Perang Dzatur Riqaa‘

 


Menurut para ulama sirah, peperangan ini terjadi pada tahun keempat Hijrah, sebulan setengah setelah pengusiran orang-orang Yahudi banu Nadlir. Tetapi Bukhari dan sebagian ahli hadits menguatkan pendapat yang mengatakan peperangan ini terjadi setelah perang Khaibar. Sebab terjadinya peperangan ini, karena adanya pengkhianatan sebagian besar kabilah Nejd terhadap kaum Muslimin. Pengkhianatan yang mengakibatkan terbunuhnya 70 da‘I yang keluar untuk menyeru ke jalan Allah swt.

Rasulullah saw berangkat menuju kabilah-kabilah Muharib dan Bani Tsa‘labah. Waktu itu Rasulullah saw mengangkat Abu Dzar al-Ghiffari sebagai Amir Madinah. Rasulullah saw berkemah di suatu tempat di Nejd yaitu di kawasan Ghathafan yang dikenal dengan sebutan Nakhl. Tetapi Allah swt memasukkan rasa takut ke dalam hati kabilah-kabilah itu padahal seperti dikatakan Ibnu Hisyam, mereka berjumlah sangat besar sehingga mereka melarikan diri dari kemungkinan serbuan kaum Muslimin dan tidak terjadi pertempuran sama sekali.

Diriwayatkan di dalam Ash-Shahihain dari Abi Musa al-Asyari ia berkata :”Kami keluar bersama Rasulullah saw dalam suatu peperangan. Waktu itu kami enam orang bergantian mengendarai satu unta”. Lanjut Abu Musa Al-Asyari :”Kemudian telapak kaki kami pecah-pecah. Telapak kaki saya sendiri pecah dan kuku-kukunya pun copot. Waktu itu kami membalut kaki-kaki kami dengan sobekan kain. Sehingga aku menyebut peperangan ini dengan perang Dzatur Riqaa‘ (sobekan kain)”. Abu Musa Al-Asyari menyebutkan Hadits ini, tetapi kemudian tidak menyukainya. Ia berkata, seolah-olah dia tidak suka menceritakan perjuangan tersebut. 

Musa AL-Asyari tidak suka menceritakan keadaan ini, setelah keterlepasan kata dan ditanya tentang sebab penamaan perang ini dengan Dzatur Riqaa‘ (sobekan kain). Ia tidak suka, dan menyesali perbuatannya itu karena diluar kontrolnya dia telah menceritakan sesuatu dari amalannya yang dilakukan secara ikhlas demi mengharapkan ganjaran di sisi Allah swt semata. 

Ini menunjukkan seperti dikatakan oleh Imam Nawawi, bahwa seorang Muslim dianjurkan supaya menyembunyikan (tidak menceritakan) amal-amal shalihnya dan segala kesusahan serta penderitaannya dalam ketaatan kepada Allah swt. Ia tidak boleh menunjuk-nunjukan sedikit pun dari amal-amal shalehnya kecuali untuk suatu kemaslahatan. Seperti menjelaskan hukum tentang sesuatu dan mengingatkan orang supaya meneladaninya.

Kedua, Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw, melaksanakan shalat khauf di peperangan Dzatur Riqaa‘. Satu kelompok berbaris bersama Rasulullah saw , sementara satu kelompok lain menghadap ke arah musuh. Kemudian Rasulullah saw shalat satu rakaat bersama kelompok yang berbaris itu lalu beliau berdiri tegak sementara mereka menyempurnakannya. Kemudian mereka mundur lalu berbaris menghadap musuh sedangkan kelompok yang kedua maju kemudian Rasulullah saw mengimami mereka melanjutkan raka‘at shalatnya yang masih belum selesai. Kemudian Rasulullah saw duduk sementara mereka menyempurnakan shalat kemudian salam mengikuti Rasulullah saw.

Ketiga, Bukhari juga meriwayatkan dari Jabir ra :”Ketika Nabi saw kembali kami pun ikut kembali bersamanya. Ketika datang waktu qailullah (tengah hari) kami tiba di sebuah lembah yang banyak pepohonannya. Kemudian Rasulullah saw turun dan orang-orang pun berhambur mencari tempat teduh di bawah pohon. Rasulullah saw istirahat di bawah pohon dan menggantungkan pedangnya di situ. 

Jabir melanjutkan :”Kemudian kami tidur pulas, tetapi tiba-tiba Rasulullah saw memanggil-manggil kami. Setelah kami datang ternyata di sisinya ada seorang Arab gunung sedang duduk. Kemudian Rasulullah saw bersabda :”Orang ini telah menyambar pedangku pada waktu aku sedang tidur. Ketika aku terjaga, seraya menghunus pedang itu dia berkata :”Siapa yang dapat menyelamatkanmu dari pedangku?” Lalu aku menjawab :”Allah swt. Nah sekarang dia sedang duduk di sini.? Kemudian Rasulullah saw tidak memberikan hukuman apa-apa pada orang itu.”

Keempat, Ibnu Ishaq dan Ahmda meriwayatkan dari Jabir ra, ia berkata :”Kami pernah berangkat bersama Rasulullah saw pada peperangan Dzatur Riqaa‘. Pada kesempatan itu tertawanlah seorang wanita dari kaum Musyrikin. Setelah Rasulullah saw berangkat pulang, suami dari wanita itu , yang sebelumnya tidak ada di rumah, baru datang. Kemudian lelaki itu bersumpah tidak akan berhenti mencari istrinya sebelum dapat mengalirkan darah pada sahabat Rasulullah saw. 

Lalu lelaki itu keluar mengikuti jejak perjalanan Nabi saw. Kemudian Nabi saw turun di suatu tempat lalu bersabda :”Siapakah di antara kalian yang bersedia menjada kita semua malam ini ?”. Jabir berkata :”Kemudian majulah seorang dari Muhajirin dan seorang dari Anshar, lalu keduanya berkata :”kami wahai Rasulullah.” Nabi saw berpesan :”Jagalah kami di mulut lorong ini.” Jabir berkata :”Waktu itu , Rasulullah saw bersama para sahabatnya berhenti istirahat di suatu lorong dari sebuah lembah.”

Ketika dua sahabat itu keluar ke mulut lorong, sahabat Anshar berkata kepada sahabat Muhajirin :”Pukul berapakah kau inginkan aku berjaga, apakah permulaan malam atau akhir malam ?”. Sahabat Muhajirin menjawab :”Jagalah kami di awal malam.” Kemudian sahabat Muhajirin itu berbaring dan tidur. Sedangkan sahabat Anshar melakukan shalat. Jabir berkata :Datanglah lelaki Musyrik itu dan ketika mengenali sahabat Anshar itu dia faham bahwa sahabat itu sedang tugas berjaga. Kemudian orang itu memanahnya dan tepat mengenainya, lalu sahabat Anshar mencabut anak panah dan terus berdiri tegak. Kemudian orang itu memanahnya lagi dan tepat mengenainya, lalu dicabutnya juga kemudian sahabat itu ruku‘ dan sujud. Setelah itu baru dia membangunkan sahabatnya seraya berkata :”Duduklah karena aku telah dilukai. 

Jabir berkata :”Kemudian sahabat muhajir melompat. Ketika orang Musyrik melihat keduanya dia sadar bahwa dirinya telah diketahui lalu ia pun melarikan diri. Ketika sahabat muhajir mengetahui darah yang melumuri sahabatnya Anshar , ia berkata, “ Subhanallah, kenapa kamu tidak membangunkan aku dari tadi ?” dia menjawab :” Aku sedang membaca suatu surat dan aku tidak ingin memutusnya.Setelah berkali-kali orang itu memanahku baru aku ruku‘ dan memberitahukan kepadamu. Demi Allah, kalau bukan karena takut mengabaikan tugas penjagaan yang diperintahkan Rasulullah saw kepadaku niscaya nafasku akan berhenti sebelum aku membatalkan shalatku.

Kelima, Telah meriwayatkan Bukhari, Muslim, Ibnu Sa‘ad di dlam Thabaqat-nya dari Ibnu Hisyam di dalam Sirah-nya, dari Jabir bin Malik ra, ia berkata : Aku pernah keluar bersama Rasulullah saw , ke peperangan Dzatur Riqaa‘ dengan mengendarai untaku yang sangat lemah. Ketika Rasulullah saw berangkat pulang para sahabat pun bergerak maju, kecuali aku, tertinggal di belakang sehingga Rasulullah saw mendapati aku lalu bertanya :”Kenapa wahai Jabir ?” Aku jawab :”Wahai Rasulullah saw , aku tertinggal bersama untaku yang lambat ini:” Nabi saw bersabda, “ Dudukanlah dia”. Lalu aku dan Rasulullah saw mendudukannya. 

Kemudian Rasulullah saw berkata :”Berikan tongkat yang kau genggam itu padaku.” Kemudian aku berikan. Rasulullah saw mengambil tongkat itu lalu memukulkannya apda untaku beberapa kali pukulan, lalu bersabda :”Sekarang naiklah.” Kemudian aku menaiki dan berjalan demi Dzat yang mengutusnya dengan benar – menyalib unta beliau.

Selanjutnya aku berbincang-bincang dengan Rasulullah saw. Beliau berkata kepadaku :”Maukah kau menjual untamu itu apdaku , wahai Jabir ?” Aku jawab :”Wahai Rasulullah saw , aku hadiahkan saja untukmu”. Nabi saw berkata :”Tidak juallah padaku.” Aku berkata :”Kalau begitu, tawarlah, wahai Rasulullah.” Nabi saw menawar :”Aku beli satu dirham:” Aku jawab :”Tidak, itu merugikan aku, wahai Rasulullah.” Nabi saw menawar lagi :” Dua dirham ?” Aku jawab : Tidak.” 

Kemudian Rasulullah saw terus menaikkan tawarannya sampai mencapai harga satu‘Uqiyah. Lalu aku bertanya :”Apakah engkau telah rela wahai Rasulullah saw?” Nabi saw menjawab :”Ya sudah.” Aku berkata :”Dia milikmu.”. Nabi saw menjawab :” Aku terima ..” Kemudian Nabi saw bertanya :”Wahai Jabir, apakah kamu sudah menikah?” Aku jawab :”Sudah wahai Rasulullah saa. Nabi saw bertanya, “ Janda atau gadis ?” Aku jawab :”Janda.” Nabi saw bersabda :”Mengapa tidak memilih gadis sehingga kamu dan dia bisa bercumbu mesra.?” Aku jawab :” Wahai Rasulullah saw , sesungguhnya ayahku telah gugur di Uhud. Dia meninggalkan sembilan anak wanita. Aku menikah dengan wanita yang pandai mengemong, trampil merawat dan mengasuh mereka.” 

Nabi bersabda :”Engkau benar, insya Allah. Kalau kita sudah sampai di Shirara (nama sebuah tempat di Madinah), kita suruh penyembelih untuk memotong sembelihan. Kita semua tinggal di situ sehari, agar dia (istari Jabir) mendengar kedatangan kita, lalu mempersiapkan bantalnya”. Aku bertanya, “ Demi Allah swt, wahai Rasulullah saw, kami tidak punya bantal.” Nabi saw menjawab, “Dia pasti punya. Karena itu apabila kamu datang, lakukanlah suatu perbuatan yang menyenangkan.”

Jabir berkata :”Ketika kami sampai di Shirara, Rasulullah saw memerintahkan tukang sembelih untuk melakukan tugasnya, lalu hati itu kami tinggal di situ. Keesokan harinya Rasulullah saw bersama kami masuk Madinah. Jabir berkata :”Pada pag hari aku menuntun unta, aku bawa sampai ke depan pintu rumah Rasulullah saw , kemudian aku duduk di mesjid berdekatan dengan Rasulullah saw. 

Setelah keluar, Rasulullah saw melihat unta dan bertanya, “ Apa ini ?” Mereka menjawab :”Wahai Rasulullah saw , ini adalah unta yang dibawa oleh Jabir.” Nabi saw bertanya :”Dimana Jabir ?” Kemudian aku dipanggil menghadap beliau, lalu beliau bersabda :”Wahai anak saudaraku, bawalah untamu, dia milikmu.” Lalu Nabi saw memanggil Bilal dan bertanya kepadanya :”Pergilah bersama Jabir dan berikan kepadanya satu ‚Uqiyah.” Kemudian aku pergi bersamanya lalu dia memberiku satu ‚uqiyah dan menambahkan sesuatu padaku. Demi Allah swt, uang itu terus bertambah dan bisa dilihat hasilnya di rumah kami.”

Penelitian terhadap Sejarha Peperangan ini Para Ulama Sirah telah sepakat sebagaimana kami sebutkan di atas bahwa peperangan Dzatur Riqaa‘ terjadi sebelum peperangan Khaibar. Sebagian besar mereka menguatkan bahwa peperangan ini terjadi setelah pengusiran bani Nadlir pada tahun keempat hijra. Sebagian mereka, seperti Ibnu Sa‘ad dan Ibnu Hibban, berpendapat bahwa peperangan ini terjadi pada tahun kelima Hijrah.

Imam Bukhari menyebutkan di dalam Shahihnya bahwa peperangan ini terjadi setelah Khabiar. Kendatipun dalam susunan kitabnya peristiwa ini disebutkan sebelum perang Khaibar. Al-Hafidz Ibnu Hajar menguatkan pendapat Bukhari dengan alasan bahwa shalat Khauf (shalat dalam peperangan) telah disyariatkan pada peperangan Dzatur Riqaa‘ sementara itu Nabi saw tidak melaksanakan shalat Khauf ini pada perang Khandaq, tetapi menggadlanya. 

Selanjutnya Ibnu Hajar menguatkan pendapat ini dengan sebuah riwayat yang terdapat di dalam ash-Shahihain dari Abu Musa Al-Asyari baha ia (Abu Musa Al-Asyari) menyebutkan tentang bagaimana kaki para sahabat pecah-pecah dalam perang Dzatur Riqaa‘ sehingga mereka membalutnya dengan cabikan kain, padahal Abu Musa Al-Asyari belum kembali dari Habasyah kecuali setelah perang Khaibar. Membaca dalil-dalil ini, Ibnu Qaiyyim tidak berani memastikannya kemudian berkata :”Ini menunjukkan bahwa perang Dzatur Riqaa‘ kemungkinan terjadinya setelah perang Khandaq.”

Saya berkata :”Dapat dipastikan bahwa peperangan Dzatur Riqaa‘ ini terjadi sebelum perang Khandaq. Karena di dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa Jabir ra, pernah meinta ijin kepada Rasulullah saw untuk pergi ke rumahnya pada perang Khandaq. Ia mengabari istrinya tentang kelaparan yang dialami Rasulullah saw. 

Dalam riwayat itu disebutkan kisah hidangan yang disajikannya kepada Rasulullah saw dan para sahabatnya. Di dalam kisah ini pula Rasulullah saw berkata kepada istri Jabir :”Makanlah ini dan berikan yang itu, karean orang-orang sedang mengalami kelaparan.” Sementara itu di dalam ashshahihain disebutkan juga bahwa Rasulullah saw pernah bertanya kepada Jabir pada peperangan Dzatur Riqaa‘ :”Apakah kamu sudah menikah?” Jawab Jabir : “Sudah , wahai Rasulullah .” Ini menunjukkan bahwa Nabi saw , belum mengetahui sama sekali pernikahannya. Dengan demikian jelas bahwa peperangan Dzatur Riqaa‘ terjadinya sebelum perang Ahzab (Khandaq), apatah lagi perang Khaibar.

Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar bahwa Nabi saw tidak melakukan shalat Khauf di perang Ahzab (tetapi mengqadlanya) dapat dijawab bahwa kemungkinan penundaan ini disebabkan berkecamuknya pertempuran antara kaum Musyrikin dan kaum Muslimin sehingga tidak sempat melakukan shalat. Mungkin juga karean musuh berada di arah Kiblat, sementara shalat Khauf yang dilaksanakan pada perang Dzatur Riqaa‘ pada saat musuh tidak di arah Kiblat. Atau mungkin Nabi saw, menunda shalat itu untuk menjelaskan bolehnya menggadla shalat yang terlewat karena kondisi yang tidak memungkinkannya.

Demikian pula penggunaan argumentasi oleh Ibnu Hajar dengan riwayat Abu Musa Al-Asyari yang disebutkan oleh banyak ulamat sirah, dapat dijawab bahwa yang dimaksudkan oleh Abu Musa AL-Asyari ialah peperangan ialah peperangan yang lain yang juga disebut dengan Dzatur Riqaa‘. Dengan dalil bahwa abu Musa Al-Asyari menyebutkan :”Kami pernah berangkat bersama Rasulullah saw dalam suatu pepernagan. Waktu itu kami enam orang bergantian mengendarai satu unta.” 

Padahal dalam perang Dzatur Riqaa‘ yang sedang kita bicarakan ini jumlah kaum Muslimin lebih banyak dari itu. Al-Hafidz Ibnu Hajar berusaha membantah penjelasan ini, tetapi tidak banyak berarti karena dalil yang dikemukakan oleh para ulama sirah sudah sangat kuat dan tegas. Di antaranya hadits Jabir yang telah kami sebutkan pada masing-masing dari kedua peperangan tersebut.

Dalam perang Dzatur Riqa ini ada Kisah seorang Musyrik yang menyambar pedang Rasulullah saw adalah kisah yang diriwayatkan secara shahih. Kisah ini menunjukkan sejauh mana perlindungan Allah swt kepada Nabi-Nya. Di samping menambah keyakinan kita kepada perkara luar biasa yang diberikan Allah swt kepada Nabi-Nya sehingga kita semakin mantap dan yakin kepada pribadi kenabiannya. 

Semestinya sangat mudah bagi orang Musyrik itu yang sudah menghunus pedang di atas Rasulullah saw yang sedang pulas tertidur untuk menebaskan pedang dan membunuh Rasulullah saw bahkan orang Musyrik itu telah demikian siap untuk memanfaatkan kesempatan emas tersebut sehingga dia bertanya : “Siapakah yang akan menghalangimu dariku?” Apa yang terjadi setelah itu sehingga dia gagal melakukannya = Apa yang terjadi ialah suatu yang tidak pernah terpikirkan oleh orang musyrik itu, yakni ‚inayah (penjagaan) dan perlindungan Allah swt kepada Rasulullah saw. 

Inayah Ilahiah inilah yang memasukkan rasa takut ke dalam hati orang Musyrik itu sehingga dia gemetar dan pedangnya terjatuh ke tanah, kemudian dia duduk bersimpuh di hadapan Nabi saw menyerahkan dirinya. Sesuatu yang perlu anda ketahui dari peristiwa ini ialah bahwa kasus ini merupakan bukti kebenaran janji Allah swt : “Allah swt melindungimu dari manusia.” QS al-Maidah : 67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.