Berbeda Dengan Wahabi, Muhammadiyah Tidak Mengenal Tri-Tauhid

 Posted by: wahyudi May 7, 2018 

Jika kita membuka Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, kita akan menemukan ungkapan sebagai berikut ini:

الاَحَدُ فِىأُلُوْهِيَّتِهِ وَصِفاَتِهِ وَ اَفْعَالِهِ

Yang Esa tentang ketuhanan, sifat dan af’al-Nya

Apakah yang dimaksud dengan tauhid menurut Ulama Asyairah?

Menurut Saadduddin Attiftazani asy-Syafii al-Asy’ary dalam kitab syarhul Mawaqif

التوحيد اعتقاد عدم الشريك في الإ̃لهية وخواصها.

Artinya: Tauhid adalah kepercayaan seseorang untuk tidak menyekutukan Tuhan dan tidak menyekutukan dengan sesuatu yang menjadi kekhususan Allah.

Maksud dari pernyataan Tiftazani itu adalah bahwa seseorang baru bisa dianggap bertauhid manakala ia hanya meyakini Allah saja Tuhan pencipta alam serta tidak menyekutukan dengan sesuatu apapun. Ia juga meyakini bahwa hanya Allah saja yang mempunyai sifat-sifat ketuhanan, sementara selain Allah sama sekali tidak mempunyai sifat ketuhana. Jika seseorang menganggap ada dzat lain yang punya sifat ketuhanan selain Allah maka ia telah keluar dari tauhid.

Di sini tidak bisa dipahami bahw Tiftazani membagi tauhid menjadi dua, yaitu uluhiyyah dan sifat (khawas). Antara uluhiyyah dan sifat menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Dengan kata lain bahwa jika ada seseorang yang meyakini Allah sebagai pencipta alam, namun di sisi lain mempunyai keyakinan bahwa di dunia ini ada dzat lain yang mempunyai kuasa selain Allah, maka ia belum dianggap bertauhid.

Kamaluddin Ibnu Abi Syarif al-Hanafi al-Asyari dalam kitab al-Musayarah mengatakan sebagai berikut:

لتوحيد هو اعتقاد الوحدانية في الذات والصفات والأفعال[1]

Artinya: Tauhid adalah keyakinan mengenai keesaan Allah baik dalam dzat Allah, sifat maupun af’al (perbuatan) Allah.

Artinya bahwa seseorang baru dianggap bertauhid manakala ia meyakini Allah saja Tuhan semesta alam, Allah saja yang mempunyai sifat ketuhanan dan Allah saja yang punyak kuasa ketuhanan. Jika ada mahluk yang dianggap mempunyai kuasa ketuhanan, sifat ketuhanan atau bahkan dia dzat Tuhan, maka ia tidak dianggap bertauhid.

Di sini yang harus digarisbawahi bahwa Kamaluddin tidak membagi tauhid menjadi tiga, yaitu tauhid uluhiyyah, sifat dan af’al. Tiga hal yang disebutkan oleh Kamaluddin adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Jika seseorang percaya bahwa hanya Allah sang pencipta alam raya, namun ia percaya bahwa ada dzat lain yang punya sifat ketuhanan, maka ia tetap dianggap belum bertauhid.

Ibmi Abi Syarif menyatakan:

الإ̃لهية الاتصاف بالصفات التي لأجلها استحق أن يكون معبودا، وهي صفاته التي توحد بها سبحانه، فلا شريك له في شيء منها

yang dimaksudkan dengan ilahiyah adalah dzat yang mempunyai sifat tertentu yang dengan sifat itu ia berhak untuk disembah yaitu sifat keesaannya. Tidak ada sekutu bagi-Nya.

Di sini, Ibnu Abi Syarif juga tidak membagi tauhid menjadi tiga. ketuhanan dan sifat-sifat Tuhan adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Mari kita pandingkan dengan pendapat ulama wahabi terkait pembagian tauhid seperti yang disebutkan di atas. Menurut syaih Utsaimin dan Syaih Shalih Fauzan yang dinukil dari syaih Muhammad bin Abdul Wahab dan Ibnu Taimiyah bahwa tauhid dibagi menjadi tiga, yaitu uluhiyyah, rububiyyah dan sifat

Tauhud uluhiyah adalah adalah percaya hanya Allahs emata dzat yang layak untuk disembah. Ini sesuai dengan firman Allah.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21)..

Tauhid rububiyah adalah percaya bahwa Allah saja Tuhan yang menciptakan makhluk-Nya, mengatur alam raya, memberikan rezki kepada hamba-Nya, mematikan dan menghidupan dan berbagai hal lainnya yang sesuai dengan dzat Allah. Firman Allah:

الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُون

Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 22)..

Tauhid sifat adalah percaya bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang hanya dimiliki oleh Allah semata. Firman Allah:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya: “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.

Menurut Muhammad bin Abdul Wahab bahwa seseorang bisa saja bertauhid rububiyyah, dengan percaya bahwa Allah sang Pencipta alam raya, namun belum tentu mereka bertauhid uluhiyyah dengan hanya menyembah Allah yang satu. Ini seperti kafir Quraisy yang mengakui bahwa Allah lah pencipta alam raya, namun mereka tidak menyembah Allah. Jadi secara uluhiyyah dan tauhid sifat wa asma, mereka belum bertauhid.

Ada pula orang yang secara uluhiyyah telah bertauhid karena telah berikrar bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah. Hanya saja, mereka tidak dianggap bertauhid karena melakukan tawasul, seperti bertawasul kepada para wali, nabi dan lain sebagainya. Bahkan menurut Syaih bin Baz bahwa bertawasul kepada orang salih yang sudah meninggal dunia, dianggap perbuatan musyrik. Pelakunya telah melakukan syirik besar. Jika dianggap syirik bearti pelakunya telah keluar dari Islam. Jadi, syahadat mereka gugur dengan sikap tawasul ini. Mereka tidak dianggap telah bertauhid.

Pendapat di atas sesungguhnya ada kerancuan. Menuruth paham Muhammadiyah seperti yang tersebut di HPT di atas dan juga madzhab ahli sunnah dari kalangan Asyariyah dan Maturidiyah bahwa tauhid hanya ada satu. Uluhiyyah, dzat dan sifat adalah satu kesatuan yang tak terpisahk. memisahkan ketiganya dapat membatalkan tauhid.

Hal ini dapat dilihat dari beberapa poin berikut:

Pertama: Dalam al-Quran tidak membedakan antara uluhiyyah dengan rububiyyah. Contoh ayat berikut:

“الحمد لله رب العالمين

Segala puji bagi Allah tuhan semesta alam

Kata rab di situ adalah sifat dari Allah. Artinya bahwa Allah ada Tuhan semesta alam. Tidak bisa dipisahkan antara sifat rabb dengan Allah itu sendiri. Ia menjadi satu kesatuan tanpa terpisahkan.

قل أعوذ برب الناس

Aku berlindung dari Tuhan manusia.

Yang dimaksudkan Tuhan manusia adalah Allah. Tidak bisa ayat ini dilepas begitu saja dan memisahkan Tuhan dari Allah. Jika dipisahkan, maka yang muncul adalah kerancuan.

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ketika seseorang di alam kubur, maka akan ditanya:

يَا هَذَا مَنْ رَبّكَ وَمَا دِينُكَ وَمَنْ نَبِيّكَ

wahai manusia, siapa Tuhanmu, apa agamamu dan siapa nabimu

Pertanyaan yang digunakan menggunakan lafal رَبّكَ

Jika mengikuti apa yang disampaikan oleh kalangan wahabi bahwa rabbun terkait dengan tauhid rububiyyah. Orang kafir musyrik dianggap telah bertauyhid rububiyyah karena mengakui Tuhan sebagai pencipta alam. Apakah ketika mereka ditanya di alam kubur dengan tauhid rububiyyah itu, mereka bisa selamat? Ternyata tidak. Karena yang dimaksudkan rabbun di sini adalah pengakuan bahwa Tuhan Allah dengan menyatakan keimanan dan keislaman. Tauhid rububiyyah saja, meksi di alam kubur juga ditanya dengan lafal rabb, ternyata tidak dapat menyelamatkan mereka dari fitnah kubur.

Ini artinya bahwa seseorang baru dikatakan bertauhid, jika benar-benar mengesakan Allah dengan segala konsekwensinya. Ia juga berikran dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, percaya dengan seluruh rukun iman dan rukun iman. Termasuk tidak percaya ada sifat lain yang mempunyai kekuatan selain Allah. Tidak masuk akal, seseorang dianggap bertauhid hanya karena percaya Allah sebagai Tuhan, namun di sini lain ia belum bertauhid karena masih menganggap dzat lain punya sifat ketuhanan.

Kedua: Menurut madzhab Ahli sunnah dari kalangan asyariyah dan Maturidiyah bahwa seseorang ketika telah berikrar dengan mengucapkan kalimat syahadat, maka ia telah dianggap bertauhid. Dalam sebuah hadis dikatakan sebagai berikut:

مَنْ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَابْنُ أَمَتِهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ شَاءَ (رواه البخاري، رقم 28 ومسلم، رقم 3252)

“Barangsiapa yang mengucapkan ‘Saya bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah saja dan tidak ada sekutu bagi-Nya dan sesungguhnya Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya. (Dan meyakini bahwa) Isa adalah hamba Allah anak dari hambanya serta kalimat-Nya yang dihembuskan ke Maryam dan ruh dari-Nya. (Dan meyakini bahwa) sesungguhnya surga itu nyata dan neraka itu nyata. Maka Allah akan masukkan ke dalam surga dari pintunya yang delapan yang dikehendaki.’ (HR. Bukhari, no.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ *

Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka menyaksikan tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Bila mereka telah melakukan hal itu, maka mereka telah menjaga darah dan harta mereka, sementara perhitungan amal mereka di sisi Allah.”

Jadi iqrar menjadi bukti bahwa seseorang telah dianggap berislam. orang yang hendak masuk Islam, cukup mengucapkan kalimat syahadat. Syahadat meski menggunakan kata ilah, bukan bearti bermakna tauhid uluhiyyah saja. Ia sudah mencakup seluruhnya yaitu tauhid uluhiyyah dan rububiyyah. Karena bagi ahli sunnah, tidak ada pemisahan antar keduanya.

Jika menggunakan logika Wahabi, idealnya orang masuk Islam tidak hanya membaca syahadat, namun juga ada teks lain yang menunjukkan bahwa ia juga bertauhid rububuiyyah dan sifat. Kenyataannya tidak demikian.

Iqrar dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, ada implikasi secara fikih. Orang yang telah bersyahadat, maka ia harus melakukan berbagai macam kewajiban sebagai seorang mukallaf. Ia harus shalat, puasa, zakat dan haji jika mampu. Ia juga terkena kewajiban mukallaf lainnya seperti nafkah, waris, hukuman hukud dan ta’zir. Jika ada seorang muslim tidak membayar zakat, maka ia bisa dikenai hukuman ta’zir. Bahkan ia bisa dianggap makar oleh pemerintah dengan konsekwensi hukuman mati (diperangi).

Jika ia sudah berkeluarga dan meninggal dunia, kemudian meninggalkan harta waris, maka ahli waris berhak untuk mendapatkan hak warisnya. Ia diharamkan menikahi orang musyrik dan demikian seterusnya. Jadi, implikasi hukum berlaku hanya dengan pengakuan lisan dia dengan mengucapkan kalimat syahadat itu. Ia baru benar-benar dianggap bertauhid.

Tiga: Bagi kalangan wahabi, selama orang percaya bahwa ada Tuhan yang menciptakan alam raya, maka secara rububiyyah ia telah bertauhid. Jadi orang Kristen, Yahudi, Buhda, Hindu, Konghucu dan aliran keagamaan lain, mereka dianggap telah bertauhid. Orang seperti Ahok yang secara jelas telah menista al-Quran dan ulama pun, karena mengakui Tuhan Pencipta Alam, maka ia telah bertauhid.

Mereka berpendapat bahwa orang musyrik Mekkah pun dianggap bertauhid. Bahkan ada yang lebih jauh lagi dengan berpendapat bahwa sesungguhnya seluruh umat manusia ini telah bertauhid karena iqrar (pengakuan) atas Tuhan sebagai pencipta alam ini. Iqrar dalam hati saja, bagi kalangan wahabi sudah cukup seseorang dianggap bertauhid rububiyyah.

Kenyataannya bahwa ada manusia yang sama sekali tidak percaya ada Tuhan sebagai pencipta alam. Dalam al-Quran, mereka disebut dengan addahriyun. Mereka hanya percaya dengan kehidupan dunia saja dan tidak percaya dengan kehidupan setelah mati. Mereka menafikan adanya Tuhan.

(24). وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ ۚوَمَا لَهُمْ بِذَٰلِكَ مِنْ عِلْمٍ ۖإِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. (QS. Al-Jatsiyah: 24)

Bagaimana dengan surat Azzumar ayat 38? Khithab (wicana) dari ayat di atas seperti yang disebutkan oleh Imam Suyuthi da;am tafsir Jalalain adalah orang Kafir Qurais. Artinya bahwa umumnya kafir Quraisy percaya Tuhan sebagai pencipta alam, namun tetap menyekutukan Allah. Dalam realitanya ada juga orang yang sama sekali tidak percaya Tuhan yang disebut sebagai kalangan dahriyun itu.

Addahriyun dalam konteks kita sekarnag adalah para Atheis dan komunis, manusia yang tidak percaya Tuhan. Paham ini bahkan menjadi ideologi yang dipegang oleh banyak orang, bahkan negara, seperti Soviet tempo dulu dan China saat ini. Alam raya ini wujud pada dasarnya hanya berlandaskan pada dialektika materialis semata, seperti yang sering diungkapkan oleh Marxis.

Sikap kalangan Wahabi dengan pembagian tauhid tersebut, di antaranya adalah tauhid rububiyyah karena mereka berpendapat bahwa semua manusia secara fitrah telah bertauhid. Mereka menolak dalilul hudus ulama kalam, menolak bahwa alam hadis dan hanya percaya dengan fitrah. Manusia seluruhnya bagi mereka, baik ketika dalam kandungan maupun telah lahir di dunia, secara fitrah mengakui Tuhan sebagai pencipta alam.

Hanya dalam realita, pendapat ini mentah. Benar bahwa manusia secara fitrah memang mengakui Tuhan. Namun setelah mereka lahir kedunia, banyak hal yang membuat mereka buta dengan Tuhan. atau menyatakan trititas seperti orang Kristen, atau dewa-dewa seperti orang Hindu dan Buda atau percaya dengan kekuatan ruh seperti kalangan animism dinamisme. Bahkan banyak dari mereka yang inkar kepada Tuhan.

Artinya kita tidak bisa memaksa bahwa Marxis dan Lenin telah bertauhid rububiyyah. Apalagi Nietzsche yang berpendapat bahwa Tuhan telah mati. Apakah ia telah bertauhid rububiyyah? Jadi, pembagian tauhid menjadi tiga tadi, selain mempunyai kerancuan secara bahasa, juga bertentangan dengan realitas manusia. Anggapan semua manusia secara fitrah. dari kandungan hingga ia besar dan ajal menjemput nyawa, ternyata dalam kehidupan kita tidak demikian.

Kepercayaan terhadap Allah sebagai Tuhan pencipta alam, sebagai Tuhan yang layak disembah dan juga sebagai Tuhan yang punya sifat ketuhanan, merupakan satu kesatuan dan tidak boleh dipisah-pisahkan. Memisahkan antara tiga hal tadi, selain terjadi kerancuan darii sisi tauhid, juga akan berimplikasi panjang dari sisi hukum fikih. Bahkan bisa memporakporandakan hukum fikih Islam

Maka benarlah apa yang dirajihkan oleh Majelsi Tarjih Muhammadiyah seperti yang tercantum dalam HPT di atas. Muhammadiyah tidak meisahkan tiga macam tauhid. Muhammadiyah tidak mengakui adanya tri tauhid. Yang dirajihkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah dan telah masuk munas Tarjih adalah kesatuan tauhid seperti paham ahli sunnah dari kalangan Asyariyah dan Maturidiyah.

Wallahu a’lam

Sumber artikel di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.