Tauhid hakimiyyah, bagaimanakah posisinya?
Sebagian orang zaman ini membagi tauhid menjadi empat macam, yaitu tauhid rububiyyah; tauhid uluhiyyah, tauhid al-asma’ wa ash-shifat, dan tauhid hakimiyyah (tauhid mulkiyyah). Mereka beralasan bahwa pembagian tauhid menjadi tiga itu hanyalah sekedar kesepakatan (istilah) sekelompok orang (yaitu para ulama), bukan asli pembagian yang disebutkan dari syariat, sehingga tidak masalah jika ditambah lebih dari tiga.
Maka kita katakan kepada mereka bahwa pembagian tauhid menjadi tiga itu tidaklah semata-mata kesepakatan para ulama. Akan tetapi, pembagian tersebut berdasarkan penelitian dan telaah terhadap dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, sebagaimana yang telah kami bahas di seri sebelumnya. Para salaf ketika membagi tauhid menjadi tiga macam, mereka simpulkan macam-macam tauhid tersebut dari dalil-dalil Al-Kitab dan As-Sunnah.
Adapun hakimiyyah, maka itu benar dan tidak salah. Karena wajib atas kita setiap muslim untuk menjadikan syariat Allah Ta’ala sebagai satu-satunya sumber hukum. Bahwa hukum itu hanya milik Allah Ta’ala, sehingga hanya hukum Allah Ta’ala yang wajib dilaksanakan dan ditaati oleh manusia, dan wajib berpaling dari semua hukum yang bertentangan dengan hukum Allah Ta’ala.
Baca Juga: Bagaimana Membuktikan Kita Bertauhid Dengan Benar?
Akan tetapi, hal ini telah masuk dalam tauhid rububiyyah atau tauhid uluhiyyah, jika dilihat dari dua tinjauan berikut ini:
Tinjauan pertama, jika ditinjau dari bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang berhak untuk membuat dan menetapkan hukum syariat, maka hal ini telah termasuk dalam makna tauhid rububiyyah. Hal ini karena di antara cakupan pengaturan alam semesta adalah Allah Ta’ala mengatur dengan hukum dan syariat-Nya, yaitu ini halal, itu haram, dan sebagainya.
Tinjauan kedua, jika ditinjau dari sisi bahwa seorang hamba wajib beribadah kepada Allah Ta’ala dengan melaksanakan ketaatan terhadap semua syariat dan hukum Allah Ta’ala, maka hal ini termasuk dalam cakupan tauhid uluhiyyah. Karena di antara bentuk ibadah adalah menjadikan hukum Allah Ta’ala sebagai hukum yang mengatur kehidupan kita.
Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafidzahullahu Ta’ala berkata,
“Tauhid hakimiyyah itu tercakup bisa jadi dalam tauhid rububiyyah, atau dalam tauhid uluhiyyah, atau tercakup dalam dua-duanya sekaligus. Karena Allah Ta’ala menjadikan hukum itu milik-Nya, sebagaimana firman-Nya,
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al-An’am [6]: 57)
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
“Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS. Asy-Syuura [42]: 10)
فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ
“Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. Ghaafir [40]: 12)
Adapun hakimiyyah ditinjau dari sisi kewajiban manusia, maka ini termasuk pebuatan hamba. Sedangkan semua perbuatan hamba termasuk dalam tauhid uluhiyyah.” (Ithaaf As-Saail bimaa fi Ath-Thahawiyyah min Masaail, hal. 19-20) [1]
Baca Juga: Inilah Nikmat Tauhid dan Akidah
Oleh karena itu, makna “hakimiyyah” sebagaimana yang mereka maksud adalah makna yang benar, tidak salah sama sekali. Karena wajib bagi kita untuk berhukum dengan syariat Allah Ta’ala. Akan tetapi, kandungan maknanya sudah tercakup dalam tauhid uluhiyyah, menurut salah satu sudut pandang. Para ulama salaf tidaklah menihilkan tauhid hakimiyyah, sehingga orang-orang di zaman sekarang ini merasa perlu menambahkan jenis tauhid yang ke empat, yaitu tauhid hakimiyyah. Menurut para salaf, tauhid hakimiyyah itu sudah termasuk dalam tauhid uluhiyyah, sehingga tidak perlu disendirikan secara khusus.
Jika motivasi menjadikan hakimiyyah sebagai tauhid tersendiri adalah karena melihat realita keumatan yang meremehkan dan melalaikan masalah berhukum dengan hukum Allah, maka pola pikir dan argumentasi seperti ini tidaklah tepat. Karena konsekuensinya, kita pun akan merasa perlu membuat jenis tauhid baru, misalnya tauhid shalat, karena melihat realita umat yang banyak meremehkan dan melupakan urusan shalat. Atau akan ada tauhid zakat, ketika melihat realia umat yang banyak meremehkan dan tidak mau menunaikan zakat. Juga akan ada tauhid puasa, tauhid haji, dan semua jenis ibadah perlu dibuat tauhid tersendiri ketika umat Islam sekarang ini meremehkan jenis ibadah tersebut. Jadilah macam-macam tauhid itu banyak sekali dan tidak ada ujungnya. Padahal, semua jenis ibadah itu sudah termasuk dalam tauhid uluhiyyah. [2]
Fatwa para ulama tentang tauhid hakimiyyah
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz rahimahullahu Ta’ala ditanya, “Sekarang ini ada orang-orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya tauhid itu ada empat. Mereka berkata, “Tauhid jenis yang ke empat adalah tauhid hakimiyyah.” Apakah ini benar?
Beliau rahimahullahu Ta’ala menjawab,
“Tauhid tidaklah dibagi menjadi empat. Tauhid itu hanyalah dibagi menjadi tiga, sebagaimana perkataan para ulama. Adapun tauhid hakimiyyah itu sudah tercakup dalam tauhid ibadah (tauhid uluhiyyah). Termasuk dalam tauhid ibadah adalah berhukum dengan apa yang Allah Ta’ala syariatkan, shalat, puasa, zakat, haji, dan berhukum dengan syariat-Nya. Semua ini termasuk dalam tauhid ibadah.” (Majmu’ Fataawa wa Maqalaat Syaikh ‘Abdul ‘Aziiz bin Baaz, 30: 328)
Baca Juga: ‘Arsy adalah Makhluk Allah yang Terbesar, Paling Tinggi dan yang Pertama Kali Allah Ciptakan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala ditanya, “Apa yang Engkau katakan terhadap orang-orang yang menambahkan jens tauhid yang ke empat, yang mereka sebut dengan tauhid hakimiyyah?”
Beliau rahimahullahu Ta’ala menjawab,
“Kami katakan bahwa sesungguhnya itu adalah kesesatan dan kebodohan. Karena tauhid hakimiyyah adalah tauhidullah, karena Al-Haakim (yang menetapkan hukum) adalah Allah Ta’ala. Jika Engkau mengatakan bahwa tauhid itu ada tiga macam, sebagaimana perkataan para ulama, yaitu tauhid rububiyyah … (dan seterusnya), pent.), maka tauhid hakimiyyah itu sudah tercakup dalam tauhid rububiyyah. Karena makna yang terkandung dalam tauhid rububiyyah adalah mentauhidkan dalam perbuatan menetapkan hukum, menciptakan, dan mengatur bagi Allah Ta’ala semata.” (Liqaa’at Al-Baab Al-Maftuuh, 12: 150)
Syaikh Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi hafidzahullahu Ta’ala ditanya tentang tauhid hakimiyyah dalam salah satu majelis beliau di Masjidil Haram, lalu beliau menjawab,
“Tauhid hakimiyyah adalah jenis tauhid yang diada-adakan. Yang pertama kali mengadakannya adalah (organisasi) Al-Ikhwaan Al-Muslimiin. Mereka tidaklah mengada-adakan jenis tauhid yang ke empat ini kecuali untuk mengkafirkan penguasa dan memberontak kepada mereka.” (Al-Hukmu bighairi Maa Anzalallah, hal. 92) [3]
Demikianlah sedikit pembahasan tentang pembagian tauhid menjadi tiga. Semoga penjelasan ini dapat mencerahkan sebagian orang yang sebelumnya bertanya-tanya tentang asal usul pembagian tauhid menjadi tiga.
Referensi:
[1] Dikutip dari kitab Al-Hukmu bighairi Maa Anzalallah, hal. 88-89.
[2] Disarikan dari kitab Duruus minal Qur’anil Kariim, karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala, hal. 17-19 (penerbit Daarul ‘Ashimah KSA, cetakan pertama tahun 1421).
[3] Fatwa-fatwa ulama di atas kami kutip dari kitab Al-Hukmu bighairi Maa Anzalallah wa Tahdziir min Fikri At-Takfiir, karya Syaikh ‘Abdussalaam bin Barjas bin Naashir ‘Abdul Karim rahimahullahu Ta’ala, penerbit Daarul Minhaj Kairo, cetakan pertama tahun 1436. Di kitab tersebut, penulis juga banyak mengutip fatwa para ulama lainnya yang membantah adanya jenis tauhid yang ke empat, yaitu tauhid hakimiyyah.
Sumber: https://muslim.or.id/43853-pembagian-tauhid-menjadi-tiga-ide-siapa-bag-4.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.