Kaab bin Malik

 


"Belajar Taat di Zaman Fitnah dari Sahabat Ka’ab bin Malik"


Menjalani hidup berjamaah atau berkumpul dalam satu barusan kaum muslimin sebagaimana yang diajarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di zaman fitnah tidak lah mudah. Fitnah dan petaka akan senantiasa selalu menghadang menguji iman di dada. Sebuah kemuliaan bagi siapa saja yang mampu bersabar menghadapi masa-masa sulit dan penuh kengerian. Sedang dirinya tetap bertahan di atas kebenaran.

Ujian adalah madrasah, yang telah mencetak para orang-orang besar sepanjang sejarah. Ujian telah mendidik dan menempa diri mereka sehingga lahirlah manusia yang murni ibarat emas tanpa campuran. Menghadapi ujian hingga selesai dengan tetap memegang kebenaran Islam akan membuat jiwa menjadi bersih, hati semakin bening dan dosa-dosa berguguran, serta taubat akan diterima. Itulah yang dialami sahabat Ka’ab bin Malik ketika dirinya absen dari perang Tabuk.

Keinginan untuk Berjihad
Ka’ab bin Malik merupakan salah seorang sahabat yang menyaksikan baiat Aqabah. Ia tidak pernah tertinggal dalam peperangan bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dalam perang Badar dan Tabuk. Ia tertinggal dalam perang Badar karena niat awal pasukan Islam hanyalah untuk menghadang kafilah dagang kafir Quraisy. Namun berbeda dalam perang Tabuk, ia terlambat bergabung, sehingga tidak ikut perang walau Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menyeru seluruh kaum muslimin yang ada.
Diceritakan dalam Shahih Bukhari bahwa saat itu kurma hampir panen. Pada musim itu pula cuaca sangat panas, perjalanan menuju Tabuk harus menempuh perjalanan jauh melewati gurun yang gersang, dan musuh yang dihadapi adalah pasukan yang besar. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kaum Muslimin untuk mempersiapkan perang ini, sehingga yang ikut sangat banyak.

Demikian juga yang dengan Ka’ab bin Malik yang telah siap dengan dua untanya ;
كَانَ مِنْ خبري أَنِّي لَمْ أَكُنْ قَطُّ أَقْوَى وَلاَ أَيْسَرَ حِينَ تَخَلَّفْتُ عَنْهُ في تِلْكَ الْغَزْوَةِ.. وَاللَّهِ مَا اجْتَمَعَتْ عندي قَبْلَهُ رَاحِلَتَانِ قَطُّ حَتَّى جَمَعْتُهُمَا في تِلْكَ الْغَزْوَةِ
"Adapun cerita tentang diriku tidak ikut perang Tabuk, waktu itu saya sama sekali tidak merasa lebih kuat ataupun lebih mudah (mencari perlengkapan perang) untuk berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat itu. Padahal demi Allah, saya belum pernah   miliki dua unta dan saya memilikinya pada perang tersebut.” “(Hr. Bukhari no. 4400)

Jihad adalah jalan hidup kaum muslimin. Setiap orang memiliki tanggung jawab untuk menyiapkan dirinya dalam proyek jihad. Urgensi persiapan adalah sebagai pendahuluan dan standar dalam mengukur niat seseorang untuk terjun dalam jihad.

وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
“Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”. lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (Qs. At-Taubah : 92)

Keinginan saja tidak cukup, harus ada al-‘azmu (keinginan yang tinggi). Karena ujian bisa saja terjadi saat baru mulai ada keinginan untuk berjihad. Itulah awal mula pertempuran yang terjadi dalam hati. Hal ini pula yang menyebabkan Ka’ab bin Malik tidak bersegera berangkat menyusul pasukan ke Tabuk sehingga tertinggal.

وَتَجَهَّزَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَالْمُسْلِمُونَ مَعَهُ، فَطَفِقْتُ أَغْدُو لكي أَتَجَهَّزَ مَعَهُمْ فَأَرْجِعُ وَلَمْ أَقْضِ شَيْئًا، فَأَقُولُ في نفسي: أَنَا قَادِرٌ عَلَيْهِ. فَلَمْ يَزَلْ يَتَمَادَى بِي حَتَّى اشْتَدَّ بِالنَّاسِ الْجِدُّ، فَأَصْبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَالْمُسْلِمُونَ مَعَهُ، وَلَمْ أَقْضِ مِنْ جهازي شَيْئًا، فَقُلْتُ: أَتَجَهَّزُ بَعْدَهُ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ ثُمَّ أَلْحَقُهُمْ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama kaum muslimin telah bersiap-siap sedangkan saya merencanakan besok saja. Saya pulang dan masih belum menyiapkan persiapan perang sama sekali. “Saya mampu untuk berperang kapanpun saya berkehendak,” kataku di dalam hati. Akan tetapi keadaan seperti itu terus berlarut hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin berangkat. Adapun saya, masih tetap belum menyiapkan sesuatu pun. Saya katakan dalam hati : “saya akan menyusul mereka besok hari atau dua hari lagi.” (HR. Bukhari no. 4400)

Kalimat ‘saya akan’ menggambarkan kondisi psikologis sahabat Ka’ab bin Malik. Dalam hati sebenarnya ia tidak ingin tertinggal dari jihad bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia tidak sempat meyakinkan dirinya untuk segera mempersiapkan bekal perang. Ia berusaha mencari-cari kelemahan dirinya dan membandingkan kondisi dirinya dengan orang-orang yang tertinggal lainnya. Karena memandang kehidupan orang lain atau keragu-raguan inilah yang mungkin menyebabkan dirinya tidak berangkat berjihad.

Sabar dalam Ujian
Tidak ikut sertanya Ka’ab bin Malik dalam perang Tabuk membuat dirinya harus menjalani hukuman, yaitu diboikot oleh kaum muslimin. Diboikotnya Ka’ab dalam rangka menjaga ketaatan kaum muslimin. Bahwa jamaah kaum muslimin punya aturan sedangkan Rasulullah SAW sebagai pemimpin mempunyai kewajiban menjaga aturan yang ada di tengah umat. Selain itu, Ka’ab bin Malik adalah sahabat senior yang dikhawatirkan akan muncul rasa senioritas dalam diri Ka’ab jika tidak dihukum.

Sampai akhirnya Ka’ab bin Malik menemui Abu Qatadah, saudara sepupu dan orang yang paling dicintainya. Namun Abu Qatadah tidak menjawab salamnya ;
فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَوَاللَّهِ مَا رَدَّ عَلَيَّ السَّلاَمَ
“Aku ucapkan salam kepadanya, demi Allah ia tidak menjawab salamku.”

Ini isyarat bagaimana sikap kaum muslimin dalam melaksanakan perintah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpinMereka tidak terpengaruh dengan senioritas, ‘ashobiyah (fanatik kelompok), atau hubungan kerabat. Padahal menjawab salam itu wajib, namun ini dilakukan karena khawatir ada konsekuensi ketika tidak taat dengan perintah pemimpin. Kaab tetap diperbolehkan untuk mengikuti seluruh kegiatan berjamaah di Madinah, namun Kaab harus dikucilkan sebagai bentuk sanksi kepada beliau.

Ini belum selesai, Ka’ab bin Malik diperintahkan untuk menjauhi istri yang menjadi penyejuk hatinya. Namun, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh istrinya untuk menjauhi Ka’ab, sebaliknya Ka’ab yang disuruh untuk menjauhi istrinya.

Ujian terus bertambah, dalam kondisi dikucilkan dari masyarakat, Raja Ghassan yang Nasrani mengirim surat mengajak Ka’ab bin Malik bergabung dengannya. Namun apa sikap Ka’ab ;
فَقُلْتُ لَمَّا قَرَأْتُهَا وَهَذَا أَيْضًا مِنَ الْبَلاَءِ
Hatiku berkata ketika membaca surat itu, “Ini juga salah satu ujian!”

Sama sekali Ka’ab tidak tertarik dengan tawaran dalam surat itu, bahkan seolah-olah ia tidak pernah membacanya. Ini adalah sikap yang benar, Ka’ab berpikir untuk tidak mendekati petaka. Dengan mengungkapkannya, ia memperjelas sikapnya menutup segala pintu fitnah. Karena biasanya musuh akan memberi waktu untuk berfikir, maka ia ucapkan penolakannya tanpa keraguan.

Diuji dengan kesendirian tidak lantas membuat Ka’ab bin Malik futur. Hingga akhirnya muncullah kabar ampunan Allah atas Ka’ab bin Malik. Kaum muslimin merasa senang dengan berita tentang saudara dan orang yang dicintainya, Ka’ab bin Malik. Yang dulunya mereka tidak menyapanya, akhirnya mereka menyambanginya dengan berduyun-duyun ;

وَانْطَلَقْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ، فيتلقاني النَّاسُ فَوْجًا فَوْجًا يُهَنُّونِي بِالتَّوْبَةِ، يَقُولُونَ: لِتَهْنِكَ تَوْبَةُ اللَّهِ عَلَيْكَ
Aku langsung menemui Rasulullah. Orang-orang menyambutku dengan berduyun-duyun mengucapkan selamat kepadaku. Mereka berkata, “Selamat atas pengampunan Allah untukmu!’

Setelah mata air kesedihan mengering, berganti dengan mata air haru dan cinta. Karena ujian pendidikan telah selesai tanpa ada pengurangan dan penambahan. Hal itu berakhir pula ujian ketaatan anggota terhadap keputusan yang dijatuhkan kepada Ka’ab. Dunia serasa sempit karena mereka tidak bisa membantunya. Mereka mempersempit diri karena merasa tidak ada perlindungan Allah untuk Ka’ab, hingga akhirnya turunlah wahyu.

Inilah kaidah dalam berjamaah. Yakin bahwa tidak ada perlindungan kecuali dari Allah ta’ala. Tidak ada jalan bagi seorang mukmin kecuali berjamaah.

Mencintai Jamaah
Ka’ab bukan termasuk golongan orang munafik yang mengudzurkan dirinya untuk tidak ikut perang dengan berbagai alasan. Ia jujur kepada Rasulullah menyadari kesalahannya dan bertaubat. Ia futur, tapi segera bangkit dari kondisi futurnya dan ikhlas menerima hukuman apapun.

Kunci kesuksesan Ka’ab bin Malik dalam menjalani hukuman adalah Hubbul Jamaah kaum muslimin (cinta jamaah). Karena as-Sidqu (kejujuran) Ka’ab, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan urusannya kepada Allah. Rasulullah bersabda kepada Ka’ab ;
أَمَّا هَذَا فَقَدْ صَدَقَ، فَقُمْ حَتَّى يَقْضِىَ اللَّهُ فِيكَ
“Kalau begitu, tidak salah lagi. Kini, pergilah kau sehingga Allah menurunkan keputusan-Nya kepadamu!”

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum setelah turun ayat yang mengabarkan bahwa Allah menerima taubat Ka’ab bin Malik. Satu pelajaran di sini bahwa kecintaan jamaah kepada seluruh anggota merupakan bagian pokok dalam berjamaah.

Satu pelajaran yang tersisa dari kisah di atas adalah saat fitnah melanda. Fitnah yang menyebabkan dirinya takut dan khawatir terhadap dirinya sendiri. Di saat-saat seperti itu Ka’ab bin Malik bertawakkal kepada Allah ;
وإني لأَرْجُو أَنْ يحفظني اللَّهُ فِيمَا بَقِيَ
“Saya memohon semoga Allah tetap menjaga saya selama sisa hidup saya.”

Sahabat Ka’ab bin Malik menyadari bahwa tidak ada yang menjamin dirinya akan istiqomah dalam kebenaran. Setelah terjadinya fitnah, banyak orang berguguran meninggalkan agama dan amal Islami. Seolah-olah Ka’ab bin Malik ingin mengajarkan kepada umat Islam untuk tetap teguh dalam kebenaran dan menyerahkan segala urusannya kepada Allah ta’ala. Wallahu ‘alam

Sumber tulisan disini

Ada sisi lain dari kisah Kaab bin Malik ini, sebagaimana diceritakan Kaab bin Malik, bahwa ketika Rasulullah SAW dan rombongan pasukan Muslim berangkat dari Madinah ketika suasana masih rindang. Saat itu, mereka semua sudah dalam kondisi siap-sedia. Sementara, Ka'ab dan segelintir lelaki Madinah lainnya masih belum mempersiapkan diri.

Kaab berkata dalam hati, 'Aku bisa melakukannya (bersiap ke medan perang) kapan pun aku mau.' Begitulah keengganan terus menyergapku, sementara orang-orang terus berbenah dengan serius. Maka, pada pagi harinya, Rasulullah SAW dan kaum Muslimin yang bersamanya berangkat perang, sedangkan aku belum melakukan persiapan apa-apa, kata Ka'ab tulis as-Suhaibani. 

Keengganan itu berlangsung sekitar tiga hari berturut-turut. Maka, laki-laki yang tersisa di Madinah hanyalah dari kalangan lansia, kaum munafik yang memang benci berjuang di jalan Allah, dan kalangan yang hatinya terombang-ambing seperti Ka'ab bin Malik. Padahal, saat itu Ka'ab baru saja membeli hewan tunggangan baru, sehingga tidak bisa dikatakan memiliki uzur.

Singkat cerita, Perang Tabuk usai dan pasukan Muslimin yang dipimpin Rasulullah kembali ke Madinah. Seperti biasa, sepulang dari pertempuran, Rasul mengumpulkan kaum Muslimin di masjid. Ketika itulah mereka yang urung ikut Perang Tabuk mendatangi Rasulullah untuk menuturkan alasan-alasannya.

Ka'ab mengenang jelas peristiwa itu. Dia merasa bisa saja berdalih macam-macam di hadapan Rasulullah SAW dan jamaah. Namun, kesedihan merundung dirinya. "Hilanglah dari diriku segala pikiran yang batil hingga aku benar-benar mengetahui bahwa aku tidak akan selamat dari beliau dengan cara dusta selamanya. Maka aku bertekad bersikap jujur kepada beliau".

Ka'ab menuturkan, saat melihat wajah Rasulullah tersenyum dengan senyuman orang yang marah. Rasul berkata, Kemarilah. Apa yang membuatmu tidak ikut? Bukankah kamu telah membeli kendaraanmu?

"Benar, sesungguhnya saya, demi Allah, seandainya saya duduk menghadap orang selain Anda, saya yakin akan lolos, karena saya telah diberi kemampuan mendebat. Tapi, jika hari ini saya menceritakan kepada Anda cerita dusta, yang dengannya Anda bisa merelakan saya, tentu Allah akan menjadikan Anda murka terhadap saya."

Dan apabila saya menceritakan kepada Anda cerita benar, pasti karenanya Anda akan murka terhadap saya. Sesungguhnya, dengan kejujuran itu saya mengharapkan pemberian maaf dari Allah, jawab Ka'ab.

Rasulullah pun mengakui kejujuran Ka'ab. Namun, sejak saat itu hingga 50 hari penuh berikutnya, Rasul melarang kaum Muslim berkomunikasi dengan Ka'ab. Dua Muslim lainnya, yang pernah ikut dalam Perang Badar, juga mengalami nasib serupa Ka'ab.

Selama 50 hari itu, Ka'ab merasa hidupnya tersiksa sangat berat. Rasulullah  enggan melihat wajahnya. Seluruh kaum Muslim menghindari menjawab salamnya. Dalam kondisi demikian, Ka'ab menerima surat dari Raja Ghassan, salah satu pentolan kaum musyrik.

Dalam surat itu, Raja Ghassan mengajak Ka'ab bergabung dengannya lantaran Rasulullah sendiri sudah mengeksklusi Ka'ab. Bahkan, Rasulullah juga sempat memerintahkan ketiga pria itu, termasuk Ka'ab, menjauhi istri mereka masing-masing. Namun, jawaban Ka'ab untuk surat dari Raja Ghassan itu jelas: begitu surat itu selesai dibacanya, Ka'ab langsung melempar surat itu ke tungku api.

Demikianlah kesabaran dan keteguhan iman Ka'ab diuji. Begitu gembira hati Ka'ab ketika masa 50 hari itu usai. Saat itu, mereka bertiga diterima Rasulullah di masjid.

Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, beliau bersabda dengan wajah yang berseri-seri karena gembira. 'Bergembiralah dengan hari terbaik yang terbaik yang pernah melewati hidupmu semenjak kamu dilahirkan oleh ibumu.' Apabila Rasulullah bergembira, wajahnya bersinar seolah-olah wajah beliau secerah rembulan.

Kemudian, turunlah surah at-Taubah ayat 117-119. Ayat ke-118, Allah menyebutkan ihwal tiga pria Madinah ini, termasuk Ka'ab bin Malik. Betapa suka cita perasaan Ka'ab mengetahui Allah tidak memasukkannya ke dalam golongan orang-orang fasik, yang sengaja meninggalkan gelanggang jihad dengan pelbagai dalih. Buah kejujurannya adalah diterimanya taubat Ka'ab oleh Allah.

Tidak ada sesuatu pun yang lebih menyedihkanku daripada aku mati lalu Rasulullah tidak sudi menshalatiku atau Rasulullah meninggal dunia sehingga aku tetap diperlakukan demikian (dieksklusi) oleh masyarakat, kata Ka'ab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.