Tafsir bir Ra’yi dan perlunya kehati-hatian dalam menggunakannya

 


Istilah tafsir bir-ra’yi dijadikan sebagai lawan dari tafsir bil ma’tsur, dengan makna ra’yu adalah logika, pendapat, akal dan opini. Maksudnya sumber penafsiran suatu ayat bukan didasarkan pada riwayat dan sanad yang sampai ke shahabat atau Rasulullah SAW, melainkan penjelasannya datang dari diri sang mufassir sendiri.

Kadang juga diistilahkan dengan tafsir bid-dirayah (بالدراية) dimana makna dirayah itu sama saja dengan makna ra’yu, yaitu yang artinya mengerti, mengetahui, dan memahami. Bahkan menurut Syekh Muhammad Ali As-Shobuni yang dimaksud ra’yu adalah al-ijtihad.

Tafsir bi al-ra’yi disebut juga dengan istilah tafsir bi al-ma’qul, tasfir bi al-ijtihad atau tafsir bi al-istinbath yang secara selintas mengisyratkan tafsir ini lebih berorentasi kepada penalaran ilmiah yang bersifat aqli (rasional) dengan pendekatan kebahasaan yang menjadi dasar penjelasannya. Itulah sebabnya mengapa para ulama berbeda-beda pendapat dalam menilai tafsir bi al-ra’yi. 

Akan halnya ijtihad yang memungkinkan hasilnya benar atau salah, maka tafsir bi al-ra’yi juga demikian adanya. Ada yang dianggap benar yang karenanya maka layak dipedomani, tetapi ada juga yang dianggap salah atau menyimpang dan karenanya maka harus dijauhi.

Misalnya ketika menjelaskan makna bahasa suatu kata dalam Al-Quran, sang mufassir menjelaskan bahwa secara makna bahasa, kata yang dimaksud itu punya akar kata terentu dan juga dijelaskan bagaimana penggunaannya oleh orang Arab. Tentu penjelasan secara kebahasaan seperti ini tidak datang dari Nabi SAW, para shahabat atau tabi’in, melainkan datang dari diri sang mufassir sendiri yang mana dia memang ahli di bidang bahasa Arab. 

Atau misalnya ketika seorang mufassir menjelaskan pelajaran yang bermanfaat (ما يستفاد) yang didapat dari suatu ayat,  tentu saja ini pun tidak ada penjelasan dari Nabi SAW atau atsar para shahabat. Sebab menguraikan pelajaran serta hikmah apa yang bisa didapat dari suatu ayat tentu bisa dilakukan oleh setiap orang. 


Dalam implementasinya, tafsir bir-ra’yi ini oleh para ulama dibagi menjadi dua macam, yaitu tafsir dengan logika yang terpuji (بالرأي المحمود) dan tasfir dengan logika yang tidak terpuji (بالرأي المذموم). Memang begitulah istilah yang digunakan, yaitu terpuji dan tidak terpuji. Nampaknya penggunaan istilah ini ingin menghindari klaim benar atau salah.

Sekalipun Tafsir bi al-ra’yi mengusung kekuatan akal (ar-ra'yu) dalam penafsirannya, bukan berarti semua orang bisa melakukannya. Perlu difahami bahwa untuk bisa sampai kepada Mufassir Al Quran sangat dibutuhkan banyak ilmu alat. 

Sebagian ulama mensyaratkan bagi penafsir sejumlah ilmu yang harus dikuasai. Di antaranya adalah bahasa Arab: dari nahwu, sharaf, isytiqaq, lughah, balaghah, qira'at, ushuluddin, ushul fiqh, asbabun nuzul, nasikh, mansukh, hadits-hadits penjelas ayat-ayat Al-Qur'an, fikih, dan terakhir yaitu "ilmu pemberian" dari Allah SWT. 

Para ulama juga mensyaratkan kebersihan hati dari penyakit kibr, hawa nafsu, bid'ah, cinta dunia dan senang meiakukan dosa. Ini semua adalah yang meng-halangi hatinya untuk mencapai pengetahuan yang benar yang diturunkan oleh Allah SWT.  

سَاَصْرِفُ عَنْ اٰيٰتِيَ الَّذِيْنَ يَتَكَبَّرُوْنَ فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّۗ وَاِنْ يَّرَوْا كُلَّ اٰيَةٍ لَّا يُؤْمِنُوْا بِهَاۚ وَاِنْ يَّرَوْا سَبِيْلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوْهُ سَبِيْلًاۚ وَاِنْ يَّرَوْا سَبِيْلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوْهُ سَبِيْلًاۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَكَانُوْا عَنْهَا غٰفِلِيْنَ

"Akan Aku palingkan dari tanda-tanda (kekuasaan-Ku) orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar. Kalaupun mereka melihat setiap tanda (kekuasaan-Ku) mereka tetap tidak akan beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak (akan) menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka menempuhnya. Yang demikian adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lengah terhadapnya." (Qs Al Araf 7:146)

Ibnu Abbas r.a. didoakan oleh Nabi saw.,

اللّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ

"Ya Allah, berilah ia pemahaman dalam urusan agama, dan ajarkanlah dia takwil (ilmu tafsir)."


Hadits-hadits Nabi mensyaratkan perlunya kehati-hatian dalam menggunakan ra'yu ini dalam menafsirkan Al Quran.

Terdapat sebuat hadits secara mauquf dari Ibnu Abbas, 

وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi no. 2951. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.

Juga diriwayatkan dari Jundab bin Abdillah radhiallahu’anhu:

من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ

“barang siapa siapa yang berkata tentang Al Qur’an sebatas dengan opininya, lalu kebetulan ia benar, maka ia tetap salah” [5. HR. Tirmidzi no. 2952) Hadits ini juga diperselisihkan statusnya, dihasankan oleh sebagian ulama

Berkenaan dengan hadits-hadits tersebut, ada dua pemahaman yang bisa disimpulkan. Pertama, yang dimaksud dengan ar-ra'yu (rasio) itu adalah hawa nafsu. Yaitu, menyeret Al-Quran untuk memperkuat hawa nafsunya dan pemikiran yang ia anut. Dengan ini maka Al-Quran menjadi pengikut, bukan yang diikuti, dihukumi bukan menjadi hakim, dan menjadi cabang bukan pokok. Artinya pemikiran, keyakinan, dan mazhab-mazhab itulah yang membuat orang yang menafsirkan Al-Qur'an atau berdalil dengannya, mencekik ayat itu dan menyeretnya untuk mendukung pemikiran dan keyakinannya.

Kedua, makna hadits itu adalah mencela orang yang berani menafsirkan Al-Quran sebelum memiliki perangkat dan ilmu yang seharusnya dan dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Qur'an, juga syarat-syarat penafsir: seperti menghadir¬kan semua Al-Qur'an, hadits-hadits yang sahih, dan riwayat dari sahabat tentang asbabun nuzul dan sejenisnya.

Bahwa mengeluarkan pendapat terhadap Allah SWT dengan tanpa ilmu adalah termasuk apa yang paling diharamkan oleh Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya. Allah SWT berfirman,

قُلْ اِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْاِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَاَنْ تُشْرِكُوْا بِاللّٰهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهٖ سُلْطٰنًا وَّاَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

"Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.'" (al-A"raf: 33)

Dan, Al-Qur'an menjadikan hal itu termasuk perkara yang diajarkan oleh setan kepada manusia Allah SWT berfirman,

اِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوْۤءِ وَالْفَحْشَاۤءِ وَاَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

"Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. "(al-Baqarah: 169)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.