Ali bin Abi Thalib RAdhiyallahu anhu dibai'at sebagai khalifah pada pertengahan bulan Dzul Hijjah tahun 33 Hijri, di hari tcrbunuhnya Utsman bin Affan RA. Ada sejumlah sahabat yang terlambat membai'atnya, di antara mereka ialah Sa'ad bin Abi Waqqash, Usamah bin Zaid, Mughirah bin Syu'bah, Nu'man bin Basyir dan Hasan bin Tsabit.
Ali keluar dari rumah Utsman dengan penuh kemarahan terhadap peristiwa yang terjadi, sementara itu orang-orang berlarian kecil mendatangi Ali seraya berkata: "Kita harus mengangkatAmir, ulurkankin tanganmu, kami bai’at. Ali Menjawab, "Urusan ini bukan hak kalian, tetapi hak para pejuang Badr. Siapa yang disetujui oleh para pejuang Badr maka dialah yang berhak menjadi khalifah." Kemudian tidak seorang pun dari para pejuang Badr kecuali telah mendatangi Ali seraya berkata, "Kami tidak metihat adanya seorang yang lebih berhak menjabat sebagai khaffah selain dirimu. Ulurkanlah tanganmu, kami bai'at. " Lalu mereka membai'atnya.
Bukan hanya penduduk ibukota Madinah al-Munawwarah yang membai’at Ali, pasukan-pasukan besar yang datang dari Mesir dan Basrah dan Kaufah memilih Ali ibn Abi Thalib untuk menjabat Khilafat. Pada mulanya Ali menolak, akan tetapi atas desakan massa itu, ia pun menerima jabatan itu. Bai'at berlangsung di Mesjid Nabawi. Zubair ibn Awwam dan Thulhah ibn Ubaidillah dikabarkan mengangkat bai'at dengan terpaksa, dan justru keduanya mengajukan syarat di dalam bai'at itu, bahwa Khalifah Ali akan menegakkan keadilan terhadap para pembunuh Khalif Utsman.
Hari-hari kekhalifahanya merupakan mata rantai fitnah, peperangan dan pemberontakan. Diawali dengan perang Onta kemudian perang Shiffin, berbagai pertentangan yang timbul antara jumhur Muslimin dan Mu'awiyah, lalu fitnah kaum khawarij yang berakhir dengan kejahatan mereka yang terburuk, yaitu pembunuhan Ali bin Abi Thalib RA. Semua peristiwa ini akan kami sebutkan secara singkat.
a. Menuntut Pembelaan Untuk Utsman dan Perang Onta (Jamal)
Tidak diragukan lagi bahwa pembunuhan Utsman dilakukan oleh kaum pemberontak yang didalangi Yahudi. Wajar jika para pembunuh itu harus menanggung segala akibat tindakan kriminal mereka dan tunduk kepada hukum qishash yang syar'i. Seluruh kaum Muslimin terutama Ali bin Abi Thalib RA berusaha melakukan qishash terhadap para pembunuh Utsman. Hanya saja Ali meminta kepada mereka yang terburu-buru agar menunggu barang sebentar sampai segala urusan selesai. Atau sampai ia dapat mewujudkan apa yang dinilainya untuk menjamin terlaksananya qishash, dan menjauhkan sebab-sebab timbulnya fitnah.
Para ahli sejarah sepakat bahwa Ali membenci kaum pemberontak yang telah membunuh Utsman. Beliau selalu menunggu-nunggu kesempatan untuk bisa menggulung mereka. Bahkan ia sangat berharap dapat melakukan secepat mungkin untuk mengambil hak Allah dari mereka (qishash). Tetapi kenyataannya masalah tersebut tidak berjalan sebagaimana yang diinginkannya.
Singkat peristiwa, Thalhah dan Zubair bersama sejumlah sahabat masing-masing berpendapat agar Ali segera menangkap para pembunuh dan melaksanakan qishash terhadap mereka. Guna menjamin keselamatan pelaksanaannya dan menghindarkan fitnah, mereka menawarkan kepada Ali untuk melakukan tugas tersebut dan meminta agar Ali mendatangkan pasukan dari Bashrah dan Kufah untuk mendukungnya. Tetapi Ali meminta agar mereka mengunggu sampai ia menyusun program yang baik untuk melaksanakan hal tersebut.
Hal yang terjadi setelah itu ialah bahwa masing-masing dari kedua belah pihak melaksanakan ijtihadnya dalam menggunakan cara yang terbaik untuk menuntut darah Utsman. Maka berkumpullah orang-orang yang berpendapat harus segera melaksanakan qishash, di Bashrah. Di antara mereka terdapat Aisyah Ummul mu'minin, Thalhah, Zubair dan sejumlah besar sahabat. Tujuan mereka tidak lain untuk mengingatkan para penduduk Bashrah akan perlunya kerjasama dalam mengepung para pembunuh Utsman dan menuntut darahnya dari mereka.
Saat itu pasukan dari Ali pun berangkat ke sana guna melakukan ishlah dan menyatukan kalimat. Maka semua pihak berangkat ke tempat tersebut dan tidak ada seorangpun di antara mereka yang punya maksud untuk memulai peperangan atau menyulut api fitnah.
Al-Qa'qa bin Amer sebagai utusan dari pihak Ali bin Abi Thalib RA menemui Aisyah RA seraya bertanya, "Wahai ibunda, apakah gerangan yang mendorong kedatangan ibunda ke negeri ini?" Aisyah menjawab: "Ishlah diantara manusia." Kemudian al-Qa'qa menemui Thalhah dan Zubair dan menyampaikan pertanyaan yang sama, Keduanya menjawab: "Kami juga demikian. Kami tidak datang ke tempat ini kecuali untuk melakukan ishlah di antara manusia." Kemudian semua pihak berbicara dan berunding yang akhirnya sepakat untuk menyerahkan urusan ini kepada Ali dengan syarat supaya ia tidak segan-segan mengerahkan segenap upaya untuk menegakkan hukum Allah atas para pembunuh Utsman, jika ia telah dapat melakukannya.
Akhirnya al-Qa'qa kembali kepada Ali menyampaikan kesepakatan yang telah dicapai dan keinginan orang-orang untuk berdamai. Lalu Ali berpidato di hadapan khalayak ramai seraya memuji Allah atas ni'mat perdamaian dan kesepakatan yang telah tercapai. Selanjutnya Ali mengumumkan bahwa besok ia akan segera bertolak.
Tetapi apa yang terjadi setelah itu? Tidak lama setelah Ali mengumumkan terjadinya perdamaian, kesepakatan dan rencana esok hari, malam itu pula para gembong fitnah pun mengadakan pertemuan. Di antara mereka terdapat al-Asytar an-Nakha'i, Syuraih bin Aufa, Abdullah bin Saba', Salim bin Tsa'labah dan Ghulam bin al-Haitsam. Alhamdulillah tak seorangpun dari kalangan sahabat yang termasuk dalam kelompok mereka, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Katsir. Para gembong fitnah ini membahas tentang bahaya perdamaian dan kesepakatan tersebut bagi mereka. Kesepakatan para sahabat itu merupakan bahaya dan ancaman bagi mereka. Salah seorang diantara mereka mengusulkan, “Jika demikian halnya, kita segera bunuh saja Ali seperti halnya Utsman”.
Tetapi Abdullah bin Saba' mengecam dan menentang pendapat ini seraya berkata kepada mereka, "Sesungguhnya keberhasilan kalian terletak pada pergaulan kalian dengan masyarakat. Jika kalian bertemu dengan orang-orang maka kobarkanlah peperangan dan pertempuran di antara mereka. Janganlah kalian biarkan mereka bersatu. Orang yang ada di sekitar kalian akan enggan melakukan pertempuran demi membela dirinya..." Setelah menyepakati konspirasi ini mereka pun berpencar.
Pada hari kedua, Ali berangkat kemudian diikuti oleh Thalhah dan Zubair. Sementara itu perdamaian dan kesepakatan telah dikukuhkan. Orang-orang pun menikmati malam terbaiknya, kecuali para pembunuh Utsman yang gelisah di malam itu. Sementara itu Abdullah bin Saba' dan kawan-kawan telah sepakat untuk mengobarkan peperangan di ujung malam dan menjebak orang-orang ke dalam peperangan tersebut apapun yang terjadi.
Orang-orang yang melakukan konspirasi jahat ini bergerak sebelum fajar. Jumlah mereka hampir 2.000 orang. Masing-masing kelompok bergerak mendatangi kerabat mereka lalu melakukan serbuan mendadak dengan pedang-pedang mereka. Kemudian masing-masing kelompok bangkit untuk membela kaumnya. Akhirnya orang-orang bangun dari tidur mereka dengan membawa pedang seraya berkata, "Para penduduk Kufah menyerang kita pada malam hari dan berkhianat kepada kita”. Mereka mengira bahwa tindakan tersebut adalah rencana busuk yang dilakukan Ali bin Abi Thalib RA.
Setelah mendengar berita tentang hai ini, Ali berkata, "Apa yang terjadi pada masyarakat?" Orang-orang yang berada di sekitarnya berteriak; "Penduduk Bashrah menyerang kami di malam hari dan berkhianat terhadap kami”. Kemudian masing-masing kelompok mengambil pedangnya, memakai baju perang dan menunggang kuda, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi. Karena itu wajar bila kemudian secara spontan terjadi peperangan dan pertempuran.
Orang-orang yang berhimpun di sekitar Ali berjumlah 20.000 orang sedangkan orang-orang yang bergabung dengan Aisyah sekitar 30.000 orang. Sementara itu para pengikut Ibnu Sauda' (Abdullah bin Saba') yang terabaikan -semoga Allah memburukkan mereka- tak henti-hentinya melakukan pembunuhan sehingga para penyeru dari pihak Ali yang menyerukan "Berhentilah, berhentilah" tidak mendapatkan sambutan sama sekali.
Di tengah sengit dan berkecamuknya pertempuran itu, bila wajah-wajah yang paling mengenal di bawah naungan keimanan itu berhadapan, maka mereka saling menahan diri dan menghindar, tak peduli dari kelompok mana pun mereka.
Imam Baihaqi meriwayatkan secara bersambung, ia berkata, Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin al Hasan al-Qadhi, ia meriwayatkan dengan sanadnya dari Harb bin al-Aswad Da'uli, ia berkata; Ketika Ali dan kawan-kawannya mendekati Thalhah dan Zubair dan barisan pun telah saling mendekat maka keluarlah Ali seraya menunggang baghal Rasulullah SAW kemudian berseru, "Panggilkan saya Zubair bin Awwam."
Setelah Zubair dipanggil datanglah ia sampai tengkuk kedua tunggangannya saling bersentuhan. Ali berkata, “Wahai Zubair, demi Allah, apakah engkau ingat ketika Rasulullah SAW melewatimu sedangkan kami berada di tempat ini dan itu? Berkata," Kemudian beliau bertanya, "Wahai Zubair apakah kamu mencintai Ali ?" Lalu kamu menjawab, "Mengapa aku tidak mencintai anak bibiku dan anak pamanku bahkan seagama denganku?" Kemudian Nabi SAW bersabda, "Wahai Zubair, demi Allah, satu saat engkau pasti akan memeranginya dan menzhaliminya."
Zubair menjawab, "Demi Allah, aku telah lupa akan peristiwa tersebut semenjak aku mendengarnya dari Rasulullah. Tetapi sekarang baru teringat lagi. Demi Allah, aku tidak akan memerangimu untuk selama-lamanya." Kemudian Zubair kembali dengan menuggang kendaraannya membelah barisan.
Ketika onta Aisyah RA jatuh ke tanah kemudian sekedupnya di bawa jauh dari medan pertempuran, Ali datang kepadanya seraya mengucapkan salam dan menanyakan keadaannya seraya berkata, "Bagaimana keadaanmu wahai ibunda?" Aisyah menjawab, "Baik." Ali berkata, "Semoga Allah mengampunimu." Kemudian orang-orang dan para sahabat datang seraya mengucapkan salam kepadanya dan menanyakan keselamatannya.
b. Masalah Mua'wiyah dan Perang Shiffin
Khalifah Ali kembali ke Kufah yang telah dijadikan sebagai pusat khilafah. Sesampainya di Kufah, Ali segera mengutus Jurair bin Abdullah al-Bajli kepada Mua'wiyah di Syam guna mengajak bergabung ke dalam apa yang telah dilakukan orang-orang, dan memberitahukan bahwa para Muhajirin dan Anshor telah sepakat untuk memba'iatnya. Tetapi Mua'wiyah berpendapat bahwa bai'at itu tidak akan dinyatakan sah kecuali dengan kehadiran mereka semua. Oleh sebab itu, Mu'awiyah tidak bersedia memenuhi ajakan Ali, sampai para pembunuh Utsman di qishash kemudian kaum Muslimin memilih sendiri Imam mereka.
Sementara itu Khalifah Ali berkeyakinan penuh bahwa ba'iat telah dilakukan dengan kesepakatan Ahlul Madinah (penduduk Madinah. Dengan demikian, setiap orang yang terlambat berbai'at di antara orang-orang yang tinggal di Iuar kota Madinah berkewajiban untuk segera bergabung kepada pembai'atan tersebut. Adapun soal mengqisnash para pembunuh Utsman, seperti telah disebutkan di atas, Ali sendiri termasuk orang yang paling bersemangat keras untuk melakukannya, tetapi ia punya rencana yang matang untuk menjamin segala resikonya.
Demi mendengar penolakkan Mua'wiyah, Khalifah Ali langsung menanggapinya sebagai pemberontak yang keluar dari Jama'atul Muslimin dan Imam mereka. Kemudian Khalifah Ali beserta pasukannya berangkat pada tanggal 12 Rajab tahun 36 Hijri dan pasukan dikonsenterasikan di Nakhilah. Tidak lama kemudian Ibnu Abbas datang kepadanya dari Bashrah, setelah bertugas sebagai wakilnya. Khalifah Ali memobilisasi pasukannya untuk memerangi penduduk Syam dan memaksa mereka tunduk kepada Jama'atul Muslimin.
Setelah mengetahui hai ini, Mua'wiyah pun dengan serta merta mengerahkan pasukannya dari Syam, hingga kedua pasukan ini bertemu di daratan Shiffin di tepi sungai Furat. Selama dua bulan atau lebih kedua pihak saling bergantian mengirim utusan. Khalifah Ali mengajak Mua'wiyah dan orang-orang yang bersamnya untuk membai'atnya. Beliau juga meyakinkan Mua'wiyah bahwa qishash terhadap para pembunuh Utsman pasti akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Sementara itu Mua'wiyah menyerukan Ali, agar sebelum melakukan segala sesuatu, hendaklah menangkap para pembunuh Utsman yang merupakan anak pamannya dan karena itu dia (Mua'wiyah) merupakan orang yang paling berhak menuntut darahnya. Selama pembahasan dan perundingan ini barangkali telah terjadi pertempuran-pertempuran kecil dan manuver.
Keadaan ini terus berlangsung hingga datang bulan Muharram tahun 37 Hijri. Kemudian Mua'wiyah dan Ali sepakat untuk melakukan gencatan senjata selama sebulan, dengan harapan dapat dicapai ishlah. Tetapi masa gencata senjata ini berakhir tanpa membuahkan hasil yang diharapkan. Pada saat itu Khalifah Ali memerintahkan seorang petugas untuk mengumumkan, "Wahai penduduk Syam, Amirul Mu'minin menyatakan kepada kalian bahwa aku telah memberi waktu yang cukup kepada kalian untuk kembali kepada kebenaran, tetapi kalian tetap tidak mau berhenti dari pembangkangan dan tidak mau kembali kepada kebenaran. Karena itu, kini aku kembalikan perjanjian ini kepada kalian dengan penuh kejujuran. Sesungguhnya Allah tidak mencintai para pengkhianat. ""
Saat itulah Mua'wiyah dan Amer bin al-Ash memobilisasikan pasukannya dari segala arah. Demikian pula Khalifah Ali, sejak malam itu ia memobilisasi pasukannya. Ia mengangkat Asytar an-Nakha'i sebagai komandan pasukan penduduk Bashrah. Kemudian Khalifah Ali berwasiat kepada pasukannya agar tidak mendahului penyerbuan hingga penduduk Syam memulainya, tidak menyerang orang yang luka, tidak mengejar orang yang mundur melarikan diri, tidak membuka aurat wanita, dan tidak menganiayanya.
Pada hari pertama dan kedua, pertempuran berlangsung dengan sengit. Perang berlangsung selama tujuh hari tanpa ada pihak yang kalah atau menang. Tetapi pada akhirnya Mua'wiyah dan pasukannya semakin terdesak oleh pasukan Ali. Khalifah Ali dan pasukannya nyaris mencatat kemenangan.
Saat itulah Mu'awiyah dan Amer bin al-Ash berunding. Amer bin al-Ash mengusulkan supaya Mu'awiyah mengajak penduduk Iraq untuk berhukum kepada Kitabullah. Lalu Mu'awiyah memerintahkan orang-orang supaya mengangkat Mushhaf di ujung tombak dan memerintahkan seorang petugas untuk menyerukan atas namanya, "Ini adalah kitab Allah diantara kami dan kalian."
Ketika pasukan Khalifah Ali melihat hal ini -mereka sudah hampir memperoleh kemenangan- terjadilah perselisihan diantara mereka. Ada yang setuju untuk `berhukum kepada Allah` dan ada pula yang tidak menghendaki kecuali peperangan karena siapa tahu hal itu hanyalah tipu daya. Jadi, sekalipun pasukan di pihak Muawiyah sudah melemah namun mereka masih tetap solid, sementara pasukan di Khalifah Ali lebih kuat tapi tumbuh perpecahan.
Sebenarnya Khalifah Ali cenderung pada pendapat yang terakhir, tetapi ia terpaksa mengikuti pendapat pertama yang pendukungnya mayoritas. Kemudian Khalifah Ali mengutus al-Asy'ats bin Qais kepada Mu'awiyah guna menanyakan apa sebenarnya yang dikehendakinya. Mu'awiyah menjelaskan, "Mari kita kembali kepada kitab Allah. Kami pilih seorang wakil yang kami setujui dan kalian pilih pula seorang wakil yang kalian setujui. Kemudian kita semua menyumpah kedua wakil tersebut untuk memutuskan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Apa pun keputusan kedua wakil tersebut wajib kita ikuti."
Kemudian penduduk Syam memilih Amer bin al-Ash sedangkan penduduk Iraq memilih Abu Musa al-'Asy'ari. Maka diperoleh kesepakatan antar kedua belah pihak -setelah keduanya menulis suatu perjanjian menyangkut hal ini- untuk menunda keputusan tersebut sampai bulan Ramadhan, kemudian setelah itu kedua Hakim tersebut bertemu di Daumatul Jandal. Setelah kesepakatan ini orang-orang pun bubar kembali ke tempat masing-masing.
Khalifah Ali kembali dari Shiffin menuju Kufah. Sementara itu, di kalangan pasukan Ali terjadi perpecahan yang sangat berbahaya, sehingga ketika sampai Kufah Ali dinyatakan di pecat oleh sekelompok orang yang menilai masalah tahkim sebagai suatu kesesatan. Mereka berjumlah sekitar 12.000 orang dan berhimpun di Harura'. Kemudian Khalifah Ali mengutus Abdullah bin Abbas untuk berdialog dan menasehati mereka tetapi upaya ini tidak membawa hasil apa-apa.
Akhirnya Ali sendiri berangkat menemui mereka. Setelah berhadapan dengan mereka Ali bertanya, "Apa yang menyebabkan kalian melakukan pembangkangan ini?" Mereka menjawab, "Masalah tahkim yang kamu setujui di Shiffin." Ali menjelaskan "Tetapi aku telah mensyaratkan kepada kedua Hakim itu agar menghidupkan apa yang dihidupkan al-Qur'an dan mematikan apa yang dimatikan al-Qur'an." Mereka mengatakan, "Coba jelaskan kepada kami, apakah adil bertahkim kepada orang di tengah gelimangan darah?"
Ali menjawab, "Kami tidak berhukum kepada orang tetapi berhukum kepada al Qur'an. al-Qur'an ini adalah tulisan yang termaktub di atas kertas dan tidak dapat berbicara. Yang dapat membunyikannya adalah orang." Mereka bertanya lagi, "Lalu kenapa kalian batasi waktuya ?" Ali menjawab, "Supaya orang yang tidak tahu mengetahuinya dan yang tahu dapat berpegang teguh. Semoga Allah memperbaiki umat ini dengan gencatan senjata ini."
Akhirnya mereka menerima pandangan Ali. Kepada mereka Ali mengatakan; "Masuklah kalian ke negeri kalian, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian." Kemudian mereka semua masuk.
Setelah batas waktu yang ditentukan habis dan bulan Ramadhan tahun 37 Hijri telah datang, Ali mengutus Abu Musa al-'Asy'ari dengan sejumlah sahabat dan penduduk Kufah. Sedangkan Muawiyah mengutus Amer bin al-Ash dengan sejumlah penduduk Syam. Kedua kelompok ini berkumpul di Daumatul Jandal.
Setelah keduanya memanjatkan puja-puji kepada Allah dan saling menyampaikan nasehat, akhirnya di peroleh kesepakatan agar disiapkan lembar catatan dan seorang penulis yang akan mencatat semua yang telah disepakati kedua belah pihak. Nyatanya kedua belah pihak tidak mencapai kata sepakat tentang kepada siapa urusan ummat ini (khilafah) akan diserahkan. Abu Musa al- Asy'ari setuju mencopot Ali dan Mua'wiyah kemudian tidak memilih untuk Khilafah kecuali Abdullah bin Umar, tetapi ia sendiri tidak mau ikut campur dalam urusan ini.
Saat itu kedua Hakim telah sepakat untuk mencopot Ali dan Mu'awiyah kemudian keduanya harus menyerahkan ini kepada syura kaum Muslimin guna menentukan pilihan mereka sendiri. Kemudian keduanya mendatangi para pendukungnya masing-masing. Amer bin al-Ash mempersilahkan Abu Musa al-Asy'ari maju. Setelah memanjatkan pujian kepada Allah dan shalawat kepada Rasulullah SAW, ia berkata,
"Wahai manusia, setelah membahas urusan umat ini kami berkesimpulan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih baik dan lebih dapat mewujudkan persatuan selain dari apa yang telah aku dan Amer sepakati. Yaitu kami mencopot Ali dan Mu'awiyah."
Setelah menyampaikan kalimatnya, Abu Musa al-Asy'ari mundur maka tiba giliran Amer bin al-Ash untuk menyampaikan kalimatnya. Setelah memanjatkan pujian kepada Allah kemudian Amer bin al-Ash menyatakan,
"Sesungguhnya ia (Abu Musa) telah menyatakan apa yang kalian dengar. Ia telah mencopot kawannya dan aku pun telah mencopotnya sebagaimana dia. Tetapi aku mengukuhkan kawanku Mu'awiyah karena sesungguhnya ia adalah "putra mahkota" Utsman bin Affan, penuntut darahnya, dan orang yang paling berhak mengganttkannya."
Setelah tahkim ini orang-orang pun bubar dengan rasa kecewa dan tertipu, kemudian kembali ke negerinya masing-masing. Amer dan kawan-kawannya menemui Mu'awiyah guna menyerahkan khilafah kepadanya. Sedangkan Abu Musa pergi ke Mekkah karena malu kepada Ali. Ibnu Abbas dan Syuraih bin Hani' kembali kepada Ali dan menceritakan peristiwa tersebut.
c. Masalah Khawarij dan Terbunuhnya Ali.
Ketika Ali mengutus Abu Musa al-Asy'ari dan pasukannya ke Daumatul Jandal, muncullah segolongan kaum muslimin yang kemudian dikenal dengan kaum Khawarij (pembelot), mereka semakin bertambah memuncak. Mereka sangat mengecam Ali bahkan secara terus menerus mengkafirkannya karena tindakannya melakukan tahkim dengan Muawiyah. Padahal kaum khawarij ini sebelumnya termasuk mereka yang paling fanatik terhadap Khalifah Ali.
Setelah upaya dialog dan nasehat yang dilakukan Ali kepada mereka tidak bermanfaat sama sekali, akhirnya Ali berkata kepada mereka, "Sesungguhnya kami berkewaiiban untuk tidak melarang shalat di masjid-masjid kami selama kalian tidak membangkang terhadap kami, kami tidak akan menahan bagian kalian terhadap fa'i ini selama tangan-tangan kalian bersama tangan-tangan kami, dan kami tidak akan memerangi kalian sampai kalian memerangi kami."
Setelah mengumumkan penolakannya terhadap keputusan dua hakim tersebut, Ali berangkat memimpin pasukan besar ke Syam untuk memerangi Mu'awiyah. Di samping itu Ali mendapat berita bahwa khawarij telah melakukan berbagai kerusakan di muka bumi menumpahkan darah, memotong jalan-jalan umum, memperkosa wanita-wanita, bahkan membunuh Abdullah bin Khabbab, seorang sahabat Rasulullah SAW, dan istrinya yang sedang hamil. Akhirnya Ali dan orang-orang yang bersamanya khawatir, jika mereka pergi ke Syam sibuk memerangi Mu'awiyah, orang-orang khawarij akan membantai keluarga dan anak keturunan mereka. Kemudian Ali dengan mereka sepakat untuk memerangi khawarij terlebih dahulu.
Khalifah Ali dan pasukannya, termasuk didalamnya para sahabat berangkat mendatangi mereka. Ketika sampai di dekat Mada'ir. Ali mengirim surat kepada orang-orang khawarij di Nahrawan yang isinya, "Serahkan kepada kami para pembunuh saudara-saudara kami, supaya kami dapat mengqishash mereka kemudian setelah itu kami akan biarkan kalian dan kami akan melanjutkan perjalanan ke Syam. Semoga Allah mengembalikan kalian kepada keadaan yang lebih baik dari keadaan sekarang".
Tetapi mereka membalas Ali dengan menyetakan, "Kami semua adalah para pembunuh saudara-saudara kalian!! Kami menghalalkan darah mereka dan darah kalian!!."
Setelah itu Ali maju menemui mereka kemudian menasehati dan memperingatkan mereka, tetapi mereka tidak memberikan jawaban selain dari suara bersahut-sahut sesama mereka yang menyatakan siap perang dan menemui Rabbul Alamin.
Sebelum memulai peperangan, Ali memerintahkan Abu Ayyub al-Anshari agar mengangkat panji keamanan untuk orang-orang Khawarij dan memberitahukan kepada mereka, "Siapa yang datang ke panji ini maka dia aman, barangsiapa pergi ke Kufah dan Mada'in maka dia aman".
Maka sejumlah besar dari mereka pun meninggalkan tempat. Orang yang tetap bertahan diantara mereka hanya sekitar 1000 orang yang di pimpin oleh Abdullah bin Wahab ar-Rasiy. Orang-orang khawarijlah yang memulai peperangan ini. Akhirnya mereka semua berhasil ditumpas. Sedangkan yang syahid dari pihak Ali berjumlah tujuh orang.
Berbagai situasi buruk nampaknya masih harus dihadapi oleh Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib RA. Pasukannya mengalami kegoncangan. Sejumlah besar penduduk Iraq melakukan pembangkangan terhadapnya. Sementara masalah di Syam pun semakin meningkat. Mereka berpropaganda ke berbagai penjuru, seperti dikatakan oleh Ibnu Katsir, bahwa kepemimpinan telah berpindah ke tangan Mu'awiyah sesuai dengan keputusan dua hakim. Para penduduk Syam semakin bertambah kuat, sementara para penduduk Iraq semakin bertambah lemah.
Kendati mereka mengetahui bahwa Amir mereka, Ali bin Abi Thalib RA, adalah orang yang terbaik di muka bumi pada saat itu, orang yang paling zuhud, paling alim dan paling takut kepada Allah; tetapi mereka tega mengkhianatinya sampai membuatnya benci kehidupan dan mengharapkan kematian. Bahkan Ali sering mengatakan, "Demi Allah yang membelah biji dan meniupkan ruh, sesungguhnya jenggot ini berubah karena kepala ini. Adakah kiranya sesuatu yang dapat menghentikan penderitaan ini?"
Abdur Rahman bin Muljin adalah salah seorang tokoh khawarij. Ia sedang melamar seorang wanita cantik bemama Qitham. Karena ayah dan saudara wanita ini terbunuh di peristiwa Nahrawan maka ia mensyaratkan kepada Abdur Rahman bin Muljim, jika ingin menikahinya, untuk membunuh Ali. Dengan gembira Abdur Rahman bin Muljam menjawab, "Demi Allah, aku tidak datang ke negeri ini kecuali untuk membunuh Ali." Setelah menjadi suami istri, wanita ini semakin keras menggerakkan suaminya untuk membunuh Ali.
Pada malam Jum'at tanggal 17 Ramadhan tahun 40 Hijri, Abdur Rahman bin Muljam -bersama dengan dua orang temannya- mengincar Ali di depan pintu yang biasa dilewatinya. Dan seperti kebiasaannya, Ali keluar membangunkan orang untuk shalat subuh, tetapi ia dikejutkan oleh Ibnu Muljim yang memukul kepalanya dengan pedang sehingga darahnya mengalir di jenggotnya.
Setelah mengetahui bahwa yang melakukan tindak kriminal ini adalah Ibnu Muljam maka Ali berkata kepada para sahabatnya, "Jika aku mati maka bunuhlah dia tetapi jika aku hidup maka aku tahu bagaimana bertindak terhadapnya." Ketika sakaratul maut, Ali tidak mengucapkan kalimat apapun selain La Ilaha Ilallah. Beliau wafat pada usia 60 tahun. Pengangkatan Khalif Ali itu pada bulan Zulhijjah tahun 35 H/656 M, dan memerintah selama 4 tahun 9 bulan, menjelang pembunuhan terhadap dirinya pada bulan Ramadhan tahun 40 H/661 M.
Ibnu Katsir menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa Ali di kubur di Darullmarah (rumah keamiran) di Kufah. Tetapi kebanyakan ahli sejarah mengatakan bahwa kaum kerabat dan para pendukungnya menyembunyikan kuburannya karena khawatir terhadap tindakan kaum khawarij. Banyak sekali pendapat yang dikemukakan tentang tempat pemakamannya. Ada yang mengatakan bahwa ia dipindahkan ke Baqi; atau dipindahkan ke tempat-tempat lain.
Sedangkan terhadap Ibnu Muljim, pelaksanaan Qishashnya dilakukan oleh Hasan ra kemudian jasadnya dibakar dengan api.
Akhir periode Khalifah Ali bin Abi Thalib ini termasuk yang krusial, karena pada akhir periode Khalifah Ali inilah yang menandai berakhirnya periode khilafah ‘ala minhaj nubuwah yaitu khilafah rasyidah. Pada saat yang bersamaan inilah awal dari periode Mulkan Adhon, yaitu periode kesultanan Islam yang menggunakan sistem kerajaan dalam pemerintahan umat Islam.
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy mengemukakan beberapa ibrah pada akhir periode Khalifah Ali sebagai berikut:
Pertama, apakah antara Khalifah Ali dan mereka yang ingin segera menuntut darah Utsman itu terjadi perselisihan yang mendasar menyangkut masalah ini ? Barangkali anda mengetahui dari apa yang telah kami sebutkan di atas, bahwa tuntutan qishash terhadap para pembunuh Utsman bukan merupakan sebab terjadinya perselisihan.
Apa yang diinginkan oleh Aisyah, Thalhah, Zubair dan orang-orang yang bersama mereka ialah dijadikannya pelaksanaan qishash terhadap para pembunuh Utsman tersebut sebagai amalan yang pertama kali dilakukan oleh Ali dalam khilafahnya. Sedangkan Ali memandang perlu diadakannya penertiban dan penataan ulang terlebih dahulu, baru kemudian berusaha membekuk para pembunuh Utsman dengan cara yang lebih tenang dan cermat.
Pandangan yang dikemukakan dan diperintahkan Khalifah Ali ini merupakan pokok permasalahan yang kemudian diterima oleh pihak lain dan menjadi landasan bagi tercapainya ishlah antar semua pihak termasuk didalamnya Aisyah, Thalhah dan Zubair. Sehingga semua sepakat untuk menyerahkan urusan tersebut kepada kebijaksanaan Ali, selama semuanya telah sepakat untuk melaksanakan qishash terhadap para pembunuh itu.
Berdasarkan kepada prinsip inilah semua pihak sepakat untuk melepaskan tugas yang mereka rasakan sebagai tanggungjawab di atas pundak mereka masing-masing. Kemudian mereka memutuskan untuk kembali ke negeri masing-masing.
Kedua, jika demikian halnya, lalu apa yang menghalangi pelaksanaan kesepakatan tersebut ? Apakah gerangan yang menghalangi mereka meneruskan apa yang telah mereka putuskan, yaitu menyerahkan persoalan kepada Ali dan bekerjasama dengannya dalam segala hai?
Seperti anda ketahui bahwa yang menghalangi mereka itu hanyalah tipu daya dan konspirasi yang diprogram oleh pada gembong fitnah terutama Abdullah bin Saba' (Ibnu Sauda').
Para gembong fitnah ini telah memutuskan - setelah cemas menyaksikan kesepakatan kaum Muslimin- untuk mengacaukan barisan dan mengejutkan kedua belah pihak, di tengah kegelapan, dengan pedang-pedang yang ditebaskan secara membabi buta, guna menimbulkan fitnah dan menghilangkan kepercayaan di antara kedua belah pihak. Biarlah masing-masing dari kedua belah pihak mengira bahwa pihak lain telah melakukan tipu daya dari balik kedok perjanjian damai.
Itulah yang benar-benar telah terjadi. Tipu daya seperti ini merupakan perbuatan murahan dan mudah dilakukan. Ia tidak memerlukan banyak hal, selain dari watak yang jahat dan kemanusiaan yang cemar. Namun apakah yang dapat dilakukan oleh para sahabat yang berjiwa bersih dari segala rupa tipu daya dan kedegilan itu, selain dari mempertahankan diri dari serangan-serangan mendadak itu ?
Apakah yang dapat mereka fahami dalam menafsirkan tindakan tersebut selain dari kesimpulan bahwa tindakan itu merupakan serbuan mendadak yang direncanakan oleh pihak lain ? Sekalipun demikian, anda lihat setiap kali salah seorang diantara mereka berhadapan dengan orang yang dikenalnya dengan serta merta masing-masing dari keduanya menahan diri dan menyatakan penyesalannya.
Dengan demikian, fitnah ini sebenarnya tidak muncul karena kedunguan dan kedegilan yang mendominasi jiwa para sahabat, baik yang ada di pihak Ali ataupun di pihak yang lain. Fitnah ini muncul dari orang-orang susupan yang melakukan makar jahat terhadap semua sahabat, di pihak manapun mereka berada !!
Anehnya setelah itu anda membaca buku-buku tentang fitnah ini, tidak ada yang mengingatkan kepada kuku-kuku beracun fitnah ini dan membongkar peranannya yang sangat besar dalam semua peristiwa yang terjadi. Buku-buku itu biasanya hanya berbicara tentang fenomena yang mencuat ke permukaan, tanpa melacak akar-akar dan unsur-unsur penggeraknya.
Mereka mengupas panjang lebar para korban fitnah ini seraya melancarkan serangan, cacian, kritik dan tuduhan, tetapi mereka tidak pemah penyebutkan, walaupun dengan satu kata, para gembong fitnah yang bekerja secara rahasia menghembuskan api fitnah tersebut, sejak dari rencana membunuh Utsman sampai dengan membunuh Ali bin Abi Thalib RA. Tidakkah penulisan tentang ffltnah ini dengan cara demikian, merupakan bagian tak terpisahkan dari makar itu sendiri?!
Ketiga, berangkat dari keyakinan kita kepada keikhlasan Ali bin Abi Thalib RA dalam setiap tindakannya dan bahwa beliau tidak memperturutkan hawa nafsu atau kemasalahatan pribadinya dalam semua tindakannya. Berangkat dari keyakinan kita terhadap ilmunya yang sangat luas dan bahwa beliau merupakan referensi dan mustasyar awwal bagi masing-masing dari ketiga Khalifah sebelumnya.
Memperhatikan bahwa beliau telah menerima pembai'atan orang-orang setelah terbunuhnya Utsman dan menganggap penolakan Mu'awiyah terhadapnya sebagai tindakan pembangkangan, kemudian setelah melakukan dialog yang panjang ia memperlakukan Mu'awiyah sebagai pembangkang.
Maka berdasarkan kepada alasan-alasan di atas; kami menyatakan apa yang pernah dinyatakan oleh Jumhur ulama' kaum Muslimin dan Imam mereka bahwa Mu'awiyah telah melakukan pembangkangan dengan penolakannya terhadap Ali, dan bahwa Ali adalah Khalifah yang syar'i setelah Utsman.
Dari sudut pandang aqidah cukuplah kita mengetahui, berdasarkan kaidah-kaidah penetapan hukum, bahwa Khalifah sesudah Utsman adalah Ali bin Abi Thalib RA. Sedangkan Mu'awiyah dengan pembangkangnya terhadap Ali bin Abi Thalib RA merupakan pihak pemberontak (bughat).
Keempat, siapa saja yang memperhatikan sikap kaum Khawarij dan revolusi dalam rangka mendukung dan membela Ali sampai kemudian membangkang dan memusuhinya adalah merupakan korban "ekstrimisme" semata-mata.
Kita mengetahui bahwa aqidah dan perilaku Islam hanyalah didasarkan kepada prinsip "wasathiah". Sedangkan batasan-batasan tentang wasathiah ini hanya bisa dipahami melalui kaidah-kaidah ilmu. Siapa yang menimba ilmu dari sumber-sumbemya serta memperhatikan segala kaidah dan konsekuensinya dengan penuh kesabaran, niscaya akan selamat dari sikap ekstrim yang tercela.
Kaum Khawarij ini seluruhnya berasal dari orang-orang Arab Badui yang berwatak kasar dan emosionai. Mereka tidak mengenal sama sekali kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, sehingga mereka mudah sekali memperturutkan dorongan hawa nafsu dan kekasaran watak mereka yang pada akhirnya mereka berani mengkafirkan Khalifah Ali bin Abi Thalib karena beliau menerima tahkim.
Kemudian dari sikap mereka ini lahirlah pandangan mereka yang mengkafirkan semua orang yang melakukan dosa besar. Bahkan, sebagian mereka mengkafirkan orang yang melakukan maksiat apapun bentuknya.
Pengaruh-pengaruh ekstrimisme ini sampai sekarang masih tetap ada. Hobi mengkafirkan sesama muslim, karena sebab ringan, hanyalah merupakan cermin dari pola pikir ekstrim ini. Ekstrimisme ini, seperti telah kami tegaskan, merupakan pola berpikir yang menolak ilmu dan syari'ah serta menentang segala kaidahnya. Wallahu a'lam”.
Lihat juga Khalifah Ali bin Abi Thalib DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.