Tauhid Wahabi tidak sama dengan kita. Sejak zaman Salafush-shaleh, umat Islam mengenal makna tauhid dengan, “Meyakini Allah swt sebagai satu-satunya Tuhan yang patut disembah”, tidak lebih dan tidak kurang. Seorang muslim yang bersyahadat, mengakui tiada tuhan selain Allah swt dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT maka ia sah menjadi seorang muslim. Ini berdasarkan hadis Nabi saw:
أمِرْتُ أنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتىّ يَشْهَدُوْا أنْ لاَ إلهَ إلاّ اللهُ وَأنّيْ رَسُوْل اللهِ، فَإذَا فَعَلُوْا ذَلكَ عُصِمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وأمْوَالَهُمْ إلاّ بِحَقّ
“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (Ilâh) yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa saya (Nabi Muhammad) adalah utusan Allah. Jika mereka melakukan itu maka terpelihara dariku darah-darah mereka dan harta-harta mereka kecuali karena hak”. (HR. Bukhari Muslim).
Dalam Hadis lain, Nabi saw bersabda:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلامِهِ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa mengucapkan Lâilâha Illallâh pada akhir hidupnya, maka ia masuk surga.” (HR. Abu Dawud).
Namun, dalam tauhid Wahabi, mereka menyatakan bahwa, “Percaya kepada Allah swt sebagai satu-satunya Dzat yang patut disembah” saja itu tidak cukup. Kaum Wahabi berpendapat bahwa tauhid terbagi menjadi tiga bagian; tauhid Ulûhiyyah, tauhid Rubûbiyyah, dan tauhid Asmâ’ Wa ash-Shifât.[1] Tidaklah dianggap cukup keimanan seseorang kecuali jika meyakini ketiga tauhid Wahabi tersebut. Ibnu Taimiyah, ulama panutan Wahabi menyatakan dalam Risâlah Ahlish-Shuffah, “Tauhid Rubûbiyyah saja tidak cukup dan tidak menghilangkan kekufuran.”[2]
Hal ini karena menurut Wahabi, jika hanya percaya pada keesaan Allah SWT saja maka setiap orang kafir pun juga percaya. Menurut Ibnu Taimiyah, Tauhid Rubûbiyyah ini telah diyakini oleh semua orang, baik orang-orang musyrik maupun orang-orang mukmin. Dalil yang dijadikan justifikasi adalah firman Allah SWT:
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ لَيَقُولَنَّ اللهُ
“Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi? Maka mereka benar-benar akan menjawab: Allah.” (QS. Luqman: 25)
Padahal perkataan orang-orang kafir di atas (pengakuan ketuhanan Allah) hanya di dalam mulut saja, tidak keluar dari hati mereka. Buktinya adalah mereka masih tetap menyembah selain Allah SWT, yakni berhala yang mereka buat sendiri.[3] Mereka berkata demikian itu karena terdesak, mereka tidak memiliki jawaban apapun untuk membantah dalil-dalil kuat dan argumen-argumen yang sangat nyata bahwa hanya Allah SWT yang berhak disembah.
Sedangkan akibat dari dijadikannya tauhid Rubûbiyyah dan Ulûhiyyah sebagai dua syarat tak terpisahkan bagi seseorang untuk menjadi muslim, adalah orang yang hanya bertauhid Rubûbiyyah saja tidak dianggap muslim sehingga halal darahnya untuk dibunuh. Begitu juga sebaliknya.
Pandangan ini dengan tegas dinyatakan oleh pendiri gerakan Wahabi, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dalam Kasyfus Syubuhât, “Setelah kamu pastikan bahwa Rasulullah SAW memerangi kaum musyrik supaya berdoa hanya kepada Allah, bernadzar hanya kepada Allah, menyembelih hanya kepada Allah, meminta tolong hanya kepada Allah dan sekalian ibadah hanya kepada Allah dan telah kamu ketahui bahwa pengakuan mereka dengan tauhid Rubûbiyyah tidaklah memasukkan mereka dalam agama Islam dan tujuan mereka kepada para Malaikat dan para auliya adalah untuk meminta syafaat mereka dan pendekatan diri kepada Allah, dengan cara demikian merupakan hal yang menghalalkan darah dan harta mereka. Dapatlah kamu ketahui ketika itu tauhid yang diajak oleh para Rasul dan enggan diakui oleh kaum musyrik.”[4]
Ada dua penyimpangan dari pernyataan Ibnu Abdil-Wahab di atas: 1) Bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat itu tidak cukup untuk menjadi muslim; 2) Muslim yang bertauhid Rubûbiyyah saja dianggap musyrik dan halal darahnya. Dua poin ini menjadikan pengikuti Salafi Wahabi menjadi intoleran pada saudaranya sesama muslim dari luar kelompoknya.
Dari pembagian Rubûbiyyah dan Ulûhiyyah ini pula, muncullah teologi takfiri, yaitu mengkafirkan sesama muslim serta menganggap syirik semua muslim kecuali dirinya. Padahal, kata Rabb (Rubûbiyyah) dan Ilah (Ulûhiyyah) adalah satu entitas yang merupakan satu kata sinonim (muradif).
Ayat-ayat al-Quran, Hadis dan pernyataan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah, tidak ada yang membedakan antara makna Rabb (Rubûbiyyah) dan makna Ilah (Ulûhiyyah). Bahkan dalil-dalil al-Quran dan Hadis mengisyaratkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara tauhid Rubûbiyyah dengan tauhid Ulûhiyyah. Apabila seseorang telah bertauhid Rubûbiyyah, berarti secara otomatis dia bertauhid Ulûhiyyah. Allah SWT berfirman:
وَلاَ يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلاَئِكَةَ وَالنَّبِيِّيْنَ أَرْبَابًا
“Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai arbab (tuhan-tuhan).” (QS. Ali-Imran: 80).
Ayat di atas menegaskan bahwa orang-orang musyrik mengakui adanya Arbâb (tuhan-tuhan) selain Allah seperti malaikat dan para nabi. Dengan demikian, berarti orang-orang musyrik tersebut tidak mengakui tauhid Rubûbiyyah, dan mematahkan konsep Ibnu Taimiyah dan Wahabi, yang mengatakan bahwa orang-orang musyrik mengakui Tauhid Rubûbiyyah.[5] Seandainya orang-orang musyrik itu bertauhid Rubûbiyyah seperti keyakinan kaum Wahabi, tentu redaksi ayat di atas berbunyi: وَلاَ يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلاَئِكَةَ وَالنَّبِيِّيْنَ آَلِهَةً (Dengan mengganti kalimat arbaban dengan alihatan).
Demikian pula ketika mereka membagi tauhid kepada tauhid Asmâ’ Wa ash-Shifât. Mereka memang menetapkan sifat-sifat Allah yang tercantum dalam al-Quran, hanya saja mereka menolak adanya penakwilan sehingga kerap memaknai beberapa sifat yang mengakibatkan pada menjisimkan Allah.
Tujuan mereka tidak lain hanya untuk mengkafirkan orang-orang yang melakukan takwil terhadap ayat-ayat Mutasyâbihât. Oleh karenanya, Wahabi adalah sekte yang sangat kaku dan keras dalam memegang teguh zhahir teks-teks Mutasyâbihât dan sangat “alergi” terhadap takwil. Bahkan mereka mengatakan, “al-Mu’aw-wil Mu’ath-thil”; artinya seorang yang melakukan takwil sama saja dengan mengingkari sifat-sifat Allah. Na’ûdzu Billâh.
Penulis: Moh. Kanzul Hikam, aktivis ACS semester II
[1] Tauhid Rubûbiyyah, yaitu pengakuan bahwa yang menciptakan, memiliki dan mengatur langit dan bumi serta seisinya adalah Allah saja. Tauhid Uluhiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah. Tauhid Asmâ’ Wa ash-Shifât, yaitu menetapkan hakikat nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan arti literal (zhahir)nya yang telah dikenal di kalangan manusia.
[2] Ibnu Taimiyah, Risalatu Ahlish-Shuffah, hlm. 34. Teks asal: توحيد الربوبية وحده لا ينفى الكفر ولا يكفى
[3] DR. Umar Abdullah Kamil, al-Inshaf fi ma Utsira Haulahul-Khilaf, hlm. 238.
[4] Khalid bin Abdullah bin Muhammad Al-Mushlih, Syarh Kasyfus-Syubuhat, hlm. 3/2.
[5] DR. Umar Abdullah Kamil, al-Inshaf fi ma Utsira Haulahul-Khilaf, hlm. 339.
Sumber artikel di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.