Nabi mulai mempersiapkan suatu kampanye. Abu Bakr bertanya, apakah ia harus bersiap-siap. Nabi mengatakan, mereka harus keluar melawan Quraisy. "Apakah kita tidak menunggu habisnya waktu gencatan senjata?" tanya Abu Bakr. "Mereka telah mengkhianati kita dan melanggar per¬janjian," kata Nabi, "dan aku harus menyerang mereka. Akan tetapi, rahasiakanlah apa yang kukatakan padamu. Biarkan mereka berpikir bahwa Rasulullah akan memerangi Suriah dan biarkan yang lain mengira untuk Tsaqif serta yang lainnya mengira untuk Hawazin. Ya Tuhan, ambillah semua pandangan Quraisy atas kami dan semua kabar dari kami, di mana pun kami berada, sehingga kami bisa mendekati wilayah mereka secara tiba-tiba."
Sebagai jawaban atas permohonan tersebut, datanglah wahyu bahwa salah seorang Muhajirin, bernama Hathib, telah mendengar rahasianya dan menulis surat kepada Quraisy untuk memperingatkan mereka tentang adanya kemungkinan ancaman serangan. Dia memberikannya ke¬pada seorang wanita, bernama Muzaynah, yang berangkat ke Mekah, dan surat itu disembunyikan dirambutnya.
Nabi mengutus Ali dan Zubayr untuk menyusul wanita itu. Ketika gagal menemukan surat itu di tasnya, mereka mengancam akan menggeledahnya jika ia tidak mau me-nunjukkannya. Maka, ia menyerahkan surat tersebut dan mereka mengambilnya untuk diserahkan kepada Nabi, yang kemudian ditunjukkan kepada penulis surat itu. "Apa. yang membuatmu melakukan hal ini, Hathib?" tanya Nabi. 'Wahai Rasulullah, aku tidak bermaksud menukar keimananku dan tidak ada yang dapat menggantikannya. Namun, aku seorang pria yang tak mempunyai apa-apa di tengah masyarakat Mekah, tanpa kekuatan pengaruh. Demi anak dan saudaraku yang berada di sana, di tengah-tengah mereka, aku bermaksud menyelamatkan mereka."
"Wahai Rasulullah," 'Umar berkata, "izinkanlah aku me-menggal kepalanya. Lelaki ini seorang munafik." Namun, Nabi berkata, "Bagaimana engkau tahu hai Umar, Tuhan mengangkat anggota pasukan Badr dan berfirman, 'Laku-kanlah apa yang engkau inginkan karena aku telah meng-ampunimu?'"
Nabi mengirim beberapa utusan kepada suku-suku yang dianggap dapat dimintai bantuan, mengundang me¬reka ke Madinah pada awal bulan depan, yaitu bulan Ramadan. Penduduk Badui menanggapi undangan itu dengan penuh kesetiaan. Pada hari yang ditentukan, telah siap pasukan bersenjata terbesar yang pernah keluar dari Madinah. Tidak ada seorang muslim pun yang tertinggal di belakang. Kaum Muhajirin tujuh ratus orang dengan tiga ratus kuda; kaum Anshar empat ribu orang dengan lima ratus kuda; dan dari berbagai suku, termasuk yang menyertai mereka di perjalanan, berjumlah hampir sepuluh ribu orang. Pasukan yang menunggang unta di belakang, mengiringi kuda-kuda mereka. Dan selain be-berapa sahabat Nabi terdekat, mereka tidak tahu di mana pihak musuh berada.
Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan 'Abbas dan Umm al-Fadhl serta anak-anak mereka. Abbas me¬mutuskan, inilah saatnya untuk meninggalkan Mekah dan tinggal di Madinah. Nabi mengajak mereka bergabung dalam ekspedisinya dan mereka pun melakukannya. Hal itu menggembirakan Maymunah yang datang bersama Nabi.
Ummu Salamah juga bersama Nabi. Pada salah satu pemberhentian berikutnya, ia diberi tahu bahwa ada dua orang laki-laki Quraisy di kemah ingin berbicara dengannya. Salah satunya adalah saudara tirinya, Abd Allah, anak ayah¬nya dengan bibi Nabi, 'Atikah; yang lain adalah putra pa-man tertua Nabi, Harits, penyair Abu Sufyan, yang pernah menjadi anak asuh Halimah. Dia bersama anaknya, Ja'far. Kedua lelaki itu dekat dengan Nabi sampai kenabian, ketika mereka mulai berbalik menentangnya. Mereka kini datang untuk memohon maaf dan meminta Umm Salamah men¬jadi perantara mereka.
Ummu Salamah menemui Nabi dan berkata, "Saudara istrimu sendiri, putra bibimu, di sini, dan putra pamanmu, yang juga saudara tirimu." Namun beliau berkata, "Aku tidak ingin menemui mereka. Menyang-kut saudaraku—maksudnya saudara Umm Salamah, Abd Allah—ia mengatakan tentang aku apa yang dikatakannya di Mekah; dan tentang putra pamanku, ia telah meng-hinaku." Abu Sufyan pernah merendahkan Nabi di dalam syairnya.
Ummu Salamah memohon untuk mereka, tetapi tidak ada tanggapan. Ketika ia sampaikan hal ini kepada mereka, Abu Sufyan berkata, "Ia harus menemuiku atau aku akan mengambil anakku, dan pergi ke padang pasir hingga mati kehausan dan kelaparan. Dan engkau—mak¬sudnya Nabi—senantiasa lelaki yang paling menderita karena hubunganmu terputus denganku." Ketika Umm Salamah menyampaikan pernyataan ini kepada Nabi, be¬liau jatuh iba dan setuju untuk menemui mereka di ten¬danya, tempat mereka berdua menyatakan keimanannya dan masuk Islam.
Dalam perjalanan, suatu hari Nabi melihat seekor induk anjing berbaring di sisi jalan dengan anaknya yang baru lahir. Anjing itu sedang memberi makan anaknya, dan be¬liau khawatir gelombang pasukan akan mengganggunya. Maka, beliau menyuruh Ju'ayl dari Damrah agar men-jaganya sampai setiap kontingen lewat. Nama Ju'ayl tetap melekat padanya, meskipun namanya telah diganti oleh Nabi dengan Amr.
Di Qudayd, pasukan itu bergabung dengan Bani Sulaym, sembilan ratus tentara berkuda. "Hai Rasulullah," kata salah seorang juru bicara mereka, "engkau kira kami ini pengecut, kami adalah pamanmu dari pihak ibu"— merujuk pada ibu Hasyim, 'Atikah, yang berasal dari suku mereka—"maka kami datang kepadamu dan engkau dapat menguji kami. Kami setia dalam peperangan, cerdik dalam pertempuran, dan penunggang kuda yang hebat."
Sebagaimana pasukan lain yang datang dengan ke¬kuatan utama dari Madinah, mereka membawa bendera tapi tidak dikibarkan. Mereka meminta Nabi untuk me-ngibarkannya dan menyerahkannya kepada orang yang be¬liau pilih di antara mereka, tetapi belum waktunya untuk mengibarkan bendera. Beliau juga tidak memberitahukan ke mana mereka akan menuju.
Mula-mula Nabi mengirim seseorang ke tengah-tengah pasukan untuk mengumumkan, "Siapa yang ingin tetap berpuasa, berpuasalah! Dan barang siapa ingin berbuka, berbukalah!" Dalam perjalanan di bulan Ramadan, diper-bolehkan untuk berbuka puasa dan diganti pada waktu lain. Nabi sendiri dan beberapa orang lainnya tetap ber¬puasa sampai mereka tiba pada jarak tertentu dari Tanah Suci. Setelah itu, beliau memerintahkan untuk berbuka puasa. Ketika mereka berkemah di Marr al-Zhahran, be¬liau memberitahukan bahwa berbuka puasa bertujuan un¬tuk mengumpulkan kekuatan guna menghadapi musuh. Ini menimbulkan rasa penasaran banyak orang.
Dari Marr al-Zhahran, Mekah dapat dicapai dalam satu atau (jika santai) dua hari perjalanan. Namun, mengingat ada perjanjian gencatan senjata, tidak mungkin mereka akan menyerang Quraisy. Perkemahan mereka juga berada di jalan menuju wilayah suku penentang Islam, Hawazin. Ataukah, setelah menguasai tanah subur di Hijaz utara, Nabi kini berpaling ke tanah subur di selatannya, Tha'if, pusat penyembahan al-Lat yang masih bertahan hingga saat ini?
Pertanyaan "siapakah gerangan musuhnya" menjadi pusat perhatian setiap orang. Ka'b ibn Malik secara suka-rela pergi menemui Nabi dan menanyakannya. Ia tidak bertanya secara langsung, tetapi duduk di hadapan Nabi dan melantunkan syair yang ia gubah saat itu. Poin utamanya adalah orang-orang telah mengarahkan pedang mereka dan menginterogasinya, siapa musuh yang akan dituju; dan seandainya pedang dapat berkata, mereka akan menanyakan hal yang sama. Namun, Nabi hanya menjawab dengan senyuman dan Ka'b kembali ke pasukan dengan tangan hampa.
Kalau mereka penasaran ke mana tujuan mereka, Quraisy dan Hawazin lebih penasaran lagi. Suku terbesar Hawazin tersebar terutama pada salah satu lereng negeri perbukitan, itulah Tsaqif, penduduk Tha'if dan penjaga kuil itu, yang berinisiatif mengirimkan pesan penting ke¬pada pengikut mereka dari suku Hawazin bahwa sepuluh ribu pasukan bersenjata dari Yatsrib sedang dalam per-jalanan ke selatan, dan mereka harus menyiapkan diri atas terjadinya kemungkinan terburuk. Sebagian besar suku-suku tersebut segera bertindak dan tentara-tentara mulai berkumpul di tempat strategis, di utara Tha'if.
Begitu pula Quraisy. Meskipun mereka berpikir bahwa Tha'if sedang dalam bahaya lebih besar daripada Mekah, mereka sadar telah melanggar perjanjian. Kejadian ini dan penolakan Nabi untuk memperbaruinya membuat mereka putus asa. Nabi menyadari semua ini. Dan, untuk membuat mereka lebih takut lagi, beliau memerintahkan pasukannya menyebar dan setiap orang menyalakan api. Dari perbatasan Tanah Suci, terlihat perapian besar.
Berita segera menyebar ke Mekah bahwa pasukan Muhammad lebih besar dari yang mereka khawatirkan. Setelah berunding dengan tergesa-gesa, Quraisy menyepakati tawaran Abu Sufyan untuk keluar dan menemui Nabi kembali. Ia disertai Hakim, sepupu Khadijah, yang melakukan sesuatu yang terbaik untuk menghentikan pe-perangan Badr, serta Budayl dari Khuza'ah yang membantu Nabi pada Hudaybiyah dan yang baru-baru ini menemani beberapa orang sukunya ke Madinah berkaitan dengan runtuhnya perjanjian itu.
Ketika tiba di perkemahan, mereka melihat seorang penunggang kuda mendatangi mereka. Itulah Abbas, yang kabur dari perkemahan, ber¬harap dalam perjalanannya ke kota bertemu seseorang yang dapat menyampaikan pesannya kepada Quraisy. Suatu perintah, pikirnya, bahwa mereka harus mengirim seorang perwakilan kepada Nabi sebelum terlambat. Ke¬tika mereka sudah saling mengenali dan memberi salam, Abbas mengantar mereka ke tenda Nabi. Abu Sufyan berkata, "Muhammad, engkau datang dengan berbagai orang asing—sebagian dikenal dan sebagian tidak—untuk melawan kerabatmu sendiri."
Namun, Nabi memotong perkataannya, "Engkaulah yang melampaui batas, melanggar perjanjian Hudaybiyah dan membantu penyerangan ter¬hadap Bani Ka'b. Dengan demikian, kalian berdosa te¬lah melanggar batas suci dari Tuhan." Abu Sufyan berusaha mengalihkan pembicaraan. "Celaka," katanya, "engkau telah membuat marah kerabatmu dan ubah strategimu untuk menyerang Hawazin! Sebab, hubungan kekerabatan mereka lebih jauh denganmu dan lebih besar kebenciannya terhadapmu."
"Aku berharap," kata Nabi, "Tuhanku akan menjamin semua itu—dengan kemenang¬an atas Mekah, kejayaan Islam, dan penaklukan Hawazin— serta bahwa Tuhan akan memperkaya aku dengan harta mereka sebagai rampasan perang, dan keluarga mereka sebagai tawanan. Kemudian, beliau berkata kepada tiga orang itu, "Bersaksilah bahwa tiada tuhan selain Allah, dan aku adalah Utusan-Nya." Hakim dan Budayl langsung menyatakan keimanan mereka, tapi Abu Sufyan bersaksi bahwa "tidak ada tuhan selain Allah" dan kemudian diam. Ketika diminta untuk mengucapkan syahadat kedua, ia berkata, "Hai Muhammad, di hatiku masih ada ganjalan tentang hal ini, berilah aku waktu."
Maka, Nabi meminta pamannya agar membawa mereka ke tendanya untuk bermalam. Pada waktu subuh, panggilan azan memenuhi seluruh perkemahan, dan Abu Sufyan sangat tergetar de¬ngan suara itu. 'Apa itu?" tanyanya. "Shalat," kata Abbas. "Berapa kali mereka shalat sehari-semalam?" tanya Abu Sufyan. Ketika diberi tahu bahwa shalat sebanyak lima kali, ia berkata, "Demi Tuhan, itu terlalu banyak!".
Setelah itu ia melihat orang-orang berdesakan satu sama lain, berharap mendapatkan limpahan air wudu Nabi atau sekadar cipratannya. "Hai Abu al-Fadhl, aku tidak pernah melihat kewibawaan seperti ini," katanya. "Lebih di atasmu!" kata Abbas. "Berimanlah!" "Bawalah aku padanya," kata Abu Sufyan. Setelah shalat, Abbas membawanya kembali menghadap Nabi, dan ia bersaksi, Muhammad adalah Utusan Allah. Abbas mendekati Nabi dan berkata, "Hai Rasulullah, engkau sangat tahu Abu Sufyan mencintai kehormatan dan kemuliaan. Berikanlah ia suatu kehormatan." "Aku akan memberinya," sahut Nabi. Beliau menemui pemimpin Bani Umayyah itu, menyuruhnya agar kembali ke Qu¬raisy, dan berkata kepada mereka, "Barang siapa memasuki rumah Abu Sufyan akan selamat; barang siapa menutup pintunya akan selamat; dan barang siapa memasuki masjid akan selamat.
Tenda-tenda telah dilipat dan diletakkan di atas unta-unta. Nabi meminta agar semua bendera dibawa kepadanya. Bendera-bendera itu beliau kumpulkan satu per satu dan masing-masing diserahkan ke tangan orang yang dipilihnya. Beliau menyuruh Abbas menemani Abu Sufyan sampai ke perbatasan lembah dan berdiri di sana agar ia dapat melihat sendiri kebesaran pasukan yang lewat. Masih ada waktu baginya untuk kembali ke Quraisy dan menyampaikan pesannya karena kalau sendirian akan lebih mudah dan lebih cepat mencapai Mekah daripada pasukan tentara.
"Siapakah itu" tanya Abu Sufyan, menunjuk kepa¬da pemimpin pasukan yang kini tampak dalam pandangannya. "Khalid ibn Walid," kata Abbas. Ketika berada pada ketinggian yang sama dengan mereka, Khalid bertakbir, Allahu Akbar, tiga kali. Bersama Khalid, ada pa¬sukan berkuda Sulaym. Kemudian, disusul Zubayr yang berjubah kuning, mengepalai tiga ratus tentara Muhajirin dan lainnya. Ia juga bertakbir ketika melintasi Abu Sufyan, seluruh lembah seakan menggemakan suara takbirnya. Pasukan demi pasukan melewati mereka berdua.
Setiap kali lewat, Abu Sufyan menanyakan siapa mereka. Ia senantiasa merasa takjub, entah karena suku-suku yang ditanya itu selama ini berada jauh dari jangkauan pengaruh Quraisy, atau karena mereka selama ini adalah para penentang Nabi, seperti Asyja', suku Ghathafan, yang benderanya dibawa oleh Nu'aym, mantan temannya sen¬diri, dan Suhayl.
"Dari semua suku Arab," kata Abu Sufyan, "mereka adalah musuh utama Nabi yang paling kejam." "Tuhanlah yang memasukkan Islam ke dalam hati mereka," kata Abbas, "Semua ini karena rahmat-Nya."
Pasukan yang terakhir adalah pasukan Nabi, seluruhnya dari Muhajirin dan Anshar. Pantulan sinar baju baja mereka tampak hitam kehijauan, dan karena mereka bersenjata lengkap, hanya mata mereka yang terlihat. Nabi menyerahkan benderanya kepada Sa'd ibn 'Ubadah, yang memimpin barisan terdepan.
Ketika melewati kedua orang itu di tepi jalan, Abu Sufyan dan Abbas, beliau berkata, “Abu Sufyan, ini adalah hari pembantaian! Hari di mana yang tidak dapat dilanggar dapat dilanggar! Hari Tuhan menghinakan Quraisy!" Nabi berada di tengah bala ten¬tara, di punggung unta Qashwa', dan di kanan kirinya ada Abu Bakr dan Usayd.
"Wahai Rasulullah," teriak Abu Sufyan, "Apakah engkau memerintahkan pembantaian terhadap kerabatmu sendiri?" dan ia mengulangi kepada beliau apa yang dikatakan Sa'd. "Aku memohon kepadamu demi Allah," tambahnya, "Atas nama kerabatmu, karena engkau manusia terbesar, yang paling mulia, yang paling kasih!"
"Hari ini adalah hari kasih," kata Nabi, "hari ke¬tika Tuhan memuliakan Quraisy." Kemudian, Abd al-Rahman ibn 'Awf dan 'Utsman berkata, "Rasulullah, kami ragu, Sa'd akan melakukan serangan tiba-tiba atas Quraisy." Karena itu, Nabi mengirim pesan kepada Sa'd untuk memberikan bendera kepada putranya, Qays, yang relatif lebih sabar, dan mengangkatnya sebagai pemimpin pasukan. Menghormati anak berarti menghormati ayah, dan di tangan Qays, bendera akan tetap berada di Sa'd.
Namun, Sa'd menolak menyerahkan bendera itu tanpa ada perintah langsung dari Nabi. Maka, beliau segera melepaskan serban merah dari penutup kepalanya dan mengirimnya kepada Sa'd. Sa'd menerimanya dan bendera diserahkan kepada Qays.
Saat pasukan telah berlalu, Abu Sufyan dengan cepat kembali ke Mekah dan berdiri di luar rumahnya. Ia berteriak untuk mengumpulkan orang-orang: 'Wahai orang-orang Quraisy, Muhammad telah berada di sini dengan kekuatan yang tidak dapat kalian lawan. Muhammad bersama sepuluh ribu pasukan baja. Ia telah berjanji kepadaku bahwa siapa saja yang masuk ke rumahku akan aman."
Hindun keluar dari rumahnya dan memegang janggut suaminya, "Bunuhlah kantong lemak lelaki ini!" teriaknya. "Engkau pelindung rakyat yang malang!" "Celaka kalian!" seru Abu Sufyan. "Jangan biarkan wanita ini meyakinkan kalian untuk melawan keputusan terbaik karena di sana telah datang apa yang tidak dapat kalian lawan. Namun, siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan akan aman." "Tuhan mengutukmu!" teriak mereka. "Ap¬akah rumahmu akan muat untuk kami semua?" tanya mereka. "Barang siapa mengunci rumahnya akan aman," jawabnya, "dan barang siapa memasuki masjid akan aman." Segera kerumunan itu pun bubar, sebagian menuju rumah masing-masing dan sebagian lagi ke masjid.
Pasukan muslim berhenti di Dzu Thuwa, tidak jauh dari kota Mekah dan dapat terlihat. Inilah tempat Khalid ditunjuk untuk mencegah mereka mendekat dua tahun lalu. Namun, kini tidak ada tanda-tanda perlawanan. Layaknya sebuah kota yang kosong, seperti ketika kunjungan mereka tahun lalu, tapi kali ini tidak dibatasi tiga hari. Ketika Qashwa' tiba di pemberhentian, Nabi menundukkan kepalanya hingga janggutnya menyentuh pelana, bersyukur kepada Allah. Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfir.
Beliau kemudian mempersiapkan bala tentaranya, menunjuk Khalid sebagai komandan di sayap kanan dan Zubayr di sayap kiri. Pasukan Nabi sendiri, yang berada di tengah, dibagi dua: sebagian dipimpin oleh Sa'd dan putranya, sebagian lagi, tempat beliau berada, dipimpin oleh Abu Ubaydah. Ketika diberi komando, mereka berpencar dan memasuki kota melalui empat penjuru. Khalid dari bawah dan yang lain dari bukit, melintasi tiga jalur yang berbeda.
Di puncak Bukit Abu Qubays, ada dua sosok yang jelas terlihat: seorang tua memegang tongkat, dipapah se¬orang wanita. Mereka adalah Abu Quhafah dan Quraybah, ayah dan saudara perempuan Abu Bakr. Pagi itu, ketika berita kedatangan Nabi tiba di Dzu Thuwa, orang tua buta itu menyuruh putrinya agar memapahnya ke puncak bukit itu dan menceritakan apa yang ia lihat.
Dulu, sewaktu masih muda dan kuat, ia juga mendaki bukit di sisi lain Mekah untuk melihat tentara Abrahah dan gajahnya. Sekarang, ia sudah tua dan telah buta bertahun-tahun. Namun, setidaknya ia dapat melihat melalui mata putrinya, sepuluh ribu tentara yang di antara mereka ada putra dan dua cucunya. Quraybah menggambarkan apa yang dilihatnya ibarat sebuah massa padat berwarna hitam. Ayahnya mengatakan, itu adalah pasukan berkuda dalam formasi dekat, tengah menunggu perintah. Lalu, Quraybah melihat massa hitam itu menyebar menjadi empat bagian, dan ayahnya meminta untuk segera diantar ke rumah. Ke¬tika pasukan berkuda lewat di hadapan mereka, mereka masih dalam perjalanan. Tiba-tiba seseorang melompat dari pelana kudanya dan mengambil kalung perak yang dikenakan Quraybah. Namun, mereka berdua tidak terluka dan pulang dengan selamat.
Selain mereka, di Abu Qubays ada 'Ikrimah, Sharwan, dan Suhayl yang mengerahkan kekuatan Quraisy bersama sekutu mereka, Bakr dan Hudzayl. Mereka memutuskan untuk berperang. Ketika melihat pasukan Khalid menuju Mekah melalui jalur bawah, mereka menghadang dan me¬nyerang pasukan itu. Namun, mereka tidak sepadan de¬ngan pasukan Khalid. Pihaknya kehilangan tiga puluh orang, sementara di pihak Khalid kehilangan dua orang. 'Ikrimah dan Shafwan melarikan diri dengan menunggang kuda menuju pantai, sementara Suhayl berlari ke rumah¬nya dan mengunci pintu.
Ketika Nabi masuk melalui jalan Adzakhir di dataran atas Mekah, pertempuran hampir selesai. Ketika menengok ke arah pasar, beliau terkejut melihat kilatan pe-dang. "Bukankah kalian kularang bertempur?" katanya. Setelah dijelaskan apa yang terjadi sebenarnya, beliau me¬ngatakan bahwa Tuhan menakdirkan yang terbaik.
Beliau dapat melihat tenda kulitnya yang berwarna merah, yang kini didirikan oleh Abu Rafi' tidak jauh dari masjid. Beliau menunjukkannya ke Jabir yang berada di sampingnya, dan seusai mengucapkan pujian dan rasa syukur, beliau berjalan menuruni lembah. "Aku tidak akan memasuki rumah mana pun," katanya.
Umm Salamah, Maymunah, dan Fathimah sedang menunggu beliau di dalam tenda. Sejenak sebelum kedatangan beliau, Umm Hani' bergabung dengan mereka. Dalam hukum Islam dijelaskan bahwa perkawinan antara wanita muslim dan pria musyrik dibatalkan. Ini berlaku bagi pernikahan Umm Hani' dan Hubayrah yang telah mengantisipasi keruntuhan Mekah dan pergi untuk tinggal di Najran.
Namun, dua saudara iparnya, salah satunya kakak Abu Jahl, turut serta bertempur melawan Khalid dan sesudah itu kabur ke rumahnya. Ketika Ali datang untuk menyambut Umm Hani', dan melihat dua orang Makhzum itu, ia menghunus pedangnya dan akan membunuh mereka sekalipun telah diberi perlindungan resmi oleh Umm Hani'. Namun, Umm Hani' melempar lembing dan berdiri di antara mereka dan berkata, "Demi Tuhan, engkau harus membunuhku terlebih dahulu!"
Ali langsung meninggalkan rumah itu. Dan kini, setelah mengunci pintu, Umm Hani' datang untuk memohon ampun kepada Nabi. Ia melihat Fathimah sama kerasnya seperti Ali. "Apakah engkau melindungi para penyembah berhala?" kata Fathimah. Namun, celaan Fathimah terpotong oleh kedatangan Nabi. Beliau mengucapkan salam kepada sepupunya itu. Setelah Umm Hani' menceritakan apa yang terjadi, beliau berkata, "Tidak boleh demikian. Siapa saja yang engkau selamatkan, akan kami selamatkan. Dan, siapa yang engkau lindungi, akan kami lindungi."
Beliau berwudu dan shalat delapan rakaat, lalu beristirahat sekitar sejam atau lebih. Kemudian, ia memanggil Qashwa' dan meletakkan baju tentara serta penutup kepalanya di punggung unta itu, serta mengikat pedangnya; sementara tangannya menggenggam tongkat dan bertopi. Beberapa pengikutnya, pagi itu telah bersiap di luar tenda dan mengiringi beliau ke masjid. Beliau bercakap-cakap de¬ngan Abu Bakr yang berada di sampingnya.
Beliau berkuda menuju sudut tenggara Ka'bah dan de¬ngan hormat menyentuh Hajar Aswad dengan serbannya sambil bertakbir. Orang-orang pun mengikutinya, Allahu Akbar, Allahu Akbar, dan diikuti oleh seluruh muslim di masjid. Seluruh Mekah menggemakannya, sampai Nabi memberi isyarat agar mereka berhenti. Lalu, beliau bertawaf tujuh kali. Sementara itu, Muhammad ibn Maslamah memegang kendali unta beliau. Pada ibadah umrah, kehormatan itu diberikan kepada seseorang dari suku Khazraj, maka kali ini, penghargaan harus diberikan kepada seseorang dari suku Aws.
Nabi kini beralih dari Ka'bah menuju berhala-berhala yang mengelilingi Ka'bah, seluruhnya sekitar 360. Beliau bergerak di antara berhala dan Ka'bah dengan mengulang-ulang ayat, "Kebenaran telah datang dan kebatilan telah hancur. Sesungguhnya kebatilan akan musnah selarnanya" (Q. 17: 81), sembari menunjuk ke tiap berhala, satu per satu, dengan tongkatnya. Setiap berhala yang beliau tunjuk wajahnya jatuh tersungkur. Selesai tawaf beliau berhenti dan salat di makam Ibrahim, yang pada saat itu masih berdempetan dengan Ka'bah. Lalu, beliau pergi ke sumur Zamzam tempat Abbas memberinya minum.
Beliau menetapkan kebiasaan tradisional bagi keturunan Hasyim untuk memberi minum para jamaah haji. Namun, ke¬tika 'Ali menyerahkan kunci Ka'bah kepada Nabi, dan Abbas memintanya untuk diberikan kepada keluarganya, beliau berkata, "Aku memberimu apa yang telah hilang darimu, bukan yang menjadi hak orang lain." Lantas, be¬liau memanggil seseorang dari Abd al-Dar yang datang pertama kali di Madinah bersama Khalid dan Amr, yaitu 'Utsman ibn Thalhah. Kunci itu diserahkan kepadanya dan ditetapkan bahwa sukunya berhak menjaga Ka'bah selamanya. 'Utsman dengan hormat mengambil kunci tersebut dan pergi membuka pintu Ka'bah, diikuti oleh Nabi. Usamah dan Bilal berada di belakang Nabi, dan beliau mengajak mereka masuk, lalu menyuruh Utsman menutup pintu.
Selain gambar Perawan Maria, Yesus, dan sebuah lukisan seorang lelaki tua, disebut-sebut sebagai Ibrahim, dinding bagian dalam dipenuhi berbagai gambar tuhan berhala. Nabi dengan hati-hati meraba gambar-gambar itu dan menyuruh 'Utsman agar semuanya dihapus, kecuali gambar Ibrahim.
Beliau berdiri sejenak di dalam, kemudian mengambil kunci dari Utsman dan membuka pintu, berdiri di pintu dengan kunci di tangannya. Beliau berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya, membantu hamba-Nya, dan memberi petunjuk berbagai suku, ha¬nya Allah." Penduduk Mekah yang berlindung di masjid bergabung dengan mereka yang berlindung di rumah masing-masing. Mereka duduk berkerumun, tidak jauh dari Ka'bah. Nabi bertanya kepada mereka, "Apa yang kalian katakan dan kalian pikirkan?" Mereka menjawab, "Kami berkata yang baik dan berpikir yang baik: saudara yang mulia dan baik hati, putra saudara yang mulia dan baik hati, adalah hakmu untuk memerintah." Beliau lalu berbicara kepada mereka dengan kata-kata memaafkan, sesuai de¬ngan ayat, saat Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya ketika mereka menemuinya di Mesir, "Sesungguhnya, aku berkata seperti saudaraku Yusuf berkata: 'Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kalian, mudah-mudahan Allah mengampuni kalian. Dia Maha Pengasih di antara yang rnengasihi'" (Q. 12: 92).
Abu Bakr meninggalkan masjid untuk mengunjungi ayahnya, dan kini ia kembali dengan memapah Abu Quhafah, diikuti oleh saudara perempuannya, Quraybah. "Mengapa engkau tidak membiarkan orang tua ini di rumahnya?," tanya Nabi, "biar aku yang mendatanginya." "Hai Rasulullah," kata Abu Bakr, "ia lebih layak mendatangimu daripada engkau mendatanginya." Nabi menyambut tangan orang tua itu dan dibawa duduk di hadapannya. Beliau mengajaknya mengucapkan dua kalimat syahadat, ia pun melakukannya.
Setelah menyuruh menghancurkan dan menguburkan berhala terbesar, Hubal, Nabi mengumumkan bahwa se¬tiap orang di seluruh kota yang memiliki berhala di ru¬mahnya agar segera dihancurkan. Beliau kemudian pergi ke Bukit Shafa, tempat pertama kali beliau mendoakan keluarganya. Di tempat inilah beliau menerima penghormatan dari musuhnya yang kini ingin masuk Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka menghadapnya beratus-ratus.
Di antara para wanita, ada Hindun, istri Abu Sufyan. Ia datang dengan bercadar, takut bila Nabi memberi perintah untuk membunuhnya sebelum ia memeluk Islam. Ia berkata, "Hai Rasulullah, puji bagimu yang telah memuliakan agama yang kupilih untuk diriku." Lalu ia membuka cadarnya dan berkata, "Hindun, putri 'Utbah." Nabi berkata, "Selamat datang." Wanita lain yang datang ke Shafa adalah Umm Hakim, Istri 'Ikrimah. Ketika masuk Islam, ia memohon kepada Nabi agar suaminya diberi perlindungan hukum. Beliau menyetujuinya, meskipun 'Ikrimah masih menjadi penentangnya; dan Umm Hakim tahu di mana suaminya itu berada dan ia mencarinya untuk dibawa kembali.
Nabi memandang kerumunan orang di hadapannya dan menoleh ke pamannya, 'Wahai Abbas, di mana ke¬dua putra saudaramu, Utbah dan Mu'attib? Aku tidak melihat mereka." Mereka adalah dua anak Abu Lahab yang masih hidup. 'Utbahlah yang tidak mau mengakui Ruqayyah atas tekanan ayahnya, dan tampaknya mereka takut untuk menampakkan diri. "Suruh mereka kemari!" seru Nabi.
Abbas membawa keponakannya itu, yang ke¬mudian masuk Islam. Nabi menggandeng tangan mereka masing-masing, berjalan di antara mereka, dan mengajak mereka ke tempat pemujaan yang besar, yaitu al-Multazam. Tempat itu menjadi bagian dinding Ka'bah di antara Hajar Aswad dan pintu. Di sana beliau lama berdoa dan wajahnya tampak cerah. Abbas bertanya tentang itu, beliau menjawab, "Aku memohon kepada Tuhanku agar kedua putra pamanku ini diberikan kepadaku dan Dia mengabulkan permohonanku."
Kuil berhala yang terdekat dengan Ka'bah dari tiga berhala paling terkenal adalah al-'Uzza di Nakhlah. Nabi mengutus Khalid untuk menghancurkan pusat penyembahan berhala tersebut. Mendengar berita kedatangan Khalid, penjaga kuil itu menggantungkan pedangnya di patung dewa itu. Ia menyuruh dewa itu untuk menjaga dirinya sendiri dan membunuh Khalid atau menjadi se¬orang monoteis.
Khalid menghancurkan kuil berikut berhalanya dan kembali ke Mekah. "Apakah engkau tidak melihat sesuatu?" tanya Nabi, "kembali dan hancurkan dia." Khalid kembali ke Nakhlah dan di antara puing reruntuhan kuil, ada seorang wanita hitam, telanjang, dan dengan rambut panjang serta acak-acakan. "Tulang belakangku luluh lantak," kata Khalid. Namun, ia berteriak "Uzza, penolakan untukmu, tidak penyembahan," dan ia mengangkat pedangnya dan memenggal wanita itu. Sewaktu kembali, ia berkata kepada Nabi, "Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari kematian! Aku terbiasa melihat ayahku keluar untuk Uzza dengan mem¬bawa persembahan seratus unta dan domba. Ia mengurbankannya untuk 'Uzza dan tinggal selama tiga hari di kuil itu, lalu kembali kepada kami dengan gembira atas apa yang ia capai!"
Sementara itu, mayoritas penduduk Mekah telah bersyahadat, kecuali Suhayl. Namun, setelah berlindung di rumahnya, ia mengirim pesan kepada putranya, Abd Allah, memintanya menghadap Nabi atas namanya. Sebab, meskipun ada perlindungan umum, ia belum percaya bahwa perlindungan itu berlaku pula baginya. Ketika Abd Allah berbicara kepada Nabi, beliau segera menjawab, "Ia aman di bawah perlindungan Allah, maka biarkan ia menghadap." Lalu, Nabi meminta kepada semua orang, "Jangan ada perlakuan kasar kepada Suhayl, jika kalian ber¬temu dengannya! Biarkan ia keluar dengan aman. Selama hidupku, ia orang yang cerdas dan terhormat, bukan orang yang buta terhadap kebenaran Islam." Oleh karena itu, Suhayl datang dan pergi dengan bebas, tetapi belum ma-suk Islam.
Mengenai Shafwan, melalui sepupunya, 'Umayr, ia mendapatkan tenggang waktu dua bulan dari Nabi. Ke¬mudian, 'Umayr pergi menemuinya dan melihatnya di Syu'aybah, sebuah pelabuhan di Mekah, sedang menunggu kapal yang menurut rencana hari itu akan berlabuh. Shafwan curiga dan sama sekali menolak untuk merubah rencananya, maka 'Umayr kembali lagi kepada Nabi. Nabi memberikan serban bergaris-garis dari kain Yamani untuk diberikan kepada sepupunya itu sebagai tanda ke-selamatannya.
Hal ini meyakinkan Shafwan yang memu¬tuskan untuk kembali dan mencari kepastian lebih jauh bagi dirinya sendiri, "Wahai Muhammad," katanya, "Umayr mengatakan kepadaku bahwa jika aku menyetujui sesuatu— maksudnya masuk Islam—itu akan baik, dan jika tidak, engkau memberiku tenggang waktu dua bulan." "Tinggallah di sini," kata Nabi. "Tidak, sebelum engkau memberi ja¬waban yang jelas," jawab Shafwan. "Engkau mendapatkan kelonggaran selama empat bulan," kata Nabi, dan Shafwan setuju untuk tinggal di Mekah.
'Ikrimah datang paling akhir di antara ketiga orang yang menghadap Nabi sesudah pembebasan Mekah itu, tetapi orang pertama yang masuk Islam. Ia memutuskan untuk berlayar dari pantai Tihamah ke Abyssinia. Ketika ia naik ke kapal, kapten berkata kepadanya, "Bayarlah atas na¬ma Tuhan." "Apa yang harus kuucapkan?" tanya 'Ikrimah. "Ucapkanlah, 'tiada tuhan selain Allah,'" jawabnya.
Lelaki itu menjelaskan bahwa ia tak akan menerima penumpang yang tidak bersyahadat karena takut karam. Empat kata la ilaha illallah merasuk ke dalam hati 'Ikrimah. Pada saat itu, ia sadar dapat mengucapkan kalimat itu dengan tulus. Sekalipun demikian, ia tidak naik juga. Sebab, satu-satu¬nya alasan ia hendak melakukan itu adalah justru ingin menghindari kata-kata tersebut—maksudnya ingin menghindari ajaran Muhammad yang terangkum dalam la ilaha illallah. Jika ia dapat menerima hidayah itu di atas kapal, ia dapat menerimanya di padang pasir. "Tuhan kami di laut adalah Tuhan kami di darat," katanya kepada dirinya sendiri.
Kemudian, ia dijemput istrinya yang mengatakan bahwa Nabi telah menjamin keamanannya di Mekah. Mereka pun segera kembali. Nabi sudah tahu bahwa ia akan datang dan memberi tahu para sahabatnya, '"Ikrimah putra Abu Jahl dalam perjalanan menuju kalian dan ia telah beriman. Karena itu, jangan mencerca ayahnya karena mencerca yang telah mati berarti mencerca yang hidup dan tidak berpengaruh bagi yang mati."
Setibanya di Mekah, 'Ikrimah langsung menghadap Nabi. Beliau mengucapkan salam dengan wajah penuh sukacita dan berkata kepadanya, setelah ia resmi masuk Islam, "Hari ini, engkau mestinya tidak meminta apa pun kepadaku, tapi aku memberimu kesempatan." "Aku mohon kepadamu," kata 'Ikrimah, "agar engkau memohonkan ampun kepada Allah atas permusuhanku kepadamu selama ini." Nabi berdoa seperti yang diinginkannya. Kemudian, 'Ikrimah berbicara tentang uang yang ia belanjakan dan tentang berbagai peperangan yang bertujuan untuk menghalangi orang-orang mengikuti kebenaran. Ia berjanji akan membelanjakan dua kali lipat dari jumlah itu dan berperang dua kali lipat di jalan Allah; dan ia memenuhi janjinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.