Sikap politik Rasul terhadap Munafiqin di Madinah

 

Peristiwa pembelaan Abdullah bin Ubay kepada orang-orang Yahudi dalam bentuk yang telah dijelaskan diatas dengan jelas membeberkan kemunafikan orang tersebut. Dari sikapnya itu jelaslah sudah bahwa dia adalah seorang munafik yang menyimpan kedengkian dan kebencian kepada Islam dan kaum Muslimin. 

Tetapi kendatipun demikian, Rasulullah saw tetap memperlakukannya selaku seorang Muslim. Beliau tidak menggugat kemunafikkannya. Tidak juga memperlakukannya sebagai seorang musyrik atau murtad atau yang berdusta dalam menganut Islam. Bahkan Rasulullah saw meluluskan permintaan dan tuntutannya itu. 

Ini menunjukkan sebagaimana disepakati para ulama bahwa orang munafik selama di dunia harus diperlakukan oleh kaum Muslimin sebagai seorang Muslin. Mereka harus diperlakukan sebagai orang-orang Muslim sekalipun kemunafikannya telah dapat dipastikan. Ini karena hukum-hukum Islam secara keseluruhan terdiri dari dua aspek. Aspek yang harus diterapkan di dunia di mana kaum Muslimin berkewajiban menerapkannya dalam masyarakat mereka, dengan dipimpin oleh seorang Khalifah atau kepada negara. Dan Aspek lain yang akan diterapkan kelak di akherat, yang pada saat itu segala urusan dikembalikan kepada Allah swt semata.

Sejauh menyangkut aspek yang pertama, seluruh persoalannya harus didasarkan kepada bukti-bukti hukum yang bersifat material dan empirik, karena setiap keputusan hukum didasarkan kepadanya. Alasan-alasan yang didasarkan kepada persepsi, perasaan atau sekedar indikasi, tidak boleh digunakan di sini. Adapun aspek yang kedua, maka sepenuhnya didasarkan kepada keyakinan dalam hati dan yang akan bertindak mengadili adalah Allah swt. Kaidah ini dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Umar ra: “Kami sekarang ini memutuskan (perkara) hanya berdasarkan kepada amalan kalian yang bersifat lahiriah”

Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya kalian mengadukan perkara kepadaku, yang mungkin saja sebagian orang di antaranya kalian lebih pandai berhujjah daripada yang lainnya sehingga aku memutuskan perkaranya berdasarkan apa yang aku dengar. Maka siapa saja yang mendapatkan keputusan dariku dengan kuberikan sesuatu yang sebenarnya menjadi hak saudaranya, hendakllah ia tidak mengambilnya karena itu hanyalah segenggam dari api neraka.”

Hikmah ditetapkan kaidah ini, agar keadilan di antara manusia tetap terpelihara dan tidak menjadi ajang permainan. Sebab, mungkin saja ada sebagian penguasa memutuskan suatu perkara semata-mata berdasarkan kepada hal-hal yang bersifat dorongan perasaan dan keyakinan hari, hanya karena ingin bertindak dzalim kepada sebagian orang. 

Sebagai pelaksanaan terhadap kaidah syariat inilah maka Rasulullah saw kendatipun banyak mengetahui ikhwal kaum Munafiqin dan apa yang terpendam di hati mereka melalui wahyu Allah swt, dalam Hukum-hukum syariat secara umum memperlakukan mereka (Munafiqin) sebagaimana halnya terhadap kaum Muslimin tanpa membeda-bedakan. Ini tidak bertentangan dengan kewajiban kaum Muslimin untuk bersikap hati-hati terhadap kaum Munafiqin dan bertindak arif dalam menghadapi berbagai tindakkan mereka. Kerena hal ini merupakan kewajiban kaum Muslimin pada setiap waktu dan situasi.

Namun ada hal lain berkaitan dengan munafikin ini, yaitu bahwa Rasulullah tidak pernah menshalatkan janazah mereka. Rasulullah SAW memerintahkan Huzaifah al Yamani untuk mencatat dan menyimpan nama-nama mereka. Sehingga di kemudian hari setelah Rasulullah wafat, Umar tidak pernah menshalatkan janazah dimana Huzaifah tidak menshalatkannya, karena Umar kuatir jika janazah itu termasuk munafikin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.