Sejak kecil Rasulullah SAW sudah memiliki rasa solidaritas, mencintai keadilan dan bakat kepemimpinan. Hal ini dibuktikan dalam sejarah dengan peristiwa berikut.
1. Muhammad bin Abdilah ikut terlibat dalam peristiwa Perang Fajar membela kaum Klan Quraisy dengan bersama induk Sukunya Kinanah bertempur.
Perang Fijar adalah perang yang terjadi antara kabilah Quraisy dan sekutu mereka dari Bani Kinanah melawan kabilah Qais dan ‘Aylan. Perang ini meletus pada saat beliau berusia dua puluh tahun. Harb bin Umayyah terpilih menjadi komandan perang membawahi kabilah Quraisy dan Kinanah secara umum karena faktor usia dan kedudukan.
Perang pun meletus, pada permulaan siang hari, kemenangan berada di pihak kabilah Qais terhadap Kinanah namun pada pertengahan hari keadaan terbalik; justru kemenangan berpihak pada Kinanah. Perang ini dinamakan “Perang Fijar” karena dinodainya kesucian Asy-Syahrul Haram pada bulan tersebut. Dalam perang ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut serta dan membantu paman-pamannya menyediakan anak panah buat mereka.
Apa pelajaran yang bisa diambil dalam kisah ini ? Pemuda di zaman dulu sudah semangat ikut berperang. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah melihatku saat akan berangkat Perang Uhud. Ketika itu usiaku empat belas tahun. Beliau tidak mengizinkanku untuk ikut perang saat itu. Lalu beliau melihatku lagi saat mau berangkat Perang Khandaq. Ketika itu usiaku telah mencapai lima belas tahun. Barulah beliau memperbolehkanku untuk ikut perang.” (HR. Muslim, no. 1868)
2. Muhammad ikut bergabung dalam lembaga sosial kemanusian : Hilful Fudul” sebuah koalisi (persekutuan) yang dibentuk atas dasar perlindungan terhadap golongan masyarakat lemah.
Setelah perang Fijar usai, diadakanlah perdamaian yang di kenal dengan istilah Hilful Fudhul, disepakati pada bulan Dzulqa’dah yang termasuk bulan Haram, di rumah Abdullah bin Jud’an At-Taimi. Semua kabilah dari suku Quraisy ikut dalam perjanjian tersebut. Di antara isinya adalah kesepakatan dan upaya untuk selalu membela siapa saja yang dizalimi dari penduduk Mekkah. Dan mereka akan menghukum orang yang berbuat zalim sampai dia mengembalikan hak-haknya.
Penyebab terjadinya perjanjian Hilful Fudhul adalah karena seorang dari Kabilah Zabid di Yaman telah datang ke Mekah bersama barang dagangannya. Ia menjualnya kepada seorang bernama Al-‘Ash bin Wail As-Sahmi. Namun Al-‘Ash enggan membayar. Akhirnya, dilaporkanlah hal itu pada tokoh-tokoh Quraisy, namun tidak ada yang mau menolong pedagang tadi.
Kemudian ia naik ke gunung Abi Qubais, sementara tokoh Quraisy masih berkumpul di tempat mereka selalu berkumpul. Dia berteriak supaya haknya yang terzalimi dikembalikan. Akhirnya bangkitlah Az-Zubair bin ‘Abdul Muthallib, lantas ia berkata, “Orang seperti itu tidak mungkin dibiarkan terzalimi.”
Kemudian berkumpullah Bani Hasyim, Bani Al-Muthallib, Asad bin ‘Abdul ‘Uzza, Zuhrah bin Kilab, Taim bin Murrah, di rumah ‘Abdullah bin Jud’an yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Mereka bersumpah dan berjanji atas nama Allah untuk bersatu padu bersama orang yang dianiaya tadi hingga haknya dikembalikan.
Quraisy mendengar perjanjian itu, mereka lantas berkata, “Sunggung mereka telah masuk dalam sebuah perkara yang mulia. Mereka akhirnya menemui Al-‘Ash bin Wail kemudian mengambil dengan paksa harta Az-Zabidi kemudian mengembalikannya kepada pemiliknya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghadiri perjanjian itu. Mereka mengangkat panji-panji kebenaran dan menghancurkan simbol-simbol kezaliman. Kejadian itu adalah bagian dari kebanggaan bangsa Arab.
Dari ‘Abdullah bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda,
لَقَدْ شَهِدْتُ فِي دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ حِلْفًا مَا أُحِبُّ أَنَّ لِيَ بِهِ حُمْرَ النَّعَمِ ، وَلَوْ أُدْعَى بِهِ فِي الإِسْلامِ لأَجَبْتُ
“Aku menghadiri sebuah perjanjian di rumah Abdullah bin Jud’an. Tidaklah ada yang melebihi kecintaanku pada unta merah kecuali perjanjian ini. Andai aku diajak untuk menyepakati perjanjian ini di masa Islam, aku pun akan mendatanginya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 6:367; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Fiqh As-Sirah, hlm. 67)
C. Naluri dan Bakat Kepemimpinan
Muhammad bin Abdullah memiliki naluri dan bakat kepemimpinan yang tinggi, sehingga mendapat gelat : Al-Amin oleh pembesar-pembesar Quraisy Mekah. Inilah salah satu peristiwa yang tercatat dalam sejarah bahwa Rasullah saw sejak kecil sudah memiliki naluri dan bakat kepemimpinan yang tinggi. Sebelum bi'tsah, Rasulullah Saw. ikut aktif dalam perbaikan Ka'bah. Beliau ikut memanggul batu di atas pundaknya dengan beralaskan sehelai kain. Menurut pendapat yang sahih, peristiwa itu terjadi ketika Rasulullah menginjak usia 35 tahun. Dalam proses perbaikan Ka’bah inilah muncul karakteristik leadership Rasulullah saw sejak remaja.
Dalam Al-Shahih, Imam Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dari Jabir ibn Abdullah ra. yang berkata, “Ketika Ka'bah diperbaiki, Rasulullah Saw. bersama Abbas ikut mengangkut batu. Abbas berkata kepada Rasulullah Saw., 'Letakkanlah kain milikmu di atas pundakmu' Rasulullah pun membungkukkan tubuhnya ke tanah, sedangkan kedua matanya menengadah ke langit seraya bersabda, Tolong perlihatlah kain milikku.' Maka, kain itu pun diikatkan ke tubuh Rasulullah Saw.”
Dalam peristiwa ini, Rasulullah Saw. memainkan peranan sangat penting dalam memecahkan masalah pelik yang menyebabkan semua kabilah bertengkar sengit. Tak kunjung ada keputusan siapa yang paling berhak untuk mendapatkan kehormatan mengembalikan Hajar Aswad di tempat semula. Rasulullah pun berrindak. Semua kabilah diam menerima. Rasulullah Saw. berhasil memecahkan masalah itu dengan sangat brilian. Dengan keadilan dan kebijaksanaan Nabi ini, keluarlah ucapan dari mulut pemuka-pemuka Quraisy itu.
رَضِيْنَا بِالآمِيْنَ
“Kami Meridhai dengan keputusan Al-Amin”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.