Pada masa Rasulullah SAW, puasa yang diwajibkan pertamakali atas umat Islam adalah puasa Asyura'. Setelah datang Ramadhan, maka kewajiban puasa Asyura' dihapus (mansukh). Pendapat ini mengambil dalil hadisnya Ibn Umar dan Aisyah ra.:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تُرِكَ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ لَا يَصُومُهُ إِلَّا أَنْ يُوَافِقَ صَوْمَهُ
Dari Ibnu'Umar radliallahu 'anhuma berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan puasa hari 'Asyura' (10 Muharam) lalu memerintahkan (para sahabat) untuk melaksanakannya pula. Setelah Allah mewajibkan puasa Ramadhan, maka puasa hari 'Asyura' ditinggalkan. Dan 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu tidaklah melaksanakan puasa hari 'Asyura' kecuali bila bertepatan dengan hari-hari puasa yang biasa dikerjakannya (H.R. Bukhari).
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ثُمَّ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصِيَامِهِ حَتَّى فُرِضَ رَمَضَانُ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
Dari 'Aisyah radliallahu 'anha; Bahwa orang-orang Quraisy pada zaman Jahiliyah biasa melaksanakan puasa hari 'Asyura'. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk melaksanakannya pula hingga datang kewajiban shaum Ramadhan. Dan kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Siapa yang mau melaksanakannya silakan dan siapa yang tidak mau juga tidak apa. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Pada masa-masa sebelumnya, Rasulullah biasa melakukan puasa Asyura' sejak sebelum hijrah dan terus berlanjut sampai usai hijrah. Ketika hijrah ke Madinah beliau mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa (Asyura'), beliau pun ikut berpuasa seperti mereka dan manyerukan ke ummatnya untuk melakukan puasa itu.
Hal ini sesuai dengan wahyu secara mutawattir (berkesinambungan) dan ijtihad yang tidak hanya berdasar hadis Ahaad (hadis yang diriwayatkan oleh tidak lebih dari satu orang).
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
“Dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata: Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah sampai dan tinggal di Madinah, Beliau melihat orang-orang Yahudi melaksanakan puasa hari 'Asyura' lalu Beliau bertanya: Kenapa kalian mengerjakan ini? Mereka menjawab: Ini adalah hari kemenangan, hari ketika Allah menyelamatkan Bani Isra'il dari musuh mereka lalu Nabi Musa Alaihissalam menjadikannya sebagai hari berpuasa. Maka Beliau bersabda: Aku lebih berhak dari kalian terhadap Musa. Lalu Beliau memerintahkan untuk berpuasa. (HR. Bukhari).
Puasa Ramadhan diwajibkan pada bulan Sya'ban tahun kedua hijriyah, maka lantas, kewajiban puasa Asyura terhapus (mansukh) dan menjadi puasa sunnah. Adapun kewajiban puasa Ramadhan berlandaskan Al-qur'an, Sunnah, dan Ijma.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسَةٍ عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللَّهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَالْحَجِّ
Dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: Islam dibangun di atas lima dasar: Yaitu agar Allah diesakan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadlan, dan haji. (HR Bukhari dan Muslim)
Tarikh Tasyri’ (Sejarah Penetapan Syariat) Shaum Ramadhan
Selama 13 tahun hidup di Mekah sebelum hijrah, yakni sejak tahun 1 dari masa kenabian, Nabi Muhamad telah 13 kali mengalami Ramadhan, yaitu di mulai dari Ramadhan tahun ke-1 dari masa kenabian yang bertepatan dengan bulan Agustus tahun 611 M hingga tahun ke-13 yang bertepatan dengan bulan April tahun 622 M.
Namun selama waktu itu belum disyariatkan ibadah shaum pada bulan Ramadhan, yang telah disyariatkan adalah :
a. Shaum 3 hari setiap bulan, yang kemudian dikenal dengan sebutan ayyamul bidh, yakni tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan pada kalender Hijriyah.
b. Shaum setiap tanggal 10 Muharram, yang kemudian dikenal dengan sebutan asyura.
Kedua shaum inilah yang senantiasa dilaksanakan oleh Rasul selama 13 tahun di Mekah. Bahkan ibadah shaum ini telah disyariatkan pula kepada para Nabi dan umat sebelum Muhamad.
Setelah Nabi mendapat perintah untuk hijrah, Nabi kemudian berangkat menuju Madinah, “Sebelum sampai di Madinah (waktu itu bernama Yatsrib), Rasulullah saw. singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 13 kenabian/24 September 622 M waktu Dhuha (sekitar jam 8.00 atau 9.00). Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin Auf selama empat hari (hingga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal/27 September 622 M) dan membangun mesjid pertama yang disebut mesjid Quba. Pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah. Di tengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni Wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf, datang kewajiban Jumat (dengan turunnya ayat 9 surat al-Jum’ah). Maka Nabi salat Jumat bersama mereka dan khutbah di tempat itu. Inilah salat Jumat yang pertama di dalam sejarah Islam. Setelah melaksanakan salat Jumat, Nabi melanjutkan perjalanan menuju Madinah”. (Lihat,Tarikh at-Thabari, I:571; Sirah Ibnu Hisyam, juz III, hal. 22; Tafsir al-Qurthubi, juz XVIII, hal. 98).
Keterangan ini menunjukkan bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram. Antara permulaan hijrah Nabi dan bulan Muharam ketika itu terdapat jarak atau sudah terlewat sekitar 82 hari, karena awal Muharram ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622 M.
Ketika tahun I (pertama) Nabi di Madinah, beliau masih menjalan syariat Shaum sebelumnya, yakni Ayyamul Bidh dan Asyura, bahkan hingga bulan Sya’ban tahun ke-2 hijrah yang waktu itu bertepatan dengan bulan Pebruari 624 M. Jadi, sekitar 17 bulan sejak di Madinah, yaitu sejak Rabi’ul Awal hingga Sya’ban tahun ke-2 Nabi masih menjalankan ibadah shaum selain Ramadhan. Kemudian di akhir bulan Sya’ban tahun ke-2 hijriah, setelah selesai salat ashar berjama’ah, Nabi berkhutbah di hadapan para sahabat.
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ شَهْرٌ مُبَارَكٌ شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا
“Hai manusia! Telah menaungi kamu bulan yang agung, bulan yang penuh dengan berkah, bulan yang padanya ada satu malam lebih baik dari seribu bulan. Allah tetapkan shaum padanya sebagai satu kewajiban, dan shalat pada malamnya sebagai tathawu (sunnat). (HR Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi, dan Al-Haitsami)
Dalam riwayat Ahmad dengan redaksi
قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا قَدْ حُرِمَ – أحمد –
Nabi bersabda demikian, karena pada bulan Sya’ban tahun ke-2 itu Allah menurunkan ayat berikut.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu shaum, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Beberapa hari yang ditentukan, maka siapa yang sakit atau berpergian di antara kamu, maka hendaklah ia menghitung (qadla) pada hari-hari lainnya dan atas orang yang merasa payah boleh membayar fidyah dengan memberi makanan pada orang yang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati memberi makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari, maka itulah yang lebih baik baginya.Q.s. al-Baqarah : 183-184
Dalam penurunan ayat ini sebagai pedoman kewajiban shaum Ramadhan ada beberapa hal yang akan dibahas berikut ini.
Aspek Historis/Sejarah Nuzul Ayat Ini
Ayat ini turun pada hari Kamis tanggal 28 Sya’ban tahun ke-2 H yang bertepatan dengan tanggal 23 Pebruari 624 M. Bila di hitung sejak saat itu hingga akhir hayat Nabi tinggal di madinah, berarti beliau sempat melaksanakan ibadah shaum sebanyak sembilan kali sebelum beliau wafat pada Senin/Sabtu 12 Rabi’ al-Awwal 11 H/6 Juni 632 M.
Shaum pertama berawal pada hari Ahad, 26 Februari 624, dan Idul Fithrinya jatuh pada hari Senin, 26 Maret 624. Berarti lama shaum 29 hari. Menurut atsar Ibnu Mas’ud dan Aisyah disebutkan bahwa Rasulullah saw. semasa hidupnya lebih banyak shaum Ramadhan 29 hari daripada 30 hari. Shaum Ramadhan pada zaman Rasulullah ini menarik perhatian astronom muslim untuk dibuktikan dengan hisab astronomi.
Dr. T. Djamaluddin, peneliti bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung, telah menghisab posisi hilal awal Ramadhan dan Syawwal semasa Rasulullah SAW hidup dari tahun ke-2 s.d. 10 H. Analisis astronomi memang menunjukkan selama sembilan tahun itu enam kali Ramadhan panjangnya 29 hari, hanya tiga kali yang 30 hari (lihat tabel).
Dari analisis astronomi diketahui bahwa pada zaman Nabi, shaum dilakukan pada musim semi dan musim dingin dengan waktu shaum mulai sekitar pukul 04:30 sampai sekitar 16:40 pada musim dingin.
Salah satu Idul Fithri pada zaman Nabi terjadi pada hari Jum’at, yaitu 1 Syawwal 3 H yang bertepatan dengan 15 Maret 625. Inilah satu-satunya Idul Fithri yang jatuh pada hari Jum’at semasa Rasulullah hidup. Kejadian ini berkaitan dengan hadis yang membolehkan meninggalkan shalat Jum’at bila pagi harinya telah mengikuti shalat hari raya. Rasulullah saw bersabda, “Pada hari ini (Jum’at) telah berkumpul dua hari raya, maka siapa yang mau, (shalat hari rayanya) telah mencukupi salat Jum’atnya, tetapi kami tetap akan melakukan salat Jum’at”. (HR Abu Daud dari Abu Hurairah RA).
Bahwa sebelum shaum Ramadan diwajibkan, puasa yang wajib dilaksanakan adalah shaum Asyura dan shaum tiga hari setiap bulan, yaitu setiap tanggal 13,14, dan 15 yang disebut ayyamul bidl. Maka dengan turun ayat ini jadilah shaum wajib itu hanya pada bulan Ramadan, sedangkan kedua shaum tersebut hukumnya menjadi sunnat.
B. Proses Penetapan Hukum Shaum Ramadhan
Kewajiban shaum Ramadhan ditetapkan melalui dua tahap; Tahap pertama dengan turunnya surat al-Baqarah : 183-184. Pada tahap ini kewajiban shaum Ramadhan masih berbentuk takhyir atau pilihan alternatif, yakni antara shaum dan fidyah.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ للَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَععَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu shaum, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Beberapa hari yang ditentukan, maka siapa yang sakit atau berpergian di antara kamu, maka hendaklah ia menghitung (qadla) pada hari-hari lainnya dan atas orang yang merasa payah boleh membayar fidyah dengan memberi makanan pada orang yang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati memberi makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari, maka itulah yang lebih baik baginya.” (Q.s. al-Baqarah : 183-184)
Tahap kedua, lalu Allah menurunkan ayat selanjutnya (185)
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنْ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Pada tahap ini kewajiban shaum Ramadhan sudah tidak berbentuk takhyir atau pilihan alternatif, tetapi sudah berbentuk ta’yin (pilihan satu-satunya) kecuali bagi mereka yang dibolehkan secara syar’i, mereka terkena kewajiban qadha atau fidyah.
Setelah ayat ini turun timbul pemahaman yang keliru pada mayoritas sahabat dalam masalah ketentuan pelaksanaan shaum, yaitu para shahabat Nabi SAW menganggap bahwa makan, minum dan menggauli istrinya pada malam hari bulan Ramadhan, hanya boleh dilakukan selama mereka belum tidur. Di antara mereka Qais bin Shirmah dan Umar bin Khaththab. Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar) merasa kepayahan setelah bekerja pada siang harinya. Karenanya setelah shalat Isya, ia tertidur, sehingga tidak makan dan minum hingga pagi.
Adapun Umar bin Khaththab menggauli istrinya setelah tertidur pada malam hari bulan Ramadhan. Keesokan harinya ia menghadap kepada Nabi SAW untuk menerangkan hal itu. Maka turunlah ayat :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنْ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa” (Q.s. Al Baqarah: 187). Dengan turunnya ayat tersebut gembiralah kaum Muslimin”. (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim, yang bersumber dari Mu’adz bin Jabal).
Penjelasan panjang lebar di atas sejalan dengan pendapat Ibnul Qayyim yang mengatakan bahwa difardhukannya shaum Ramadhan melalui tiga tahapan (Lihat Zadul ma’ad kitabus shiyam jilid 2 hal.20).
1. Kewajibnya yang bersifat takhyir (pilihan).
2. Kewajiban secara qath’i (mutlak), akan tetapi jika seorang yang shaum kemudian tertidur sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan dan minum sampai hari berikutnya.
3. Tahapan terakhir, yaitu yang berlangsung sekarang dan berlaku sampai hari kiamat sebagai nasikh (penghapus) hukum sebelumnya.
Tahapan awal berdasarkan firman Allah SWT :
(وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ( البقرة: ١٨٤
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir tentang ayat ini, “Adapun orang yang sehat dan mukim serta mampu menjalankan ash-shaum diberikan pilihan antara menunaikan ash-shaum atau membayar fidyah. Jika mau maka dia bershaum dan bila tidak maka dia membayar fidyah yaitu dengan memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Kalau dia memberi lebih dari satu orang maka ini adalah lebih baik baginya.” (Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, hal. 180 (Surat Al-Baqarah ayat 184)”
Ibnu ‘Umar RA ketika membaca ayat ini فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mengatakan : “bahwa ayat ini mansukh (dihapus hukumnya)”.( Al-Bukhari Kitabut Tafsiir hadits no.4506).
Dan atsar dari Salamah ibnu Al-Akwa’ tatkala turunnya ayat ini berkata, “Barangsiapa hendak bershaum maka silakan bershaum dan jika tidak maka silakan berbuka dengan membayar fidyah. Kemudian turunlah ayat yang berikutnya yang memansukhkan (menghapuskan) hukum tersebut di atas.”( Al-Bukhari Kitabut Tafsir hadits no.4507; Muslim Kitabush Shiyam hadist no. 149 – [ 1145 ] dan Abu Dawud Kitabush Shiyam, bab 2, hadist no.2312)
Secara dhahir, ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mansukh (dihapus) hukumnya dengan ayat فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ sebagaimana pendapat jumhur ulama.( Lihat Syarh Shahih Muslim An-Nawawi : Kitabush Shiyam hadits no. 149 – [ 1145 ]).
Tetapi dalam sebuah atsar Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Ayat ini bukanlah mansukh melainkan rukhshoh (keringanan) bagi orang tua (laki-laki maupun perempuan) yang lemah supaya memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.”( Al-Bukhari Kitabut Tafsir hadits no. 4505)
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir, “Kesimpulan bahwa mansukhnya ayat ini,
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ وَعَلَى الَّذِينَ adalah benar yaitu khusus bagi orang yang sehat lagi mukim dengan diwajibkannya ash-shaum atasnya. Berdasarkan firman Allah,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه Adapun orang tua yang lemah dan tidak mampu bershaum maka wajib baginya untuk berifthor (berbuka) dan tidak ada qadha` baginya”.( Lihat Tafsir Ibnu Katsir (II/281) dalam menafsirkan QS Al-Baqarah : 183 -185).
Dan inilah tahapan kedua. Tetapi jika seseorang bershaum kemudian tertidur di malam harinya sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan, minum dan jima’ sampai hari berikutnya. Tahapan ini kemudian mansukh (dihapuskan) hukumnya berlandaskan hadits Al Barra’:
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ rإِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ اْلإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِي كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ اْلإِفْطَارُ أَتَى اِمْرَأَتَه فَقَالَ لَهَا : أَعِنْدَكِ طَعَامٌ ؟ قَالَتْ : لاَ لكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ – وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ- فَجَاءَتْ اِمْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ : خَيْبَةً لَكَ ! فَلَمَّا اِنْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِي rفَنَزَلَتْ هَذِهِ اْلأَيَةُ : )أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ( فَفَرِحُوا بِهَا فَرْحًا شَدِيْدًا فَنَزَلَتْ )وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ( [رواه البخاري وأبو داود]
“Dahulu Shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam jika salah seorang di antara mereka shaum kemudian tertidur sebelum dia berifthar (berbuka) maka dia tidak boleh makan dan minum di malam itu dan juga siang harinya sampai datang waktu berbuka lagi. Dan (salah seorang shahabat yaitu), Qois bin Shirmah Al Anshory dalam keadaan shaum, tatkala tiba waktu berbuka, datang kepada istrinya dan berkata : apakah kamu punya makanan ? Istrinya menjawab : “Tidak, tapi akan kucarikan untukmu (makanan).” – dan Qois pada siang harinya bekerja berat sehingga tertidur (karena kepayahan)- Ketika istrinya datang dan melihatnya (tertidur) ia berkata : ” Rugilah engkau (yakni tidak bisa makan dan minum dikarenakan tidur sebelum berbuka- pen) !” Maka ia pingsan di tengah harinya. Dan ketika dikabarkan tentang kejadian tersebut kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka turunlah ayat :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
“Telah dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan shaum (Ramadhan) untuk berjima’ (menggauli) istri-istri kalian.”
Dan para shahabat pun berbahagia sampai turunnya ayat yang berikutnya yaitu :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”
[HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud] (lihat Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1915 dan Abu Dawud Kitabush Shiyaam, bab 1, hadits no. 2311)
Mengingat bahwa kewajiban shaum Ramadhan adalah pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah, maka atas dasar ini para ulama ber ijma’ bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menunaikan ibadah shaum Ramadhan selama hidupnya sebanyak sembilan kali. (Lihat Kitab Taudhiihul Ahkam, Kitabush shiyam Jilid 3 hal 123)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.