Kesempurnaan DInul Islam

 

Syukur dan puji adalah milik Allah SWT. Karena itu, di setiap kesempatan dan suasana patutlah kita senantiasa panjatkan puji dan syukur kepada-Nya. Hanya kepada-Nya pula patut dipersembahkan segala takbir, tahmid, dan tahiyat. 

Karena itu, betapa tidak patutnya seseorang yang hanya memiliki sedikit perkenan dan belas kasih Allah, baik berupa kekayaan, kekuasaan, atau status sosial menempatkan dirinya pada posisi sejajar dengan Allah sebagai tandingan, rival, dan sekutu-Nya. Dia ingin dihormati dan dipuji, padahal semua itu adalah mutlak milik Allah. 

Pada hari yang amat dahsyat kelak tatkala langit dilipat dengan tangan kanan-Nya, Allah akan menantang semua manusia sombong yang mengatur bukan atas nama Allah dan tidak mengalokasikan segala yang Allah limpahkan dalam kaitan menggapai ridha-Nya. 

Oleh karena itu, setiap hamba beriman yangsadar akan hakikat diri, sadar akan naif dan dhaif-nya diri, dan sadar akan dahsyatnya gangguan syetan hknatulhh patut dan wajar kiranya untuk senantiasa bergantung dan memohon perlindungan kepada-Nya dari sikap-sikap yang tidak selayaknya.

  

"...Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepadaku..." (QS Al Maidah: 3).

Tatkala fatah falah terjadi, tatkala suatu daulah dikuasai al Islam, tatkala satu tentorial tertata dengan dinul Islam, tatkala itulah orang-orang kafir mengalami satu keputusasaan. Karena itu Allah tekankan untuk tidak takut kepada mereka, namun hanya takut kepada Allah. Tentu saja sudah tidak relevan lagi untuk takut kepada mereka yang sudah terhempas pada kondisi penuh kehinaan. 

Bagaimana harus takut kepada mereka sedangkan mereka saja meminta pengampunan kepada Muhammad saw., Tentu saja takut kepada orang-orang kafir sudah tidak pada tempatnya lagi, dan itu pasti disadari pada saat itu oleh siapapun. Sepanjang itu belum terjadi, jangan pikir dan harap atau bayangkan orang kafir akan merasa putus asa.

Ikhwatu iman rahimakumullah, dorongan moral untuk tidak takut pada orang kafir juga relevan bagi siapapun yang masih berada dalam wilayah yang terkuasai oleh kekufur-an. Akan tetapi, wujud keberanian menghadapi keganasan orang kafir itu sendiri tidak berarti hams dengan memperlihatkan sikap-sikap nekad karena yang jadi penekanan adalah tertib takutnya, yaitu tidak takut kepada orang kafir namun hanya takut kepada Allah.

Sikap hanya takut kepada Allah inilah yang pada akhirnya akan melahirkan hilangnya rasa takut kepada orang kafir. Dan ini semua tidak dimunculkan dalam periiaku buas atau nekad sebab konteks ayatnya bukan wala takhsyauhum saja tetapi juga wakhsyauni. Kalau saja ayat ini hanya berbicara tentang wala takhsyauhum, maka sikap nekad senekad-nekadnya menjadi wajar agar nampak seperti tidak takut kepada orang kafir. 

Akan tetapi, ayat ini terkait dengan wakhsyauni sehingga tidak takutnya orang beriman kepada orang kafir harus dalam konteks takutnya dia kepada Allah. Hubungan ini tidak bisa dipilah-pilah sehingga tidak akan sampai melahirkan gejala anarkisme yang disebabkan interpretasi yang menyimpang dari ajaran Islam itu sendiri.


WUJUD KESEMPURNAAN AL ISLAM

Dalam lanjutan ayat tadi Allah berkenan menegaskan sempurnanya dinul Islam,

"...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu...". (QS Al Maidah 3).

Saya kira masalahnya tidak perlu dijelaskan lagi bahwa syariat yang dahulu yang satu terhadap yang lainnya saling menyempurnakan. Oleh karena itu kalau ada orang yang tadinya mengikuti Injil dengan benar, maka dia pasti akan mengikuti al Quran. Begitu pula bagi mereka yang mengikuti Taurat dengan benar, maka pasti dia akan mengikuti Injil karena kitab-kitab itu memiliki mh yang berasal dari sumber yang sama. 

Bahkan Quran sendiri menjelaskan bahwa ketika diambil ikrarnya oleh Allah SWT, para nabi menyisipkan satu pernyataan untuk siap mengimani dan menolong rasul yang membenarkan apa yang mereka bawa. Semua nabi mulai dari Adam, Idris, Isa, sampai Muhammad menyatakan ikrar yang sama. Lantas apakah perjanjian itu juga berlaku bagi Muhammad? Kalau berlaku, apakah ini menjadi tanda akan datangnya utusan Allah yang lain? Pertanyaan ini tidak akan muncul apabila kita pahami bahwa yang dimaksud dalam ayat itu bukan rasulullah melainkan rasulun. 

Oleh karena itu, andaikata karena satu dan lain hal Muhammad berada pada posisi tidak bisa lagi mengatur kehidupan masyarakat, karena berhalangan tetap misalnya, lalu kemudian dipilihlah seorang pengganti yang namanya Abu Bakar, maka Muhammad pun harus mengimani dan menolong Abu Bakar sebagaimana Musa akan beriman kepada Muhammad. Rasulullah mengatakan, "Demi zatyang diriku berada dalam genggamannya, andaikata Musa hidup sekarang ini maka dia mesti bertahkim kepadaku." Pernyataan ini sama sekali bukan ungkapan kesombongan, namun memang begitulah perjanjian di antara para nabi yang akan saling membenarkan dan saling beriman. 

Itulah gambaran yang Allah berikan pada QS 3: 81; 7: 178; dan 33: 7. Dari sudut pandang ini polemik nabi Isa turun lagi ke bumi dengan segala aksesorisnya sebetulnya sulit dipahami karena estafeta risalah Muhammad saw bukan jatuh ke Isa as tapi kepada Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, sebelum kemudian terjadi fatrah kerasulan di dunia.

Pernyataan Allah, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagimu...". (QS Al Maidah: 3), sebenarnya terancangpada ayat sebelumnya yaitu, "Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu melanggar sya-airullah...". (QS Al Maidah: 2). 

Para mufasir umumnya menerjemahkan sya-airullah sebagai ketetapan Allah yang disitir pada ayat berikutnya yaitu sempurnanya dinul Islam. Kesempurnaan yang dimaksud pada ayat ini bukanlah dalam arti sempurnanya Quran sebagai hukum positif yang bisa dipakai mengadili kasus apapun. Ini jelas keliru karena bukan itu yang dimaksud. 

Kesempurnaan yang dimaksud adalah sempurnanya al Islam sebagai ad-din. Dengan kata lain, setiap problematika yang terjadi dalam kehidupan tidak akan ada yang tidak terpecahkan karena pasti ada dasarnya dalam kitabullah. Sebut saja satu contoh perbuatan, dasarnya pasti ada di sini. Jadi itu yang dimaksud dengan sempurnanya Islam. 

Tapi kalau hal ini kemudian dipahami sebagai sempurnanya Quran sebagai hukum positif yang siap terap dan bisa memecahkan segala kasus, tentu tidak akan nyambung karena banyak kasus tidak akan bisa diterjemahkan dan memang tidak ada penjelasannya di dalam ayat-ayat Quran sebab Quran memang bukan merupakan hukum positif {book of law) namun Quran merupakan dasar hukum (source of law). Oleh karena itu, diperlukan upaya tafshilul Quran yang akan mengurai dan memperjelas penerapan Quran sebagai sumber hukum pada kasus-kasus yang ada.

Adapun sya-airullah itu sendiri merujuk pada satu konfigurasi yang terdiri atas unsur-unsur fara'id (perintah), naha (larangan), had (batasan), dan afwa (hal yang dibiarkan Allah). Sebagai contoh, dalam konfigurasi bab nikah ada yang namanya fara'id dan naha. 

Fara'id contohnya adalah nikahlah kamu. Larangannya adalah jangan dekati zina atau jangan biarkan dirimu dalam keadaan membujang. Seburuk-buruknya kalian adalah yang hidupnya membujang, dan seburuk-buruk makhluq yang mati di hadapan Allah adalah mereka yang mati dalam keadaan membujang. 

Sedangkan contoh hudud dalam bab nikah misalnya berapa banyak wanita yang bisa dinikahi seorang laki-laki. Dalam pandangan Islam mereka yang mencoba mengoyak konfigurasi, baik dengan mencoba mendobrak fara 'id, naha, dan had atau malah membahas sesuatu yang ditetapkan Allah sebagai afwa secara vertikal termasuk dzolim, sedangkan secara horizontal disebut thagut.


TOTALITAS KESIAPAN

Pelaksanaan sya-airullah bersifat mastatho'tum, yakni hingga batas-batas yang kamu mampu. Akan tetapi, kesiapan untuk melaksanakan sya-airullah dituntut secara total. Oleh karena itu, tidak ada ceritaseseorang mau masuk Islam tapi kalau masalah infaq nanti dulu karena terlalu berat. Itu tidak bisa. Apakah dia kemudian temyata tidak mampu membayar infaq, itu tidak masalah. Namanya juga mastatho'tum. 

Tetapi kesiapan untuk menjalankan sya-airullah mesti total dan tidak setengah-setengah. Coba buka At Taubah: 111 yang menyatakan bahwa Allah telah membeli dari seorang mukmin jiwa dan hartanya untuk ditukar dengan surga. Menurut mufasir konteks ayat ini mengacu pada penerjemahan syahadah tatkala seseorang bergabung ke dalam al Islam. Jadi, statemen syahadah sekaligus merupakan ijab kabul seorang mukmin dengan Allah bahwa dia telah menjual jiwa dan hartanya kepada Allah. 

Apakah kemudian mereka yang sudah mengikrarkan syahadah ini lantas secara otomatis mendapatkan surga? Belum tentu. Semuanya tergantung pada kelanjutan pemenuhan jual belinya dengan Allah. Dalam istilah ekonomi penukaran diri dan harta kekayaan dengan surga itu dilakukan dengan cara cicilan. Kalau jadwal pembayaran cicilan tersebut kita penuhi dengan baik, maka Allah tentu saja tidak akan menahan hak kita untuk menjadi penghuni surga. Tapi jika temyata pembayarannya tersendat-sendat atau apalagi macet, tentu saja klaim atas surga perlu dipertanyakan kembali.

Dalam At Taubah: 111 tersebut dijelaskan bahwa mukmin berjalan di jalan Allah dengan kesiapan mental untuk membunuh atau terbunuh, dan kesiapan seperti ini merupakan kesiapan tak terhingga. Jadi, manusia dituntut untuk siap bilamana perlu sampai tercecernya darah penghabisan. Dia harus sanggup untuk itu! 

Adapun dalam tindak lanjutnya temyata jangankan untuk mandi darah, berperang saja tidak sanggup karena invalid, tidak bisa berkuda, atau tidak punya harta untuk biaya perang, maka semua itu tidak kemudian menggugurkan hak dia untuk mendapatkan surga. Jadi yang pertama kali dituntut adalah totalitas kesiapan seorang mukmin yang tak terhingga. Dia hams sanggup untuk berkeringat, sanggup untuk kelaparan, bahkan kalau perlu sanggup untuk mengorbankan semua yang dimilikinya.

Jadi, jangan masuk ke dalam al Islam dengan kesiapan mental setengah-setengah karena pengabdian seperti itu tidak akan pernah diterima Allah. Allah hanya akan menerima pengabdian yang bersumber dari totalitas kesiapan mental yang utuh, genap, dan lengkap. Lantas kenapa hams ada pengkondisian semacam itu? 

Karena manusia lahir ke bumi dengan misi yang tidak tanggung-tanggung. Kendatipun misalnya fisiknya kurang sempurna, yang namanya makhluk manusia yang lahir ke bumi yang kemudian menjadi mukmin diproyeksikan Allah buat mencelup dunia, dan dunia itu sendiri kondisinya tidak terdefinisi atau tak terhingga. Bagaimana bisa kita membangun dunia yang nilainya tak terhingga dengan mengandalkan modal-modal yang terhingga atau terbatas. 

Jadi kendatipun kondisi kita amat terbatas baik dalam hal dana atau daya yang dimiliki, namun kita tetap hams punya kesiapan mental yang tak terhingga karena sasaran akhir setiap pribadi, sedhaif dan senaif apapun dia, tersangki dengan dunia baru, yaitu dunia marhamah mubarakah yang dijanjikan Allah dalam QS An Nur: 55. Jadi, lingkup sasaran kerja seorang mukmin bukan terbatas dalam skop pribadi seperti mmah tangga yang setelah selesai dia bentuk lantas dia berhenti. Bukan! Itu semua hanyalah "sasaran antara", sedangkan sasaran akhirnya adalah bentukan dunia rahmatan lil alamin.

Tapi karena dunia dibentuk oleh pribadi-pribadi, maka membangun dunia baru perlu pribadi-pribadi yang memiliki personalitas. Karena itu, orang yang personalitas pribadinya saja belum ditemukan jangan dulu bicara masalah masyarakat hukum, negara, apalagi masalah dunia. Temukan saja dulu personalitas dirinya. Bagaimana dia menjadi pribadi yang otonom, baik secara materi, mental, atau moral. Temukan itu semua sebab tidak mungkin membentuk dunia baru yang tak terhingga sementara membentuk mmah tangga saja tidak pernah beres.

Contoh lain kesiapan mental juga digambarkan dalam QS Ali Imran: 92. Dalam firman-Nya Allah menegaskan jangan kalian bermimpi untuk sampai kepada al birra sebelum kalian menginfakkan apa yang kalian cintai. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia selalu mengabdi pada yang dicintainya, baik itu pasangan hidup, anak, atau perniagaan. Kalau dia berani mencintai sesuatu dengan kadar cinta yang setara atau malah melebihi cintanya kepada Allah, maka dia akan berbakti kepada sesuatu Seperti baktinya kepada Allah. 

Dalam kaitan vertikal kepada Allah, bobot pengabdiannya akan terimbangi sehingga kekhusyuannya akan terpecah. Dalam kaitan horizontal segala titah perintah pimpinan juga akan terkaburkan. Karena itu dalam QS Al Baqarah: 165 Allah menggambarkan salah satu karakteristik orang musyrik adalah tidak tertibnya menempatkan rasa cinta. Kenapa urusan cinta bisa menjatuhkan seseorang menjadi musyrik? Karena seseorang akan mengabdi kepada apa yang dicintainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.