Rasulullah SAW menyampaikan risalah selama 23 tahun dalam dua periode yaitu marhalah makiyyah selama 13 tahun dan marhalah madaniyah selama 10 tahun. Pada masa 13 tahun pertama, setelah Muhammad SAW di lantik sebagai Nabi dan Rasul, beliau SAW menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Mekah dengan penekanan pada aspek akidah dan akhlaq. Pada periode makiyyah ini pula para sahabat mulai membentuk menjadi sebuah komunitas Jama’ah Tauhidi di mana aspek hubungan sosial di antara mereka di bangun atas dasar iman dan ukhuwah.
Pada periode Makiyyah ini, ayat-ayat Al-Quran membangun satu perspektif sosial yang kritis di dalam benak para sahabat. Ayat-ayat Al Quran banyak berbicara tentang kecaman terhadap ketidakadilan, praktik-praktik bisnis yang curang, penindasan oleh kelompok elit ekonomi dan politik terhadap kelompok yang lemah dan berbagai ketimpangan sosial lainnya.
Pada periode Mekah pengikut Rasulullah SAW sebagian besar terdiri dari orang-orang yang tertindas (mustadh’afin) dan mengalami ketidakadilan dalam tatanan masyarakat. Dengan bergabungnya mereka kepada Rasulullah dan memeluk Islam, mereka merasa dimuliakan di dalam Islam, karena Islam tidak mengenal stratifikasi sosial yang bersifat materi. Inna akromakum ‘indallahi atqakum.
Situasi politik di Mekkah seketika berubah saat Rasulullah SAW menyatakan proklamasi nubuwwah secara terbuka (jahriyah). Sejak itu berubahlah secara total sikap masyarakat dan penguasa Mekkah terhadap Rasulullah SAW serta para shahabatnya. Yang sebelumnya Muhammad di sebut dengan dengan "al-amin" seketika berubah menjadi "tukang sihir", "orang gila" dan "pemecah belah masyarakat" Situasi menjadi sangat represif siapa saja penduduk Mekkah yang diketahui masuk Gerakan Risalah maka ia akan disiksa dengan kejam, sampai ia keluar dari pendukung gerakan Risalah Rasulullah SAW.
Pembesar-pembesar Mekkah sangat berkepentingan untuk menghentikan gerakan Rasulullah SAW yang semakin hari semakin banyak pengi-kutnya. Mulai dari cara yang paling kasar seperti pembunuhan, intimidasi, pembantaian sampai yang paling halus seperti penawaran dan negoisasi. Klimaksnya adalah peristiwa hijrahnya Muhammad bersama pengikut-pengikutnya ke Yatsrib pada 622 M (13 H).
Sebelumnya sebanyak 12 orang penduduk Yatsrib (nama kota Madinah sebelum diganti), pada musim haji, menyatakan keislamannya. Dalam bai'ah tersebut mereka menyatakan bahwa mereka hanya akan menyembah Allah, meninggalkan segala perbuatan jahat dan menaati Nabi Muhammad. Pada tahun berikutnya, sebanyak 73 orang Yatsrib yang sudah memeluk Islam datang kembali ke Mekah mempertegas pengakuan keislaman mereka dan pembelaan mereka kepada Nabi Muhammad sebagaimana mereka membela istri dan anak-anak mereka sendiri. Dalam kesempatan inilah mereka mengajak Nabi untuk berhijrah ke Madinah. Peristiwa ini dikenal dengan Bay'ah al-Aqabah.
Dua peristiwa bersejarah inilah yang merubah arah perjalanan Nabi Muhammad dan pengikutnya dari kelompok tertindas menjadi kekuatan politik yang kokoh, solid dan disegani. Kedua peristiwa ini juga merupakan titik awal bagi Nabi Muhammad untuk mendirikan Negara Madinah.
Dari masyarakat muhajirin dan anshar, Nabi Muhammad menghadirkan suatu kekuatan sosial-politik dalam sebuah Negara Madinah. Hal yang pertama dilakukan oleh Nabi Muhammad di Madinah dalam rangka pembentukan sebuah negara adalah membuat Piagam Madinah pada tahun Pertama Hijriyah untuk menjembatani hubungan sosial dan politik dengan kaum-kaum Yahudi.
Selain itu, pada awal keberadaan Rasulullah SAW di Madinah, beliau SAW mempunyai seorang penulis yang berasal dari golongan Yahudi. Nabi membutuhkan tenaganya karena ia menguasai bahasa Ibrani dan Suryani. Namun setelah Yahudi Bani Nadhir di usir dari Madinah akibat pengkhianatan mereka, barulah Nabi mengangkat Zaid ibn Tsabit sebagai sekretaris beliau.
Nabi khawatir, kalau-kalau jabatan penting dan bersifat rahasia ini masih di pegang orang Yahudi dapat membahayakan negara Madinah. Mungkin sekali ia akan membocorkan sesuatu yang harus dirahasiakannya. Karena itu, beliau menyuruh Zaid ibn Tsabit untuk mempelajari kedua bahasa tersebut.
Kaum Yahudi menunjukkan kebencian kepada Rasulullah SAW, mereka mengadakan teror-teror terhadap umat Islam, bahkan berusaha membunuh Nabi Muhammad. Sebagai contoh teror yang mereka lakukan adalah provokasi seorang Yahudi terhadap suku Aus dan Khazraj. Suatu ketika seorang Yahudi datang dan membangkitkan kembali permusuhan di antara mereka. Si Yahudi tersebut membuka kembali luka lama mereka dengan mengungkit-ungkit peristiwa Perang Bu'ats antara kedua suku tersebut. Hampir saja terjadi perkelahian massal. Setelah Nabi datang ke tempat kejadian, beliau segera mendamaikan mereka kembali. Peristiwa inilah yang melatarbelakangi turunnya Qs. Ali 'Imran, 3:103.
Teror lainnya adalah ketika seorang Yahudi mengganggu seorang muslimah dan membunuh seorang muslim. Peristiwanya berawal ketika seorang muslimah Madinah bermaksud hendak menyepuh perhiasannya kepada seorang Yahudi Bani Qainuqa' di sebuah pasar. Ketika ia duduk sambil menunggu tukang sepuh tersebut menyelesaikan pekerjaannya, datanglah segerombolan pemuda Yahudi dan mengerumuninya. Mereka mengganggu dan menyuruh muslimah tersebut membuka penutup auratnya. Ia menolak dan berdiri dari duduknya. Namun ternyata tukang sepuh tersebut bersekongkol dengan pemuda-pemuda Yahudi. Tanpa sepengetahuan muslimah tersebut si tukang sepuh menyangkutkan ujung belakang pakaian muslimah tersebut dengan paku.
Pada saat musiimah itu berdiri, tersingkaplah pakaiannya sehingga kelihatanlah punggungnya. Muslimah malang tersebut menjerit minta tolong. Melihat kejadian tersebut datanglah seorang pemuda muslim. Ia langsung menyerang dan membunuh tukang sepuh. Namun pemuda-pemuda Yahudi tersebut membalas mengeroyok dan membunuh pemuda muslim.
Peristiwa yang terjadi pada Syawal tahun kedua hijrah ini merupakan bukti pelanggaran Yahudi Bani Qainuqa terhadap Piagam Madinah, terutama pada pasal 25. Mereka telah mengganggu kebebasan seseorang untuk menjalankan agamanya. Di samping itu, mereka juga bersalah karena telah membunuh seorang muslim. Inilah yang menjadi penyebab Perang antara Negara Madinah dan Yahudi Bani Qainuqa'.
Melihat hal demikian, Nabi Muhammad segera memerintahkan kaum muslimin untuk menyerang mereka. Selama lima belas hari mereka di blokir hingga akhirnya menyerah. Mereka pun di usir dari Madinah dan pergi ke Syria.
Setelah kasus tersebut, Yahudi Bani Nadir juga melakukan hal yang serupa. Mereka bahkan berusaha membunuh Nabi dengan menimpakan batu besar ke arah Nabi. Namun Nabi segera menghindar setelah mendapat informasi dari malaikat Jibril, sehingga beliau berhasil lolos dari maut. Kasus ini dapat dikatakan sebagai makar, karena mereka melakukan percobaan membunuh kepala negara.
Sebagai hukuman, beliau juga mengusir mereka. Ketika bersiap-siap hendak meninggalkan Madinah, tiba-tiba Abdullah ibn Ubay, tokoh munafik yang menjadi duri dalam daging, mempengaruhi Yahudi untuk membatalkan niat tersebut dan mengajak mereka memerangi kaum muslimin. Akhirnya mereka juga di kepung dan di paksa keluar dari Madinah tanpa diperbolehkan membawa senjata.
Kelompok Yahudi yang terakhir melakukan pengkhianatan terhadap Piagam Madinah adalah Bani Quraizah. Mereka melakukan konspirasi dan bekerja sama dengan pasukan sekutu (Ahzab) yang menyerang Madinah pada tahun 5 H. Untuk mempertahankan kota Madinah, Salman al-Farisi mengusulkan kepada Nabi agar menggali parit-parit di sekitar Madinah.
Strategi ini berhasil membendung musuh memasuki Madinah. Celakanya, dalam kondisi demikian, Yahudi Bani Quraizah yang di pimpin oleh Ka'b ibn Asad mendukung pasukan musuh. Akhirnya, setelah tentara sekutu bubar tanpa membawa hasil, Nabi menunjuk 'Ali ibn Abi Thalib untuk memimpin pasukan mengepung perkampungan mereka. Hampir sebulan mereka di blokir dan di isolir, sehingga akhirnya menyerah.
Sebagai hukuman, mereka meminta kepada Nabi supaya Sa'd ibn Mu'az, seorang kepala suku Aus yang pernah menjadi sekutu mereka, yang memutuskannya. Mereka berharap Sa'd berbaik hati meringankan hukuman atas mereka. Namun, setelah mempertimbangkan besarnya bahaya pengkhianatan mereka pada saat-saat yang genting, Sa'd memutuskan hukuman mati atas mereka dan menyita harta serta menawan keluarga mereka.
Dalam kasus terakhir ini, Yahudi Bani Quraizah jelas sekali melanggar Piagam Madinah, terutama pasal 37 yang menegaskan bahwa orang-orang Yahudi dan umat Islam harus bahu membahu menghadapi musuh dari luar.
Setelah pengkhianatan bani-bani Yahudi, maka sejak itu pula Piagam Madinah batal dengan sendirinya. Untuk selanjutnya hanya ada satu konstitusi yang berlaku di Madinah untuk seluruh penduduk Madinah yaitu Al Quranul Karim.
Dari aspek tata negara menarik untuk dikemukakan bagaimana Sistem Politik dan Pemerintahan pada masa Rasulullah SAW. Dilihat dari sumber kekuasaan negara, Allah menegaskan bahwa kekuasaan mutlak berada di tangan-Nya (Qs. Ali Imran, 3:19). Namun ditinjau dari bagaimana Nabi Muhammad memperoleh kekuasaan atas masyarakat Madinah, ternyata ini berdasarkan perjanjiannya dengan penduduk Madinah. Perjanjian yang dikenal dengan bai'ah al-'aqabah, sebagaimana diuraikan sebelumnya, dalam kaca mata teori politik modern dapat disejajarkan dengan kontrak sosial antara pemimpin dan warga masyarakatnya.
Sebagaimana disebutkan oleh Ramli Kabi,
"Kedua bay’ah di atas merupakan proto sosial-politik untuk hijrah ke Madinah dan batu fundamen dalam pembinaan Negara Islam yang pertama". Bai'at ini merupakan aqad (transaksi) yang jelas antara orang-orang itu dengan Nabi Saw, dalam mendirikan Pemerintahan Islam, memberi kekuasaan kepada Nabi SAW, untuk patuh kepada Rasul dalam hal kekuasaannya yang langsung untuk mengatur pemerintahan baru, kewajiban membela dan mempertahankan Rasul, serta kesadaran baru berupa negara dan peraturan-peraturan (UU Islam)".
Para ulama menegaskan bahwa berdasar hadits-hadits dan shiroh nabawiyah, Rasulullah SAW menyusun dan membentuk sebuah struktur pemerintahan bagi negara di Madinah. Rasulullah SAW memiliki dua orang wakil yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Rasulullah SAW memiliki beberapa orang yang menangani administrasi negara, Rasulullah SAW melantik berbagai Wali Daerah (gubernur), para Hakim, Komandan Pasukan untuk berbagai peperangan, dan majelis Ahli Syuro dari Muhajirin dan Anshar.
Dalam menjalankan kedudukannya sebagai kepala negara, Rasulullah SAW menggunakan 4 (empat) cara untuk mengambil satu keputusan politik. Pertama, mengadakan musyawarah dengan sahabat senior; kedua, meminta pertimbangan kalangan profesional; ketiga, melemparkan masalah-masalah tertentu yang biasanya berdampak luas bagi masyarakat ke dalam forum yang lebih besar; dan keempat mengambil keputusan sendiri.
Pada bentuk pertama dapat dicatat dalam musyawarah Nabi dengan sahabat senior tentang tawanan Perang Badr. Abu Bakr meminta agar tawanan tersebut dibebaskan dengan syarat meminta tebusan dari mereka. Sedangkan 'Umar menyarankan supaya mereka dibunuh saja. Semula Nabi menerima saran Abu Bakr dan banyak di antara tawanan perang tersebut yang dibebaskan. Namun keesokan harinya Allah menurunkan ayat Al-Quran surat al-Anfal, 8:67-69 yang mengoreksi keputusan Nabi dan Abu Bakr serta membenarkan pendapat 'Umar. Nabi dan Abu Bakr menangis menyesali keputusan mereka sebelumnya. Bahkan Nabi menyatakan bahwa kalaulah datang azab Allah ketika itu, hanya 'Umarlah yang selamat. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Dalam bentuk kedua, Nabi menerima usulan Salman al-Farisi untuk membuat benteng pertahanan dalam perang Ahzab menghadapi tentara Quraisy dan sekutu-sekutunya dengan menggali parit-parit di sekitar Madinah. Strategi ini ternyata berhasil menghadang tentara sekutu memasuki Madinah. Akhirnya mereka bubar tanpa membawa hasil apa pun.
Sedangkan contoh ketiga dapat di lihat pada musyawarah Nabi dengan sahabat dalam rangka menghadapi kaum Quraisy Mekah di Perang Uhud. Nabi membicarakan stretegi perang yang tepat dalam menghadapi musuh. Nabi sendiri menawarkan supaya kaum muslimin bertahan saja di dalam kota menanti kedatangan musuh. Namun sebagian besar sahabat mengusulkan supaya pasukan Islam menyongsong mereka ke luar Madinah. Pertimbangannya adalah supaya anak-anak dan kaum wanita dapat terlindungi dari perang. Akhirnya Nabi menerima usulan mayoritas sahabat dan menghadang tentara musuh di Bukit Uhud.
Sementara contoh keempat adalah keputusan Nabi dalam menghadapi delegasi Quraisy ketika meratifikasi Perjanjian Hudaibiyah. Dalam masalah ini, Nabi mengesampingkan keberatan-keberatan para sahabat, terutama 'Umar, baik dalam penyusunan naskah perjanjian, maupun isi perjanjian itu sendiri yang terkesan merugikan pihak Islam. Katika penyusunan naskah, Nabi selalu mengalah dan memperturutkan kemauan Suhail ibn 'Amr, delegasi Quraisy Mekah.
Suhail tidak setuju ketika Nabi akan memulai penulisan naskah dengan lafaz 'Bismillahirrahmanirrahim.'' Suhail minta supaya kalimat tersebut di ganti dengan Bismikallahumma. Suhail tidak kenal dengan al-Rahman dan al-Rahim. Nabi memenuhi keberatan Suhail dan menyuruh 'Ali ibn Abi Thalib untuk menuliskannya. Ketika hendak mendiktekan lafaz perjanjian "Ini adalah perjanjian antara Muhammad Rasulullah dan Suhail ibn 'Amr" kepada 'Ali, lagi-lagi Suhail keberatan dan meminta supaya kata-kata "Muhammad Rasulullah" digantikan dengan "Muhammad ibn 'Abdullah". Menurut Suhail, kalau ia mengakui Muhammad sebagai Rasul Allah, tentu ia tidak memerangi Muhammad. Nabi juga tidak keberatan dengan "interupsi" Suhail dan kembali memerintahkan 'Ali untuk menuliskannya sesuai dengan keinginan Suhail.
Para sahabat sebenarnya sudah marah melihat ulah Suhail tersebut. Bahkan 'Umar menyampaikan kekecewaannya kepada Abu Bakr. 'Umar keberatan, mengapa umat Islam mau direndahkan dalam persoalan perjanjian Hudaibiyah ini? Namun Abu Bakr menenangkan 'Umar dengan menyatakan kesaksiannya bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Karena kurang puas atas sikap Abu Bakr, 'Umar mempertanyakan hal ini langsung kepada Nabi. Nabi hanya menjawab bahwa beliau adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, Rasulullah SAW tidak akan melanggar perintah Allah, dan Rasulullah juga yakin bahwa Allah tidak akan menyesatkan dirinya.
Sedangkan mengenai isi perjanjian yang di anggap merugikan kaum muslimin, terutama terlihat pada pasal 2 yang menyebutkan bahwa jika orang Mekah melarikan diri ke Madinah tanpa seizin pemimpinnya, Muhammad SAW harus mengembalikannya. Sebaliknya, bila orang Madinah ke Mekah, tidak ada kewajiban orang-orang Mekah untuk mengembalikannya kepada Muhammad SAW. Hal ini sebenarnya sangat mengecewakan para sahabat. Namun karena Nabi telah menegaskan bahwa ia adalah Rasul Allah, sebagaimana disampaikannya kepada 'Umar, maka tidak seorang pun di antara mereka yang membantahnya.
Dalam menjalankan roda pemerintahan Negara Madinah, nampaknya Nabi Muhammad tidak memisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan tersebut baru di mulai pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA.
Hukum yang berlaku di Madinah adalah syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadits Rasulullah. Apabila tidak ada ketentuan di dalam Al Quran, maka Rasulullah SAW menyampaikan keputusannya dan ini mengikat kepada seluruh warganya.
Untuk politik dalam negeri, dapat di lihat kebijaksanaan beliau seperti menciptakan persatuan dan kesatuan di antara komponen masyarakat Negara Madinah. Beliau berhasil meredam konflik-konflik antara anggota masyarakat dan menciptakan sistem ta`akhi (persaudaraan) antara muhajirin dan anshar. Setiap muhajirin memiliki seorang saudara dari golongan anshar.
Dalam sistem ini, antara muhajirin dan anshar yang dipersaudarakan tersebut hidup saling membantu dan saling menasihati. Bahkan pada awalnya juga terdapat hubungan kewarisan berdasarkan mu'akhah ini, sebelum akhirnya peraturan tersebut dibatalkan.
Beliau juga bertindak sebagai hakim terhadap perkara-perkara yang terjadi antara anggota masyarakat. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat al-Nisa', 4:65: “Demi Tuhanmu, mereka itu belum beriman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim atas perkara-perkara yang timbul di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa keberatan atas keputusanmu dan menerima keputusanmu dengan sepenuhnya."
Untuk mengadili pelanggaran ketertiban umum, Nabi membentuk lembaga hisbah. Lembaga ini antara lain bertugas mengadakan penertiban terhadap perdagangan agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan yang dilakukan pedagang di pasar. Nabi mengangkat petugas hisbah (muhtasib) untuk beberapa kota, seperti Sa'id ibn al-'Ash ibn Umaiyah untuk Mekah dan 'Umar ibn al-Khaththab untuk Madinah. Bahkan tidak jarang Nabi sendiri mengadakan inspeksi langsung ke pasar.
Sebagai contoh, beliau pernah melakukan sidak (inspeksi mendadak) ke suatu pasar di Madinah. Dalam inspeksi ini, beliau mendapatkan seorang pedagang yang menyembunyikan makanan yang basah karena hujan dan mencampurnya dengan makanan yang kering diatasnya. Beliau melarang praktik bisnis curang yang merugikan konsumen tersebut.
Untuk pemerintahan di daerah, beliau mengangkat beberapa sahabat sebagai gubernur atau hakim. Di antara sahabat yang di angkat adalah Mu'az ibn Jabal sebagai hakim di Yaman. Beliau juga mengelola zakat, pajak dan ghanimah untuk kesejahteraan penduduk. Sementara sebagai panglima tertinggi angkatan perang, beliau mengorganisasi militer, mengumumkan perang dan langsung memimpin peperangan. Terhadap peperangan yang tidak beliau pimpin langsung, beliau mengangkat seseorang sebagai panglima (komandan). Sementara untuk memperlancar tugas-tugas kenegaraan, Nabi Muhammad dibantu oleh beberapa orang sekretaris. Di antara mereka yang terkenal ialah Zaid ibn Tsabit dan 'Ali ibn Abi Thalib. Mereka juga bertindak sebagai penulis wahyu Al-Quran.
Dalam hubungan internasional, kebijakan politik yang di tempuh Rasulullah SAW adalah menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara lain. Beliau SAW mengirim surat dakwah kepada kepala negara lain Diperkirakan surat-surat tersebut berjumlah 30 pucuk. Meskipun pada intinya surat-surat tersebut berisi ajakan untuk memeluk Islam, secara hukum internasional ini merupakan langkah awal untuk membentuk hubungan diplomatik dengan negara-negara tersebut secara damai.
Dari penerima surat sendiri, terdapat tiga sikap mereka dalam merespons ajakan Nabi tersebut. Pertama, menolak mentah-mentah, seperti dilakukan oleh Kisra Persia. Bahkan Kisra mengotak-nyoyak surat Nabi, sehingga Nabi menyatakan bahwa kerajaannya kelak akan terkoyak-koyak pula sebagaimana ia menyoyak-ngoyak surat beliau. Kedua, menyambut simpatik surat Nabi, tetapi belum bersedia masuk Islam. Sikap ini diperlihatkan oleh Mukaukis. Sebagai tanda persahabatan, Mukaukis bahkan memberikan "cendera mata" untuk Nabi. Ketiga, menerima ajakan Nabi dan masuk Islam.
Rasulullah SAW juga mengangkat duta-duta ke negara-negara sahabat. Tercatat dalam sejarah bahwa pada tahun kedua hijrah Rasulullah SAW mengangkat Amr ibn Umaysh al-Damari sebagai duta Islam ke Abbesinia. Ketika itu, Umaysh masih belum masuk Islam. Di samping itu, Rasulullah SAW juga menerima duta negara lain dan memperlakukannya dengan baik. Hal ini diperlihatkannya ketika menerima Wahsyi sebagai duta orang Quraisy Mekah untuk perundingan Hudaibiyah. Meskipun Wahsyi telah membunuh secara keji paman beliau, Hamzah, pada Perang Uhud, Rasulullah SAW memperlakukannya dengan hormat sebagai diplomat yang memiliki kekebalan diplomatik.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan Rasulullah SAW ini menegaskan kepada kita bahwa beliau telah menjalankan perannya sebagai kepala negara. Semua yang dilakukan ini merupakan tugas-tugas seorang sebagai kepala negara dalam pengertian modern.
Karena itu, sulit sekali kita menerima pandangan 'Ali 'Abd al-Raziq bahwa Rasulullah SAW hanya ditugaskan untuk menjalankan misinya sebagai Rasul, tidak sebagai pemimpin negara. Pendapat 'Ali 'Abd al-Raziq di atas ditolak tidak hanya oleh kalangan Islam, tetapi juga oleh orientalis Barat.
W. Montgomery Watt, misalnya, menulis sebuah buku khusus yang mengkaji sosok Muhammad sebagai Nabi dan negarawan berjudul Muhammad Prophet and Statesman. Dalam buku ini Watt menegaskan bahwa masyarakat Madinah yang dibentuk Nabi Muhammad adalah masyarakat agama dan politik. Di samping sebagai rasul, Muhammad juga sebagai negarawan.
Sementara Philip K. Hitti menyatakan bahwa masyarakat Madinah yang di pimpin Nabi bukan berdasarkan ikatan primordial kedaerahan dan kesukuan, sebagaimana terjadi selama ini dalam masyarakat Arab pra-Islam, melainkan ikatan keagamaan. Rasulullah SAW, di samping mempunyai tugas spiritual sebagai rasul, juga memiliki kekuasaan politik sebagai kepala pemerintahan.
Dari penjelasan di atas tentang praktik kenegaraan yang dimainkan oleh Rasulullah SAW dalam Negara Madinah, di lihat dari sumber kekuasaan, maka pemerintahan Negara Madinah dapat dikatakan sebagai negara teokrasi. Dalam negara ini, syari'at memegang peranan sentral dan menjadi dasar kebijakan politik Muhammad. Sedangkan bila ditinjau dari sudut pelaksanaan kekuasaan, sistem pemerintahan Rasulullah SAW dapat dikatakan demokratis. Karena Rasulullah SAW mengadakan pendelegasian dan pembagian kekuasaan kepada para sahabat. Dalam kasus-kasus tertentu bahkan Rasulullah SAW melibatkan para sahabat untuk memutuskan kebijaksanaan politik.
Sedangkan di tinjau dari sudut kepada siapa dan bagaimana cara Rasulullah SAW selaku pemegang kekuasaan bertanggung jawab atas kekuasaannya, dapat dikatakan bahwa Rasulullah SAW tidak bertanggung jawab kepada rakyat. Kepemimpinan Rasulullah SAW adalah unik. Sebagai rasul Allah, beliau bertugas menyampaikan pesan-pesan wahyu Al-Quran.
Sebagai realisasi dari dakwahnya ini, beliau akhirnya mendapat kepercayaan untuk memimpin umat di Madinah dan mendirikan Negara Madinah. Jadi kepemimpinan Muhammad sebagai kepala negara Madinah menyatu dengan tugas-tugas kerasulannya. Karena itu, beliau hanya bertanggung jawab sepenuhnya kepada Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.