Suhail bin Amr utusan dari pihak Quraisy setelah utusan pertama Quraisy : Hulais bin Al-Qomah dan Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqofi gagal dalam perundingan. Dari pihak Rasul, Ali bin thalib bertindak sebagai juru tulis. Perjanjian Hudaibiyah ditetapkan pada bulan Zulhijah tahun ke-VI Hijrah dengan diawli istrinya kalimat :”Bismikallahumma”, bukan : “Bismillahirrahmaannirrahim” sebagaimana diusulkan Rasul. Kemudian dibagian ujung ditulis : ini adalah perjanjian Muhammad bin Abdillah dengan Suhail bin Amr” bukan dengan Muhammad Rasulullah karena tidak mengakui Muhammad sebagai rasul. Isi Perjanjian Hudaibiyah hampir 100% didominasi oleh pihak Quraisy. Mari kita pelajari kisahnya dengan lebih lengkap sebagai berikut.
Quraisy mengutus Suhayl untuk menandatangani perjanjian, beserta dua orang warga sukunya, Mikraz dan Huwaythib. Mereka berunding dengan Nabi, sementara para sahabat mendengarkan suara mereka, yang kadang tinggi dan rendah sesuai dengan mudah sulitnya topik pembicaraan untuk disepakati. Ketika mereka pada akhirnya mencapai kesepakatan, Nabi menyuruh Ali untuk menuliskannya, dimulai dengan Bismiillaahirrahmaanirrahim.
Tapi Suhayl keberatan. “Tentang a-rahman,” katanya, “aku tidak tahu siapa dia. Tulislah Bismika Allahumma, dengan Nama-Mu Ya Tuhan, seperti yang biasa dituliskan.” Beberapa sahabat berseru, “Demi Allah, kami tidak mau menulis selain Bismillahirrahmanirrahim,” namun Nabi mengabaikan mereka dan berkata, “Tulislah Bismika Allahumma!”.
Beliau melanjutkan mendikte, “Ini adalah pernyataan kesepakatan gencatan senjata antara Muhammad Rasululillah dan Suhayl putra Amr”. Namun Suhayl memprotes lagi, “Jika kami tahu engkau menjadi Rasulullah,” katanya, “kami tidak akan melarangmu masuk Rumah Suci, juga tidak akan memerangimu, tulislah Muhammad putra Abdillah.” Ali telah menuliskan “Rasulullah,” dan Nabi menyuruhnya agar kata itu dihapus, tetapi Ali menolak. Maka, Nabi menyuruh Ali untuk menunjukkan kata yang diperdebatkan itu dengan jarinya, dan beliau sendiri yang menghapusnya. Kemudian, beliau menyuruh Ali untuk mengganti dengan “putra Abdillah “. Ali pun melakukannya.
Lanjutan dokumen itu sebagai berikut. Mereka telah sepakat untuk mengadakan gencatan senjata selama sepuluh tahun. Selama itu setiap orang akan aman dan tidak diperkenankan melakukan kekerasan satu sama lain. Akan tetapi, jika ada orang Quraisy yang tidak seizin walinya menyeberang ke pihak Muhammad, ia harus dikembalikan kepada mereka. Namun, jika ada seorang pengikut Muhammad datang kepada kaum Quraisy, ia tidak akan dikembalikan. Tidak boleh ada tipuan dan pengkhianatan. Dan siapa saja yang ingin bersekutu dan bekerja sama dengan Muhammad diperbolehkan; dan siapa saja yang ingin bersekutu dan bekerja sama dengan Quraisy diperbolehkan.
Saat itu beberapa pemimpin Khuza'ah hadir di perkemahan. Mereka datang mengunjungi jamaah umrah, sedangkan satu atau dua perwakilan dari Bakr mengikuti Suhayl. Ketika itu orang-orang Khuza'ah bangkit dan berkata, “Kami dan Muhammad bersekutu.” Seketika orang-orang Bani Bakr juga berkata, “Kami dan Quraisy bersekutu.” Kesepakatan ini disahkan oleh pemimpin kedua suku tersebut. Perjanjian itu diakhiri dengan kalimat: “Engkau, Muhammad, tahun ini harus pergi dari kami dan dilarang masuk ke Mekah. Namun, tahun depan, kami harus keluar dari Mekah dan engkau bersama sahabat-sahabatmu dapat memasukinya, tinggal di sana selama tiga hari, tidak membawa senjata selain pedang di dalam sarungnya.”
Berdasarkan mimpi Nabi, para sahabat merasa yakin ekspedisi mereka kali ini akan sukses. Namun, ketika mereka mendengar isi perjanjian tersebut dan tahu bahwa mereka telah mencapai perbatasan Tanah Suci dan kini harus pulang sebelum selesai, hal itu membuat mereka hampir saja tidak bisa menahan diri. Namun, yang lebih buruk lagi datang: ketika mereka duduk terdiam, terdengar suara dentingan rantai dan seorang pemuda dengan kaki diborgol terhuyung-huyung menuju perkemahan.
Orang itu adalah Abu Jandal, salah seorang anak Suhayl. Ayahnya telah memenjarakannya karena masuk Islam, khawatir ia akan kabur ke Madinah. Kakaknya, Abd Allah, berada di antara jamaah. Baru saja ia hendak menyambut kedatangan adiknya itu, Suhayl menarik rantai yang melingkari leher tawanannya itu dan memukul wajahnya dengan kasar. Kemudian, Suhayl menemui Nabi dan berkata, “Kesepakatan kita telah dibuat sebelum orang ini datang padamu.” “Ya, itu benar,” jawab Nabi. “Karena itu, kembalikanlah orang ini kepada kami,” kata Suhayl.
“Hai saudara-saudaraku kaum muslim,” teriak Abu Jandal sekuat-kuatnya, “akankah aku dikembalikan kepada kaum musyrik yang akan menyiksaku karena agamaku?” Nabi menghampiri Suhayl dan memohon agar anaknya dibebaskan, tetapi Suhayl dengan tegas menolaknya. Pengikutnya, Mikraz dan Huwaythib, selama ini berdiam diri. Namun, saat itu merasa bahwa kejadian ini menjadi permulaan yang tidak menguntungkan bagi perjanjian gencatan senjata itu, maka mereka turut campur.
“Hai Muhammad,” kata mereka, “kami akan memberinya perlindungan atas namamu.” Dengan demikian, Abu Jandal akan dibawa bersama mereka, dijauhkan dari ayahnya, dan mereka memegang janji mereka. “Bersabarlah, Abu Jandal,” kata Nabi, “Allah pasti memberi ganjaran dan jalan keluar bagimu serta bagi orang-orang besertamu. Kami telah menyetujui pernyataan gencatan senjata dengan orang-orang ini, dan telah menandatangani perjanjian kami dengan mereka. Kami tidak akan melanggar janji kami.”
'Umar saat itu tak dapat menahan diri lagi. Ia bangkit menghadap Nabi dan berkata, “Bukankah engkau Nabi Allah?” dan beliau mengiyakan. “Bukankah kita di pihak yang benar dan musuh kita di pihak yang salah?” katanya, dan kembali Nabi mengiyakan. “Lantas, mengapa kita begitu lemah mempertahankan kehormatan agama kita?” tanya 'Umar. Nabi segera menjawab, 'Aku Rasulullah dan aku tidak akan menentang-Nya. Ia akan memberiku kemenangan.” “Tetapi bukankah engkau mengatakan kepada kami, kita harus pergi ke Rumah Suci dan bertawaf di sana?” tanya Umar. “Begitulah,” kata Nabi, “namun bukankah aku tidak mengatakan, kita akan pergi tahun ini?” 'Umar mengakui, beliau memang benar. “Sesungguhnya kalian akan pergi ke Ka'bah,” kata Nabi, “dan akan bertawaf di sana.”
Namun, kedongkolan Umar belum reda dan ia menemui Abu Bakr untuk mengungkapkan perasaannya. Ia menanyakan hal yang sama seperti yang ditanyakan kepada Nabi. Namun, meskipun Abu Bakr tidak mendengar jawaban Nabi, ia memberikan jawaban yang sama pada setiap pertanyaan, bahkan hampir dengan kata-kata yang sama. Di akhir pembicaraan ia menambahkan, “Karena itu, berpeganglah pada pendapat Rasulullah, karena Demi Allah, beliau itu benar.” Hal ini mengesankan 'Umar, dan meskipun perasaannya belum lega, ia tidak lagi mendesak mereka. Ketika Nabi memintanya untuk menuliskan namanya pada perjanjian itu, ia melakukannya dengan diam. Nabi juga meminta putra Suhayl, Abd Allah, untuk membubuhkan namanya di sana. Muslim lainnya yang menandatangani perjanjian itu adalah Ali, Abii Bakr, Abd al-Rahman ibn Awf dan Mahmud ibn Maslamah.
Kebencian secara umum tampaknya mulai memudar. Namun, ketika Suhayl dan lainnya meninggalkan perkemahan, sambil membawa Abu Jandal yang penuh air mata, hati mereka kembali terharu. Nabi berdiri terpisah dari orang-orang yang menandatangani dokumen itu. Beliau kini meninggalkan mereka dan pergi ke jamaah. “Bangkit dan sembelihlah hewan-hewan kurban kalian,” katanya, “lalu bercukurlah.” Tidak ada seorang pun yang bergerak. Beliau mengulangi perintahnya sampai tiga kali, tetapi mereka hanya memandangnya dengan bingung dan terdiam.
Hal itu bukanlah sikap pembangkangan, tetapi setelah harapan mereka diruntuhkan oleh berbagai kejadian tadi, mereka kini benar-benar dibingungkan oleh perintah untuk melakukan sesuatu yang mereka ketahui secara ritual tidaklah benar. Sebab, menurut tradisi Ibrahim, penyembelihan hewan kurban harus dilakukan di Tanah Suci, begitu pula dengan bercukur. Sungguhpun demikian, ketidaktaatan mereka mengejutkan Nabi.
Beliau masuk tendanya dan menceritakan kepada Umm Salamah apa yang telah terjadi. “Keluarlah,” kata Umm Salamah, “dan jangan berbicara kepada siapa pun sampai engkau menyembelih kurbanmu.” Maka, Nabi pergi ke tempat untanya yang telah ia sucikan sendiri dan menyembelihnya. Dengan suara keras agar orang-orang dapat mendengar, beliau mengucapkan, Bismillah, Allahu Akbar.
Mendengar kata-kata itu, mereka bangkit dan berlomba mengurbankan hewan masing-masing, berlomba dalam ketaatan. Ketika Nabi memanggil Khirasy—lelaki Khuza'ah yang beliau kirim ke Mekah sebelum 'Utsman—untuk mencukur kepalanya, beberapa sahabat saling mencukur kepala mereka satu sama lain dengan semangat bergelora sehingga membuat Umm Salamah takut, seperti yang kelak ia tuturkan, kalau-kalau hal itu menyebabkan luka mematikan. Namun, di antara mereka ada yang hanya memangkas beberapa helai rambut karena tahu bahwa hal itu secara tradisional diperbolehkan sebagai pengganti.
Sementara itu, Nabi telah beristirahat ke dalam tendanya bersama Khirasy. Setelah seluruh ritual dilaksanakan, beliau berdiri di pintu masuk dengan rambut yang tercukur dan berkata, “Allah mengasihi orang yang mencukur rambutnya!” Mereka yang hanya memangkas rambutnya se-gera memprotes, “Dan kepada orang yang memangkas rambutnya, hai Rasulullah!” Namun, Nabi mengulangi apa yang ia ucapkan pertama, dan suara-suara protes kian keras. Kemudian, setelah mengulangi lagi dan muncul gelombang protes yang ketiga, beliau menambahkan, “Dan pada orang yang memangkas rambutnya!” Ketika sesudah itu ditanya mengapa pertama-tama Nabi hanya mendoakan orang yang mencukur rambutnya, beliau menjawab, “Karena mereka tidak ragu-ragu.”
Setelah kembali ke tendanya, Nabi menjumput rambutnya yang hitam lebat dari tanah dan melemparnya ke dekat pohon Mimosa. Para jamaah langsung berkerumun, saling berebut mengambilnya untuk mendapatkan berkah. Nusaybah, seorang wanita, juga tidak mau ketinggalan bersama para pria itu. Ia berlari ke pohon itu dan mendapatkan beberapa helai yang ia simpan sampai hari kematiannya.
Tanah tempat perkemahan itu tertaburi rambut para jamaah. Namun, tiba-tiba angin kencang berembus, menerbangkan rambut-rambut itu ke Mekah, ke Tanah Suci. Semuanya bergembira. Mereka menganggap peristiwa itu sebagai pertanda niat ibadah mereka diterima Allah Swt. Sekarang mereka mengerti, mengapa Nabi menyuruh mereka melaksanakan kurban.
Tertundanya pelaksanaan umrah ini didokumentasikan dalam ayat-ayat berikut Qs. 48:11, 48:12, 48:15, 48:16
Setelah mereka mulai berangkat pulang ke Madinah, perasaan 'Umar mulai resah oleh suara hatinya; dan kian gelisah ketika ia mendekati Nabi untuk bercakap-cakap dengannya, sementara Nabi seakan-akan mengambil jarak dan menghindar. Umar memacu tunggangannya melesat ke depan, berkata kepada dirinya sendiri, “Hai 'Umar, biarkan sekarang ibumu berduka atas anaknya!”
Setelah itu, ia menuturkan bahwa dirinya begitu gelisah karena mempertanyakan kebijaksanaan Nabi dan ia takut ada ayat yang khusus melaknatnya. Ketakutan 'Umar mencapai puncaknya ketika ia mendengar derap kuda di belakangnya, dan penunggang kuda itu memanggilnya agar menghadap Nabi. Namun, kegelisahannya langsung hilang ketika ia melihat wajah Nabi berseri-seri bahagia. “Telah diturunkan kcpadaku sebuah surah,” kata Nabi, “yang lebih kusukai daripada segala sesuatu di bawah matahari ini.”
Wahyu yang baru diturunkan itu memberi keyakinan bahwa perjalanan yang baru saja mereka lakukan dianggap sebagai sebuah kemenangan, karena wahyu itu dibuka dengan kalimat, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata” (Q. 48: 1). Ayat itu juga membicarakan tentang perjanjian damai:
Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon. Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya (Q. 48: 18).
Kebahagiaan surga berkenaan dengan janji Ridhwan bagi siapa saja yang memenuhi janji setianya. Karenanya, perjanjian ini dikenal dengan Perjanjian Ridhwan. Turunnya sakinah, hati yang damai, juga disebutkan dalam ayat lain:
“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka yang telah ada ... supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan peremption ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang bcsar di sisi Allah (Q. 48: 4—5).
Mimpi Nabi yang menginsipirasikan untuk melakukan perjalanan itu mengacu pada ayat berikut ini:
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya, yaitu bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat”. (Q. 48: 27).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.