Pengertian Ibadah secara lughah
أصل العبادة في اللغة: الطاعة والخضوع والتذلل كما قال الجوهري وغيره.
Asal muasal ibadah dalam bahasa : ketaatan, ketundukan dan penghinaan, seperti yang dikatakan (w.393 H).1)
Ada sebuah pengertian ibadah yaitu
العبادة اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والأعمال الباطنة والظاهرة
Ibadah adalah satu kata yang mencakup segala hal yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik itu perkataan maupun perbuatan, perkara batin maupun zahir.
Ibadah sebagaimana para ulama ushul mengartikan,
كُلُّ مَا أُمِرَ بِهِ مِنْ غَيْرِ اقْتِضَاءٍ عَقْلِيٍّ وَلاَ اطِّرَادٍ عُرْفِيٍّ
“Segala sesuatu yang diperintahkan tanpa mesti memandang akal dan bukan lantaran mengikuti ‘urf (kebiasaan masyarakat).”
Ada juga ulama yang mengatakan,
العِبَادَةُ هُوَ فِعْلُ المُكَلَّفِ عَلَى خِلاَفِ هَوَى نَفْسِهِ تَعْظِيْمًا لِرَبِّهِ
“Ibadah itu perbuatan mukallaf (orang yang telah dibebani syariat) yang (kadang) menyelisihi hawa nafsunya sebagai bentuk pengagungan pada Rabbnya.”
Pengertian yang lebih bagus adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
” الْعِبَادَةُ ” هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَيَرْضَاهُ : مِنْ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ
“Ibadah adalah istilah yang mencakup segala yang Allah cintai dan ridai berupa perkataan dan perbuatan yang batin maupun lahir.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:149)
Definisi ibadah ini kata Syaikh Shalih Alu Syaikh lebih mudah dipahami dan lebih dekat pada dalil. Lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul, hlm. 67.2)
Macam-Macam Ibadah
Menurut Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al Fauzan 3) bahwa Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ ﴿٥٧﴾ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. [Adz-Dazariyat/51 : 56-58]
Ibadah itu banyak macamnya. Ia mencakup semua macam ketaatan yang nampak pada lisan, anggota badan dan yang lahir dari hati. Seperti dzikir, tasbih, tahlil dan membaca Al-Qur’an ; shalat, zakat, puasa, haji, jihad, amar ma’ruf nahi mungkar, berbuat baik kepada kerabat, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil . Begitu pula cinta kepada Allah dan RasulNya, khasyyatullah (takut kepada Allah), inabah (kembali) kepadaNya, ikhlas kepadaNya, sabar terhadap hukumNya, ridha dengan qadha’Nya, tawakkal, mengharap nikmatNya dan takut dari siksaNya.
Jadi, ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika diniatkan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah. Bahkan adat kebiasaan (yang mubah) pun bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk taat kepadaNya. Seperti tidur, makan, minum, jual-beli, bekerja mencari nafkah, nikah dan sebagainya.
Berbagai kebiasaan tersebut jika disertai niat baik (benar) maka menjadi bernilai ibadah yang berhak mendapatkan pahala. Karenanya, tidaklah ibadah itu terbatas hanya pada syi’ar-syi’ar yang biasa dikenal.
Adapun pembagian ibadah menjadi mahdhoh dan ghairu mahdhoh, Mahdhah [محضة] artinya murni. Ibadah mahdhah berarti ibadah murni. ibadah ghairu mahdhah [غير محضة], yaitu ibadah yang tidak murni.
Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid pernah menjelaskan perbedaan antara ibadah mahdhah dengan ghairu mahdhah, berikut perbedaan konsekuensinya.
Ketika membahas perbedaan pendapat ulama mengenai wudhu, apakah harus berniat atau tidak, beliau mengatakan,
وسبب اختلافهم تردد الوضوء بين أن يكون عبادة محضة: أعني غير معقولة المعنى وإنما يقصد بها القربة له فقط كالصلاة وغيرها وبين أن يكون عبادة معقولة المعنى كغسل النجاسة
Sebab perbedaan mereka adalah perselisihan dalam memandang wudhu, apakah termasuk ibadah mahdhah, yaitu ibadah yang tidak bisa dipahami secara logika (Ghair Ma’qul al-Ma’na), akan tetapi tujuannya murni untuk beribadah kepada Allah semata, seperti shalat dan yang lainnya. Atau wudhu termasuk ibadah yang bisa dipahami secara logika, seperti membersihkan najis.
Lalu beliau menegaskan,
فإنهم لا يختلفون أن العبادة المحضة مفتقرة إلى النية والعبادة المفهومة المعنى غير مفتقرة إلى النية. والوضوء فيه شبه من العبادتين ولذلك وقع الخلاف فيه وذلك أنه يجمع عبادة ونظافة
“Karena mereka sepakat bahwa ibadah mahdhah membutuhkan niat, sementara ibadah yang bisa dipahami secara logika, tidak butuh niat. Sementara wudhu mirip dengan ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Karena itulah, terjadi perbedaan pendapat terkait wudhu, karena wudhu menggabungkan antara amal ibadah dengan bersuci.” (Bidayatul Mujtahid, 1/8).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.