Dampak perjanjian Hudaibiah bagi pembentukan wilayah hijrah Isy. Akan digambarkan secara singkat pada bagian berikutnya bahwa kaum muslimin yang memisahkan diri dari pemerintahan Quraisy Mekkah namun tidak bisa kembali ke Madinah karena adanya perjanjian Hudaibiah akhirnya membentuk wilayah hijrah kedua yaitu wilayah Isy.
Abu Basyir dan Bani Tsaqif adalah pemuda yang keluarganya berasal dari Thaif dan telah bermukim di Mekah sebagai sekutu Bani Zuhrah. Ia telah masuk Islam dan dipenjara oleh kaum Quraisy. Namun, ia melarikan diri dan pergi ke Madinah dengan berjalan kaki. Ia tiba di sana tak lama setelah kembalinya Nabi dari Hudaybiyah. Ia segera disusul oleh seorang utusan Quraisy yang memintanya untuk kembali.
Setelah menenangkan Abu Basyir dengan kata-kata seperti yang diucapkan kepada Jundal, Nabi mengatakan bahwa beliau terikat dengan perjanjian untuk menyerahkannya kepada utusan itu. Para sahabat, termasuk 'Umar, sekarang telah menerima pernyataan perjanjian tersebut. Maka, ketika Abu Basyir dibawa orang Quraisy itu dan seorang bekas budak yang membantunya, orang Muhajirin dan Anshar yang hadir mengukuhkan kata-kata Nabi, “Bersabarlah! Allah pasti akan memberimu jalan keluar.”
Harapan mereka terwujud lebih cepat dari yang di-perkirakan. Meskipun usianya masih muda, Abu Basyir sangat cerdik. Pada pemberhentian pertama, ia berhasil merebut pedang sang utusan dan membunuhnya. Pembantu utusan itu, Kawtsar namanya, serta-merta lari ketakutan, kembali ke Madinah. Ia langsung masuk ke masjid dan bersimpuh ke kaki Nabi. Saat ia mendekat, Nabi berkata, “Orang ini tampaknya melihat sesuatu yang mengerikan.”
Kawtsar menceritakan bahwa temannya telah terbunuh dan ia sendiri hampir dibunuh. Tak lama kemudian, Abu Basyir sendiri muncul dengan pedang terhunus di tangannya. “Wahai Rasulullah,” katanya, “kewajibanmu telah terpenuhi. Engkau telah mengembalikanku kepada mereka, dan Allah telah mengantarku ke sini.” “Celaka ibunya!” kata Nabi. “Dasar puntung berapi! Dia pasti telah menyulut kebakaran seandainya ada banyak orang lain bersamanya!” Namun, bila Quraisy mengirim utusan lagi untuk meminta dikembalikan, ia diminta untuk patuh seperti yang ia lakukan sebelumnya.
Pemikiran seperti itu jauh dari benak Abii Basyir. Ia kini malah mengusulkan agar unta, senjata, dan perlengkapan orang yang telah mati itu dijadikan harta rampasan, dibagi menjadi lima bagian dan dibagikan menurut hukum. “Jika aku melakukan hal itu,” kata Nabi, “mereka akan menudingku tidak memenuhi pakta yang aku telah berjanji akan memegangnya.” Kemudian, beliau beralih kepada pembantu yang ketakutan itu. “Harta milik temanmu itu menjadi urusanmu,” kata beliau. “Dan bawalah kembali lelaki ini—maksudnya Abu Basyir—kepada orang yang telah mengutusmu,” kata beliau.
Wajah Kawtsar berubah pucat, “Hai Muhammad,” katanya, “Aku menghargai nyawaku. Kekuatanku tidaklah sebanding dengannya. Aku juga tidak memiliki kekuatan dua orang.” Kaum muslim telah memenuhi kewajiban mereka, tetapi perwakilan Quraisy itu tidak mau mempertahankan tawanan itu. Karenanya, Nabi berpaling kepada Basyir dan berkata, “Pergilah ke mana pun engkau suka.”
Abu Basyir melakukan perjalanan ke pesisir Laut Merah. Kata-kata “seandainya ada banyak orang lain bersamanya” masih terngiang di telinganya. Bukan dia saja yang mencatat sanksi dan instruksi ini. Umar menganggap penting apa yang telah terjadi. Ia menyebarkan kata-kata Nabi itu kepada kaum muslim di Mekah, beserta informasi tentang keberadaan Abii Basyir yang diketahui dari orang-orang suku pesisir yang datang ke Madinah.
Sekarang, putra Suhayl, yaitu Abu Jandal, tidak lagi dijaga ketat oleh penjaganya seperti yang dilakukan ayahnya. Di sisi lain, perjanjian itu telah menyebabkan longgarnya penjagaan di Mekah seperti penjagaan terhadap para tawanan pemuda muslim itu karena Muhammad telah menjamin, jika mereka melarikan diri ke Madinah, beliau akan mengembalikannya.
Karena itu, Abu Jandal pergi ke tempat Abii Basyir, dan diikuti pemuda-pemuda yang lain, termasuk Walid, saudara Khalid. Bersama mereka, Abu Basyir mendirikan kemah di tempat yang strategis, di rute kafilah dari Mekah ke Suriah. Mereka mengangkat Abu Basyir sebagai pemimpin. Ia mengimami shalat dan memberi penjelasan atas pertanyaan berkaitan dengan ibadah dan aspek-aspek keagamaan lainnya karena kebanyakan mereka adalah mualaf. Mereka sangat menghormatinya dan dengan senang hati mematuhinya.
Quraisy bergembira karena rute pilihan mereka ke utara kembali aman. Namun, sekitar tujuh puluh pemuda bergabung di perkemahan Abu Basyir, dan mereka menjadi teror bagi kafilah Quraisy. Akhirnya, sesudah menderita banyak kehilangan jiwa dan barang perdagangan, kaum Quraisy mengirimkan sepucuk surat kepada Nabi, memintanya untuk menerima orang-orang “jalanan” ini ke dalam komunitasnya, dan berjanji tidak akan meminta mereka dikembalikan ke Mekah. Maka, sekarang Nabi mengirim surat, mengundang Abii Basyir dan para pengikutnya untuk datang ke Madinah. Namun pada saat itu, pemimpin muda itu sedang sakit parah dan ketika surat itu sampai, ajalnya telah mendekat. Ia membacanya dan meninggal saat kedua tangannya menggenggam surat itu.
Sahabat-sahabatnya menyalati dan menguburkannya, serta membangun masjid di tempat pemakamannya. Kemudian, mereka pergi bergabung dengan Nabi di Madinah. Ketika mereka sampai di jalur lava, unta Walid tersandung dan ia tersungkur sehingga jarinya patah oleh sebuah batu. Ketika ia mengikatnya, ia menyatakan dalam sebait syair: “Apalah arti sebuah jari yang berdarah, tanpa luka lain di jalan Allah”. Namun, lukanya kian parah dan mengakibatkan kematian. Sebelum kematiannya, ia sempat menulis sepucuk surat kepada saudaranya, Khalid, menyarankan agar ia masuk Islam.
Pada saat itu, hanya seorang muslimah yang melarikan diri dari Mekah dan berlindung di Madinah. Ia saudara tiri 'Utsman, Umm Kultsum, putri ibunya, Arwa dan Uqbah, yang terbunuh dalam perjalanan dari Badr. Namun, sebuah ayat turun melarang wanita beriman kembali kepada orang-orang kafir. Karena itu, ketika dua orang saudara kandung Umm Kultsiim datang untuk mengambilnya kembali, Nabi tidak mengizinkan mereka membawanya. Quraisy pun menerima penolakannya tanpa protes. Sebab, dalam perjanjian itu tidak disebutkan tentang wanita. Lalu, ia dilamar Zayd, Zubayr, dan Abd al-Rahman ibn Awf Nabi menyarankan agar ia menikahi Zayd. Ia pun melakukannya.
Pada bulan berikutnya, selama perjanjian, 'A'isyah dan ayahnya mengalami penderitaan besar yang segera disusul dengan kegembiraan besar. Umm Ruman jatuh sakit dan wafat. Ia dimakamkan di Baqi'. Nabi menyalatinya dan turun ke dalam kuburnya. Kabar tentang kematiannya sampai ke Mekah. Karena itu, putranya, Abd al-Ka'bah menangis. Mungkin rasa duka membuatnya merenung beberapa waktu. Tak lama setelah kematian ibunya, ia datang ke Madinah dan masuk Islam. Ketika ia mengucapkan syahadat, Nabi mengubah namanya menjadi Abd al-Rahman.
Dia bukanlah satu-satunya orang yang baru masuk Islam saat itu. Seiring berlalunya minggu dan bulan, mualaf semakin banyak. Menjadi jelas mengapa Alquran mendeklarasikan bahwa perjanjian gencatan senjata itu sebagai sebuah kemenangan nyata (fathan mubina). Kini, penduduk Mekah dan Madinah dapat bertemu dengan damai serta bercakap-cakap bersama dengan bebas. Dan selama dua tahun kemudian, umat Islam telah mencapai lebih dari dua kali lipat.
Tak lama sesudah jamaah kembali, sebuah ayat turun membahagiakan setiap orang: “Mudah-mudahan Allah menumbuhkan kasih sayang di antara kalian dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka” (Q. 60: 7). Secara umum, kalimat ini tampak berhubungan dengan banyaknya orang yang beralih agama. Namun, secara khusus, bagi sebagian orang, ayat ini berkaitan dengan hubungan dekat yang tak diduga-duga yang kini terjalin antara Nabi dan salah se-orang pemimpin Quraisy.
Beberapa bulan sebelum Hudaybiyah, terdengar kabar dari Abyssinia tentang kematian 'Ubaydillah ibn Jahsy, keponakan Nabi dan saudara tirinya. Sebelum masuk Islam, ia beragama Kristen dan tak lama setelah hijrah ke Abyssinia, ia kembali memeluk agama Kristen. Hal ini sangat memukul istrinya, Umm Habibah, putri Abu Sufyan, yang tetap menjadi muslimah. Empat bulan setelah kematian suaminya, Nabi mengirimkan pesan kepada Negus (Najasyi): jika Umm Habibah mau, Negus diminta menjadi walinya dan mengesahkan pernikahan si janda itu dengan Nabi.
Nabi tidak mengirimkan pesan secara langsung; tapi Umm Habibah bermimpi: seseorang datang kepadanya dan menyebutnya sebagai “Ibu orang-orang beriman”. Ia menakwilkan bahwa dirinya akan menjadi istri Nabi. Esok harinya, ia menerima pesan dari Negus yang membenarkan mimpinya. Maka, ia segera memilih saudaranya, Khalid ibn Sa'd, untuk menikahkan dirinya. Khalid dan Negus melangsungkan akad nikah antara mereka, dihadiri Ja'far dan saudara-saudara lainnya. Kemudian, Negus menggelar pesta pernikahan itu di istananya dan semua kaum muslim diundang.
Nabi mengirim pesan kepada Ja'far bahwa beliau akan bahagia jika saat ini ia dan kaumnya mau datang ke Madinah. Ja'far segera bersiap-siap melakukan perjalanan, dan Negus menyediakan dua kapal buat mereka. Umm Habibah diputuskan ikut bersama mereka; sementara di Madinah mulai dibangun rumah untuknya, dekat dengan rumah istri-istri Nabi yang lain.
Pada waktu itu, Negus bukanlah satu-satunya raja berkuasa yang dikirimi surat oleh Nabi. Ketika beliau membelah batu yang tampak tak dapat dipecahkan di parit, beliau telah melihat kastil Yaman dari cahaya pukulan pertamanya. Sedangkan dari cahaya pukulan ketiga dan yang terakhir, beliau melihat istana putih milik Kisra di Mada'in. Sebagaimana yang ditunjukkan kepada nabi tentang masa depan penyebaran kekuasaan Islam, terdapat hubungan antara dua cahaya ini karena Yaman saat itu berada di bawah kekuasaan Persia. Nabi tergerak untuk menulis pesan kepada Raja Persia, mengabarkan kenabian beliau dan mengajaknya masuk Islam. Beliau mungkin tidak terlalu berharap pesannya akan berhasil, tetapi sebelum mengambil langkah-langkah lain, perlu ditawarkan kemungkinan membuat pilihan yang benar.
Cahaya kedua menampakkan kastil Suriah, dan Nabi telah menerima kepastian tentang penyebaran Islam ke daerah tersebut dan juga ke Barat. Bertepatan dengan itu, beliau mengirimkan surat yang sama kepada Heraklius, Kaisar Romawi. Dan, beliau kini mendiktekan surat lain yang serupa dan dikirim ke Iskandariah, untuk Muqawqis, penguasa Mesir.
Sementara itu, Kisra telah mendengar dari sumber lain tentang tumbuhnya kekuasaan raja Arab Yatsrib yang mengaku sebagai seorang nabi. Maka, ia memerintahkan Badhan, gubernur di Yaman, agar menanyakan lebih jauh dan memperjelas informasi tentang Muhammad. Badhan segera mengirim dua orang utusan ke Madinah, supaya mereka dapat melihat sendiri dan melaporkan beritanya. Mengikuti kebiasaan yang tersebar luas di peradilan Persia, janggut mereka dicukur dan kumis mereka dibiarkan panjang. Bagi Nabi, penampilan mereka menyebalkan.
“Siapa yang menyuruh kalian melakukan ini?” tanya beliau. “Tuan kami,” kata mereka, maksudnya Kisra. “Tuanku,” kata Nabi, “telah menyuruhku memanjangkan janggut dan memotong pendek kumis.” Beliau menyuruh mereka pergi dan kembali lagi esoknya. Malam itu, Jibril memberi tahu Nabi: pada hari yang sama terjadi pemberontakan di Persia dan Kisra terbunuh. Kini, putranya mengambil alih posisinya. Karena itu, ketika para utusan itu kembali, beliau menuturkan berita itu kepada mereka, dan mereka disuruh memberi tahu tuannya, sang gubernur. Kemudian beliau berkata, “Katakan padanya, agama dan kekuasaanku akan jauh melampaui kerajaan Kisra! Katakan pula kepadanya, masuk Islamlah, dan aku akan mengukuhkan segala yang engkau miliki, dan aku akan menunjukmu sebagai raja kaummu di Yaman.”
Mereka kembali ke Shan'a, tak tahu apa yang dipikirkan, dan menyampaikan pesan ke Badhan. “Kita akan lihat apa yang terjadi. Jika yang dikatakannya benar, berarti ia seorang nabi yang diutus Tuhan.” Namun, belum sempat ia mengutus seseorang ke Persia untuk memastikan kebenarannya, seorang utusan tiba dari Siroes, Syah yang baru, mengumumkan apa yang telah terjadi dan menuntut baiat mereka. Bukannya menjawab, Badhan malah masuk Islam. Demikian pula kedua utusan itu dan orang Persia lainnya yang berada bersamanya. Ia kemudian mengirim pesan ke Madinah dan Nabi mengukuhkan pemerintahannya atas Yaman. Ini merupakan awal terwujudnya apa yang telah diwahyukan pada kilatan cahaya pertama dari parit itu.
Surat Nabi sampai di Mada'in setelah kematian Kisra. Maka, surat itu disampaikan kepada penggantinya yang kemudian murka dan merobek-robek surat itu. “Kalau demikian, semoga Allah mencabik-cabik kerajaannya,” kata Nabi ketika mendengarnya.
Demikianlah berbagai diplomasi internasional dan dakwah ‘alamiyah diluncurkan ke seantero dunia di seluruh belahan-belahan bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.