“Siapa yang Lebih Menguasai Ilmu Qafiyah Daripada Hasan & Putranya… Siapa yang Lebih Tahu Tentang Ilmu Ma’ani Daripada Zaid Bin Tsabit” (Hassan Bin Tsabit)
Kita kini sedang memasuki tahun kedua hijriyah… kota Madinah semakin sesak dipenuhi oleh manusia yang bersiap-siap untuk menyambut perang Badr.
Nabi Saw melakukan cek akhir pada pasukan pertama yang akan berangkat di bawah komandonya sendiri untuk berjihad di jalan Allah dan menegakkan kalimat-Nya di muka bumi.
Terlihat di sana, ada seorang anak kecil yang belum genap berusia 12 tahun yang nampak memiliki kecerdasan dan kemuliaan diri. Di tangannya terdapat sebilah pedang yang sama panjangnya dengan tubuh bocah tadi atau lebih panjang dari tubuhnya. Ia mendekat ke arah Rasul Saw lalu berkata: “Aku akan menjadi pelindungmu, ya Rasulullah. Izinkanlah aku untuk turut serta bersamamu dan berperang melawan musuh-musuh Allah di bawah panjimu.”
Rasulullah Saw lalu melihat anak ini dengan perasaan senang dan kagum. Kemudian Beliau menepuk pundak anak ini dengan lembut dan penuh perasaan sayang. Beliau menghibur anak ini, kemudian menyuruhnya pulang karena ia masih berusia dini.
Pulanglah bocah kecil tadi dengan menyeret pedangnya ke tanah dengan perasaan kesal dan sedih, sebab ia dilarang untuk menemani Rasulullah Saw dalam peperangan pertama yang Beliau lakukan. Di belakang langkahnya juga turut pulang ibunya yang bernama An Nawar binti Malik, yang juga tidak kalah bersedih dan kesal. Ibunya telah berharap bahwa matanya akan berbinar-binar saat melihat anaknyaberjalan bersama rombongan pria dewasa untuk berjihad di bawah komando Rasulullah Saw.
Ibunya berharap bahwa bocahnya dapat menempati posisi yang diharapkan yang dapat diisi oleh ayahnya kalau saja ia masih hidup. Akan tetapi bocah Anshar ini saat ia tidak berhasil untuk mendekatkan diri kepada Rasulullah Saw dalam bidang ini karena usianya yang masih kecil, akan tetapi kecerdasannya –yang tidak berhubungan dengan umur- membuat dirinya dapat berhubungan dengan Nabi Saw. Bidang itu adalah: ilmu pengetahuan dan hapalan. Kemudian bocah tadi menceritakan ide ini kepada ibunya. Maka senang dan gembiralah ibunya, dan ia semangat untuk mewujudkan ide anaknya.
An Nawar menceritakan keinginan anaknya kepada para pria dari kaumnya. Maka beberapa pria tadi berangkat untuk menemui Rasulullah Saw dan berkata kepada Beliau: “Ya Nabi Allah, ini adalah seorang dari anak kami yang bernama Zaid bin Tsabit yang mampu menghapal 17 surat dari kitab Allah. Ia membacanya dengan benar persis seperti yang diturunkan kepada hatimu.
Lebih dari itu, ia adalah anak yang cerdas yang pandai menulis dan membaca. Ia ingin sekali dengan potensi yang ada dapat mendekatkan diri kepadamu dan mendampingimu… Jika engkau berkenan, silahkan dengarkan penuturannya!”
Rasulullah Saw lalu mendengarkan dari bocah Zaid bin Tsabit beberapa ayat Al Qur’an yang ia hapalkan. Rupanya bocah ini mampu membacanya dengan begitu baik, dan pelafalannya pun sempurna. Kalimat Al Qur’an keluar dari kedua bibirnya seperti bintang di langit yang menyala. Bacaannya begitu memberikan ilustrasi akan apa yang sedang ia baca. Setiap tanda waqaf di mana ia berhenti, menandakan bahwa ia amat mengerti akan hal yang dibacanya.
Maka gembiralah hati Nabi Saw karena mendapati bahwa bocah ini memiliki potensi yang lebih dari apa yang mereka katakan. Hal yang membuat Rasul lebih gembira adalah karena bocah ini amat pandai menulis… maka Rasulullah Saw melihat ke arah bocah ini dan bersabda: “Ya Zaid, pelajarilah untukku tulisan bangsa Yahudi. Sebab aku tidak mempercayai mereka atas apa yang aku katakan!” Maka Zaid menjawab: “Baik, ya Rasulullah!”
Maka mulailah Zaid mempelajari bahasa Ibrani sehingga ia menguasai bahasa tersebut dalam waktu singkat saja. Kemudian ia menuliskan bahasa tersebut kepada Rasulullah, jika ia berkeinginan untuk menulis surat buat bangsa Yahudi. Dan Zaid akan membacakan kepada Rasul, jika mereka mengirimkan surat kepada Beliau.
Lalu ia juga mempelajari bahasa Suryani atas perintah Rasul, sebagaimana ia mempelajari bahasa Ibrani. Maka sejak saat itu pemuda yang bernama Zaid bin Tsabit menjadi penterjemah Rasulullah Saw.
Suryani adalah salah satu bahasa yang berkembang di negeri Syam dan banyak dipakai oleh beberapa suku di sana
Begitu Rasulullah Saw merasa percaya akan kecerdasan dan sifat amanah Zaid, ketelitian dan pemahamannya, maka Nabi Saw mempercayakan dia untuk menuliskan risalah langit yang turun ke bumi. Maka Rasul Saw menunjuknya sebagai salah seorang pencatat wahyu Allah… Maka jika ada beberapa ayat Al Qur’an yang turun pada hati Beliau, maka Beliau akan memanggil Zaid dan bersabda: “Tulislah, ya Zaid!” Maka Zaid pun akan menuliskannya.
Maka Zaid bin Tsabit pun menerima langsung ayat-ayat Al Qur’an dari Rasulullah waktu demi waktu, sehingga ia tumbuh dewasa bersama ayat-ayat Al Qur’an. Ia menerima Al Qur’an yang baruu saja turun langsung dari mulut Rasulullah Saw yang berkenan dengan asbabun nuzul tertentu.
Hal itu membuat jiwa Zaid semakin terang dengan sinar cahaya Al Qur’an, dan menjadikan akal Zaid bercahaya dengan sinar syariatnya. Maka pemuda yang beruntung ini semakin mendalamkan kemampuannya dalam bidang Al Qur’an. Ia menjadi sumbur referensi pertama dalam bidang Al Qur’an bagi ummat Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw.
Dia menjadi koordinator pengumpul Kitabullah dalam masa Abu Bakar. Ia juga menjadi tokoh yang berhasil menyatukan mushaf-mushaf Al Qur’an pada masa Utsman bin Affan. Apakah masih ada posisi yang melebihi hal ini yang dicita-citakan?! Apakah ada di atas kemuliaan ini, kemuliaan yang masih di kejar oleh jiwa manusia?!
Salah satu keistimewan Al Qur’an yang dimiliki oleh Zaid bin Tsabit adalah bahwa Al Qur’an selalu menerangi jalan kebenaran baginya pada beberapa kondisi di mana orang-orang yang pintar pun sering merasa bingung. Di hari Saqifah kaum muslimin bersilang pendapat tentang orang yang tepat untuk menggantikan Rasulullah Saw.
Saqifah ini adalah milik Bani Saidah dimana kaum muslimin berkumpul setelah wafatnya Rasulullah Saw untuk merundingkan urusan khilafah.
Kaum muhajirin berkata: “Di kelompok kamilah seharusnya terdapat khilafah Rasulullah, sebab kamilah kaum yang lebih pantas.” Sebagian orang Anshar berkata: “Malah khilafah tersebut sepantasnya, berasal dari kami.”
Ada juga yang mengatakan: “Malah khilafah itu dapat berasal dari kami dan kalian secara bersama-sama. Sebab Rasulullah Saw jika hendak menyuruh seseorang dari kalian untuk mengerjakan sesuatu, Beliau pasti menyuruh salah seorang dari kami untuk sama-sama mengerjakannya.”
Hampir saja terjadi fitnah yang amat besar. Padahal Nabi Saw baru di kafan dan masih berada di tengah mereka belum dikubur. Di saat itulah, kalimat tegas dan cerdas yang muncul dari petunjuk Al Qur’an amat dibutuhkan sehingga dapat membuat tenang fitnah yang akanbergejolak, dan memberikan cahaya bagi orang-orang bingung yang mencari jalan kebenaran.
Maka meluncurlah kalimat ini dari mulut Zaid bin Tsabit Al Anshary. Tatkala ia melihat ke arah kaumnya dan berkata: “Wahai, para suku Anshar… Rasulullah Saw berasal dari suku muhajirin, maka orang yang menjadi khalifah Beliau adalah seorang dari suku muhajirin yang sama seperti Beliau… dan kita dulunya adalah anshar (penolong) Rasulullah Saw, maka sebaiknya kita tetap menjadi anshar (penolong) bagi khalifah setelahnya dan pembantunya dalam kebenaran. Kemudian Zaid bin Tsabi t mengulurkan tangannya kepada Abu Bakar As Shiddiq dan berkata: “Inilah khalifah kalian, bai’atlah dia oleh kalian!”
Zaid bin Tsabit dengan keutamaan Al Qur’an dan pemahamannya serta lamanya ia mendampingi Rasulullah telah menjadikan dirinya sebagai menara petunjuk bagi kaum muslimin. Para khalifah sering meminta pendapatnya dalam masalah-masalah pelik, dan orang-orang muslimin juga kerap meminta fatwa kepadanya dalam berbagai permasalahan. Mereka sering kali mengadukan masalah-masalah waris kepadanya, karena tidak ada lagi di kalangan kaum muslimin –saat itu- orang yang lebih tahu dan mengerti akan hukum waris dan lebih cerdas darinya dalam membagikan harta warisan.
Umar bin Khattab pernah berkhutbah di hadapan kaum muslimin pada hari Al Jabiyah yang berbunyi: “Wahai manusia, siapa yang ingin bertanya tentang Al Qur’an, maka hendaknya ia mendatangi Zaid bin Tsabit. Siapa yang hendak menanyakan tentang masalah fiqih, maka silahkan datang kepada Muadz bin Jabal. Siapa yang hendak menanyakan tentang harta, maka datanglah kepadaku. Sebab Allah telah menjadikan aku wali (orang yang mengurus) harta tersebut, dan aku
juga yang berhak untuk membagikannya.”
Al Jabiyah adalah sebuah desayang terletak di barat Syiria. Di desa tersebut Umar bin Khattab berkumpul dengan para sahabat untuk membahas permasalahan penaklukan. Ia berkhutbah dengan khutbahnya yang terkenal di sana. Maka hari itu dikenal dengan hari Al Jabiyah.
Para penuntut ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in129 mengetahui dengan amat baik kedudukan Zaid bin Tsabit yang hingga membuat mereka memuliakan dirinya karena ilmu yang ia kuasai dalam dadanya. Inilah seorang yang dikenal dengan lautan ilmu yang bernama Abdullah bin Abbas yang mendapati Zaid bin Tsabit yang hendak menaiki kendaraannya. Abdullah berdiri di hadapan Zaid lalu memegangi hewan kendaraannya, dan ia sendiri yang memegang tali kendali hewan tunggangan tersebut seraya menariknya.
Zaid bin Tsabit lalu berkata kepadanya: “Tidak usah kau lakukan itu, wahai sepupu Rasulullah!” Ibnu Abbas lalu menjawab: “Beginilah kami diperintahkan untuk berlaku kepada para ulama kami!” Kemudian Zaid berkata kepadanya: “Perlihatkan tanganmu kepadaku!” Maka Ibnu Abbas menjulurkan tangannya ke arah Zaid. Lalu menunduklah Zaid ke arah tangan tersebut dan ia menciumnya sambil berkata: “Beginilah kami diperintahkan untuk berlaku kepada Ahli bait Nabi kami!”
Begitu Zaid bin Tsabit telah kembali ke pangkuan Tuhannya, maka kaum muslimin menangisi ilmu karena kematiannya yang turut dikuburkan bersama jasadnya. Abu Hurairah berkata: “Hari ini telah meninggal orang yang amat luas ilmunya dalam ummat ini. Semoga Allah Swt berkenan menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.” Dan sang penyair Rasulullah yang bernama Hassan bin Tsabit membuat sebuah syair ratapan atas dirinya yang berbunyi: “Siapa yang lebih menguasai ilmu qafiyah daripada Hasan dan putranya… siapa yang lebih tahu tentang ilmu ma’ani daripada Zaid bin Tsabit?!”
Tabiin adalah golongan pertama setelah para sahabat Rasul Saw. Para ulama hadits membagi mereka dalam beberapa thabaqat (tingkatan). Kelompok pertama dari tabiin adalah mereka yang sempat berjumpa dengan 10 orang sahabat yang dijamin surga. Kelompok terakhir dari tabiin adalah yang masih sempat berjumpa dengan para sahabat yang termasuk usia kecil atau yang sempat berjumpa dengan para sahabat yang mati belakangan…
Sumber: 65 sahabat Rasulullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.