Mekkah Dan Ummul Quro


Al-Quran menegaskan bahwa Mekkah pada periode Makiyyah disebut dengan Ummul Quro atau "ibu kota". Mekkah pada awal bi’tsah nubuwah memiliki dua status yaitu statusnya sebagai lembaga kepemimpinan Jahiliyah non-wahyu dan statusnya sebagai wilayah syirik (ad-dar asy-syirk) dalam konteks aqidah. 

Kedua status politik dan aqidah sebagai ummul quro tersebut disimbolisasi dengan hadirnya dua bangunan yang sangat terkenal yaitu Darun Nadwah yang merupakan rumah tak berdinding sebagai tempat musyawarah para petinggi Kabilah dan suku-suku di Mekkah dan hadirnya Hubbal sebagai berhala terbesar yang disembah oleh masyarakat Arab. Kehadiran berhala ini tidak menegasikan Allah sebagai tuhan pencipta (khaliqan), tetapi yang dinegasikan adalah Allah sebagai Rabban Maqsudan, Mulkan Mutho’an dan Ilahan Ma’budan.

Allah SWT berkehendak untuk merubah situasi dan kondisi Mekkah ini dengan mengutus Rasulullah SAW. 

وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مُصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَلِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَهُمْ عَلَى صَلاتِهِمْ يُحَافِظُونَ 

“Dan ini (Al-Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan Kitab-Kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al-Quran) dan mereka selalu memelihara sembahyangnya.” Qs. 6:92

وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا وَتُنْذِرَ يَوْمَ الْجَمْعِ لا رَيْبَ فِيهِ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيرِ (٧)

“Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al-Quran dalam bahasa Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura (penduduk Mekah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya[1339] serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. segolongan masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam.” Qs. 42:7

Kedua hal ini yaitu status qiyadah dan status aqidah adalah perkara-perkara ushul dalam Dinul Islam. Tegaknya ishlahul aqidah secara integral harus bersamaan dengan tegaknya qiyadah dalam masyarakat. Karena tidak mungkin hadir ishlahul aqidah kecuali harus diiringi dengan tegaknya kepemimpinan qurani di masyarakat sebagai washilah meraih rahamatan lil alamin. Prinsip inilah yang secara gamblang ditemukan dalam ayat-ayat berikut ini.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ 

مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلالَةُ فَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (٣٦)

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” Qs. 16:36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.