Jahiliyah

 

Toshihiko Izutsu dalam bukunya Ethico-Religious Concepts in the Qur'an (1966) yang diterjemahkan dengan Etika Beragama dalam Quran (1993) menjelaskan pengertian Jahiliyyah dengan unik. Mari kita perharikan kutipan panjang berikut ini dalam terjemahan dari Pustaka Firdaus (Jakarta), halaan 46-58 di bawah ini.

Marilah kita sekarang menoleh kepada persoalan: Bagaimana Nabi sendiri membayangkan keadaan jahiliyah? Apakah arti kata itu bagi Muhammad dan orang-orang sezamannya? Dalam Sirat al-Nabi (Kehidupan Nabi) oleh Ibn Ishaq ada cerita yang menarik yang dituturkan oleh penyembah berhala tua bernama Shas ibn Qays. 

Peristiwa itu terjadi tidak lama setelah hijrah ke Medina. 'Musuh Tuhan' ini adalah orang tua yang paling keras kepala dalam menentang agama baru dan menunjukkan permusuhan yang sengit terhadap pengikut Muhammad. Suatu hari ia dilewati oleh kelompok Anshar dari Aus dan Khazraj, dua suku Medinah yang penting, yang pernah terlibat permusuhan yang besar, tetapi kini terikat satu sama lain oleh tali persahabatan baru di bawah pimpinan Nabi dan berjuang untuk alasan yang sama. 

Ketika ia melihat mereka bercakap-cakap bersama dalam suasana ramah tamah dan bahagia, tiba tiba ia merasa iri hati dan gusar. Diam-diam ia menghasut seorang pemuda Yahudi agar ikut bergabung dengan mereka dan membacakan syair-syair gubahan para penyair kedua suku tersebut, sehingga mengingat kan mereka kembali pada sejumlah pertumpahan darah dan keganasan yang terjadi pada masa penyembahan berhala.

Kejadian itu berlangsung sebagaimana yang ia kehen daki. Pertengkaran sengit timbul di antara orang-orang itu. Dan salah seorang di antaranya berkata dengan provokatif, 'Apakah kalian ingin memulai lagi? Kami telah siap!' dan semua menuju tanah lapang di lem bah gunung berapi yang berdekatan, sambil berteriak. 'Angkat senjata! Angkat senjata!"

Ketika berita itu sampai kepada Nabi ia buru-buru menuju tempat kejadian dan berkata kepada mereka, 'Oh kaum muslimin, bagaimana kalian sampai melupakan Tuhan? Apakah kalian tergoda akan panggilan Jahiliyah (bi-da'wa al-jahiliyah), ketika aku berada di sini di antara kalian, ketika Tuhan membimbing kalian kepada Islam, menghormati kalian, dan dengan demikian memu tuskan ikatan kalian dengan Jahiliyah (qata'a bihi 'ankum amr al-jahiliyah), melepaskan kalian dari ketidakpercayaan, dan membuat kalian satu sama lain bersahabat? Mendengar kata-kata Nabi, mereka sadar bahwa semua ini disebabkan oleh hasutan Setan, dan satu sama lain berpelukan sambil menangis. 23)(Ibn Ishaq Ibn Hisham: Sirat al-Nabi, terbitan F.Wustentenfeld (Gottingen, 1859-1860), I, 385-386.)

Bagian ini menunjukkan dua hal penting menyangkut soal kata. Pertama, bahwa jahiliyah dipandang oleh Muhammad dan para sahabatnya bukan sebagai suatu masa yang kini  telah berlalu. 

Keadaannya beralih menjadi dinamis, suatu keadaan psikologis tertentu yang telah dilenyapkan oleh kekuatan baru Islam, kendati diam-diam masih hidup dalam pikiran para penganutnya, siap menghancurkan kesadaran mereka setiap waktu; dan hal ini dirasakan oleh Nabi sebagai ancaman yang tetap bagi agama baru. 

Kedua, bahwa jahiliyah hampir tidak ada kaitannya dengan 'kebodohan'; dalam kenyataan hal itu berarti rasa kehormatan suku yang paling tajam, spirit persaingan dan kecongkakan yang keras kepala, dan semua perbuat an yang kasar dan tidak sopan yang datang dari watak yang luar biasa penuh nafsu.

Justru di sinilah boleh jadi bahwa arti yang benar dari gerakan Islam sebagai karya reformasi moral yang besar harus dipandang. Pendek kata bangkitnya Islam dalam segi etisnya mungkin sangat baik dilukiskan se bagai usaha yang berani untuk memerangi tindakan akhir yang paling hebat dari spirit jahiliyah, menghapuskannya sama sekali, dan menggantikannya sekali dan seterusnya dengan spirit hilm. 

Ibn Ishaq telah mengawetkannya bagi kita sebuah tradisi lain yang menarik yang menyoroti dengan terang benderang dalam aspek jahiliyah ini. Segera setelah pendudukan di Mekkah pada tahun 8 Hijriyah, Muhammad mengirimkan pasukan ke wilayah itu dengan mengelilingi kota. Ini adalah tugas dengan semangat utusan yang murni; ia hanya memerin tahkan mereka mengajak orang-orang masuk Islam dengan cara yang bersahabat. 

Di antara yang dikirimkan adalah Khalid ibn al-Walid yang gagah berani, yang dikenal dengan nama julukan 'Pedang Allah', dan ia mengunjungi sebuah suku yang disebut Banu Jadhimah. Ketika orang melihatnya, mereka mengangkat senjatanya pertanda siap bertempur. Khalid meyakinkan mereka tentang maksud damainya dan meminta mereka mele takan senjatanya, karena banyak orang lain telah bersedia menerima Islam; perang telah berlalu.

Tetapi ketika mereka meletakkan senjatanya, meskipun dengan peringatan yang sungguh-sungguh dari seseorang di kalangan suku tersebut, Khalid mengikat tangan mereka di balik punggung dan mulai memenggal kepala mereka. Berita itu sampai kepada Muhammad di Mekah. Lalu dikatakan bahwa ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi sehingga 'terlihat ketiaknya' dan berseru tiga kali, 'Oh Tuhan, saya tidak bersalah di hadapanMu terhadap apa yang dilakukan Khalid!' 

Kemudian ia memerintahkan menantu lelakinya Ali, seraya berkata, 'Datangilah segera penduduk itu, periksalah dengan seksama kejadiannya, dan injak-injaklah kebiasaan Jahiliyah (Ij'al amr al Jahiliyah tahta qadamayka), 'Ali cepat-cepat pergi ke desa itu dengan membawa sejumlah besar uang dan membayar ganti rugi untuk setiap darah dan harta milik yang hilang. 24) Mungkin berharga untuk disampaikan komentar seseorang terhadap tindakan Khalid itu: 'Kamu telah melakukan tindakan Jahiliyah ('Amilta bi-amr al jahiliyah) di tengah masyarakat islam."

Dua kejadian itu memberikan isyarat kepada kita tentang apa arti kata jahiliyah pada masa Muhammad. Mereka telah memberikan kesempatan kepada kita untuk mendapatkan wawasan nyata tentang motif-motif etis yang menggarisbawahi gerakan Islam. Akan menjadi jelas bahwa apa yang dikehendaki Islam dalam bidang bidang moralitas adalah reformasi kehidupan yang lengkap, didasarkan pada penghapusan berbagai perbuatan jahili dan menggantinya tindakan berdasarkan semangat hilm.

Dalam kamus bahasa Arab, Taj al-'Arus oleh al Zabidi 25) , kata hilm didefinisikan sebagai 'tindakan pengekangan jiwa seseorang dan menahan sifat seseorang dari emosi kekerasan suatu kemarahan'. 

Dalam Muhit al Muhit oleh al-Bustani 26), hilm adalah keadaan jiwa tetap tenang sehingga tidak dapat bergerak dengan mudah; dan tidak gentar menghadapi bencana apa pun yang timbul', 'keadaan tenang yang mantap meskipun terserang kema rahan', dan lamban dalam membalas orang yang salah'. Kiranya harus diperhatikan bahwa hilm adalah penemuan baru dari Muhammad.

Sebaliknya, itu adalah kebajikan yang sangat dihargai di kalangan bangsa Arab kuno penyembah berhala. Namun landasannya kurang kuat. Bangsa Arab padang pasir yang asli terkenal bernafsu mencetuskan provokasi-provokasi, dari yang kecil sampai yang keterlaluan. 

Ketenangan jiwa, yang dalam bahasa Yunani disebut 'ataraxia', sulit dicapai di kalangan mereka. Agar supaya hilm menjadi poros semua segi kehidupan moral, pertama-tama harus dile takkan basis yang kuat. Hal ini bisa diraih melalui ke percayaan yang tulus kepada Allah, satu-satunya Pencipta seluruh dunia ini. 

Seharusnya hilm ini dihubungkan. secara kokoh dengan kepercayaan monoteistik, sebagai kepantasan moral dari orang yang dibudayakan secara religius, yang berlawanan secara diametris dengan jahiliyah. Kini marilah kita beralih kepada al-Qur'an untuk melihat apakah contoh-contoh yang diberikannya dapat memperkuat interprestasi kata itu.

Ada sejumlah ayat dalam berbagai kata bentukan yang berasal dari akar kata JHL. Bentuk jahiliyah timbul empat kali, dalam surah Ali Imran 148/154; al Maa-Idah 55/50; al-Ahzab 33; dan al-Fat-h 26. Ayat terakhir mungkin paling penting bagi keperluan kita. Hal ini dapat dilukiskan sebagai berikut:

"Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat-takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah mengetahui segala sesuatu."

Apa yang diterjemahkan di sini dengan kesombongan jahiliyah' (hamiyat al-jahiliyah) mengacu kepada ketakaburan kesukuan yang menguasai dan menjadi kebanggaan serta ciri karakteristis orang Arab kuno penyembah berhala. Hal itu juga merupakan spirit perlawanan yang fanatik terhadap setiap hal yang memperlihatkan tanda yang melukai rasa kehormatan dan mengancam cara hidup tradisionalnya. 

Dapat dikatakan bahwa semangat perlawanan yang membara, secara tajam menjadi kontras dengan ketenangan jiwa yang dilim pahkan dari Surga kepada para pemeluknya, dan kecon dongannya untuk mempertahankan pengawasan kepada diri sendiri dalam situasi yang kritis, untuk menaklukkan hawa nafsunya, dan tetap tenang, serta menahan diri atas nama agama. 

Dari sudut pandangan Islam, jahiliyah adalah nafsu yang membabi buta dan biadab, yang dika rakterisasikan kepada mereka yang tidak tahu bagaimana membedakan antara baik dan buruk, yang tidak pernah meminta maaf atas kejahatan yang telah mereka perbuat, yang menjadi tuli dan bisu terhadap kebaikan dan kebenaran, dan buta terhadap bimbingan dari Surga.27) Dan ini adalah nafsu yang gelap dan membuta yang telah mendorong pertumbuhan darah yang tak berakhir, dan menimbulkan kesengsaraan dan ben cana yang tak terhitung dalam sejarah bangsa Arab pra Islam.

Ketiga contoh yang ada tentang penggunaan kata jahiliyah tampaknya tidak begitu penting dari sudut pandangan semantik. Ketiga contoh itu digunakan untuk menggambarkan beberapa aspek, baik sikap moral atau kelakuan yang tampak dari luar dari mereka yang tidak mau menerima agama monoteistik, atau mereka yang meskipun Muslim dalam permukaannya, tidak sungguh sungguh mempercayai Tuhan dan mulai bersikap ragu ragu.

Selanjutnya saya akan memberikan beberapa contoh yang menunjukkan penggunaan dua kata bentukan lain nya dari akar yang sama; yang satu adalah bentuk kata sifat partisipial jahil (kebanyakan tampak dalam bentuk jamak jahilin), dan yang lain adalah bentuk verbal jahila dalam berbagai bentuk konjugasi.

Dalam surah Yusuf ayat 33, Yusuf di Mesir, yang mulai merasa dirinya tak berdaya menghadapi godaan gencar orang-orang perempuan, menyapa Tuhan dan berkata:

"Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipudaya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku ter masuk orang-orang yang bodoh."

Bagian ini memiliki daya tarik yang khusus terhadap fakta bahwa hal itu dijumpai dalam konteks yang non religius, dengan demikian menunjukkan penggunaan yang semata-mata sekuler dalam pembicaraan tentang jahil. Dalam konteks ini kata tersebut mengartikan ke lakuan seseorang yang nekat.

Yang dengan mudah jatuh sebagai korban nafsu yang menggelora dan menjadikan dirinya buta dan tuli dalam membedakan antara yang salah dan benar, kelakuan yang terbukti menjadi lawan yang tepat dari hilm, sebagaimana diterangkan di atas.

Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan Fahisyah itu sedang kamu memperlihatkaninya)?" Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (me menuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak menge tahui (akibat) perbuatanmu". Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: "Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (menda'wahkan dirinya bersih). (An-Naml, 54-55-56).

Dalam bagian ini kita melihat kaum Lot. Yaitu orang orang dari Sodom, yang digambarkan bertingkah laku yang secara karakteristis jahil, mendekati kaum lelaki lebih bernafsu daripada terhadap kaum perempuan', yang merupakan 'dosa yang buruk sekali' fahisyah. Analisa semantik dari kata ini akan diberikan pada bab selanjutnya. 

Di sini kiranya cukup mencatat bahwa dalam contoh ini apa yang terutama dipahami dengan kata jahil adalah seseorang yang secara di luar batas berbuat sesuatu dengan menurutkan kehendak nafsunya sendiri. Contoh ini mempunyai arti khusus dalam konteks kita sekarang, karena menunjukkan dengan jelas bahwa jahil secara esensial tidak ada hubungannya dengan 'ketidaktahuan', meskipun secara tidak langsung menyatakan tindakan yang sengaja tidak mengetahui aturan moral hilm.

"Sesungguhnya, Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah. Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan yang (dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. Tak seorang pun yang dapat merubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu. Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka jika kamu dapat membuat lobang di bumi atau tangga ke langit lalu kamu dapat mendatangkan mu'jizat kepada mereka, (buatlah). Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang orang yang jahil. (Al-An'aam, 33-35)

Uraian al-Baydawi menjelaskan kalimat terakhir ini dengan menguraikan kata-katanya dengan cara: Demi engkau (Muhammad) tidak seorang pun dari jahilin yang menginginkan apa yang tentu saja tidak mungkin mencapai dan mendapatkan secara tak sabar dalam situasi ketika kesabaran memang paling sesuai; karenanya hal itu merupakan tindakan karakteristis dari mereka yang jahil.

Dapat dikatakan bahwa ini merupakan bagian ketika Allah dalam waktu yang sama menghibur dan memperi Ingatkan Nabi, yang mengalami banyak kesukaran dan dikecewakan oleh 'penolakan' rakyatnya yang keras kepala, yang pada mulanya memperoleh bayangan masa depan yang suram. Tuhan mengingatkannya bahwa banyak nabi sebelum dia yang menderita kemalangan yang sama, dan mereka telah memikulnya dengan sabar, meletakkan keyakinannya yang mutlak kepada Tuhan Yang Maha Memelihara. Dan la mengakhiri petunjukNya dengan memerintahkan Muhammad mengikuti contoh para nabi terdahulu dan bukannya tidak sabar dalam menghadapi kesia-siaan. Kiranya akan terbukti kemudian bahwa jahil dalam bagian ini juga berarti seseorang yang pikirannya cenderung dengan mudahnya terperangkap agitasi kemarahan, kesedihan, keputusasaan, atau emosi lainnya.

Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu kehadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakkan mereka tidak mengatahui. (Al-An'aam, 111).

Dalam contoh-contoh ini dan selanjutnya, jahil mempunyai hubungan dalam cara yang esensial dengan kepercayaan-ketidakpercayaan. Kata tersebut di sini dengan jelas menggambarkan orang-orang yang terlalu takabur dan sombong dalam 'penyerahan' kepada agama baru, yang ideal spiritualnya dalam banyak hal penting sama sekali tidak sesuai dengan yang dimiliki bangsa Arab kuno penyembah berhala. 

Hal ini menyatakan secara tidak langsung bahwa dipandang dari sudut penyembahan berhala secara Arab itu sendiri, sifat-sifat itu merupakan wakil spiritnya yang benar, dan apa pun yang harus terjadi, akan mempertahankan kesetiaan yang ti dak menyimpang dari kewajiban suku yang tradisional. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah menjawab panggilan Muhammad kecuali dengan kejijikan dan ejekan belaka. 

Dalam contoh selanjutnya, kebijakan  mengenai sisa ketidakacuhan dan 'penolakan', diakui dengan sikap ideal bagi semua penganut yang saleh untuk mengangkat orang-orang dari jenis ini. Hal itu berjalan secara diam-diam, bahwa dalam kenyataannya, ini tidak dapat menjadi kebijakan Islam yang permanen terhadap orang-orang kafir. Tetapi contoh itu memiliki daya tarik khusus dalam hubungan dengan problem kita sekarang, karena membantu menghasilkan cara yang mencolok sebagai perlawanan fundamental antara jahl dan hilm.

"Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil". (Al-Qashash, 55).

"Katakanlah: "Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?" Dan sesungguhnya telah diwah yukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebe lumnya; "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), nis caya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu ter masuk orang-orang yang merugi. (Az-Zumar, 64-65).

Dalam contoh ini kata jahil digunakan untuk menunjukkan kecanduan berbagai perbuatan paganisme yang musyrik, yang tidak puas dengan mengasossiasikan" tuhan-tuhan lain dengan Allah, meski pun telah memintanya untuk berbuat yang sama. Di sini, dapat dikatakan secara sepintas bahwa jahil berlawanan dengan shakir, orang yang mensyukuri. Dalam mendiskusikan problem kategori semantik kafir, kita telah mengatakan bahwa dalam kepercayaan agama Islam dalam hal rasa syukur atas kemanfaatan yang diterima, dibayangkan secara fundamental dan asli. Begitu pula sama tepatnya dengan penggunaan jahil, yang juga dijumpai dalam bagian berikut ini, yang menggambarkan kecenderungan kemusyrikan bani Israel pada zaman Musa.

Dan ketika mereka ditimpa azab (yang telah diterangkan itu) mereka pun berkata: "Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu daripada kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu". Maka setelah Kami hilangkan azab itu dari mereka hingga batas waktu yang mereka sampaikan kepadanya, tiba-tiba mereka mengingkarinya. Kemudian Kami menghukum mereka, maka Kami tenggelamkan mereka di laut disebabkan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka adalah orang-orang yang melalaikan ayat ayat Kami itu. Dan Kami seberangkan Bani Israil keseberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: "Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan-tuhan (berhala)". Musa menjawab: "Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan). Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan keper cayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan. Musa menjawab: "Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain dari pada Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat. (Al-A'raaf, 134-136/138-140).

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan". Maka berkatalah pemimpin pemimpin yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta". Berkata Nuh: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku ada mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah kamu menerimanya, padahal kamu tiada menyukainya?" Dan (dia berkata): "Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku meman dangmu suatu kaum yang tidak mengetahui". Dan aku tidak mengatakan kepada kamu (bahwa): "Aku mempunyai rezki dan kekayaan dari Allah, dan aku tiada mengetahui yang ghaib, dan tidak (pula) aku mengatakan: "Bahwa sesungguhnya aku adalah ma laikat", dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh peng lihatanmu: "Sekali-kali Allah tidak akan menda tangkan kebaikan kepada mereka". Allah lebih menge tahui apa yang ada pada diri mereka; sesungguhnya aku, kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang zalim. (Hud, 25-27/28-29 dan 31).

Contoh selanjutnya juga menekankan secara khusus pada sifat perlawanan yang sangat kuat dan ulet terhadap agama yang terungkap dalam hal jahiliyah.

"Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): "Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan ka rena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik". Dan ingat lah (Hud) saudara kaum 'Aat yaitu ketika dia mem beri peringatan kepada kaumnya di Al Ahqaf dan sesungguhnya telah terdahulu beberapa orang pem beri peringatan sebelumnya dan sesudahnya (dengan mengatakan): "Janganlah kamu menyembah selain. Allah, Sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab hari yang besar". Mereka Menjawab: "Apakah kamu datang kepada kami untuk mema lingkan kami dari (menyembah) tuhan-tuhan kami? Maka datangkanlah kepada kami azab yang telah kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar". Ia berkata: "Sesungguhnya pengetahuan (tentang itu) hanya pada sisi Allah dan aku (hanya) menyampaikan kepadamu apa yang aku di utus dengan membawanya tetapi aku lihat kamu adalah kaum yang bodoh". (Al-Ahqaaf, 20-21/22-23).

Lebih dulu telah saya sebutkan 'kesombongan' penyembahan berhala (hamiyat al-jahiliyah), semangat perlawanan yang takabur terhadap semua yang mengan cam dasar kehidupan suku, yang memenuhi nafsu kesombongan, sebagaimana Profesor A.J. Arberry menyatakannya, 28) bahwa disebabkan oleh pertumbuhan darah di padang pasir yang tak terbilang banyaknya pada masa masa sebelumnya, kini mendorong orang-orang Arab penyembah berhala baik di kota dan padang pasir melakukan penyiksaan tanpa belas kasihan terhadap Muhammad dan para pengikutnya. Dua kutipan terakhir melukiskan fase pengertian yang tak terpisahkan ini dalam kata jahl, untuk tindakan yang sejenis jahil (jahila), yang dalam jenis ini berarti kelakuan orang orang kafir.

Semua hal yang dipertimbangkan akan menjadi jelas kini, bahwa dalam kategori semantik jahl terdiri dari gagasan sentral mengenai sifat nafsu yang ganas yang cenderung mudah bergolak oleh profokasi yang paling kecil pun dan yang mendorong seseorang kedalam semua jenis kenekatan; bahwa nafsu ini cenderung memanifestasikan dirinya dalam cara yang sangat ganjil, dalam rasa kehormatan yang angkuh mengkarakterisasikan bangsa Arab penyembah berhala, khususnya orang-orang Badui padang pasir; dan akhirnya bahwa dalam situasi spesifik secara al-Qur'an, kata itu mengacu kepada sikap per musuhan yang ganjil dan keagresifan melawan kepercayaan Islam yang monoteistik, yang bagi pikiran orang orang yang sezaman dengan Muhammad sukar sekali diterima secara etis, dan lebih lanjut mempersilakan mereka meninggalkan adat yang dihormati sepanjang zaman dan pujaan-pujaan mereka.

Saya telah mengadakan semacam analisa semantik secara terinci mengenai kata yang diperoleh dari akar JHL untuk dua tujuan utama. Pertama, agar supaya menggambarkan ciri yang penting dari iklim moral Ara bia pada masa menjelang kebangkitan Islam dan dengan demikian memberikan beberapa gagasan pendahuluan dari prinsip-prinsip fundamental yang menggarisbawahi sikap moralnya; dan kedua, agar menunjukkan melalui contoh konkret tentang karakterisasi umum dari metode analisa saya. 

Saya percaya, telah membuatnya cukup jelas bahwa metode ini merupakan sejenis interpretasi. Perlu diketahui bahwa bahan-bahan yang dihimpun bukanlah semua bernilai sama: mereka berbeda satu dengan yang lain dalam derajat relevansi kontekstual, dan konsekuensinya masing-masing harus ditetapkan dan digunakan sesuai dengan nilainya.

Aturan-aturan praktis apakah bagi interpretasi yang kontekstual? Dalam buku kecil yang sangat berharga yang disusun untuk memberikan 'nasihat praktis' bagi calon penerjemah bahasa Latin Klasik, Profesor J. Marou zeau mengatakan bahwa cara paling baik untuk menjernihkan pengertian mengenai kata yang kabur adalah raprocher, comparer, mettre en rapports les termes qui se ressemblent, qui s'opposent, qui se correspondent'. Terhadap hal ini ia tidak lupa menambahkan: 'A propos de chaque mot nin compris, appelons a notre secours tout l'ensemble du passage ou il figure.29) Sebuah 'conseil pratique' yang pada mulanya tampak sebagai kelumrahan yang tak berguna, namun dalam realitas menjadi ikhtisar yang sangat cerdik tentang semua hal dalam prosedur interpretasi kontekstual. Kepentingannya yang amat sangat tampak mencolok jika kita memberinya beberapa. ilustrasi. Untuk menggabungkan, membandingkan semua. kaitan yang mirip, berlawanan, dan cocok antara satu dan yang lain', tidak ada peribahasa yang sungguh lebih baik untuk kita pakai menganalisa data al-Qur'an.


Footnote:

24) (Ibid, II, 834-835.)

25) (al-Zabidi, Taj al-Arus (Cairo, 1306-1307 Hijriyah), VIII. di bawah HIM, 355-358.)

26) Al-Bustani, Muhit (Beirut, 1867-1870), 443-444.

27) Ibn Ishaq, II, 603.

28) A.J. Arberry, The Seven Odes (London, 1957), hal 263.

29. J.Marouzeau, La Traduction du latin (Paris, n.d.) hal.38.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.