَّلاَةِ - بِمَعْنَى إِرْسَالِهِ مِنْ غَيْرِ لُبْسٍ - مَكْرُوهٌ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ مُطْلَقًا ، سَوَاءٌ أَكَانَ لِلْخُيَلاَءِ ، أَمْ 
لِغَيْرِهَا
Maka, menjulurkan pakaian dalam shalat –dengan makna dijulurkan begitu saja tanpa dipakai- adalah makruh menurut mayoritas ahli fiqih secara mutlak, sama saja baik yang dengan sombong atau tidak. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 3/144)
       
Ada pun memanjangkan  izar (kain) dengan sombong maka itu haram,  mereka membedakan hukumnya dengan memanjangkan tsaub (pakaian). (Ibid) 

Penjelasan Lainnya.
Secara fiqhiyah, atau menurut para ulama fikih, hadits pelarangan isbal difahami bahwa kain celana atau sarung di atas mata kaki dimaksudkan supaya terbebas dari kotoran atau najis. Artinya masalikul illat atau ihwal disunnahkan mengangkat celana adalah untuk menghindari najis yang mungkin ada di tanah atau jalanan yang kita lewati.

Berdasarkan ketentuan fikih ini, maka kita dipersilakan memakai pakaian sebatas mata kaki, tidak harus di atasnya, selama kita bisa memastikan akan bisa menjaga celana kita dari kotoran dan najis, misalnya dengan memakai sepatu atau sandal atau mengangkat atau menekuk celana kita pada saat jalanan hujan atau basah.

Selain itu, dalam fiqih kita mengenal istilah tahzin atau etika dalam berpenampilan yang selaras sesuai dengan adat lingkungan setempat. Kita dipersilakan mengikuti tren pakaian masa kini asal tetap mengikuti ketentuan yang wajib yakni untuk laki-laki harus menutupi bagian tubuh dari mulai pusar hingga lutut.

D. KESIMPULAN
Pendapat bahwa isbal itu haram secara mutlak dan sudah disepakati oleh semua ulama sesungguhnya merupakan pendapat yang kurang tepat. Siapa yang tidak kenal dengan Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Al-Imam An-Nawawi rahimahumallah ? Keduanya adalah begawan ulama sepanjang zaman. Dan keduanya mengatakan bahwa isbal itu hanya diharamkan bila diiringi rasa sombong.

Maka haramnya isbal secara mutlak adalah masalah khilafiyah, bukan masalah yang qath'i atau kesepakatan semua ulama. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Dan itulah realitasnya. Pendapat mana pun dari ulama itu, tetap wajib kita hormati. Sebab menghormati pendapat ulama, meski tidak sesuai dengan selera kita, adalah bagian dari akhlaq dan adab seorang muslim yang mengaku bahwa Rasulullah SAW adalah nabinya. Dan Rasulullah SAW itu tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlaq.

Pendapat mana pun dari ulama itu, boleh kita ikuti dan boleh pula kita tinggalkan. Sebab semua itu adalah ijtihad. Tidak ada satu pun orang yang dijamin mutlak kebenaran pendapatnya, kecuali alma'shum Rasulullah SAW. Selama seseorang bukan nabi, maka pendapatnya bisa diterima dan bisa tidak.

Bila satu ijtihad berbeda dengan ijtihad yang lain, bukan berarti kita harus panas dan naik darah. Sebaliknya, kita harus mawas dan jaga diri, luas wawasan dan semakin merasa diri bodoh. 

Adapun perberdaan pendapat di kalangan ulama, bisa dikatakan bahwa ro’yun mujtahidun hukmun syar’iyyun fi haqqihi, pendapat imam mujtahid menjadi hukum syar’i bagi para pengikutnya, adapun bagi mereka yang tidak menjadi pengikutnya maka itu tidak menjadi ”hukum syar’inya”.

Semoga Allah SWT selalu menambah dan meluaskan ilmu kita serta menjadikan kita orang yang bertafaqquh fid-din, Amin Ya Rabbal 'alamin.

Jakarta, 16 Jumadi Tsani 1434 H, 26 April 2013 M

REFERENSI
1. Walid bin Muhammad Nabih, Larangan Berpakaian Isbal, Solo : Attibyan, 2002
2. Ibnu Hajar Asqalani, Fathul Bari ; Syarah Shohih Bukhari, Pustaka Azzam, Cet.5, 2007
6. KH Arwanie Faishal (Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU), Memakai Celana di Bawah Lutut 
7. Ibnu Abdillah Al-Katibiy, Hukum Isbal
8. Farid Nu’man Hasan, Pandangan Para Ulama Tentang Isbal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.