Marhaban Yaa Ramadhan

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ


Alhamdulillah, bulan Ramadhan telah tiba. Tidak terasa telah setahun Ramadhan berlalu dan kini sudah datang kembali dengan membawa keberkahan dari Allah SWT. Bagi kita kaum muslimin, bulan Ramadhan merupakan paket pelatihan (riyadhoh) yang disediakan dalam Syari’at Islam untuk meraih karakteristik jiwa yang disebut dengan Taqwa. 

Bulan Ramadhan pada intinya adalah bulan puasa, tetapi didalamnya terdapat sekian banyak ibadah dan ‘amaliyah yang bisa menghantarkan kita kepada jiwa wiqoyah (selalu terjaga), jiwa yang penuh dengan ketaatan dan kepatuhan.

Muslim dan Mukmin
Perintah puasa dalam Qs. 2:183 ditujukan kepada orang-orang beriman. Al Qur’an menjelaskan salah satu pengertian orang beriman melalui Qs. 49:14-15. “Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.”

Ayat tersebut menjelaskan bahwa ada perbedaan antara “aslamna’” dengan ‘aamanna”. Seseorang baru bisa disebut dengan ‘amanna’, jika ia beriman sepenuhnya kepada Allah dan Rasul-nya, ia tidak ragu sedikitpun, serta berjihad dengan harta dan jiwa pada jalan Allah SWT. Jadi ukuran keimanan menurut ayat ini adalah keimanan tanpa ada rasa ragu sedikitpun kepada Allah dan Rasul-Nya dan jihad dengan harta dan jiwa. 

Setelah sasaran dari syariat puasa ditegaskan dalam Al Quran, kemudian Allah SWT menjelaskan bahwa syariat puasa telah pula diwajibkan kepada ummat-ummat terdahulu. Puasa, sebagaimana akar katanya yang berarti menahan (shoma), berarti menahan diri dari segala apapun yang menghalanginya dari mendapatkan keridhoan Allah SWT. Sekalipun hal itu ia halal tetapi manakala Allah dan Rasul melarangnya, maka ia meninggalkannya. Inilah kepatuhan mutlak, dan inilah makna hakiki dari shawm.

Puasa Ibadah Terstruktur
Kata yang dipergunakan dalam Qs. Al Baqarah : 183 adalah كتب عليكم. Kata ini dalam Al Qur’an hanya disebutkan pada lima tempat, dan semua terdapat pada surat Al Baqarah yaitu ayat 178, 180, 183, 216 dan 246. Ayat 178 menyebutkan kewajiban melaksanakan qishash (hukum balas), ayat 180 menyebutkan kewajiban berwasiat jika sudah datang tanda-tanda kematian, ayat 216 dan 246 menyebutkan kewajiban berperang. 

Jika diperhatikan dengan seksama perintah Allah SWT pada ayat-ayat tersebut, nampak jelas bahwa kewajiban-kewajiban tersebut (puasa, perang, qishash dan wasiat) tidak bisa dilaksanakan secara fardhiyah dan hanya bisa dilaksanakan dengan diorganisir dalam sebuah institusi (aljama’ah). 

Qishash, puasa, perang dan menulis wasiat jika dilaksanakan secara sendirian akan terjadi kekacauan dalam teknis pelaksanaan nya (chaos). Inilah yang dimaksud dengan ibadah terstruktur.

Puasa dengan konteks tersebut, memerlukan permberlakuan (maklumat) dari ulil amri sehingga persatuan ummat bisa terjaga (wahdatul ummah). Perhatikan hadits berikut ini. Dari Ibnu Abbas RA bahwa ada seorang Arab Badui menghadap Nabi SAW, lalu berkata: Sungguh aku telah melihat bulan sabit (tanggal satu). Nabi SAW bertanya: "Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?" Ia berkata: Ya. Beliau bertanya: "Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah." Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: "Umumkanlah pada orang-orang wahai Bilal, agar besok mereka shaum." (HR Ahmad, Nasai, Tirmidzi). 

Pada masa Rasulullah SAW jika seseorang melihat hilal maka tidak serta merta ia melaksanakan puasa tetapi ia memberitahukannya terlebih dahulu kepada Rasulullah SAW. Setelah Rasulullah SAW memaklumatkannya dan menyampaikannya secara terbuka kepada masyarakat melalui Bilal bin Rabbah, maka masyarakat Islam di Madinah mulai berpuasa.

Ramadhan Bulan Al Quran
Rasulullah SAW telah menggariskan berbagai ketentuan berkenaan dengan syariat puasa. Diantaranya beberapa hadits menyebutkan keutamaan puasa di bulan Ramadhan sebagai berikut. Dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda :
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا, غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ 
“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab (perhitungan) maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu’ (HR Bukhari dan Muslim)

Selain menghapus dosa bila berpuasa dengan iman dan ihtisaban, Bulan Ramadhan juga memiliki banyak kemuliaan. Didalamnya, Allah SWT menurunkan kitab-Nya yang mulia sebagai hudan (petunjuk) bagi manusia, sebagai syifaa’ (obat) bagi penyakit-penyakit ruhani kaum muslimin, sebagai furqon (pembeda) antara al-haq dan al-bahtil. Kitab ini turun pada malam di bulan Ramadhan. 

Allah SWT menegaskan bahwa siapa saja yang hadir (شَهِدَ) pada bulan tersebut maka berpuasalah (فَلْيَصُمْهُ). Sifat bulan Ramadhan adalah sebagai bulan yang diturunkan padanya Al Qur’an dan kalimat sesudahnya dengan huruf fa (ف) yang menyatakan illat dan sebab, “Barang siapa yang melihatnya hendaklah berpuasa”. Memberikan isyarat illat (penjelasan sebab) yakni dipilihnya Ramadhan adalah karena bulan tersebut adalah bulan yang diturunkan padanya Al Qur’an.

Oleh karena itu ‘amaliyahan membaca, menghafal, mmpelajari dan mengajarkan Al Qur’an sangat diutamakan pada bulan ini. Bahkan malam diturunkannya Al Qur’an yaitu lailatul qadr disebutkan oleh Allah SWT nilainya sama dengan seribu bulan .لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ  . 

Sehingga Rasulullah SAW mensyariatkan dilaksanakannya I’tikaf (berdiam diri) di satu tempat untuk semata beribadah kepada-Nya untuk meraih nilai-nilai dan keutamaan malam tersebut.

Puasa dan Wiqoyah
Tujuan puasa adalah untuk mencapai jiwa Taqwa. Taqwa pada dasarnya berarti menjaga diri dari hal-hal yang dibenci. Menurut Ibnu Katsir, kata taqwa berasal dari kata   اَلْوِقَايَة artinya penjagaan. Diceritakan bahwa Umar bin Khattab RA pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab mengenai taqwa, maka Ubay bertanya kepadanya : “Tidakkah engkau pernah melewati jalan yang berduri ?” Umar menjawab : “Ya”. Ia bertanya lagi, “Lalu apa yang engkau kerjakan ?” Umar menjawab : “Aku berusaha keras dan bekerja sungguh-sungguh untuk menghindarinya.” Kemudian Ubar menjawab : “Yang demikian itu adalah taqwa”. 

Berpijak kepada jawaban Ubai ini Sayid Qutub berkata dalam Fi Zhilali Qur’an, “Itulah taqwa, kepekaan bathin, kelembutan perasaan, rasa takut terus menerus selalu waspada dan hati-hati jangan sampai kena “duri jalanan”, jalan kehidupan yang selalu ditaburi duri-duri godaan dan syahwat, kerakusan dan angan-angan, kekhawatiran dan keraguan, harapan semu atas segala sesuatu yang tidak bisa diharapkan. Ketakutan palsu dari sesuatu yang tidak pantas untuk ditakuti ... dan masih banyak duri-duri yang lainnya.”

Taqwa juga diartikan dengan “takut kepada Allah” khasyyatillah yang ini dibuktikan dengan “menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya dan menjalankan hal-hal yang diperintah-Nya”. Pengertian ini dapat dilihat dari Qs. 21/48-49, bahwa yang disebut dengan muttaqin adalah, “(Yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat.” (Qs. 21/49) 

Puasa dan Taat kepada Ulil Amri
Puasa Ramadhan juga melatih ketaatan kepada Ulil Amri. Pada masa Rasulullah SAW, melalui paket shiyam Ramadhan para sahabat dibentuk menjadi mukmin yang selalu taat kepada perintah Allah, Rasul dan Ulil Amri. Hal ini bisa dilihat dari pelaksanaan awal puasa yang harus didasarkan kepada keputusan Ulil Amri (Pemerintah). 

Bukan hanya perintah mengawali puasa, Rasulullah pun pernah memerintahkan pembatalan puasa sekalipun itu di bulan Ramadhan. Sehingga siapa saja yang melanggar perintah tersebut maka ia sedang bermaksiat, sekalipun zahirnya ia sedang berpuasa. Tentu ini memerlukan sikap ketaatan dan kepatuhan yang tinggi.

Dari Jabir Ibnu Abdullah RA  bahwa Rasulullah SAW keluar pada tahun penaklukan kota Mekah di bulan Ramadhan. Beliau shaum, hingga ketika sampai di kampung Kura' al-Ghamim orang-orang ikut shaum. Kemudian beliau meminta sekendi air, lalu mengangkatnya, sehingga orang-orang melihatnya dan beliau meminumnya. Kemudian seseorang bertanya kepada beliau bahwa sebagian orang telah shaum. Beliau bersabda: "Mereka itu durhaka, mereka itu durhaka”. Dalam suatu lafadz hadits shahih ada seseorang berkata pada beliau: Orang-orang merasa berat shaum dan sesungguhnya mereka menunggu apa yang baginda perbuat. Lalu setelah Ashar beliau meminta sekendi air dan meminumnya. (HR Muslim)

Dilain waktu ada sahabat yang berhubungan di siang hari dengan istrinya, maka ia melaporkan masalahnya kepada Rasulullah SAW, dan beliau SAW kemudian menetapkan kafarat kepada sahabat tersebut. Ini merupakan bukti dari berlakunya hukum Islam di Madinah. Dan pemberlakuan ini tidak mungkin dilakukan jika wilayah Madinah tidak dipimpin oleh Ulil Amri Islam. Rasulullah SAW adalah Ulil Amri di Madinah al Munawwarah.

Pendeknya, Bulan Ramadhan bukan hanya bulan puasa yang mengandung banyak amaliyah, ia juga merupakan bulan untuk meningkatkan kepatuhan dan ketaatan kepada Ulil Amri. Siapa yang taat kepada Ulil Amri maka sungguh ia telah taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sungguh benar sabda Rasulullah SAW,
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ يَعْصِنِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي
 “Siapa saja yang mentha’atiku maka sungguh ia telah tha’at kepada Allah, dan siapa saja yang membangkan kepadaku maka sungguh ia membangkang kepada Allah. Dan siapa saja yang mentha’ati Amir (pemimpin) maka sungguh ia telah mentha’atiku dan siapa saja yang membangkang kepada Amir maka sungguh ia membangkang kepadaku”. (HR Bukhari dan Muslim). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.