Kebijakan sosio ekonomi Musyrikin Kuffar Quraisy dengan strategi dengan strategi boikot sosial dan embargo ekonomi terhadap gerakan da’wah Muhammad dalam bentuk Piagam Isolasi yang digantungkan di Baitullah / Ka’bah,
Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun sejak tahun ke 7 sampai tahun ke 10 bi'tsan nubuwah. Peristiwa besar sebelumnya yang terjadi adalah Quraisy telah mengetahui perginya Muhajirin ke Habasyah dan masuk Islamnya Hamzah dan Umar.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan sehari setelah hari Nahar (Idul Adha) ketika berada di Mina, kita besok akan singgah di Khaif Bani Kinanah, tempat di mana mereka membuat permufakatan kekafiran.” Khaif Bani Kinanah ini dikenal pula dengan sebutan Al-Muhasshab. Di tempat ini, kaum Quraisy dan kaum Kinanah melakukan persengkongkolan untuk memboikot Bani Hasyim dan Bani Al-Muththallib, untuk tidak saling melakukan akad nikah dan bertransaksi jual beli dengan bangsa Quraisy sebelum mereka rela menyerahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum Quraisy. (HR. Bukhari, no. 159 dan Muslim, no. 1314)
Di dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa kaum Quraisy dan Kinanah telah melakukan pemufakatan kekafiran. Artinya, bahwa ketika kaum Quraisy mengetahui pengaruh yang besar bagi masuk Islamnya Hamzah dan Umar radhiyallahu ‘anhu sehingga Islam menyebar ke kabilah-kabilah di Mekah, serta kesepakatan Bani Muththalib dan Bani Hasyim (keluarga besar Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam), baik mereka yang sudah masuk Islam atas dasar keimanannya maupun yang masih kafir atas dasar fanatisme keluarga, untuk membela dan menjaga Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ketika Quraisy mengetahui hal tersebut, mereka pun melakukan pertemuan dan akhirnya bersepakat untuk tidak mengadakan hubungan tali pernikahan atau bisnis dan tidak akan berbicara dengan mereka sebelum mereka rela menyerahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Untuk mengokohkan kesepakatan tersebut, maka poin-poinnya mereka tulis dalam satu lembar papan lalu mereka gantungkan di tembok Ka’bah.
Ibnu Ishaq mengatakan, “Maka Bani Hasyim dan Bani Al-Muththalib ikut bergabung seluruhnya dengan Abu Thalib, kecuali Abu Lahab karena ia bergabung dengan orang Quraisy. Permulaan pemboikotan ini terjadi pada hari pertama bulan Muharram tahun ketujuh kenabian.” Lihat Fath Al-Bari, 7:192.
Disebutkan dalam beberapa sanad dari Musa bin ‘uqbah dan dari Ibnu Ishaq, juga dari yang lainnya, bahwa orang-orang kafir Quraisy telah bersepakat untuk membunuh Rasulullah saw . Kesepakatan dan keputusan ini disampaikan kepada Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib. Tetapi bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib tidak mau menyerahkan Rasulullah saw kepada mereka. Setelah kaum Quraisy tidak berhasil membunuh Rasulullah saw , mereka sepakat untuk mengucilkan Rasulullah saw dan kaum Muslimin yang mengikutinya, serta Bani Hasyim dan bani Abdul Muththalib yang melindunginya.
Untuk tujuan ini mereka telah menulis suatu perjanjian, bahwa mereka tidak akan mengawini dan berjual beli dengan mereka yang dikucilkan. Tidak akan menerima perdamaian dan tidak akan berbelas kasihan kepada mereka sampai Bani Muththalib menyerahkan Rasulullah saw kepada mereka untuk dibunuh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sahabat dan kerabatnya terisolasi di sebuah lembah, bersama dengan anak-anak dan orang tua, perempuan dan laki-laki, anak yang masih menyusui maupun orang tua renta. Semua ikut mengungsi dan terisolasi di lembah Syi’ib Abu Thalib, dan pasokan logistik, makanan dan minuman dilarang masuk ke sana. Ketika itu Abu Thalib bin Abdul Muthallin termasuk seorang saudagar yang kaya. Dia lah pemilik Asy-Syi’bi (jalan setapak di bukit/di antara dua bukit), sehingga bisa melindungi kaum muslimin di daerah tersebut.
Adapun isi dari undang-undang pemboikotan tersebut sebagai berikut. 1. Muhammad beserta seluruh kaumnya dan semua yang masih punya hubungan dengan keluarga dengannya, tidak diperbolehkan menikah dengan orang dari kaum Quraisy, baik laki-laki maupun perempuan. 2. Tidak diperkenankannya Muhammad, keluarga, serta pengikutnya untuk kegiatan berniaga dengan orang Quraisy. 3. Tidak boleh ada pergaulan apalagi persahabatan antara kaum Quraisy dengan kaum keluarga Muhammad serta pengikutnya. 4. Tidak diperkenankan ada rasa kasih menyayangi antara kaum Quraisy dengan keluarga kaum Muhammad dan seluruh pengikut Muhammad. 5. Dengan digantungya undang-undang suci dari kedua belah tersebut di dalam Ka’bah, maka secara otomatis resmi dan disepakati bersama berlaku sebagaimana yang telah ditetapkan. 6. Undang-undang tersebut berlaku abadi sampai Muhammad diserahkan kepada kaum Quraisy oleh kedua keluarga Bani untuk dibunuh.
Menurut riwayat yang mahsyur, undang-undang pemboikotan oleh kaum Quraisy kepada Muhammad, kaum keluarga, serta pengikutnya tersebut ditulis oleh seseorang yang bernama Manshur bin Ikrimah. (Chalil, 2001, hal. 29-31) Pendapat para ulama ahli tarikh terkait dengan siapa yang menulis undang-undang tersebut terdapat sedikit perselisihan. Sebagian mengatakan Baghidh bin Amir, sebagian lagi mengatakan Amr, sebagian mengatakan Nedhar bin Harits, sebagian mengatakan Hisyam bin Amr, sebagian mengatakan Thalhah bin Abi Thalhah, dan sebagian mengatakan Manshur bin Ikrimah. Ternyata riwayat yang mansyhur mengatakan bahwa Manshur bin Ikrimah adalah penulis dari undang-undang tersebut. Diambil menurut keterangan Imam Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya.
Tetapi riwayat Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa penulisan perjanjian pemboikotan dilakukan setelah para sahabat Rasulullah saw berhijrah ke Habasyiah dan sesudah Umar masuk Islam. Bani hasyim, bani Muththalib dan kaum Muslimin termasuk di dalamnya Rasulullah saw dikepung dan dikucilkan di syi’ib (pemukiman) Bani Muththalib ( di Mekkah) terdapat beberapa syi’ib). Di pemukiman inilah kaum Muslimin dan kaum kafir dari Bani Hasyim dan Bani Muththalib berkumpul. Kecuali Abu Lahab (Abdul Izzi bin Abdul Muththalib) karena dia telah bergabung dengan Quraisy dan menetang Nabi saw dan para sahabatnya. Kaum Muslim menghadapi pemboikotan ini dengan dorongan agama (Islam), sementara kaum kafir mengahadapi karena dorongan fanatisme kabilah (hmiyyah). Rasulullah saw bersama kaum Muslim berjuang menghadapi pemboikotan yang amat ketat ini selama tiga tahun.
Begitu keras embargo yang dilakukan oleh orang Quraisy sehingga terputus pasokan logistik, mereka tidak membiarkan ada pasokan apa pun yang datang kepada keluarga Nabi di Syi’ib Abu Thalib ini. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa begitulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama keluarganya terkucilkan dan terisolasi, mereka diboikot selama tiga tahun sehingga mereka hidup dalam kesulitan yang parah karena semua pasokan kebutuhan hidup mereka dilarang masuk, sehingga bayi dan anak-anak menangis hingga tangisan mereka terdengar sampai kejauhan keluar lembah tempat pengungsian mereka. Lihat Zaad Al-Ma’ad, 3:27.
Di dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa mereka menderita kekurangan bahan makanan hingga mereka terpaksa harus makan dedauanan. As-Suhail menceritakan : Tiap ada kafilah datang ke Mekkah dari luar daerah, para sahabat nabi saw yang berada di luar kepungan datang ke pasar untuk membeli bahan makanan bagi keluarganya. Akan tetapi tidak dapat membeli apapun juga karena dirintangi oleh Abu Lahab yang selalu berteriak menghasut,” Hai para pedagang, naikkanlah harga setinggi-tingginya agar para pengikut Muhammad tidak mampu membeli apa-apa. Kalian mengetahui betapa banyak harta kekayaanku dan aku pun sanggup menjamin kalian tidak akan merugi.” Teriakan Abu Lahab itu dituruti oleh para pedagang, dan mereka menaikkan harga barangnya berlipat ganda, sehingga kaum Muslim terpaksa pulang ke rumah dengan tangan kosong, tidak membawa apa-apa untuk makan anak-anaknya, yang kelaparan.
Kondisi sulit seperti itu terus berlangsung sehingga ada sebagian kerabat dari orang-orang yang ikut mengungsi di lembah itu berupaya untuk merusak papan perjanjian pemboikotan itu untuk menghilangkan kezaliman ini.
Pada awal tahun ketiga dari pemboikotan dan pengepungan ini, bani Qushayyi mengecam pemboikotan tersebut. Mereka mmutuskan bersama untuk membatalkan perjanjian. Dalam pada itu Allah telah mengirim anai-anai (rayap) untuk menghancurkan lembaran perjanjian tersebut, kecuali beberapa kalimat yang menyebutkan nama Allah. Kejadian ini oleh Rasulullah saw diceritakan kepada pamannya Abu Thalib , sehingga Abu Thalib bertanya kepadanya,”Apakah Tuhanmu yang memberitahukan itu kepadamu?” Jawab Nabi saw,”Ya”, Kemudian Abu Thalib bersama sejumlah orang dari kaumnya berangkat mendatangi kaum Quraisy dan meminta kepada mereka seolah-olah ia telah menerima persyaratan yang pernah mereka ajukan. Akhirnya mereka mengambil naskah perjanjian dalam keadaan masih terlipat rapi.
Kemudian Abu Thalib berkata,” Sesungguhnya putra saudaraku telah memberitahukan kepadaku, dan dia belum pernah berdusta kepadaku sama sekali, bahwa Allah telah mengirim anai-anai kepada lembaran yang kamu tulis. Anai-anai itu telah memakan setiap teks perjanjian yang aniaya dan memutuskan hubungan kerabat. Jika perkataannya itu benar, maka sadarlah kamu dan cabutlah pemikiranmu yang buruk itu. Demi Allah , kami tidak akan menyerahkan hingga orang terakhir dari kami mati. Jika apa yang dikatakannya itu tidak benar, kami serahkan anak kami kepadamu untuk kamu perlakukan sesuka hatimu.”
Mereka berkata ,” Kami setuju dengan apa yang kamu katakan.” Kemudian mereka membuka naskah dan didapatinya sebagaimana yang diberitahukan oleh orang ynag jujur lagi terpercaya ( Nabi saw). Tetapi mereka menjawab,” Ini adalah sihir anak saudaramu”. Dan mereka pun semakin bertambah sesat dan memusuhi.
Setelah peristiwa ini lima orang tohoh Quraisy keluar membatalkan perjanjian dan mengakhiri pemboikotan. Mereka adalah Hisyam bin Umar bin al-haritz, Zubair bin Umayah, Muth’am bin ‘Adi, Abu Al-Bukhturi bin Hisyam, dan Zam’ah bin al-Aswad.
Orang yang pertama kali bergerak membatalkan perjanjian secara terang-terangan adalah Zuhair bin Umayah. Dia datang kepada orang-orang yang berkerumun di samping Ka’bah dan berkata kepada mereka,” Wahai penduduk Mekkah , apakah kita bersenang-senang makan dan minum, sedangkan orang-orang Bani Hasyim dan Bani Muththalib kita biarkan binasa, tidak bisa menjual dan membeli apa-apa? Demi Allah, aku tidak akan tinggal diam sebelum merobek-robek naskah yang dzalim itu.
Kemudian empat orang lainnya mengucapkan perkataan yang sama. Lalu Muth’am bin ‘Adi bangkit menuju naskah perjanjian dan merobek-robeknya. Setelah itu kelima orang tersebut bersama sejumlahorang datang kepada Bani Hasyim dan Bani Muththalib serta kaum Muslimin lalu memerintahkan agar mereka kembali ke tampat masing-masing sebagaimana biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.