Bai’at yang terjadi di Saqifah ini adalah bai’at pengukuhan Abu Bakar sebagai Khalifah, dalam teori politik disebut dengan Bai’atul In’iqad. Bai’atu al-In’iqad adalah bai’at untuk pengukuran seorang Imam atau Kepala Negara, “Sebab ba’iat in’iqad menjadikan orang yang dibai’at sebagai pemilik kekuasaan, dan menjadikannya berhak untuk ditaati, di bantu dan dipatuhi”.
Dengan demikian, Abu Bakar dengan resmi di lantik sebagai kepala negara atau khalifah Rasul Allah. Musyawarah telah berakhir dengan sukses dengan suatu keputusan sebagai kunci pembuka kehidupan kenegaraan Islam. Mahmud Al Khalidi dalam bukunya Al-Bai’ah fil Fikri as-Siyaasi al-Islami menyebutkan,
“Peristiwa-peristiwa yang yang terjadi di Saqifah Bani Saidah menyatakan dengan tegas bahwa para sahabat membai’at Abu Bakar RA untuk menduduki kekhalifahan. Maka dengan bai’at ini, Abu Bakar merupakan Kepala Negara Islam yang pertama setelah Rasulullah SAW.”
Kesepakatan dan bai’at terhadap Abu Bakar ini terjadi pada hari Senin sorenya menjelang malam pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 11 H/9 Juni 632 M.
Di dalam suasana yang hiruk-pikuk dan saling berdesakan itu, demikian Tarikh-al-Thabari, sekalian yang hadir telah lupa kepada Saad ibn Ubadah. Ia dihindarkan puteranya dari pembaringannya supaya jangan terpijak dan dipapahnya kembali menuju rumah. Sa’ad bin Ubadah menjadi orang Anshar yang sampai meninggalnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar, ia sendiri akhirnya pindah ke Suriah.
Orang banyak itu dengan beramai-ramai mengarak Abu Bakar Al Shiddiq menuju Masjid Nabawi. Berlangsung bai'at ketaatan (bai’atu tho’at) di Masjid Nabawi. Sehabis itu barulah perhatian tertuju kembali kepada jenazah Nabi Besar Muhammad.
Jasad Rasulullah SAW dimandikan oleh keluarga beliau pada Selasa pagi tanggal 13 Rabiul-Awwal tahun 11 H/10 Juni 632 M. Yang memandikan adalah Abbas bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib bertugas membersihkan jasad Nabi, Fadhal dan Qasam ; keduanya anak Abbas, bertugas membolak balikkan jasad Nabi, Syarqan yaitu pembantu Rasulullah bertugas mengguyurkan air, Usamah bin Zaid dan Aus bin Khaili sebagai satu-satunya orang Anshar yang (bertugas mendekap jasad Nabi didadanya).
Setelah itu jasad Nabi disholatkan selama seharian penuh sampai Selasa malam, orang-orang menshalatkan Nabi secara bergelombang. Pada malam Rabu itu barulah Aisyah mendengar suara sekop menggali tanah di bawah tempat tidur Nabi sebagai tempat kubur Nabi SAW. Jasad Nabi Muhammad SAW dimakamkan pada Selasa malam Rabu.
Peristiwa musyawarah di Saqifah (balai) Bani Saidah ini telah melukiskan suatu bentuk musyawarah pada awal perkembangan kehidupan kenegaraan Islam. Kebebasan untuk mengemukakan pendapat telah diberikan seluas-luasnya dalam sidang pertemuan itu. Setiap anggota sidang bebas menyatakan pendirian tentang siapa yang akan mereka pilih sebagai kepala negara. Soal adanya perbedaan pendapat barangkali sudah merupakan suatu hal yang biasa dalam sidang-sidang. Dalam sidang tersebut tampak, sebagai dikatakan Thomas W. Arnold, Abu Bakar telah terpilih secara aklamasi.
Tetapi harus di ingat, Abu Bakar bukanlah calon tunggal yang sudah di atur sedemikian rupa. Namun sebelumnya, ada dua orang calon yang diajukan tetapi mereka mengundurkan diri.
Keputusan di ambil dengan suara bulat dapat diartikan bahwa sebahagian besar atau pada umumnya para wakil dari kedua golongan terbesar saat itu dapat menerima calon yang diajukan. Sedangkan keputusannya secara formal mengikat semua warga umat.
Pelaksanaan keputusan tersebut telah dilakukan di dalam suatu upacara pelantikan Abu Bakar sebagai khalifah di mesjid Nabi. Bila dalam musyawarah, anggota sidang adalah para pemuka suku dan kabilah dari kedua golongan, maka dalam upacara pelantikan para pesertanya adalah umat Islam Madinah, yaitu pihak Muhajirin dan Anshar.
Ramli Kabi’ Ahmad Shiddiq Abdurrahman dalam bukunya Al-Bai’ah fin Nizhami as-Siyasi al-Islami wa Tathbiqotuha as –Siyasiyyah al-Mu’ashiroh, menyebutkan, “Pada saat itu para pembesar sahabat, merupakan ahlul halli wal aqdi dari umat Islam yang dianggap sebagai wakil dari jamaah-jamaah Islam”.
Ath-Thabari sendiri menyebutkan perihal pembai’atan Abu Bakar ash-Shidiq di masjid, “Kemudian para pembesar umat Islam hadir. Mereka merupakan perwakilan dari masing-masing kelompok dan mereka inilah yang membai’at”. Para pembesar dari warga Madinah itulah yang dianggap sah bai’atnya dalam aqad imamah dan khalifah.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ali bin Abi Thalib ketika didatangi oleh orang-orang untuk membai’atnya di rumahnya. Ketika itu ia mengatakan,
“Hak itu ada pada saudara, juga hak itu ada pada ahlu Syuro dan Ahlu Badr. Maka barangsiapa yang direstui oleh Ahlu Syuro dan Ahlul Badr, dialah yang menjadi Khalifah”.
Ramli Kabi’ Ahmad Shiddiq Abdurrahman menyebutkan bahwa,
“Jelas dari ungkapan Ali bin Abi Thalib RA tersebut, bahwa bai’at tidak dengan sendiri harus berasal dari mayoritas umat Islam (jumhurul ummah) secara umum. Akan tetapi ia bisa dari suatu kelompok yang merupakan perwakilan semua umat yang di sebut sebagai ahlul halli wal aqdi. Mereka inilah yang memiliki sifat Ahlusy Syuro dan Ahlul Badr”.
Di dalam pidato pelantikannya yang disampaikan menjelang shalat Isya selesai pemakaman Nabi SAW, Abu Bakar menyatakan bahwa ia telah menerima jabatan khalifah atas dasar bai'at. Ia mengharapkan bantuan selama ia patuh pada Allah dan Rasul-Nya. Bila ia menyeleweng ia bersedia diluruskan atau diturunkan.
Dengan pelantikan Abu bakar sebagai khalifah, musyawarah pertama sepeninggal Nabi SAW tersebut telah dapat mengatasi krisis yang dihadapi umat. Persatuan umat yang semula menimbulkan tanda tanya telah dapat dipertahankan dengan kukuh berkat keuletan dan i'tikad baik para sahabat. Lebih jauh dari itu, musyawarah di Saqifah Bani Sa'idah merupakan titik tolak yang sangat penting dalam sejarah politik Islam masa awal. Pertemuan itu, disamping pelaksanaan syura pertama dalam Islam setelah Nabi wafat, juga sebagai pencerminan semangat musyawarah berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah.
Semangat itu telah diperlihatkan para sahabat dalam sidang pertemuan tersebut. Bedanya dengan musyawarah yang pernah dilaksanakan Rasulullah terletak pada persoalan yang di bahas. Persoalannya bukan lagi masalah perang semata, tetapi masalahnya telah berkembang kepada soal-soal politik di kalangan umat Islam sendiri.
Abu Bakar, sebagai Khalifah, juga telah memperlihatkan sema¬ngat musyawarah dalam berbagai kegiatan pemerintahannya. Khilafahnya telah ditegakkan atas dasar syura dan pemilihan seperti yang tampak dalam peristiwa Saqifah Bani Sa'idah tersebut.
Khalifah Abu Bakar Al Shiddiq kemudian meyampaikan pidato pertamanya (khutbah) sebagai berikut,
خطبة أبو بكر الصديق عند توليه الخلافة (11 هجرية(
أما بعد أيها الناس فإني قد وليت عليكم ولست بخيركم
“Hai manusia. Sesungguhnya aku di angkat mengepalai kamu, dan aku bukanlah terbaik di antara kamu.
، فإن أحسنت فأعينوني
Jika aku membikin kebaikan Maka sokonglah daku.
، وإن أسأت فقوموني
Jika aku membikin kejelekan maka betulkanlah daku.
، الصدق أمانة، والكذب خيانة
Kebenaran itu suatu amanat Dan kebohongan itu suatu khianat.
، والضعيف فيكم قوي عندي حتى أريح عليه حقه إن شاء الله
Yang terlemah di antara kamu aku anggap terkuat sampai aku mengambil dan memulangkan haknya. Insya Allah
، والقوى فيكم ضعيف حتى آخذ الحق منه إن شاء الله
Yang terkuat di antara kamu aku anggap terlemah sampai aku mengambil hak si lemah dari tangannya. Insya Allah
لا يدع قوم الجهاد في سبيل الله إلا ضربهم الله بالذل
Janganlah seorangpun di antara kamu meninggalkan Jihad. Kaum yang meninggalkan Jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Tuhan.
ولا تشيع الفاحشة في قوم قط إلا عمهم الله بالبلاء
Dan tidak perbuatan fahisyah (zina) menyebar di satu kaum melainkan Allah akan menyebarkan dengan malapetaka kepada mereka
أطيعوني ما أطعت الله ورسوله، فإذا عصيت الله ورسوله فلا طاعة لي عليكم
Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Bila aku mendurhakai Allah dan Rasul-Nya tiada kewajiban patuh bagi kamu terhadap aku.
Berdirilah untuk shalat (mari tegakkan sholat). Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada kamu.”
Khutbah jabatan itu amat singkat akan tetapi mencerminkan garis-dasar yang teramat baru di dalam sejarah kemanusiaan. Pada saat kaisar-kaisar imperium Roma dewasa itu memiliki wewenang dan kekuasaan absolut yang tiada terbatas, dan begitu pun Khosru-Khosru Imperium Parsi dengan wewenang dan kekuasaan absolut. Maka Khalif Abu Bakar di dalam kebijaksanaan pemerintahan yang akan dijalankannya itu menggariskan keberpihakan kepada rakyat yang betul-betul murni. Itulah prinsip kepemimpinan yang sesunguhnya dalam Islam.
Berdasar fakta sejarah yang dikemukakan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa Syuro yang dilakukan di Balai (Saqifah) Bani Saidah mengandung 5 (lima) prinsip dasar syuro sebagai berikut:
1. syuro dihadiri oleh seluruh unsur yang menjadi penanggung jawab kepemimpinan pasca wafatnya Rasulullah SAW yaitu unsur Muhajirin dan Anshar;
2. seluruh peserta syuro menyadari pentingnya peran nubuwah dalam konteks kepemimpinan (qiyadah/imamah) harus tetap berjalan sekalipun Rasulullah Muhammad SAW telah wafat;
3. syuro dilakukan dan berjalan secara musyawarah di mana seluruh pihak memberikan pendapat secara terbuka dan argumentatif, untuk mencapai mufakat atas siapa yang akan di angkat sebagai Imam ‘Uzhma untuk menggantikan peran kenabian;
4. dilakukan bai’at al-Inqod, yaitu bai’at pengukuhan atas Abu Bakar Ash-Shidiq sebagai Khalifatun Nabi;
5. dilakukan bai’atut tho’at yaitu bai’at kesiapan untuk taat dan patuh kepada Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq.
Dengan dilakukannya bai’at al-in’iqad terhadap Abu Bakar, maka sahlah Abu Bakar melanjutkan peran imamah yang sebelumnya di pikul oleh Rasulullah SAW. Bai’at al-in’iqad ini hanya bisa dilakukan dalam sebuah Syuro Ummah yang dihadiri oleh para pimpinan umat Islam dan bertanggung jawab. Bai’at al-in’iqad dengan demikian merupakan satu-satunya methode pengukuhan yang syar’i untuk mengesahkan seseorang menjadi Imam (Kepala Negara Islam).
Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifatun Nabi yang di proses melalui syuro ummah dan dibai’at oleh peserta syuro menjadikan pengangkatan Abu Bakar tersebut berstatus sah secara syariah dan mengikat secara hukum bagi seluruh umat Islam ketika itu. Sehingga apapun yang diputuskan Abu Bakar sebagai Khalifatun Nabi akan mengikat secara hukum dan wajib ditaati oleh seluruh Umat Islam ketika itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.