“Tidak Ada yang Menandingi Keutamaan 3 Orang dari Suku Anshar, Mereka Adalah: Sa’d Bin Muadz, Usaid Bin Al Hudhair & Abbad Bin Bisyrin.” (Aisyah, Ummul Mukminin)
Abbad bin Bisyrin adalah sebuah nama yang bersinar dalam sejarah dakwah Muhammad. Jika engkau mencarinya diantara para hamba-hamba Allah; maka engkau akan mendapati dirinya sebagai orang yang bertaqwa, berkepribadian bersih, senantiasa bangun di tengah malam membaca berjuz-juz Al Qur’an.
Jika engkau mencarinya di antara para pahlawan, maka engkau akan mendapatinya bahwa ia adalah seorang yang gagah berani yang turun di berbagai pertempuran untuk menegakkan kalimat Allah Swt.
Jika engkau mencarinya di antara para wali (gubernur), maka engkau akan mendapatinya bahwa dia adalah seroang yang kuat dan dipercaya untuk mengurus harta kaum muslimin… sehingga Aisyah ra berkata tentang dirinya dan dua orang lagi dari sukunya: “Tiga orang dari suku Anshar yang tidak tertandingi oleh seorangpun dalam keutamaan. Semuanya berasal dari Bani Abdil Asyhal: Sa’d bin Muadz, Usaid bin Al Hudhair dan Abbad bin Bisyrin.
Abbad bin Bisyrin Al Asyhaly saat muncul di penjuru Yatsrib sinar petunjuk Muhammad kala itu ia masih seorang remaja yang masih segar. Dari wajahnya terpancar kesucian dan harga diri. Dari prilakunya terlihat bahwa ia adalah seorang anak yang cerdas, meskipun pada saat itu ia belum genap 25 tahun.
Ia telah bergabung dengan sang da’I dari Mekkah yang bernama Mus’ab bin Umair, maka segeralah terhubung ikatan iman di antara keduanya. Dan kedua jiwa mereka disatukan oleh akhlak yang terpuji dan sifat yang mulia.
Ia mendengarkan Mus’ab yang membacakan Al Qur’an dengan suara yang lembut dan tenang, dan dengan intonasinya yang berkesan. Maka Abbad begitu cinta dengan kalamullah, dan membiarkan kalam tersebut menembus relung hatinya yang terdalam sebagai tempat bersemayam ayat-ayat Tuhan. Ia menjadikan ayat-ayat Allah tersebut menjadi kesibukannya yang baru yang senantiasa ia ulang-ulang di waktu malam dan siang. Pada saat ia bermukim atau sedang melakukan perjalanan. Sehingga ia dikenal dikalangan sahabat sebagai Imam dan sahabat Al Qur’an.
Suatu malam Rasulullah Saw sedang melakukan shalat Tahajjud di rumah Ais’yah yang menempel dengan dinding masjid. Kemudian Beliau mendengar suara Abbad bin Bisyrin yang sedang membaca Al Qur’an dengan begitu jernih dan segar seperti saat Jibril membawakannya kepada hati Beliau. Rasul lalu bertanya: “Wahai Aisyah, Apakah ini suara Abbad bin Bisyrin?!” Aisyah menjawab: “Benar, ya Rasulullah.” Rasul berdo’a: “Ya Allah, ampunilah dirinya!”
Abbad bin Bisyrin mengikuti Rasululllah Saw dalam setiap peperangan yang Beliau lakukan. Dalam setiap perang, ia memiliki kisah yang pantas bagi seorang pemegang Al Qur’an… Salah satunya adalah saat Rasulullah Saw baru kembali dari perang Dzatu Riqa’, Beliau berhenti bersama dengan muslimin lainnya di sebuah lereng untuk bermalam di sana.
Salah seorang dari pasukan muslimin telah menawan –di tengah perang- seorang wanita musyrikin tanpa sepengetahuan suaminya. Begitu suaminya pulang –dan tidak menemukan istrinya- ia bersumpah demi Lata dan Uzza untuk menyusul Muhammad dan para sahabatnya, dan tidaka akan kembali kecuali setelah membunuh salah seorang dari mereka.
Hampir saja pasukan muslimin mengistirahatkan unta-unta mereka di lereng, lalu Rasulullah Saw bertanya kepada mereka: “Siapa yang akan berjaga pada malam ini?” Maka berdirilah Abbad bin Bisyrin dan Ammar bin Yasir yang berkata: “Kami yang akan berjaga, ya Rasulullah!”
Begitu mereka keluar menuju mulut lembah, Abbad bin Bisyrin berkata kepada sahabatnya Ammar bin Yasir: “Pada bagian malam yang mana engkau mau tidur, awal atau akhirnya?” Ammar menjawab: “Aku akan tidur di awalnya.” Lalu berbaringlah Ammar tidak jauh dari Abbad.
Malam begitu tenang dan damai. Bintang, pepohonan dan batu-batuan bertasbih dan bertahmid seraya mensucikan Tuhannya. Maka jiwa Abbad bin Bisyrin begitu ingin melakukan ibadah dan rindu untuk membaca Al Qur’an.
Saat yang paling sukai dalam membaca Al Qur’an adalah pada saat ia shalat, maka ia menggabungkan kenikmatan shalat dengan kenikmatan membaca Al Qur’an. Ia menghadap kiblat dan mulai melakukan shalat. Ia mulai membaca Surat Al Kahf dengan suaranya yang merdu.
Tatkala ia sedang menyerap cahaya ilahi ini, tenggelam dalam berbagai nikmat sinar-Nya, maka datanglah pria yang mencari istrinya dengan langkah yang cepat. Begitu ia melihat Abbad dari kejauhan yang berdiri di mulut lereng, ia mengetahui bahwa Nabi Saw dan para sahabatnya berada di dalam lereng tersebut dan bahwa orang yang berdiri adalah penjaga mereka. Lalu ia menyiapkan busur panahnya, kemudian mengambil sebuah anak panah dari tempatnya, kemudian melepaskannya ke arah Abbad lalu melukainya.
Abbad lalu mencabut anak panah itu dari tubuhnya lalu meneruskan bacaan dan larut dalam shalat.
Kemudian orang tadi melepaskan anak panah yang kedua dan mengenai tubuhnya. Lalu Abbad mencabutnya lagi seperti yang ia lakukan sebelumnya. Kemudian pria tadi memanahnya untuk kali yang ketiga. Abbad pun mencabutnya lagi seperti 2 anak panah sebelumnya. Kemudian ia beringsut sehingga mendekat ke arah sahabatnya lalu membangunkannya sambil berkata: “Bangunlah, luka-luka ini telah membuatku payah.” Begitu pria tadi melihat mereka berdua, ia langsung lari menyelamatkan diri.
Maka disinilah Ammar melihat tubuh Abbad yang berlumuran darah yang mengalir dari 3 luka. Ia bertanya kepada Abbad: “Subhanallah, mengapa engkau tidak membangungkan aku saat panah pertama mengenaimu?!” Abbad menjawab: “Aku sedang membaca surat yang aku tidak ingin memutusnya hingga ia selesai. Demi Allah, kalau aku tidak khawatir dapat membuat benteng Rasulullah Saw menjadi tak terjaga sebagaimana yang Beliau perintahkan, maka jiwaku yang terputus lebih aku sukai dari pada memutus bacaan tersebut.”
Saat peperangan melawan kaum murtadin terjadi pada masa pemerintahan Abu Bakar ra. Khalifah Abu Bakar menyiapkan sebuah pasukan yang berjumlah amat banyak untuk menumpas perlawanan yang dipimpin oleh Musailamah Al Kadzzab dan para orang-orang murtad yang menjadi pendukungnya serta untuk mengembalikan mereka lagi kepada pangkuan Islam. Abbad bin Bisyrin termasuk salah seorang prajurit yang berangkat dalam misi ini.
Abbad melihat –di tengah peperangan dimana kaum muslimin belum dapat membukukan kemenangan- adanya kaum Anshar yang mengandalkan kaum muhajirin, dan kaum muhajirin juga mengandalkan kaum Anshar yang membuat hati Abbad menjadi penuh kejengkelan. Ia juga mendengar mereka saling meledek sehingga telinganya serasa dicucuk duri. Maka Abbad merasa yakin bahwa kaum muslimin tidak akan berhasil dalam perang ini kecuali bila setiap kelompok berpisah dari lainnya untuk mengemban tugas masing-masing… dan agar para mujahidin yang teguh dan sabar mengerti dengan sebenar-benarnya.
Pada malam sebelum terjadinya perang, Abbad bermimpi dalam tidurnya bahwa langit terbuka untuknya. Begitu ia masuk ke dalam langit, ia tertarik ke dalam dan pintu langit pun tertutup kembali. Keesokan paginya, ia menceritakan hal itu kepada Abu Said Al Khudry, dan Abbad berkata: “Demi Allah, itu menandakan bahwa aku akan mendapatkan syahadah (kematian dalam berjuang di jalan Allah).”
Begitu matahari sudah mulai meninggi dan perang pun telah di mulai. Abbad bin Bisyrin naik ke sebuah tempat yang tinggi dan berteriak: “Wahai kaum Anshar… berpencarlah kalian dari pasukan! Patahkanlah sarung pedang kalian! Dan janganlah kalian meninggalkan Islam yang datang dari arah mu!”
Ia terus saja meneriakkan seruannya sehingga berkumpul dihadapannya 400 orang Anshar, termasuk dari mereka adalah Tsabit bin Qais, Al Barra bin Malik dan Abu Dajjanah, pemilik pedang Rasulullah Saw.
Abbad bin Bisyrin lalu merangsek masuk ke barisan musuh bersama mereka dengan menebaskan pedang mereka. Begitu beraninya sehingga ia menghampiri kematian dengan dadanya. Sehingga pertahanan Musailamah Al Kadzzab dan para pendukungnya semakin melemah yang membuat mereka berlindung ke Hadiqatul Maut (Taman Kematian).
Di bawah gerbang taman itulah Abbad bin Bisyrin jatuh terpuruk sebagai seorang syahid yang tewas berlumuran darah… di tubuhnya banak sekali bekas luka tebasan pedang, tusukan tombak dan anak panah, sehingga pasukan muslimin tidak sanggup lagi untuk mengenalinya, kecuali setelah mereka menemukan salah satu tanda di tubuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.