Syuro Saqifah Bani Saidah


Nabi Besar Muhammad SAW wafat pada hari Senin waktu Dhuha pada tanggal 12 Rabiul-Awwal tahun 11 Hijrah, yang menurut Muhammad Ridha di dalam karyanya Muhammad Rasul Allah bertepatan dengan tanggal 9 Juni 632 M. Sampai wafatnya, Rasulullah SAW tidak pernah menunjuk dan menetapkan penggantinya. Hal inilah yang menimbulkan permasalahan tentang pimpinan kekuasaan tertinggi (al-Imamat) sepeninggal Nabi Muhammad SAW. 

Imam Al Bukhari (wafat 256 H/870 M) di dalam sebuh Al Hadits yang diriwayatkannya, yang dikatakan berasal dari Ibnu Abbas (wafat 68 H/688 M) menceritakan peristiwa di bawah ini. Ali ibn Abi Thalib (wafat 41 H/611 M), yang pada saat itu masih berusia 34 tahun, keluar dari sisi Nabi Besar Muhammad dan para Mukmin yang berkumpul di luar rumah Ummul-Mukminin Aisyah itu lantas mengerubunginya dan bertanyakan perikeadaan Nabi.

Pada saat itulah Abbas ibn Abdil-Muthalib (wafat 33 H / 653 M) menarik tangan keponakannya itu, membebaskannya dari kerumunan orang banyak itu, membawanya ke suatu tempat, dan berlangsung percakapan sebagai berikut
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ أَبِي حَمْزَةَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الْأَنْصَارِيُّ وَكَانَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ أَحَدَ الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ تِيبَ عَلَيْهِمْ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ خَرَجَ مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَجَعِهِ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ فَقَالَ النَّاسُ يَا أَبَا حَسَنٍ كَيْفَ أَصْبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَصْبَحَ بِحَمْدِ اللَّهِ بَارِئًا فَأَخَذَ بِيَدِهِ عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ لَهُ أَنْتَ وَاللَّهِ بَعْدَ ثَلَاثٍ عَبْدُ الْعَصَا وَإِنِّي وَاللَّهِ لَأَرَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْفَ يُتَوَفَّى مِنْ وَجَعِهِ هَذَا إِنِّي لَأَعْرِفُ وُجُوهَ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عِنْدَ الْمَوْتِ اذْهَبْ بِنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْنَسْأَلْهُ فِيمَنْ هَذَا الْأَمْرُ إِنْ كَانَ فِينَا عَلِمْنَا ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِنَا عَلِمْنَاهُ فَأَوْصَى بِنَا فَقَالَ عَلِيٌّ إِنَّا وَاللَّهِ لَئِنْ سَأَلْنَاهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنَعَنَاهَا لَا يُعْطِينَاهَا النَّاسُ بَعْدَهُ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أَسْأَلُهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Telah menceritakan kepadaku Ishaq Telah mengabarkan kepada kami Bisyr bin Syu'aib bin Abu Hamzah dia berkata; Telah menceritakan kepadaku Bapakku dari Az Zuhri dia berkata; Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ka'ab bin Malik Al Anshari, -Ka'ab adalah salah satu dari tiga orang yang di beri ampunan.-bahwa Abdullah bin Abbas telah menceritakan kepadanya; 

Ali bin Abu Thalib keluar dari menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam saat beliau sakit yang menyebabkan kematian beliau, orang-orang bertanya; "Wahai Abu Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Ia menjawab; "Alhamdulillah beliau sudah sembuh." Ibnu Abbas berkata; Abbas bin Abdul Muththalib memegang tangannya dan berkata; "Demi Allah, tidakkah kamu lihat tiga hari lagi? sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam akan wafat karena sakitnya ini. 

Sesungguhnya aku mengetahui wajah bani Abdul Muththalib ketika menghadapi kematiannya. Mari kita menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu kita tanyakan kepada siapa perkara (kepemimpinan) ini akan diserahkan? Jika kepada (orang) kita, maka kita mengetahuinya dan jika pada selain kita maka kita akan berbicara dengannya, sehingga ia bisa mewasiatkannya pada kita." 

Lalu Ali bin Abi Thalib RAdliallahu 'anhu berkata; "Demi Allah. Bila kita memintanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu beliau menolak, maka selamanya orang-orang tidak akan memberikannya kepada kita. Karena itu, demi Allah, aku tidak akan pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." (HR Bukhari NO – 4092)

Hadits di atas ini memperlihatkan bahwa pimpinan kekuasaan tertinggi sepeninggal Nabi Besar Muhammad itu telah menjadi masalah dalam lingkungan keluarga terdekat dari Nabi Muhammad sendiri.

Selisih pendapat dan pendirian mengenai masalah itu, terjadi ketika jenazah Nabi Besar Muhammad sendiri masih terbaring dalam rumah Ummul-Mukminin Aisyah. Perbedaan tajam terjadi antara kalangan Al Anshar dengan kalangan Al Muhajirin. 

Perlu diketahui bahwa Rasulullah SAW membentuk organisasi yang terdiri dari sembilan tokoh dari sukubesar Khazraj dan tiga tokoh dari sukubesar Aus, sebelum hijrah ke Yatsrib. Merekalah yang disebut dengan kedudukan Al Nuqabak (Pembesar Pengawas) bagi gerak langkah kaum muslimin di Yatsrib. Ke dua belas suku tersebut diantaranya Bani (turunan) Saidah, Bani Auff, Bani Harits, Bani Najar, Bani Mazan, Bani Ajlan, Bani Adi, Bani Wail, Bani Saad, Bani Amir, Bani Yazid. Bani Saidah adalah keluarga termulia dalam lingkungan suku-suku Khazraj. Tokoh paling pertama dari dua belas Pembesar Pengawas (Al Nuqabak) itu yang ditunjuk Rasulullah SAW pada Bai’at Aqobah II, yang ditamsilkan Nabi Besar Muhammad saat itu dengan Duabelas Hawariyun bagi Nabi Isa, adalah Saad ibn Ubadah (wafat 15 H/636 M) dari Bani Saidah suku besar Khazraj. 

Para Mukmin dari kedua sukubesar itulah yang dipanggilkan dengan Al Anshar, yakni: para penolong. Di bawah lindungan dan pembelaan kedua sukubesar itulah berkembang agama Islam meliputi seluruh semenanjung Arabia. 

Pasar Madinah atau Sauq Al Madinah memiliki tempat khusus bagi para Nuqaba ini, bentuknya adalah sebuah Saqifah (bangsal/balai). Saqifah ini dimiliki Bani Saidah yang terletak pada sisi Sauq-al-Madinah itu. Saqifah ini di dalam suasana biasa merupakan tempat rehat secara santai. Tetapi di dalam hal-hal yang terpandang luar biasa merupakan tempat sidang dan tempat musyawarah. 

Disanalah dilakukan pertemuan para tokoh-tokoh kaum Anshar untuk membahas suksesi kepemimpinan pasca wafatnya Rasulullah SAW. Pertemuan ini dilaksanakan tanpa diketahui tokoh-tokoh Muhajirin. Ketika itu sebagian tokoh-tokoh besar muhajirin sedang berkumpul di depan rumah Aisyah tempat Rasulullah SAW wafat. 

Pada saat Nabi Besar Muhammad telah terberitakan wafat maka kalangan Al Anshar mengadakan sidang pada Saqifah (Balai/Bangsal) Bani Saidah itu. Saad ibn Ubadah selaku pemimpin para Nuqaba, juga sekaligus yang memiliki Saqifah Bani Saidah, menginisiasi pertemuan tersebut sekalipun tengah sakit. Ia di papah orang guna menghadiri sidang itu. Ia di minta berbicara. Karena suaranya sudah lemah, maka ia meminta puteranya menyampaikan segala tutur katanya.

Kitab Tarikh-al-Thabari yang ditulis oleh Ibnu Jarir Ath Thabari (wafat 311 H/923 M), mencatat isi pidato Saad ibn Ubadah pada saat itu berbunyi sebagai berikut,  
"Kamu, hai kalangan Al Anshar, terdahulu di dalam Agama, termulia di dalam Islam, yang tidak dimiliki kabilah Arab lainnya. Muhammad SAW berdiam belasan tahun dalam lingkungan kaumnya, menyampaikan dakwah supaya menyembah Al Rahman, mengesakan Al Rahman, melepaskan lain-lain pujaan. Tetapi cuma sedikit yang mau ber-Iman, hingga mereka itu tidak mampu menjamin keselamatan Rasul Allah, tidak mampu memperkembang dinnya, bahkan tidak mampu membela diri mereka sendiri."

 "Allah menganugerahkan rahmat dan nikmat kepada kamu, kemuliaan dan kehormatan, dengan menganugerahkan Iman kepa-da-Nya dan kepada rasul-Nya. Membela rasul-Nya itu dan segala sahabatnya, memuliakannya dan memperkembang agamanya, berJihad menantang segala musuhnya." 

"Kamu bersikap keras terhadap segala musuhnya, hingga bangsa Arab pada akhirnya tunduk kepada agama Allah. Allah memberkahi bumi tempat kediaman kamu ini. Dengan pedang kamu itulah tunduk bangsa Arab. Allah mewafatkannya kini, sedangkan dia sendiri menaruh rela kepada kamu, menjadi buah hatinya. Tetapi mereka itu (Al Muhajirin) bertindak hendak merebut pimpinan. Pimpinan itu adalah hak kamu, bukan hak siapapun di luar kamu." 

Jikalau benar bahwa begitulah bunyi pidato Saad ibn Ubadah itu, yakni kata demi kata, maka dapatlah dibayangkan betapa dahsyatnya pengaruh pidato tersebut terhadap kalangan Al Anshar. Temtama bagi pihak awwam di dalam kalangan Al Anshar. Hampir-hampir saja kalangan yang hadir menunjuk dan mengangkat Saad ibn Ubadah memegang pimpinan tertinggi, menggantikan Nabi Besar Muhammad. Saad ibn Ubadah sendiri punya hasrat yang besar sekali untuk memegang jabatan tersebut. Bahkan sidang kalangan Al Anshar itu diadakan atas anjurannya dan desakannya.

Ibnu Ishaq menceritakan, 
“ ... Tiba-tiba seseorang datang kepada Abu Bakar dan Umar bin Khattab, kemudian berkata, “Sesunguhnya kaum Anshar berpihak kepada Sa’ad bin Ubadah di saqifah Bani Saidah. Jika kalian berdua ada keperluan dengan mereka, segeralah pergi ke tempat mereka, sebelum perkara ini membesar”. Saat itu janazah Rasulullah SAW belum diurus dan pintu rumah beliau ditutup keluarga beliau. Umar bin Khattab berkata kepada Abu Bakar, “Mari kita pergi kepada saudara-saudara kita dari kaum Anshar agar kita mengetahui apa yang terjadi pada mereka”.    

Kalangan Al Muhajirin yang berkerumun-kerumun sekitar rumah Ummul-Mukminin Aisyah dan sekitar Masjid Nabawi itu cepat beroleh berita tentang persidangan kalangan Al Anshar itu. Semuanya ingin datang berbondong-bondong ke tempat persidangan itu akan tetapi di cegat oleh Abu Bakar Al Shiddiq.

Setelah berunding maka kalangan Al Muhajirin itu cuma mengirim tiga tokoh bagi menghadiri persidangan itu, yaitu: Abu Bakar Al Shiddiq dan Umar ibn Khattab dan Abu Ubaidah ibn Jarrah. Hal itu diputuskan guna menghindarkan sesuatu kemungkinan. Ketika ketiga tokoh ini datang ke Saqifah pertemuan baru akan dimulai, di tengah-tengah hadirin terdapat Saad bin Ubadah yang sedang berselimut, Umar sempat bertanya,”Siapa orang ini ?” Hadirin menjawab, “Saad bin Ubadah”. Kata Umar, “Ada apa dengannya ?”, mereka menjawab, “Ia sedang demam”. 

Ketiga tokoh muhajirin tersebut sempat mendengarkan pidato Saad bin Ubadah diatas. Bisa dibayangkan bagaimana ekspresi ketiga tokoh Muhajirin yang mendengar pidato Saad tersebut. Umar hampir tidak mampu menahan diri dan ingin maju ke depan bagi menangkis pidato tersebut tetapi dapat di cegat oleh Abu Bakar Al Shiddiq.

Abu Bakar Al Shiddiq, tokoh tua yang disegani segala pihak itu, maju ke depan dengan sikap yang tenang. Tokoh tua itu dikenal dan dihormati dengan panggilan Tsaniu-Itsnain, yakni tokoh kedua pada persembunyian di dalam gua Al-Tsur, menuruti panggilan yang diberikan Allah Rabbul Izzati di dalam Ayat Al Qur-an (Surah Al Taubat, ayat 41). 

Dengan sikapnya yang tenang itu ia pun berikhtiar menenangkan suasana. Setelah mengucapkan puji-pujian terhadap Allah Maha Kuasa dan terhadap Rasul-Nya maka ia pun memberikan penjelasannya. Ia pun mengemukakan jasa-jasa besar yang telah disumbangkan kalangan Al Anshar selama ini, baik terhadap kalangan Al Muhajirin sendiri maupun bagi pengembangan agama Islam, dan kemudian menjelaskan kedudukan Rasul Allah di dalam hubungannya dengan suku besar Quraisy. 

Di antara perkataannya, menurut Tarikh-al-Thabari, berbunyi,
"Allah telah menganugerahkan kepada Al Muhajirin itu sebagai pihak yang paling pertama membenarkannya, ber-Iman dengannya, menderita bersamanya, mernikul segala macam azab-siksa, sewaktu sekaliannya masih menantangnya dan memusuhi-nya. Sekalipun begitu tidaklah kecut walaupun jumlah masih sedikit." "Mereka itulah pihak yang pertama-tama menyembah Allah kembali di muka bumi, beriman dengan Allah dan dengan Rasul-Nya. Mereka itulah keluarganya dan lebih berhak dengan pimpinan sepeninggalnya. Tiada siapapun dapat membantah hal itu kecuali pihak yang sengaja melupakan kenyataan tersebut." 

"Kamu,  masyarakat Al Anshar, tiada siapapun dapat membantah keutamaan kedudukan kamu di dalam Agama, masuk pihak yang terdahulu di dalam Islam. Allah Maha Kuasa telah rela memanggilkan kamu dengan para Penolong (Al Anshar), baikpun bagi Agama maupun bagi Rasul-Nya." "Dia telah berHijrah kepada kamu, dan di dalam lingkungan kamu berada para isterinya dan para sahabatnya. Sesudah pihak Al Muhajirin, maka tiada suatu pihak pun mempunyai kedudukan tinggi seperti kamu. Kami adalah Umarak (Para Penguasa) dan kamu adalah Wuzarak (para Wazir). Kamu adalah tempat berunding dan tiada suatu keputusan pun tanpa kamu."  

Ketenangan sikap dan ketenangan bicara dari tokoh tua itu, yang dipanggilkan Tsaniu-Itsnain pada Gua Al-Tsur itu, tiada sedikit kesan dan pengaruhnya bagi hadirin. Tetapi tidaklah semuanya mampu membebaskan dirinya dari kepala panas. Pihak yang betul-betul kena pengaruh oleh pidato tokoh tua itu adalah sukubesar Aus. Akan tetapi beberapa tokoh terkemuka di dalam lingkungan sukubesar Khazraj masih memperdengarkan sanggahannya.

Hubab ibn Munzir Al Anshari, dari keluarga Bani Salma, termasuk tokoh terkemuka dalam lingkungan suku besar Khazraj. Ia pun cepat menangkis pidato Abu Bakar Al Shiddiq itu, yang menurut Tarikh-Al-Thabari, diantaranya berbunyi,
"Kamu, hai masyarakat Al Anshar, memegang tampuk kekuasaan di tangan kamu. Mereka itu berada di bawah lindungan kamu, di bawah naungan kamu. Tiada siapapun mampu membantah kenyataan itu. Semuanya tergantung pada pendirian kamu." 

"Kamu pemilik kemuliaan dan kekayaan, berjumlah besar, tabah, berpengalaman, berkekuatan, berkemampuan. Mereka itu senantiasa menyaksikan apa yang kamu lakukan." 

"Jangan kamu sempat berbeda pendapat hingga kedudukan kamu lemah. Jikalau mereka itu enggan menerima kenyataan itu maka jalan satu-satunya ialah: Kami punya Amir dan kamu punya Amir !"  

Pidato Hubab ibn Munzir Al Anshari itu cukup keras. Paling akhir memberikan jalan keluar bagi kemelut itu, yaitu: Perpecahan.! Umar bin Khattab dalam kisahnya di kemudian hari menceritakan bahwa ketika Hubbab selesai menyampaikan pendapatnya ini kemudian berikutnya terjadi kegaduhan dan teriakan-teriakan sehingga Umar sangat khawatir terjadi perselisihan. 

Umar ibn Khattab sudah tidak mampu menahan diri saat itu dan lalu maju ke depan menangkis pidato itu, yang di antara lainnya menurut Tarikh-al-Thabari, berbunyi,
"Tidak mungkin bahwa dua berada dalam satu tanduk. Allah niscaya akan tidak rela bahwa kamu memegang tampuk kekuasaan, sedangkan Nabi bukan dari lingkungan kamu. Bangsa Arab sendiri niscaya akan tidak enggan menerima pimpinan pihak, yang Nabi berada dari lingkungannya." "Itu adalah suatu kenyataan, yang merupakan alasan terkuat bagi setiap pihak yang menantang. Siapa yang menantang wewenang Muhammad dan kekuasaannya?" "Kami adalah para walinya dan keluarganya. Pihak yang mempertahankan kebatalan dan ingin membikin keonaran maka pihak itulah cuma yang ingin berkeras kepala !"  

Tangkisan Umar ibn Khattab itu terlampau tajam dan keras. Tidaklah heran jika reaksi Hubab ibn Munzir Al Anshari lebih keras lagi, yang menurut Tarikh-al-Thabari, berbunyi,
"Kamu, hai keluarga Al Anshar, kokohkan persatuan. Jangan dengarkan ucapannya dan sahabatnya. Kamu akan kehilangan hak pimpinan. Jikalau mereka itu tidak mau dengar terhadap apa yang kamu tuntut itu, maka usir mereka itu dari daerah ini. Kamu akan lantas menentukan segalanya." "Kamu lebih berhak memegang pimpinan daripada mereka itu. Dengan kekuatan pedang kamu-lah berkembang Agama ini, dan tunduk seluruh bangsa Arab. Jikalau mereka itu tetap berkeras kepala, demi Allah, mari kita ulang kembali sejarah lama !"  

Reaksi itu sangat keras sekali. Jalan keluar yang diberikan bukan lagi sekadar pembagian Kekuasaan akan tetapi Perang-Suku yang berkelanjutan menuruti tradisi tua. Umar menangkis dengan garang, "Allah akan membunuhmu!" Hubab menjawab lebih garang: "Engkau, yang akan dibunuh Allah!".  

Suasana yang memuncak tegang itu cepat di atasi oleh dua tokoh, yaitu Abu Ubaidah ibn Jarrah dari pihak Al-Muhajirin dan Basyir ibn Saad dari pihak Al-Anshar. Abu Ubaidah ibn Jarrah (dikenal dengan Amirul Umara) maju ke depan. Pembawaannya dan sikapnya yang menimbulkan hormat bagi siapapun, menyebabkan suasana reda kembali. Ia pun berkata, 
"Sahabat-sahabatku dari kalangan Al Anshar! Kamu adalah pihak yang pertama-tama menyokong dan membantu. Janganlah kamu menjadi pihak yang pertama-tama berobah dan berganti pendirian."  

Pidatonya itu singkat akan tetapi menusuk hulu hati para pendengarnya. Semuanya terdiam dan menekurkan kepala. Pada saat itulah Basyir ibn Saad ibn Tsalaba ibn Jallas, termasuk tokoh utama di dalam sukubesar Khazraj, maju ke depan dan berkata, 
"Saudara-saudaraku, kalangan Al Anshar! Kita semuanya, demi Allah, memperoleh kedudukan termulia dan paling pertama di dalam ber-Jihad terhadap kaum Musyrikin, dan terdahulu di dalam Agama. Semuanya itu kita lakukan, tidak lain tidak bukan, mengharapkan ridha-Ilahi dan tunduk kepada Nabi kita dan kehormatan diri kita. Maka tidaklah layak bagi kita mempersoalkan sekaliannya itu." "Bukankah Muhammad itu dari suku besar Qurais. Justru kaumnya lebih berhak dan layak memegang pimpinan. Demi Allah, saya sendiri akan tidak membantahnya dalam persoalan itu. Marilah kita sama berTaqwa kepada Allah. Janganlah kita saling berbantah dan bertengkar.” 

Pendirian yang diucapkan itu merupakan suasana segar. Diucapkan oleh tokoh utama di dalam lingkungan suku besar Khazraj sendiri. Abu Bakar mengatasi suasana baru yang segar itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Abu Bakar Al Shiddiq. Ia pun maju ke depan dan berkata,
"Marilah kita semuanya kini memusatkan perhatian kepada dua tokoh dan silahkan pilih, yaitu Umar ibn Khattab ataupun Abu Ubaidah ibn Jarrah."  

Pada saat itulah Basyir ibn Saad dan Abu Ubaidah ibn Jarrah, dengan sikap yang spontan, terdengar berteriak,
"Mana mungkin hal itu! Demi Allah, kami akan tidak menyerahkan pimpinan kecuali kepadamu. Engkau adalah tokoh termulia dalam kalangan Al Muhajirin dan Tsaniu-Itsnain di dalam Gua bersama Rasul Allah, dan pengganti Rasul Allah di dalam Imamah Shalat. Shalat itu sendi Agama paling utama. Lantas, siapakah mampu membelakangimu dan siapakah yang lebih layak daripadamu ?! Silahkan ulurkan tanganmu dan kami akan mengangkat Bai'at terhadapmu." 

Keduanya maju ke depan Abu Bakar, menjabat tangannya dan mengucapkan Bai'at, disusuli oleh Umar ibn Khattab. Tindakan Basyir ibn Saad Al Anshari itu, tokoh utama di kalangan Al Anshar, bagaikan pancaran arus listrik terhadap tokoh tokoh Al Anshar saat itu dan bagi pihak Awwarn. Sekalian hadirin, dengan sikap spontan dan saling desak berdesak, maju ke depan menjabat tangan Abu Bakar Al Shiddiq dan mengangkat Bai'at. 

Bai’at yang terjadi di Saqifah ini adalah bai’at pengukuhan Abu Bakar sebagai Khalifah, dalam teori politik disebut dengan Bai’atul In’iqad. Bai’atu al-In’iqad adalah bai’at untuk pengukuran seorang Imam atau Kepala Negara, “Sebab ba’iat in’iqad menjadikan orang yang dibai’at sebagai pemilik kekuasaan, dan menjadikannya berhak untuk ditaati, di bantu dan dipatuhi”. 

Dengan demikian, Abu Bakar dengan resmi di lantik sebagai kepala negara atau khalifah Rasul Allah. Musyawarah telah berakhir dengan sukses dengan suatu keputusan sebagai kunci pembuka kehidupan kenegaraan Islam.  Mahmud Al Khalidi dalam bukunya Al-Bai’ah fil Fikri as-Siyaasi al-Islami menyebutkan, 
“Peristiwa-peristiwa yang yang terjadi di Saqifah Bani Saidah menyatakan dengan tegas bahwa para sahabat membai’at Abu Bakar RA untuk menduduki kekhalifahan. Maka dengan bai’at ini, Abu Bakar merupakan Kepala Negara Islam yang pertama setelah Rasulullah SAW.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.