Ja’far bin Abi Thalib; Sang Diplomat Ulung


“Aku Melihat Ja’far di Surga. Ia memiliki 2 Sayap yang Berlumuran Darah dan Bulu yang Diberi Warna.” (Hadits Al Syarif) 


Di Bani Manaf ada 5 orang yang amat mirip dengan Rasulullah Saw sehingga orang yang lemah pandangannya sering keliru membedakan Rasul Saw dengan mereka. Abdi Manaf adalah nenek moyang Rasulullah saw. dan keteurunannya adalah kabilah yang paling dekat dengan Nabi Saw.

Tidak dipungkiri bahwa Anda ingin mengetahui siapa saja kelima orang tersebut yang begitu mirip dengan Nabi Saw. Maka marilah kita berkenalan dengan mereka semua.  

Mereka adalah: Abu Sufyan bin Al Harits bin Abdul Muthalib, Beliau ini adalah sepupu Rasulullah Saw dan saudara sesusuan dengan Nabi Saw.Kemudian Futsam bin Al Abbas bin Abdul Muthalib, dan dia juga merupakan sepupu Nabi Saw. Al Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim kakeknya Imam Syafi’I ra. Al Hasan bin Ali, cucu Rasulullah Saw dan ia merupakan orang yang paling mirip dengan Nabi Saw dibandingkan dengan yang lain. Dan Ja’far bin Abu Thalib, dia adalah saudara Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Kami akan memaparkan sebuah episode dari kisah hidup Ja’far bin Abi 
Thalib ra… 

Abu Thalib -meski dia adalah orang yang terpandang di kalangan bangsa Quraisy, dan memiliki posisi penting di kaumnya- namun ia adalah orang yang amat sulit hidupnya dan banyak anggota keluarganya. Kondisi tersebut semakin bertambah sulit dengan datangnya tahun paceklik yang terjadi pada bangsa Quraisy sehingga membuat semua panenan menjadi gagal dan hewan-hewan ternakpun tidak dapat mengeluarkan susu. Ini semua membuat manusia hanya mampu mengkonsumsi tulang-tulang basah saja. 

Di kalangan Bani Hasyim –saat itu- tidak ada orang yang berkeluasan kecuali Muhammad bin Abdullah dan pamannya Al Abbas. Muhammad lalu berkata kepada Abbas: “Wahai paman, saudaramu Abu Thalib banyak sekali keluarganya. Engkau tahu sendiri bahwa banyak  manusia yang berkesusahan karena kemarau yang panjang serta wabah kelaparan. Marilah kita ke rumahnya untuk menanggung sebagian keluarganya. Aku akan menanggung seorang anaknya dan engkaupun menanggung seorang lagi dari anaknya, sehingga keduanya kita cukupi kebutuhannya.” Abbas berkata: “Engkau telah mengajak kepada hal kebaikan dan engkau menyeru kepada kebajikan.” 

Kemudian keduanya berangkat dan bertemu dengan Abu Thalib. Keduanya berkata: “Kami datang berniat untuk meringankan beban keluargamu sehingga kesulitan dan penderitaan ini sirna dari diri manusia.” Abu Thalib berkata: “Kalian boleh untuk mengambil siapa saja, selain Aqil.”  

Maka Muhammad mengajak Ali dan menjadikan keluarganya. Sedangkan Abbas mengajak Ja’far dan menjadikannya sebagai keluarga. Ali terus tinggal bersama Muhammad hingga saat Allah Swt mengutusnya sebagai seorang Nabi yang membawa agama petunjuk dan kebenaran. Dialah yang menjadi orang pertama yang memeluk Islam dari kalangan pemuda. Ja’far pun terus tinggal dengan pamannya sehingga ia tumbuh dewasa, masuk Islam dan berkecukupan bersamanya. 
    
Ja’far bin Abi Thalib beserta istrinya Asma binti Umais bergabung dengan rombongan ‘cahaya’ sejak perjalanan pertama.  Keduanya masuk Islam berkat ajakan Abu Bakar As Shiddiq ra sebelum Rasulullah Saw masuk ke Darul Al Arqam.

Darul Arqam adalah sebuah rumah di Mekkah yang dikenal dengan Darus Salam. Rumah ini milik Al Arqam bin Abdu Manaf Al Makhzumy. Dalam rumah tersebut Rasulullah Saw mengajak manusia untuk memeluk agama Islam. Sudah sering disebut kisah Darul Arqam ini sebelumnya

Pemuda Al Hasyimi ini bersama istrinya merasakan siksaan bangsa Quraisy sebagaimana yang dirasakan oleh muslimin yang lain. Keduanya mampu bersabar atas siksaan ini karena keduanya menyadari bahwa jalan menuju surga dipenuhi dengan duri dan sarat dengan hal yang menyakitkan. Akan tetapi yang membuat mereka jengkel sebagaimana yang dirasakan oleh sahabat mereka dari kaum muslimin adalah bahwa bangsa Quraisy menghalangi mereka untuk melakukan ibadah dan menghalangi mereka untuk merasakan lezatnya ibadah. Bangsa Quraisy bahkan senantiasa mengawasi setiap hembusan nafas mereka. 

Pada saat itulah Ja’far bin Abi Thalib meminta izin kepada Rasulullah saw untuk berhijrah bersama istri dan beberapa orang sahabat lainnya ke negeri Habasyah. Rasul pun mengizinkan dengan hati yang sedih. 
                                                      
Yang membuat Rasul bersedih atas para sahabatnya yang suci dan baik itu adalah karena mereka akan meninggalkan kampung mereka. Mereka bersedia meninggalkan tempat di mana mereka bermain di waktu kecil, tanah air dimana mereka tumbuh menjadi remaja. Mereka tinggalkan kampungnya tanpa kesalahan yang mereka perbuat kecuali bahwa mereka mengatakan bahwa: “Tuhan kami adalah Allah!” Akan tetapi Beliau tidak memiliki daya dan kekuatan untuk menolak siksaan bangsa Quraisy. 
     
Berangkatlah rombongan kaum muhajirin pertama ke Habasyah dan salah satu dari mereka adalah Ja’far bin Abi Thalib. Mereka tinggal di sana dengan jaminan keamanan An Najasy yang merupakan pemimpin Habasyah yang dikenal adil dan shaleh. 

Akhirnya, pertama kali mereka mendapatkan rasa aman –sejak mereka masuk Islam- dan mereka merasakan nikmatnya ibadah tanpa ada yang mengganggu kenikmatan ibadah mereka, ataupun yang mengacaukannya. Akan tetapi begitu suku Quraisy mengetahui keberangkatan rombongan muslimin ini menuju Habasyah untuk mendapatkan perlindungan raja Habasyah demi ketenangan beribadah mereka dan keamanan akidah, mereka pun berencana untuk membunuh rombongan muslimin ini atau menggiring mereka masuk ke dalam sebuah penjara besar. 

Sekarang, kita akan mempersilahkan Ummu Salamah ra untuk menceritakan kisah yang ia dengar dan saksikan. 

Ummu Salamah berkata: “Begitu kami tiba di negeri Habasyah, kami menemukan perlindungan yang amat baik bagi diri kami sehingga kami merasa aman dalam menjalankan agama. Kami dapat beribadah kepada Allah tanpa ada siksaan atau ucapan yang menyakitkan kami. Begitu Quraisy mendengar kabar ini, mereka segera mengirimkan dua orang yang paling gagah diantara mereka kepada An Najasy. Keduanya adalah: Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka berdua dibekali hadiah yang akan diberikan kepada An Najasy dan para pemuka agama di sana. Hadiah tersebut adalah barang-barang yang disukai oleh penduduk Habasyah dari negeri Hijaz. Suku Quraisy juga berpesan kepada kedua utusan ini agar memberikan hadiah kepada para pemuka agama terlebih dahulu sebelum mereka menghadap An Najasy untuk membicarakan urusan kami.”                                                     

Begitu keduanya tiba di Habasyah maka mereka menemui para pemuka agama dan memberikan kepada masing-masing pemuka agama hadiah. Tidak ada seorang pun dari para pemuka agama tadi yang tidak mendapatkan hadiah dari keduanya. Kedua utusan tersebut berkata kepada pemuka agama: 

“Ada beberapa budak bodoh kami yang berlindung di negara raja. Mereka telah keluar dari agama bapak dan kakek moyang mereka dan keluar dari kaumnya. Jika kami berbicara kepada raja kalian tentang para budak ini, maka beritahukanlah raja kalian untuk menyerahkan budak-budak ini kepada kami tanpa perlu menanyakan agama mereka. Karena para pemimpin suku mereka amat mengerti tentang kondisi para budak ini dan paham apa yang sedang mereka anut.” Para pemuka agama tadi pun mengatakan: “Ya.” 

Ummu Salamah berkata: “Tidak ada yang lebih kami benci dari Amr dan sahabatnya daripada saat An Najasy memanggil salah seorang dari kami untuk mendengarkan pembicaraannya. 
    
Kemudian keduanya menghadap An Najasy dan memberikan hadiah kepadanya. An Najasy amat senang  dengan hadiah itu. Keduanya lalu berbincang dengan An Najasy seraya mengatakan: “Wahai raja, di negeri telah berlindung beberapa budak-budak negeri kami yang amat nakal. Mereka datang ke sini membawa agama yang tidak kami ketahui sebagaimana engkau tidak mengetahuinya. Mereka meninggalkan agama kami namun tidak masuk ke dalam agamamu… Kami di utus untuk menghadapmu oleh orang tua mereka, paman mereka, keluarga mereka agar engkau berkenan memulangkan budak-budak ini kepada mereka, dan mereka adalah manusia yang paling tahu akan fitnah yang telah dibuat oleh budak-budak ini.” 

An Najasy lalu melihat ke arah para pemuka agama, dan para pemuka agama itu mengatakan: “Keduanya benar, wahai raja! Kaum mereka lebih tahu dan paham akan apa yang telahg di perbuat oleh para budak ini. Maka kembalikanlah para budak ini kepada mereka biar mereka sendiri yang memutuskannya!” 

Lalu murkalah sang raja dengan ucapan para pemuka agama ini, ia berkata kepada mereka: “Tidak, demi Allah. Aku tidak akan menyerahkan mereka kepada siapapun sehingga aku memanggil mereka semua, dan menanyakan kepada mereka apa yang dituduhkan kepada mereka. Jika mereka benar, seperti apa yang dikatakan oleh kedua orang ini, maka aku akan menyerahkannya. Jika mereka tidak demikian, maka aku akan memberi perlindungan bagi mereka dengan sebaik-baiknya. 

Ummu Salamah mengisahkan: “Kemudian An Najasy mengutus seseorang untuk memanggil kami dan menghadapnya. Lalu kami berkumpul sebentar sebelum berangkat menghadapnya. Sebagian dari kami ada yang berkata: “Raja akan menanyakan agama kalian, maka katakanlah terus terang apa yang kalian anut. Biarkan yang menjadi juru bicaranya adalah Ja’far bin Abi Thalib, dan jangan ada yang bicara selainnya.”

Ummu Salamah mengisahkan: “Kemudian kami berangkat untuk menghadap An Najasy dan kami dapati bahwa ia juga telah mengundang para pemuka agama. Mereka semua duduk di samping kanan dan kiri An Najasy. Mereka semua mengenakan Tayalisah dan menghiasi kepala mereka dengan peci. 
Al-Tayalisah (selendang persia) yang merupakan pakaiannya tersendiri sehingga membedakannya dari golongan Yahudi yang lain, dengan ciri-cirinya kain berwarna putih dan mempunyai corak garis biru tua memanjang.

Mereka pun tak lupa membuka kitab dihadapan mereka. Kami juga melihat ada Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah di dekat raja.” 

Begitu kami sudah ada di majlis, An Najasy melihat ke arah kami dan bertanya: “Apakah agama yang baru kalian anut sehingga kalian meninggalkan agama kaum kalian juga tidak membuat kalian masuk ke dalam agamaku, juga tidak masuk suatu agama pun yang diketahui manusia?” 

Lalu majulah beberapa langkah ke arah An Najasy, seseorang yang bernama Ja’far bin Abi Thalib yang berkata: “Wahai raja, Kami dulunya adalah kaum jahiliah yang menyembah berhala dan memakan bangkai. Kami melakukan perbuatan keji dan memutuskan tali silaturahmi. Kami adalah kaum yang suka mengganggu tetangga. Yang kuat diantara kami akan memangsa mereka yang lemah. Kami hidup terus-menerus seperti itu sehingga Allah Swt mengutus seorang Rasul kepada kami yang kami kenal nasab, kejujuran, amanah dan harga dirinya… 

Ia mengajak kami untuk kembali ke jalan Allah; agar kami mau mengesakan dan menyembah-Nya dan meninggalkan apa yang pernah kami dan kakek moyang kami sembah selain Allah dari bebatuan dan berhala… 

Rasul ini memerintahkan kami untuk berkata jujur dan menunaikan amanat. Ia juga menyuruh kami untuk menghubungkan silaturahmu dan bertetangga dengan baik. Menolak diri dari perbuatan haram dan pertumpahan darah. Ia juga melarang kami untuk mengerjakan perbuatan keji dan ucapan dosa. Memakan harta anak yatim dan menuduh wanita yang terhormat. 

Rasul tadi memerintahkan kami untuk beribadah kepada Allah Swt dan agar kami tidak melakukan kemusyrikan terhadap-Nya. Kami juga diperintahkan untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat dan berpuasa Ramadhan… kami meyakininya dan kami beriman kepadanya. Kami mengikuti Rasul tadi dengan apa yang diwahyukan kepadanya dari sisi Allah. Maka kami menjalankan apa yang halal, dan kami menolak apa yang haram.                                                     

Maka tidak ada lain yang dilakukan oleh kaum kami sendiri kecuali melakukan penyiksaan terhadap kami. Mereka menyiksa kami dengan begitu sadis agar mereka dapat menguji kesetiaan kami kepada agama ini dan mengembalikan kami kepada penyembahan berhala. Saat mereka semakin aniaya dan menindas kami. Mereka juga mempersempit ruang gerak kami. Mereka juga menghalangi kami untuk melakukan ibadah agama ini. Maka kamipun keluar dari tanah air menuju negeri mu, dan kami berharap perlindunganmu serta tidak akan dianiaya di bawah kekuasaanmu.” 
     
Ummu Salamah berkata: “An Najasy melihat Ja’far bin Abi Thalib dan bertanya: “Apakah ada yang kalian bawa dari apa yang disampaikan oleh Nabi kalian dari sisi Allah?” Ja’far menjawab: “Ya.” An Najasy berkata: “Bacakanlah kepadaku!” 

Maka Ja’far pun membacakan:  “Kaaf Haa Yaa 'Ain Shaad. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tetang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya zakariya. yaitu tatkala ia berdo'a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata:"Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalalu telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo'a kepada Engkau, ya Tuhanku…” (QS. Mayram [19] :1-4)  sehingga Ja’far membaca hingga bagian tertentu dari surat tersebut. Ummu Salamah berkisah: “Maka menangislah An Najasy sehingga janggutnya basah oleh air mata. Dan para pemuka agama juga menangis sehingga kitab-kitab mereka pun basah dibuatnya. Mereka semua menangis begitu mendengarkan Kalamullah ini. 

Pada saat itulah An Najasy berkata kepada kami: “Apa yang dibawa oleh Nabi kalian dan apa yang telah dibawa oleh Isa adalah berasal dari sumber cahaya yang sama!” Kemudian An Najasy menoleh ke arah Amr dan sahabatnya lalu berkata kepada mereka berdua: “Pergilah kalian berdua! Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian berdua untuk selamanya!” 

Ummu Salamah berkata: “Begitu kami keluar dari ruangan An Najasy, Amr bin Ash berkata kepada sahabatnya dengan mengancam kami: “DemiAllah, aku akan datang kepada Raja esok hari. Aku akan menceri takan kepadanya tentang mereka yang dapat menimbulkan kebencian raja kepada mereka. Aku akan membuat raja membabat mereka dari akarnya!” Maka berkatalah Abdullah bin Abi Rabi’ah kepadanya: “Jangan kau lakukan itu, wahai Amr! Mereka semua berasal dari keluarga kita, meskipun mereka saat ini telah meninggalkan kita!” 

Amr menjawab: “Tidak usah ikut campur! Demi Allah, aku akan menceri takan kepada raja apa yang dapat membuat mereka semua resah. Demi Allah, aku akan menceritakannya kepada raja bahwa mereka menganggap bahwa Isa bin Maryam adalah seorang hamba!!!” 
    
Keesokan harinya, datanglah Amr menghadap Raja An Najasy dan berkata kepadanya: “Wahai raja, orang-orang yang engkau beri perlindungan itu mengatakan suatu perkataan keji tentang Isa bin Maryam. Kalau tidak percaya, panggilah mereka dan tanyakan sendiri  apa yang mereka katakan terhadap Isa bin Maryam!” 

Ummu Salamah berkata: “Begitu kami mengetahui hal ini, kami merasa amat khawatir dan kami belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya… Sebagian kami berkata: “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam jika raja menanyakannya?” Kami pun menjawab: “Demi Allah, kami tidak akan menjawab kecuali seperti apa yang telah Allah firmankan. Kami tidak akan keluar dari perintah-Nya meski hanya seujung jari sebagaimana yang telah disampaikan oleh Nabi kita. Meski apapun yang menjadi konsekuensinya!” 

Kemudian kami sepakat bahwa yang akan menjadi juru bicaranya adalah Ja’far bin Abi Thalib. Begitu An Najasy memanggil, maka kami pun datang menghadapnya, lalu kami melihat adanya beberapa orang pemuka agama dengan pakaian seperti yang telah kami lihat sebelumnya. 

Kami juga melihat Amr bin Ash dan sahabatnya berada di dekat raja. Begitu kami tiba di hadapannya, An Najasy bertanya: “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?” Ja’far bin Abi Thalib mengatakan: “Kami mengatakan tentang Isa bin Maryam sebagaimana yang disampaikan kepada Nabi kami!” An Najasy bertanya: “Apa pendapat Nabi kalian tentang Isa bin Maryam?” 

Ja’far pun menjawab: “Nabi berkata tentang Isa bahwa dia adalah hamba Allah sekaligus Rasul-Nya. Ia juga ruh dan kalimat Allah yang diberikan pada diri Maryam yang suci dan perawan.” 
  
Begitu An Najasy mendengar ucapan Ja’far ia langsung memukul tanah dengan tangannya dan berkata: “Demi Allah, Isa bin Maryam tidak keluar dari apa yang diceritakan oleh Nabi kalian meski seujung rambut!” Maka para pemuka agama menghembuskan nafas keras dari hidung mereka pertanda tidak setuju begitu mereka mendengar ucapan An Najasy. 

An Najasy berkata: “Meski kalian menghembuskan nafas dengan kesal!” Kemudian An Najasy menoleh dan berkata: “Keluarlah, kalian semua aman! Siapa yang mencaci kalian akan terkena denda. Siapa yang menyerang kalian akan dihukum! Demi Allah aku tidak lebih menyukai apabila aku mendapatkan segunung emas daripada salah seorang dari kalian diganggu! 

Kemudian An Najasy melihat ke arah Amr dan sahabatnya sambil berkata: “Kembalikan hadiah kedua orang ini, aku tidak membutuhkannya!” 

Ummu Salamah berkata: “Maka keluarlah Amr dan sahabatnya dengan putus asa dan merasa kesal… sedangkan kami terus tinggal di wilayah An Najasy di wilayah yang paling baik dan perlindungan yang paling mulia.” Ja’far bersama istrinya menghabiskan 10 tahun dalam perlindungan keamanan An Najasy. 

Pada tahun 7 H, mereka berdua meninggalkan negeri Habasyah bersama rombongan kaum muslimin lainnya untuk berhijrah ke Yatsrib. Saat mereka tiba di sana, Rasulullah Saw baru saja kembali dari Khaibar, setelah Allah menaklukan daerah tersebut untuk Beliau.  Khaibar adalah benteng-benteng Yahudi yang berhasil ditaklukan oleh Rasulullah Saw pada tahun 7 H. Rasul Saw dalam perang ini mendapatkan banyak sekali ghaniman (harta rampasan perang).

Begitu berjumpa Ja’far, Rasulullah Saw amat bergembira dan bersabda: “Aku tidak mengerti, mengapa aku begitu gembira. Apakah karena Khaibar telah ditaklukan atau karena datangnya Ja’far?” 

Kaum muslimin semuanya, apalagi mereka yang faqir tidak mau kalah gembiranya dari Rasulullah Saw dengan kedatangan Ja’far. Ja’far begitu peduli dan sayang terhadap kaum fakir. Sehingga ia dijuluki dengan Abul Masakin (Ayahnya orang-orang miskin). 

Abu Hurairah menceritakan tentang pribadi Ja’far dengan ucapannya: “Ja’far adalah orang yang paling baik kepada kami –orang miskin-. Ia sering mengajak kami ke rumahnya dan memberi kami makan dengan apa yang ada di rumahnya. Sehingga bila semua makanan di rumahnya telah habis, maka ia akan memberikan kami bejana tempat minyak yang sama sekali sudah kosong. Bejana tersebut lalu kami belah dan kami jilati apa yang menempel dan tersisa di dalamnya.”                                                      
   
Ja’far tidak tinggal lama di Madinah. Pada tahun 8 hirjriyah, Rasul Saw mempersiapkan pasukan untuk menghadapi pasukan Romawi yang berada di negeri Syam. Rasul menunjuk Zaid bin Haritsah untuk memimpin pasukan ini. Rasul berpesan: “Jika Zaid terbunuh atau tewas maka yang menjadi amir dalam pasukan ini adalah Ja’far bin Abi Thalib. Jika Ja’far terbunuh atau tewas maka yang akan menjadi amirnya adalah Abdullah bin Rawahah. Jika Abdullah bin Rawahah terbunuh atau tewas maka pasukan muslimin dipersilahkan menunjuk amir bagi mereka!” 

Saat pasukan muslimin tiba di Mu’tah, yaitu sebuah desa yang terletak di pinggir negeri Syam di daerah Yordania, mereka mendapati bahwa pasukan Romawi telah menyiapkan 100 ribu prajurit yang didukung oleh 100 ribu lainnya dari penganut Nashrani bangsa Arab dari kabilah Lakhm, Judzam, Qudha’ah dan lain-lain. 

Pasukan muslimin saat itu hanya berjumlah 3000 prajurit. Begitu kedua pasukan sudah bertemu dan peperangan berlangsung dengan sengit sehingga Zaid bin Haritsah tersungkur jatuh dan tewas hingga tak tertolong.  

Serta-merta Ja’far melompat dari punggung kudanya yang berwarna pirang. Kemudian Ja’far menebas kaki-kaki kuda tadi dengan pedangnya sendiri agar pihak musuh tidak menggunakannya lagi. Ia lalu mengambil panji dan merangsek masuk ke barisan musuh sambil bersenandung: Alangkah dekatnya surga Ia amat indah dan sejuk airnya Romawi, bangsa Romawi sudah tiba adzab baginya 

Sebab ia adal ah bangsa yang kafir dan jauh dari agama leluhurnya Jika aku berjumpa dengan mereka, maka aku pasti akan menebasnya Dia terus merangsek masuk ke barisan musuh dengan pedang terhunus sehingga ia mendapat sebuah sabetan pedang yang memutuskan tangan kanannya. 

Lalu ia mempertahankan panji dengan tangan kirinya. Tidak berlangsung lama, tangan kirinya pun putus disabet musuh. Lalu ia mempertahankan panji tersebut dengan dada dan kedua lengan atasnya. Tidak berlangsung lama, maka akhirnya ia terkena sabetan yang ketiga sehingga tubuhnya terbelah dua. Maka panji kemudian direbut oleh Abdullah bin rawahah. Ia pun terus berjuang sehingga ia menyusul kedua sahabatnya. 

Rasulullah mendengar berita gugurnya ketiga panglima perang Beliau. Maka Rasul langsung amat bersedih begitu mendengarnya, lalu ia berangkat menuju rumah sepepupunya Ja’far bin Abi Thalib. Beliau mendapati istrinya Asma binti Umais yang bersiap-siap menyambut suaminya yang sudah tiada. Asma telah menumbukkan gandum, memandikan anak, memakaikan wewangian kepada mereka kemudian memakaikan mereka baju. 
    
Asma berkata: “Saat Rasul Saw datang ke rumah kami, aku melihat ada raut kesedihan yang menyelimuti wajahnya yang mulia. Maka aku mulai merasa khawatir, namun aku tidak mau bertanya kepada Beliau tentang Ja’far karena aku takut mendengar berita yang menyedihkan.” 

Rasul lalu memberikan salam dan berkata: “Bawa kesini, anak-anak Ja’far!” Maka akupun memanggilkan mereka. Maka anak-anakku berlarian ke arah Rasul dengan gembira. Mereka berebutan untuk dapat berada di pangkuan Rasulullah Saw. Rasul Saw merangkul mereka dan menciuminya. Mata Beliau penuh dengan air mata. 

Aku bertanya: “Ya Rasulullah, demi ibu dan bapakku, apa yang membuatmu menangis?! Apakah engkau telah menerima kabar tentang Ja’far dan kedua sahabatnya?” Beliau menjawab: “Ya, mereka semua sudah menjadi syahid pada hari ini.” 

Pada saat itu, sirnalah senyum dari wajah anak-anak Ja’far yang masih kecil saat mereka mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka diam tak bergeming seolah di kepala mereka sedang bersarang seekor burung. 

Sedangkan Rasulullah Saw pergi ke luar sambil mengusap air matanya sambil berdo’a: “Ya Allah, gantikan Ja’far bagi anak-anaknya. Ya Allah, gantikan Ja’far bagi keluarganya.” Kemudian Rasul bersabda: “Aku melihat Ja’far di surga. Ia memiliki 2 sayap yang berlumuran darah dan bulu-bulunya diberi warna.” 


Sumber : Dr. Abdurrahman Ra’fat al-Basya 65 Orang Shahabat Rasulullah SAW (Kaunee.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.